Sabtu, 14 Juni 2014

KENABIAN PERSPEKTIF TAFSIR AL-MARAGHI



KENABIAN PERSPEKTIF TAFSIR AL-MARAGHI
       I.            Pendahuluan
A.    Latar belakang
Pada tahun kesepuluh Hijriyah, Nabi Muhammad SAW menerima Surah dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam Surahnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”
Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriyah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim Surah, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.
Namun, setelah Nabi wafat, Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”
Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.[1]

B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian Nabi dan Rasul
2.      Apakah Nabi itu pilihan tuhan atau bisa di usahakan
3.      Apakan keNabian masih berlanjut atau sudah berakhir

C.     Tujuan dan kegunaan penulisan
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui jawaban-jawaban dari rumusan masalah yang sudah peneliti uraikan rinciannya di atas.

    II.            Pembahasan
A.    Biografi penulis
Nama lengkapnya Ahmad Mustafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi, lahir di desa al-Maragah[2] pada Rabi’ul akhir tahun1289,atau bertepatan pada 9 Maret 1881[3]. Ia dikenal sebagai sebutan al-Maraghi karena dinisbatkan kepada kota kelahirannya.
\
Jenjang Pendidikan dan Pengabdian
Al-Maraghi dibesarkan bersama delapan saudaranya dibawah naungan rumah tangga yang sarat pendidikan agama. Dikeluarga inilah al-Maraghi mengenal dasar-dasar agama sebelum mengenal dan menempuh pendidikan dasar disebuah madrasah di desanya. Di madrasah, ia rajin mempelajari al-Quran, baik untuk membenahi bacaan maupun untuk menghafalnya. Karena itulah semenjak umur 13 tahun ia telah hafal al-Quran.[4]
Kemudian jenjang pendidikannya dilanjutkan di madrasah di kota Thahta[5], desa ini terletak tidak jauh dari kampung asalnya. Disana ia mempelajari agama, kemudian pada tahun 1314 H/1897 M al-Maraghi menempuh kuliah di Universitas al-Azhar dan Dar Ulum keduanya terletak di Kairo. Al-Maraghi sangat tertarik untuk belajar di al-Azhar karena pada waktu itu terdapat para guru besar seperti Muhammad Abduh. Di al-Azhar ia selalu mengikuti pengajian balaghah dan tafsir yang diasuh langsung oleh Muhammad Abduh. Al-Maraghi dianggap sebagai salah satu murid Muhammad Abduh, tetapi pengajian yang diikuti al-Maraghi dengan gurunya Muhammad Abduh tidak berlangsung lama karena ia merampungkan pendidikannya pada tahun 1904 M dan langsung diangkat menjadi staf pengajar di Universitas al-Azhar.[6]
Dari dua universitas top ini, al-Maraghi menyerap ilmu dari beberapa ulama kenamaan seperti Muhammad Abduh, Muhammad Bukhait al-Muth’i, Ahmad Rifa’i al-Fayumi, dan lain-lain. Mereka mempunyai andil besar dalam membentuk bangunan intelektualitas al-Maraghi.
Lulus dari universitas bergensi tersebut dan setelah mengabdikan diri sebagai guru di beberapa madrasah. Tak lama kemudian dia diangkat menjadi seorang Hakim di Danqalah, Sudan. kemudian pada tahun 1970 dia diangkat menjadi Qadhi di ibukota Sudan, Khurtum.
Karena kecakapan dan kelihaian al-Maraghi dalam menjalankan tugas tercium oleh pemerintah Mesir al-Maraghi dia dipanggil oleh pemerintah Mesir untuk diangkat menjadi pengawas kementrian perwakafan pada tahun 1907 M. Dan pada tahun 1909 al-Maraghi kembali lagi ke Negara Sudan dan diminta untuk menjadi Hakim Agung Negara Sudan. Kemudian pada tahun 1923 ia kembali lagi ke Mesir atas perintah presiden kala itu untuk mendirikan رئاسة المحكمة العليا الشرعية.[7]
Syaikh Al-Azhar
pada tanggal 22 mei 1926, al-Maraghi diangkat menjadi Green Syekh Al-Azhar, ketika menjadi Syaikh al-Azhar, al-Maraghi banyak melakukan perubahan untuk kemajuan al-Azhar.

