Jumat, 06 Maret 2015

alhikam, hikmah pertama, kh.Hasyim Muzadi



Hikmah pertama alhikam ibnu Athaillah.
Tulisan berasal dari penjelasan KH. Hasyim Muzadi dari rekaman mp3 pada pengajian rutin selama bulan Ramadhan
Mari kita mulai pengajian dengan membaca surat al fatihah, para jamaah dan anak anak ku sekalian, insya Allah setiap habis subuh kita akan mengadakan pengajian selama bulan ramadhan, yang pengajian ini saya nukil atau saya cuplik dari kitab yang namanya kitab Hikam, sesuai dengan namanya pondok Al Hikam yang sesungguhnya juga mengambil dari sebuah nama kitab yang namanya Al hikam. Hikam artinya bentuk jama’ dari al hikmah, hikmah hikmah dikumpulkan menjadi hikam, kitab itu disusun oleh imam ibnu athoillah as sakandari,jadi dari iskandariyah,  ini sangat terkenal oleh karenanya kitabnya disebut kitab al Hikam ………,kitab ini kalau dibaca tanpa guru …, jadi harus diterangkan dengan cara yang awam, kalau dibaca sendiri, diterjemahkan sendiri itu bisa bingung sendiri, harus pakai guru yang pertama,
            Yang kedua harus diterangkan dengan cara cara yang bisa diterima oleh orang awam, nah disyiria ada seorang ulama besar namanya Syeikh doctor Muhammad Said Ramadhan al Buthi, beliau guru besar dari Universitas Damaskus yang ada di Syiria, beliau yang memberikan syarah atau penjelasan terhadap kitab hikam itu, akhirnya kalau kita baca kita bisa mengerti orang awam, nah yang  saya baca ini adalah penjelasan dari  DR. Said ramadhan al buthi, jadi dibaca sedikit kemudian diterangkan banyak.
Saya akan memulai, bismillahirahmanirrahim yang perlu kita perhatikan pertama didalam melakukan apa saja, baik yang bersifat tauhid, bersifat ibadah, bersifat hubungan sesama manusia, baik yang bersifat agama, umum, pekerjaan, semua yang paling penting adalah meletakan niat, karena niat ini yang memberi isi kepada pekerjaan kita, kalau tidak maka pekerjaan kita itu seperti umplung, apa umplung itu, seperti kaleng yang ga terisi, niat itu memberi isi terhadap amal kita, dan sekaligus memberi arah dari amal kita, karena dengan niat yang berbeda, pekerjaannya sama itu hasinya tidak sama sekalipun pekerjaannya sama.
            Para jamaah sekalian, niat yang paling benar adalah lillahi ta’ala, masalahnya sekarang lillahi ta’ala itu apa, seringkali orang mengucap lillahi ta’ala, tetapi tidak faham, atau fahamnya salah, sehingga mengertinya juga salah, menggunakannya juga salah, lillahi ta’ala itu artinya , perama liridha’atillah untuk memohon ridhanya Allah, supaya Allah meridhai kita, meridhai pekerjaan kita, meridhai ibadah kita, meridhai ilmu kita, jadi lillahi ta’ala arti pertama liridha’atillah, selanjutnya yang kedua lisyari’atihi, jadi hanya melakukan ini karena ajaran, jadi syariat itu artinya apa, ya ajaran, syariat nabi besar Muhammad saw, artinya ajaran nabi Muhammad saw, artinya lisyasri’atillah apa yang saya lakukan mengikuti aturan Allah dan Rasulillah Saw, jadi kalau liridhaihi ini tujuan, syartiat itu jalannya. Untuk apa, thaliban lirahmatihi walihubbih, untuk memohon rahmat dan fadhal, fadhal itu karunia, pemberian,
            Apa bedanya fadhal dengan rahmat, kalau rahmat itu yang terus menerus, kalau fadhal itu sesuai dengan keadaan, sesuai dengan kemauan kita, mencari fadhalnya Allah, kalau rahmat itu bersifat umum, jadi lillahi ta’ala itu maksudnya itu, bagaimana ibadah kita menuju ridha Allah, berdasarkan syariat, mohon rahmat, dan mohon karunia. Kadang kadang orang salah, mestinya kerja keras, nganggur dia, alasannya lillahi ta’ala, ya salah, wong tuhan ga menyuruh ngannggur ko nganggur atas nama tuhan, tidak bisa itu, saya tidak berjuang diam saja lah seenaknya, saya ini lillahi ta’ala. Bukan lillahi ta’ala itu lil nganggur saja, ini harus di luruskan, kenapa, Rasulullah saw bersabda innamal a’malu binniyat……..bahwa sesungguhnya nilai amal itu tergantung niatnya itu tadi, dan apa yang diterima oleh orang dari amalnya yang jelas adalah sesuai dengan niatnya, puasa ibadah jadi ibadah, puasa nyaur hutang jadi nyaur hutang, puasa untuk jadi sakti ya akhirnya jadi sakti, sesuai dengan niatnya sekalipun amaliyahnya sama. Nah kenapa, karena Allah swt itu sebenarnya memerintahkan kita, bukan berarti Allah memerlukan kita, jadi kalau Allah memerintahkan sesuatu pada kita, itu artinya itu kebutuhan kita sendiri, baik secara duniawiyah, maupun menuju raidha Allah swt.