Peninggalan Berharga
Al-Maraghi adalah seorang tokoh ulama pada zaman itu yang mempunyai banyak jasa bagi rakyat Mesir dan bagi Civitas Intelektualitas Universitas al-Azhar diantara jasa-jasa beliau adalah:
1.      Keputusannya ketika menjadi ketua di lembaga hukum syari’ah tertinggi kepada para hakim untuk tidak Bertaqlid kepada salah satu 4 madzhab. Tetapi para hakim diberi kebebasan untuk memutuskan hukum yang sesuai dengan kondisi zaman dan tempat yang berlaku pada saat itu sebagaimana yang dikatakannya:
ضعوا من المواد ما يبدو لكم أنه يوافق الزمان والمكان وأنا لا يعوزني بعد ذالك أن أتيكم بنص من المذاهب الإسلامية يطابق ما وضعتم
2.      Reformasi di Universitas al-Azhar

Karya-karyanya:
١.بحث فى ترجمة القران الكريم واحكامها
٢.رسالة الأولياء المحجوبين التي حصل بها علي عضوية كبار العلماء
٣.بحوث فى التشريع الإسلامي
٤.تفسير جزء تبارك
٥.تفسير سورة الحجرات
٦.تفسير سورة الحديد وايات من الفرقان
٧.تفسير سورتي لقمان و العصر
٨.الدروس الدينية التي كانت يلقاها فى المسجد

Wafat
Al-Maraghi meninggal di kota Iskandariah, malam Rabu tangal 14 -9-1374 dan bertepatan pada Agustus 1945. Atas jasa-jasanya, namanya diabadikan sebagai salah satu jalan kota di kota tersebut[8].

B.     Profil tafsir
·         Nama dan latar belakang penulisan
Al-Maraghi merupakan  potret ulama yang produktif yang mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu, disela kesibukannya belajar dan mengajar, ia telah menyisihkan waktu untuk menulis. Dan karyanya yang monumental adalah Tafsir Al-Quran Al-Karim yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Maraghi.
Tafsir al-Maraghi ditulis selama kurang lebih 10 tahun, sejak tahun 1940-1950 M. Menurut sebuah sumber, ketika menulis tafsirnya, ia hanya beristirahat selam empat jam sehari. Dalam 20 jam yang tersisa, ia gunakan untuk mengajar dan menulis.
Ketika malam bergeser pada paruh akhir kira-kira pukul 3.00, al-Maraghi memulai akitivitas dengan salat tahajud dan solat hajat.

·         Latar Belakang Tafsir al-Maraghi
Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Maraghi menuturkan  alasan menulis kitab tafsir. Ia merasa ikut bertanggung jawab untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah yang mewabah di masyarakat berdasarkan al-Quran, di tangan al-Maraghi, al-Quran ditafsirinya dengan gaya modern sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pilihan bahasa yang disuguhkan kepada pembacapun ringan dan mengalir lancar. Ia melihat bahwa para mufasir terdahulu cenderung menulis tafsir hanya terpaut pada kajian bahasa dan dan tidak menyentuh kajian inti yaitu fungsi al-Quran sebagai Hudan Linnas. Oleh karena itu para penafsir kontemporer salah satunya al-Maraghi mempunyai inisiatif dan merasa terdorong untuk mengarang sebuah tafsir yang langsung mengacu pada fungsi utama al-Quran sebagai Hudan Linnas dan sebagai solusi pada masyarakat social modern dan tidak banyak mengkaji pada kajian bahasa sehingga dapat dengan mudah dicerna oleh masyarakat dan tidak bertele-tele. Pada beberapa bagian, penjelasannya cukup global. Tetapi ditempat lain, uraiannya begitu mendetail, tergantung kondisinya.[9]
Gaya penafsiran seperti ini sebenarnya mirip dengan strategi penulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Mannar, harus diakui al-Maraghi merupakan orang yang sangat terpengaruh oleh kedua penafsir itu.
Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 M di Kairo. Pada terbitan perdana, al-Maraghi diterbitkan dengan 30 juz. Tafsir ini juga pernah diterbitkan dalam edisi 15 jilid, setiap jilid berisi dua juz. yang lumrah beredar di Indonesia adalah edisi Tafsir al-Maraghi yang 10 jilid.[10]
Sumber Penafsiran Tafsir al-Maraghi
1.al-Quran
2.al-Sunah
3.Ulama Salaf
4.Kajian Bahasa
5.Menukil dari ulama tafsir terdahulu
Tetapi semua sumber yang al-Maraghi jadikan referensi semuanya dibawah kendali pemikirannya. Apabila ia menganggap benar maka ia akan menukilnya dan apabila ia menggapnya tidak benar maka ia tidak akam mengambil sumber itu.[11]
C.     Metodologi penafsiran
Para penafsir kontemporer menegaskan bahwasannya fungsi dari al-Quran yang utama adalah sebagai petunjuk untuk menuntun manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Inilah maksud utama diturunkannya al-Quran kepada Nabi Muhammad, sedangkan selain tujuan itu, semuanya  hanya berfungsi sebagai jalan untuk menuju maksud utama, kebahagian dunia dan akhirat.[12]
Ini juga yang dikatakan al-Maraghi dalam muqadimah tafsirnya:”al-Quran diturunkan kepada makhluk yang paling mulia yang megetahui bagaimana maksud diturunkannya.Allah hanya menutut kita untuk memahami ayat-ayatnya yang diturunkan,karena firman-Nya adalah cahaya dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.dan Allah menjadikan al-Quran itu mencakup segala sendi kehidupan baik untuk kehidupan di dunia maupun untuk kehidupan di akhirat,dan tidak mungkin bagi umat manusia untuk mengamalkan cahaya firmannya kalau tidak dipahami secara mendalam dan dibukan takbir maknanya.oleh karena itu kita di tuntut untuk memdalami al-Quran dan membukan makna tafsirnya dari segi  bahwasany al-Quran adalah sebagai petunjuk bagi manusia yang menuntunnya kejalan kebahagian baik di dunia maupun di akhirat,sedangkan segala sesuatu yang tidak sejalan dengan tujuan utamannya semuanya hanya berfungsi sebagai wasilah atau jalan untuk mencapai kebahagiaan itu[13]
Mereka sebenarnya ingin mengkritik kepada para penafsir klasik yang tidak menafsirkan al-Quran kepada tujuan utamannya sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Maraghi:”kebanyakan para penafsir klasik memusatkan perhatian penafsiran al-Quran bukan pada tujuan utama tetapi hanya kepada wasilah-wasilahnya saja[14]
Oleh karna itu, Muhammad Abduh berkata dalam muqadimah tafsirnya:”Diantara kekuarangan para penafsir adalah menyibukan para pembaca tafsir kepada hal yang bukan tujuan utama.diantara mereka hanya menafsirkan al-Quran hanya dalam bidang pembahasa I’rab,kaidah,kaidah nahwu,ada yang membahasnya dari perbedaan pendapat para ahli mutakalim,istimbat fuqaha,ta’sub para pemngit madzhab,menukil riwayat-riwayat israiliyat yang belum tentu benar,bahkan al-razi memalingkan al-Quran dan menafsirkan al-Quan dengan di tambahkan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat eksak dan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang datangnya dari peradaban yunani kuno”.[15]
Oleh karna itu, para penafsir kontemporer seperti al-Maraghi ingin memberikan nuansa baru dalam menafsirkan al-Quran dengan langsung mengarah kepada pembahasan intinya yaitu sebagai petunjuk bagi manusia dan menuntun mereka kejalan menuju kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat sebagai mana yang dikatakannya:”Sesungguhnya penafsiran al-Quran yang ditulis oleh para mufassir zaman terdahulu disesuaikan dengan penafsiran zaman itu agar supaya penafsiran itu mudah dipahami oleh mereka.dan oleh karan pada setiap zaman mempunyai masa sendiri-sendir dan mempunyai tabi’at dan kebiasaan dan cara berfikir yang berbeda-beda maka para mufassir zaman sekarang harus menggunakan corak baru dalam penafsiran al-Quran dan disesuaikan dengan kondisi,keadaan cara berfikir orang masa sekarang.sebagaimana tujuan inti dari sebuah pembicaraan yaitu:
ان لكل مقام مقال
bagi setiap makam ada maqal
sesorang itu diajak bicara disesuaikan dengan kemampuan akalnya”[16]
Oleh karna itu, kalau kita membaca penafsiran ulama kontemporer seperti al-Maraghi maka kita akan disuguhkan nuansa penafsiran yang berbeda dengan ulama sebelumnya. Dan pada hakikatnya mereka kadang-kadang sependapat dengan metodologi penafsiran ulama salaf dan kadang-kadang mereka juga bertolak belakang dengan metodologi tersebut.