            Imam ibnu ‘athoillah menyatakan dalam sebuah hikamhnya
من علامات الاعتمادعلي العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلد
Orang sebenarnya tidak boleh menganggap bahwa amalnya dia itu yang memberesi semua, tetapi ridha Allah terhadap amal itu yang memberesi semua, jadi amal itu belum selesai, diridhai apa tidak ini masalahnya, jadi kita punya amal banyak, mungkin yang diterima banyak, mungkin kita punya amal banyak, yang diterima sedikit, mungkin kita punya amal sedikit, yang diterima sedikit, yang paling banyak amalnya sedikit, tidak ada yang diterima. Jadi ridha itu penting, kalau Allah swt menyampaikan فقل اعملوا فسيرالله عمنكم ورسوله والمؤمنون  dan beramalah, maka Allah akan melihat amalmu, terusnya tentu akan memberi kamu pahala, terusnya akan mengganti semua amal dengan surga, dan rasulnya juga akan melihat, dan orang orang mukmin juga akan melihat amalmu
            Itu buka berarti amalmu saja yang membuat kamu masuk surga kata imam ibnu athailah, tetapi karena ridha Alllah dimana menyuruh kamu melakukan sesuatu, kamu mau, jadi ridha-Nya ini yang memasukan kita ke surganya Allah swt, jadi posisi amal dimana? posisi amal pada perantara, antara hamba yang taat dengan ridha Allah swt. Oleh karena, jangan ada orang merasa kebanyakan amal, ah amal saya sudah banyak, jadi dihabisi juga masih sisa banyak, ada juga orang yang beramal selalu menghitung pahala, salat jamaah 27, berarti kalau lima hari cuti, kan masih ...., loh dia lupa, bahwa amal itu tadi tidak memasukan ke dalam surganya Allah, bukan karena semata mata karena amal itu, tapi amal itulah yang menggaet ridha Allah swt.
            Kalau bapak kurban kambing, ini yang diterima Allah bukan kambingnya bapak, karena kambingnya Allah banyak, ko mau maunya disetori satu kambing oleh orang yang kambingnya cacat, itu kan tidak masuk akal. Lalu, ya karena karena kamu nurutnya itu, nah disini keyakinan ini harus ada supaya kita rajin amal, tetapi tidak menjanggalkan amal, sekali lagi karena itu perintah. Tapi perintah itu selangnya saja, airnya yang mengalir didalam selang itu adalah ridha Allah swt. Orang zakat, dapat pahala apa tidak? Dapat, digantikan oleh Allah surge, padahal yang dizakati itu hanya dua setengah persen dari rahmatnya Allah, coba hebat mana? Antara yang mengeluarkan zakat sama yang memberi rizki.
            Jadi sebenarnya, kalau Allah memberi rizki, kemudian kita disuruh zakat dipotong itu sisanya untuk kamu, lah yang sedikit ini lalu dijanjikan sorga dan pahala bukan karena Cuma sedikit, karena mengikutnya kamu itu kepada Allah swt. Salat, orang yang mau introspeksi paa bulan ramadhan, dan mau qiyamul lail, Allah akan mengampuni semua dosa dosanya, loh tukarannya itu terlalu tinggi disbanding amal kita. Wong kalau kita salatnya sehat, ya badan kita sendiri ko, kalau kita salat yang tenang juga pikiran kita sendiri, kalau kita salat yang tenang hati kita sendiri, loh itu dikasih, maka yang dikasih itu bukan pembelian kita kepada Allah berdasarkan amal kita, tapi semata mata karena rahmatnya Allah swt. Orang mendirikan masjid, didalam hadis disebut, قصرا في الجنة  من بني مسجدا بني الله , barang siapa membangun masjid, Allah akan memberikan istana nanti disorga, ga seimbang pak, wong surga itu sama dengan semesta ini luasnya, bayangkan disana apa yang kita minta datang sendiri, dan kita sudah tidak  ...lagi, loh itu kan terlalu besar, kalau itu pemberian terlalu besar, itu rahmat dengan amal kita sendiri
            Maka imam ibnu athailah selalu menganjurkan pertama beramalah, beramalah, dan beramal, dan beramal duniawiyah, dan ukhrawiyah juga tergantung dari niatnya, ada kadang kadang amal yang kelihatannya dunia ketaman wisata, tapi niatnya benar menyenangkan keluarga, maka dia dapat pahala, kalau niatnya begitu. Tapi ada yang kelihatannya amal akhirat, tapi sebetulnya amal dunia karena niatnya lain istighasah untuk pilkada, itu istighasah yang dilihatnya astaghfirullahal ‘adzim, tapi tujuannya untuk menjadi walikota, lah jurusannya astaghfirullah ‘adzim untuk walikota kan jauh, hanya karena ngumpul orang, ya tetap masuk kpu saja itu kelasnya, bukan kelas amal, jadi kelas kpu jurusannya. Jadi niat itu menentukan sampai disitu.