Diantara metodologi penafsiran itu adalah sebagai berikut
1.      Al-Wihdah Al-Maudhu’iah Dalam Surah Al-Quran
Yang dimaksudkan dengan wihdah al-maudhu’iyah secara bahasa adalah diambil dari kata wihdah. Menutut Imam Syibawaih kata wihdah berasal dari التوحد (bersatu) atau dengan kata lain berarti التفرد (bersatu)[17]. Sedangkan menurut al-Raghib al-Asfahani berpendapat bahwa kata wihdah berarti:أن الوحدة فى الحقيقة هو الشئ الذي لا جزء له البتة,ثم يطلق على كل موجود  (kata wihdah pada hakikatnya adalah sesuatu yang tidak mempunyai bagian sama sekali, kemudian kata itu berkembang dan diucapkan kepada segala sesuatu yang maujud).[18]
Sedangkan yang dimaksud dengan maudu’ disini berasal dari kata الوضع ضد الرفع  (adalah kebalikannya dari kata tinggi).[19]
Kalau kita gabungkan kedua kata ini maka makna akan menjadi:”Sebuah kesatuan tema yang ditampilkan didalam al-Quran dan didalamnya tidak ada perbedaan sama sekali atau dengan kata lain bersatunya keseluruhan tema.”
Sedangkan yang dimaksudkan wihdah waudhu’iah dalam al-Quran adalah pembahasan tema tema tertentu yang ditawarka oleh al-Quran dalam Surat-Surat yang berbeda-beda agar supaya ada kejelasan tentang makna yang dimaksud yang berhubungan dengan tema yang umum yang dimaksud agar tujuan utamanya tercapai.[20]
Sedangkan yang dimaksud dengan wihdah maudhu’iyah dalam Surah adalah:
البحث عن الهذف الواحد الذي عرضت له كل سورة من السور القران الكريم ومدى ارتباطه فى كل السورة ومن موضوعاتها الأخرى من جدل إلى قصاص الى تشريع الى وصف_فإجاد الوشائج التي ترتب بين موضوعات السورة من أحكام ومبادئ وما تذكره القصص,ومشاهد والخروج من ذالك كله الى هدف واحد يجمع بينها وهو الوحده الموضوعة للسورةز
Artinya:  pembahasan mengenai tujuan utama al-Quran yang ditampilkan disetiap Surah dari Surah-Surah al-Quran semua keterkaitan yang ada didalam berbagai tema di dalam al-Quran semuanya mengacu pada satu tujuan yaitu الوحدة الموضوعة.[21]
Pengerian ini sangat berbeda dengan pengerian ulama-ulama klasik seperti as-Syatibi dan al-Suyuti dan al-Imam Zarkasyi dalam al-Burhan: “Ketersambungan al-Quran dari satu ayat dengan ayat yang sehingga menjadi satu kalimat merupakan ilmu yang agung dan mulia tidak bisa dipahami semua itu kecuali orang-orang yang alim.”[22]
Oleh karena itu, kadang-kadang mereka menolak penafsiran yang bertentangan dengan tujuan utama tema besar Surah al-Quran tersebut, sehingga mereka tetap menjadikan tema Surah sebagai pedoman utama dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Contohnya adalah penafsiran Surah al-Imran ayat 37:
كلما دخل عليها زكريا المحراب زجد عندها الرزقا
Dalam menafsirkan ayat ini kebanyaka ulama diantaranya Imam ar-Razq bahwasannya ditemukan di sisi Sayidah Maryam berbagai macam buah-buahan baik yang ada pada musim dingin maupun yang ada dimusim panas.[23]
Penafsiran ini  bertolakbelakang dengan penafsir kontemporer diantaranya al-Maraghi yang mengatakan:
وليس لنا مسند صحيح من كتاب أو سنة يأيد هذه الروايات الإسرائليات
“Kami tidak menemukan musnad yang shohih dari al-Quran maupun hadits yang mendukung pendapat dari riwayat israiliyat ini”[24]
Pendapat al-Maraghi ini juga di dukung oleh gurunya Muhammad Abduh yang mengatakan:
            Demi Allah tidak bisa dikatakan begitu,Nabi pun tidak mengatakan begitu,dan pendapat itu tidak bisa diterima oleh rasio yang sehat,apalagi tidak ada sejarah,riwayat dari para mufasir salaf  dan pandangan ini sangat bertentangan dengan sanad-sanad yang shahih”
Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan:
            “ Maka yang paling penting adalah tidak membahas apa bentuk rizki itu,tapi yang laing penting adalah membahas tujuan utama diceritakan kisah ini.hal ini merupakan pengukuhan ke-Nabian Nabi Muhammad SAW dan untuk menolak pengakuannya orang musyrik yang mengingkari ke-Nabian Nabi Muhammad SAW.lebih lanjut bahsannya maksud diturunkannya awahyu adalah pengukuhan terhadap akidah ilahiyah dan masalah yang paling pentingnya adalah masalah ketahuhidan dan pengukuhan keimanan terhadap di bangkitkannya manusia dan balasan yang akan di timpanya,dan untuk mempercayai wahyu dan para Nabi.dan Surat Ali Imran ini di awalai dengan pengebutan tauhid dan diturunkannya al-Quran kemudian dari mulai awal Surat sampai di paparkannya ayat ini tidak lepas dari pembahasan tentang keTuhanan,balasan hari akhir,menghilangkan keraguan kemudina ayat itu di lanjutkan dengan membahas bahwasannya manusia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirt hanya dengan mengikuti Nabi dan Rasul dan kisah ini untuk  menghilangkan keraguan yang lakukan oleh orang-orang musyrikin dan ahli kitab”[25]
2.      Al-Quran adalah sumber utama
Yang dimaksudkan disini adalah sebagai mana yang di katakan oleh Muhammad Abduh: ”Al-Quran adalah pijakan utama bagi agama ini, maka kalau dijelaskan di dalam al-Quran tidak perlu lagi untuk mengambil tambahan dari yang lain, tapi kalau tidak ditemukan di dalam al-Quran maka boleh berpegangan pada keterangan hadits oleh karena itu Nabi membenarkan Mu’adz bin Jabal ketika akan diutus ke Yaman dan ini juga yang diwasiatkan kepada para Kahlifa ar-Rasyidin dan para sahabat dan tabi’in yang lain”[26]
Dari pendapat ini tentu mempunyai banyak konsekuensi terhadap penafsiran al-Quran dan tidak jarang al-Maraghi dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu bersebrangan dengan ulama terdahulu.
Seperti ketika menafsirkan Surah al-An’am ayat 145:

قل لا أجد فيما أوحي إلي محرما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحمام خنظير فإنه رجس أو فسقا اهل لغير الله به فمن اضطر غير باغ ولا عاد فإن ربك غفور رحيم
Dalam hal ini al-Maraghi  menafsirkan ayat ini dengan mengatakan:
وما صح من الأحاديث فى النهي عن طعام غير هذه الانواع فهو اما مؤقت واما للكراهة فقط ومن الأول تحريم الحمر الأهلية فقد روى ابن ابي شيبة والبخاري عن ابن عمر قال: نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن لحوم الحمر الاهلية يوم خيبر  ومن الثابي ما رواه البخري ومسلم عن ابي ثعلبة الخشني ان رسول الله نهى عن كل ذي ناب  من السباع وكل ذي مخلب من الطير
 Hadits-hadits yang sohih yang menjelaskan tentang larangan memakan makanan selain apa yang disebutkan di dalam ayat ini maka hal itu bisa jadi karena larangan yang sifatnya sementara atau larangan yang sifatnya makruh, contoh yang pertama adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah tentang pelarangan burung hamr bahwasannya Nabi  melarang memakan daging burung hamr dihari khibar, dan yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari  Abi Tsa’labah al-Khasyani bahwasanya Rasulullah melarang memakan semua hewan buas yang bertaring dan burung pemburu.
3.      Al-Quran Universal
Ke universalan al-Quran merupakan refleksi dari keuniversalan risalah al-islamiah sebagaimana firma-Nya:
قل يا أيها الناس إني رسول اللله إليكم جميعا
وما ارسلناك إلا رحمة للعالمين
وما أرسلناك إلا كافة للناس بشير ونذيرا
Oleh karena itu Syari’at Islamiyah selalu umum disetiap zaman dan tempat. Maka, tidak heran lagi kalau al-Quran itu sifatnya umum bagi semua umat manusia.