            Nah jangan sekali kali kita mengatakan bahwa sorganya Allah adalah tukaran dari amal kita, kita membuat masjid ini besar, kan seperti membuat masjid, sebenarnya kan hanya cari sokongan, tukang kan yang bikin masjid ini, bukan saya, yang bikin pondok itu kan tukang, bukan saya, saya hanya . nah lalu ditukar dengan Allah kalau memang diterima itu dengan sorga, itu kan ga imbang. Oleh karenanya, didalam kitab hikam disebutkan, apa bedanya kita membeli tanah dengan kita beramal kepada Allah, contoh kalau kita membeli tanah misalnya harganya 100 juta, udah bayar lunas itu milik kita, kita apakan saja terserah kita, tapi kalau kita beramal kepada Allah itu bukan pembelian pak, kita salat ya, tapi yang membuat kita kuat salat disini siapa, kita bersedekah begini, hai yang kamu sedekahkan itu rezeki dari siapa, kamu berilmu, mengajar, hai yang memasang otak dijidat kamu siapa sehingga kamu bisa berfikir, wah ini kerjanya sukses, ya, yang membuat kaki sama tangan sehingga kamu kerja itu siapa.
            Nah disini tidak sama, jadi kita itu diberi sesuatu oleh Allah dari alat alat yang dikirimkan oleh Allah sendiri, kemudian kita hanya bekerja sedikit, kamu semuanya ini kalau mau berfikir, sebenarnya yan menanam pohon itu Allah apa kamu, yang menanam padi, ya kamu kan hanya mencari bijinya, dan bijinya juga bukan kamu yang buat, kamu hanya mengalirkan air, airnya juga bukan buatan pak demu, itu ditancapkan ditanah, tanah juga bukan buatan kakekmu, hanya kamu bekerja gerakan tangan dan kakimu, letakan ini tungguin nanti akan tumbuh sendiri. Disinilah letaknya lahaula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim, ini ilmu tauhid.
            Sebenarnya kita ini tidak punya apa apa, kecuali pemberian, nah pemberian ini kita bergerak kiri kanan, maka ditambah pemberian itu, tapi sekalipun demikian yang bersyukur hanya sedikit, mereka merasa hebat sendiri, pintar sendiri, kaya sendiri. Dia lupa bahwa semuanya itu pemberian, dan setiap rahmat membawa pertanggung jawaban, dan setiap janji Allah membawa syarat. Jadi kalau sudah ada rahmat Nya itu harus ada tanggung jawabnya, tanggung jawabnya apa? Satu jujur mengakui hal itu hakikatnya dari Allah swt, perkara lantarannya, sebabnya iru bermacama macam, yang kedua kita harus gembira menerimanya, gembira lahiriyahnya, gembira batiniyahnya sambil minta lagi terus, jangan namanya Abdul syukur, tapi pekerjaannya mengeluh, setiap ketemu orang itu curhat, ini abdul curhat, bukan abdul syukur.
            Jadi, kalau kita mau jujur tidak ada alasan untuk tidak la haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim, dan rahmat itu dipakai apa, nah disini pak tanggung jawab, kalau yang bener ditambah dengan sendirinya, dimubadzirkan dia akan rusak pelan pelan, dipakai untuk yang tidak baik, dia akan memukul balik kepada orangnya. Jadi imam ibnu athailah memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya amal kita itu baru doa lahiriyah, doa kita adalah amal ….,jaadi kita kalau berusaha beramal, itu baru proposal, nah nanti ada rahmat, ada fadhal itu diseberang amaliyah, karena fadhalnya Allah swt.