Hal ini mempengaruhi gaya penafsiran bagi penafsir kontemporer tidak terkeculi al-Maraghi dalam menafsirkan berbagai ayat al-Quran. Dan mereka cenderung memahami ayat-ayat al-Quran itu umum sebagaimana yang diungkapkan dalam usul fikih
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Berbeda dengan pemaham ulama lain yang mengatakan bahwa:
العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ
Sebagaimana al-Maraghi memahami Surah al-Baqarah ayat144:
فول وجهك شطر المسجد الحرام وحثيما كنتم فولوا وجوهم شطره
Dengan mengatakan:
والأوامر التي حاءت فى الكتاب موجهة إلى رسول الله هي له ولأمته ألا دل دليل على أنها خاصة به كقوله {خالصة لك من دون المؤمنين}{ومن الليل فتهجد به نافلة لك}وأنما أكد الأمر باستقباله ووحهه الى المؤمنين بعد أن أمر به بنيه وشرفهم بالخطاب بهد خطاب رسوله لتشند عزيمتهم وتطمئن قلوبهم ويتلقوا تلك الفتنة التي اثاها المنافثون واهل الكتابب واليهوود بعزيمة صادقة وثبات على اتباع الرسول
Perintah yang ada dalam ini di tujukan khusus untuk Nabi Muhammad,akan tetapi sebenarnya perintah itu umum ditunjukan untuk Nabi dan umatnya kecuali ada dalil yang secara jelas menunjukan khusus Nabi Muhammad seperti firmannya
خالصة لك من دون المؤمنين
ومن الليل فتهجد به نافلة لك
Dalam ayat ini Allah menegaskan perintah menghadap qiblat untuk  semua orang mukmin setelah memerintahkannya kepada Nabi orang mukmin tujuan penyebutan khitab orang mukmin setelah di khitabnya Nabi agar kemauam mereka menjadi kuat dan hati mereka menjadi tenang setelah mereka mendapatkan fitnah dari kalanga orang munafik ,ahli kitab dan orang yahudi denga kemauan yang murni dan keteguhan hati untuk mengikuti nab Muhammad SAW.
4.      Tidak memperpanjang pembahasan pada ayat-ayat yang dimubhamkan al-Quran
Al-Maraghi selalu tidak memperpanjang pembahasan tentang sesuatu yang samar baik yang bersifat materi dan yang bersifat non materi contohnya ketikan menafsirkan ayat:
وسارعوا إلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموات والأرض أعدت للمتقين
Al-Maraghi mengatakan:
والأية تدل مظارها على ان الجنة مخلوخة الان لأن الفعل الماضى بفهم هذا غير أنه من الجاز ان يكون من قبل قوله تعالى {ونفخف الصور فصعق من فى السموات ومن فى الأرض}فلا يدل على خلقها الان والبخث فى هذا لا فادة له ولا طائل تحته
Ayat ini secara dzahir menjelaskan bahwasannya surga itu sekarang telah diciptakan karena fi’il madhi yang digunakan dalam ayat ini bisa difahami begitu, tetapi dalam ayat lain seperti ayat:
ونفخف الصور فصعق من فى السموات ومن فى الأرض
Tidak menunjukan telah diciptakannya surga sekarang dan membahas lebih detai hal-hal seperti ini tidak ada faidahnya.
5.      Tafsir ilmi pengetahuan modern
Al-Maraghi tidak menganjurkan ulama untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan penemuan-penemuan modern sebagai refrensi utama, tetapi menganjurkan mereka untuk mengetahui dan menukilnya hanya sebatas untuk menunjukan kebesaran kekuasaan Allah saja, sebagai mana yang dikatakannya:
وجد الخلاف بين المسلمين فى العقائد والاحكام الفقهية ووجد هم مرض اخر هو الغرور بالفلبسفة وتأويل القران ليرجع اليها وتأويله من النظريات العلمية التى لم يقر قرارها وذالك خطر عظيم على الكتاب للفلايفة أو هاما لا تزيد على خذيان المصاب بالحمى والنظريات التى تستقر لا يصح ان يرد اليها كتاب الله
Telah banyak ditemukan banyak perbedaan dikalangan umat muslim tentang masalah hukum dan akidah dan hukum-hukum fikih dan telah ditemukan penyakit lain yaitu tertipu denga filsafat dan mentakwilkan Quran disesuaikan dengan penemuan ilmiah yang belum ada kejelasan tentang kebenarannya dan hal ini merupakan bahaya yang besar bagi al-Quran, dan pnemuan-penemuan yang belum diyakini kebenarannya tidak sah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah penemuan tersebut.
6.      Tafsir yang rasional
7.      Mengingkari riwayat israiliat
Al-Maraghi sangat ingkar sekali terhadap riwayat-riwayat israiliat dan sangat menentang para mufassir yang menggunakan dan menukil riwayat-riwayat al-Quran dalam menafsirkan al-Quran sebagaimana yang ia katakan dalam muqaddimah tafsirnya:
اشار الكتاب الكريم الى كثير من تاريخ الامم الغارة التى حل بها العذاب على ما اجترحت من الاثام والى بدء الخلق وتكوين الارض والسموات ولم يكن لدى العرب من المعرفة ما يستطيعون به شرح هذه المجلات التى اشار اليها الكتاب اذ كانوا أمة أمية فى صحراء نائبة عن مناهل العلم والمعرفة الوالانسان بطبيعة حريص على استكناه المجهول واستيضاح ما عزت عليه معرفه فالجأتهم الحاجة الى الاستفسار من اهل الكتاب من اليهود والنصارى ولا سيما مسلمتهم كعبد الله بن سلام وكعب الاحبار ووهب بن منبه فقصوا عليهم من القصص ما ظنوه تفسيرا لما خفى عليهم فهمه من كتابهم ولكنهم كانوا فى ذلك كحاطب ليل بجمع بين الشذرة والبعرة الذهب واليبة فساقوا  الى المسلمين من الاراء فى تفسير كتابهم ما ينبذه العقل وينافيه الدين وتكذبه المشاهدة ويبعده كل البعد ما اثبته العلم فى العصور اللاحقة

8.      Mempersedikit riwayat bil ma’tsur
Dalam muqaddimah tafsirnya al-Maraghi mengatakan:
ومن ثم ألا نذكر رواية مأثورة الا اذا يلقاها العلم القبول ولم نر فيها ما يتنافر مع قضايا الدين التي لا خلاف يها بين اهله وقد وجدنا ان ذلك اسلم لصادق المعرفة واشرف لتفيسر كتاب الله واجذب لقلوب الثقفين ثقافة علمية لا يقنعها الا الدليل والبرهان ونور المعرفة الصادقة
“Oleh karena itu,kami tidak akan menukil sebuah riwayat hadits kecuali kalau kebenarannya telah diyakini dan tidak ada pertentangan dengan pemahaman agama.Hal itu menurut kami lebih selamat dan lebih bijak untuk sebuah penafsiran al-Quran yang mulia dan akan dan akan bisa diterima oleh para pemikir ilmu pengetahuan modern karna kebenarannya sudah bisa dipastikan.[27]
Tentu dengan metodologi yang digunakan al-Maraghi ini akan menimbulkan hal dan nuansa berbeda dalam menafsirkan al-Quran contohnya ketika al-Maraghi menafsirkan kalimat taqwa  dalam Surah Ali Imran ayat 101[28]
ياأيها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على اللذين من قبلكم لعلكم تتقون
Menutut al-Maragh kata taqwa mempunyai banyak arti seperti:
1.      Ikhlas
Sebagaimana firman Allah
فإنها من تقوي القلوب
Artinya :”Dan sesungguhnya hal itu merupakan keikhlasan hati”
Sebagaimana yang disabdakan Nabi:
من احب ان يكون اكرم الناس ليتق الله
“Barangsiapa yang ingin menjadi orang yang dimulyakan manusia maka ikhlaskanlah hati kepada Allah”
لا يبلغ العبد المتقين حتي يدع ما لا باس به حذرا مما به باس
“Seorang hamba tidak akan mencapai derajat orang muttaqin (ikhlas), sehingga ia bisa meninggalkan apa yang dicegah padahal tidak dilarang”
2.      Ta’at
ان انذروا أنه لا إله إلا أنا فاتقون
“Berilah peringatan kepada mereka bahwasannya tiada Tuhan selain Aku dan bertaqwalah”
3.      Iman
فأنه من تقوي القلوب
Sesungguhnya hal itu adalah merupakan bagian dari hati yang iman”
9.      Mengingkari taqlid
Dalam menafsirkan al-Quran al-Maraghi tidak terpaku pada satu madzhab, tapi beliau berijtihad sendiri dan mengacu pada kebebasan berfikir. Jelasnya ketika al-Maraghi menafsirkan surah al-Baqarah ayat 170
وإذا قيل لهم اتبعوا ما أنزل الله قالوا بل نتبع ألفينا عليه ابائنا...الاية
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka ikutilah terhadap apa yang telah dirutunkan oleh Allah mereka berkata”kami mengikuti apa yang telah digariskan oleh nenek moyang kita”.
وفى هذه الاية ارشاد الى منع التقليد لمن قدر على الاجتهاد فاذا اتبع المرئ غيره فى الدين ممن علم انه على حق كالانبياء والمجتهدين _فهذا ليس بتقليد_بل اتباع لما انزل الله
“Ayat ini menerangkan terhadap larangan bagi orang yang mampu berijtihad untuk taqlid dan apabila seseorang yang merasa mampu berijtihad tetapi dia masih mengikuti pendapat orang lain ini bukan dinamakan taqlid, tetapi merupakan perintah Allah yang menyuruh seseorang untuk bertanya kepada yang lebih alim”.