            Jadi sekalipun kita amalnya banyak, berdoa itu tetap harus, ya Allah mudah mudahan amal saya diterima, allahumma amin, karena amal itu belum selesai masih menunggu ridha Allah swt, maka salah kalau orang merasa amalnya sudah banyak, lalu tidak berdoa, ada orang itu yang menganggap bahwa doa itu tidak penting, karena tidak konkrit, padahal yang konkritpun tidak konkrit, banyak amal amal yang tidak samapai, banyak orang kerja yang tidak kaya kaya, benar tidak..? bahkan tambah rugi, ada.  Tapi ada juga yang kaya, awalnya tambal ban lama lama punya pabrik ban, tapi ada yang dari dulu turun menurun tambal ban terus istiqamah, padahal kepandaiannya mungkin sama, profesionalisme mungkin sama.
            Para jamaah sekalian yang saya mulyakan, mudah mudahan ramadhan kita ini diterima oleh Allah swt, mudah mudahan ibadah kita ini diridhai oleh Allah, mdah mudahan seluruh amal lahiriyah kita diberikan karunia oleh Allah. Terakhir, kalau kita bekerja hanya mengandalkan amal sehingga lupa bahwa amal itu masih menunggu juga ridha Allah, orang yang lupa semacam ini, kalau gagal dia stress, dan kalau berhasil sombong kepalanya besar, kopiahnya sesak, tapi nanti kalau gagal kecil lagi kopiahnya, jadi orang seperti ini selalu naik turun antara sombong dan stress, sombong dan putus asa, kapan putus asa..? kalau ini gagal, karena dia menganggap amal adalah satu satunya, diseberangnya tidak ada ridha, maka kalau ini gagal, maka dia akan stress, padahal stress itu itu adalah larangan Allah.
            Jangan sekali kali kamu putus asa terhadap rahmat Ku, itu hanya pantas dilakukan oleh orang kafir, nah kalau rahmat Allah jauh lebih besar dari amal kita, maka ampunan Allah juga jauh lebih dahsyat daripada dosa kita, sehingga tidak usah kehilangan harapan, jangan kehabisan harapan kepada Allah pada saat ikhtiyar kita terbentur, atau banyak kesalahan kesalahan kita. Timbul pertanyaan, apakah imam ibnu athailah menganggap ringan dosa dosa..? tidak, sama sekali tidak, tetapi sebagai gambaran kalau rahmat Allah lebih besar daripada amal kita, maka ampunan Allah pasti lebih luas dari semua dosa dosa kita, sehingga kita hidup antara khauf dan raja, hidup antara harapan dan kecemasan, kekhawatiran itu yang benar, kita berharap terus, tapi juga…
            Pada sisi lain amal kita, kita melakukan kesalahan, dan sebaik baik orang yang salah adalah orang yang taubat, dan Allah adalah Zat penerima taubat yang lebih besar dari orang yang bertaubat. Maka dibulan ramadhan ini mudah mudahan kita bisa melaksanakan yang sebaik baiknya, dan mudah mudahan niat kita benar didalam menjalankan ibadah dan syariat nabi besar Muhammad saw, mudah mudahan kita terus beramal, tapi jangan merasa kebanyakan amal, dan jangan merasa hanya amal kita yang menentukan, amal kita baru permohonan kepada Allah swt, tapi sebagai rasa optimis kita bahwa Allah swt berjanji tidak menghilangkan amal kita, Allah tidak akan menghilangkan sedikitpun amalmu, baik orang laki laki yang beramal, atau orang perempuan, Allah tidak akan menghapus, tidak akan menghilangkan. Nah, berarti disini selaras, sesungguhnya amal tidak memberesi, tetapi Allah berjanji amalmu tidak hilang, maka amal akan menggaet rahmat Allah swt, tetapi sesungguhnya gantinya amal kamu itu jauh lebih besar daripada nilai amal kamu yang sesungguhnya tidak ada apa apanya, jadi amal kita kalau disbanding dengan rahmat Allah itu tidak ada apa apanya, apa artinya dua setengah persen dari rizkinya, yang bisa menghilangkan amal kita adalah prilaku kita sendiri yang salah, jangan kau bubarkan amalmu itu dengan caci maki dan aniaya kepada orang yang kamu kasih, tetapi dosa dosa kita diampuni oleh Allah swt, maka jangan khawatir, kalau ada orang lain menghancurkan nama kita, tidak akan menghilangkan amal kita, karena Allah sendiri tidak akan menghilangkan amal kita.