10.   Islah ijtima’i
Al-Maraghi mempunyai perhatian khusus masalah kemaslahatan umat dan persatuan umat islam dalam penafsiran al-Quran karena memandang bahwa al-Quran adalah kitab suci yang menjadi pedoman yang utama dalam membentuk dan membangun karakter masyarakat madani. Selain perhatiannya dalam membangun masyarakat islam yang madani al-Maraghi juga mempunyai perhatian khusus dalam persatuan umat islam sebagaimana yang dilakukan oleh Jamaluddin al-Afgani dengan “panji islam”nya. Hal ini dapat kita lihat misalnya ketika al-Maraghi menafsirkan Surah al-Anfal ayat 25:
والتقوا فتنة لا تصيبن الذين ظلموا خاصة واعلموا أن الله شدسد العقاب
Artinya ;
“Al-Maraghi mengatakan dalam tafsirnya:fitnah yang paling besar yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah fitnah matrealiasitik dan fitnah fanatic golongan yang mewabah di dalam umat islam, Allah SWT menuntut orang islam untuk menghindari hal semacam ini,khususnya terhadap sesusatu yang menyebabkan perpecahan di dalam tubuh umat islam,karna perpecahan itu menyebabkan melemahnya kekuatan umat sehingga memudahkan musuh untuk menghancurkan umat islam baik dari dalam maupun dari luar.”[29]

D.    Term yang digunakan al-Quran tentang tema keNabian
1.      Nabi
Kenabian terambil dari kata Nabi. Kata ini berasal dari kata naba’ dari segi bahasa berarti berita penting, berita penting yang dimaksud adalah informasi yang diterima seseorang dari Allah. Semua Nabi memperoleh informasi dari Allah, dengan cara apa pun, informasi tersebut mengandung tuntunan agama atau semacamnya.[30]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia Nabi diartikan sebagai utusan Allah, orang-orang yang terpilih karna keimannya dan akhlaknya yang baik sehingga diangkat Allah menjadi utusan-Nya untuk menyebarkan agama-Nya di muka bumi, para Nabi adalah utusan Allah.[31]
Kata-kata nabi beserta derivasinya diulang dalam al-Qur’an sebanyak 82 kata atau ayat, diantaranya[32]:
Kata nabi                     sebanyak 42 kata
Kata nabiyyan                         sebanyak 9 kata
Kata nabiyuhum          sebanyak 2 kata
Kata nabiyyun             sebanyak 3 kata
Kata nabiyyin              sebanyak 13 kata
Kata anbiya                 sebanyak 5 kata
Kata nubuwah             sebanyak 5 kata

Didalam mufradat al-Quran kata Nabi diartikan
السافر بين الله وبين ذوى العقول من عباده لازاحة علتهم فى أمر معادهم ومعاشهم
Orang yang dipilih Allah sebagai utusan dari hamba-Nya untuk mememuhi kebutuhan semua hamba-Nya baik untuk di dunia maupun di akhirat.[33]
Dahulu orang mengkaitkan kenabian dengan sihir, tenun, dan perdukunan. Yang bercampur didalam dirinya informasi antara kesadaran dengan ketidaksadaran, bahkan juga penerimanya dinilai mengelami apa yang dinamakan jadzab yakni berada dalam kondisi daya tarik suatu kekuatan suci, yang menjadikannya mengucapkan kalimat-kalimat yang dianggap sebagai informasi yang benar. Oleh sementara orang jadzab ini dinilai sebagai “kegilaan suci”.
Kenabian masa lalu dikaitkan dengan informasi gaib, bahkan menjadi salah satu ciri buktinya yang paling kuat bacalah perjanjian baru. Anda akan mememukan bahwa Nabi isa as. menyatakan pada umatnya: ”Jika aku tidak melakukan pekerjaan bapakku maka janganlah percaya padaku” (yahya 10:37) al-Quran pun mengurai tentang Nabi Isa yang menyatakan kepada umatnya:
وأنبأكم بما تاكلون وما تدخرون فى بيوتكم إن فى ذالك لأية لكم إن كنتم مؤمنين
Dan aku akan beritakan kepadamu apa yang kamu dan apa yang kamu siapkan di rumah kamu, sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda bagimu, jika kamu sungguh-sunguh beriman”.
Demikian kenabian pada masa lalu. Tetapi kenabian yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW berbeda dengan itu, akibat perkembangan pemikiran dan kesadaran umat manusia. Kenabian beliau tidak dikaitkan dengan pemberitaan ghaib, kecuali yang disampaikan oleh Allah. Beliau sendiri selalu menyatakan atas perintah wahyu yang beliau terima bahwa beliau tidak mengetahui gaib:
قل لا املك لنفسي نفعا ولا ضرا إلا ما شاء الله ولو كنت أعلم الغيب لاستكثرتم من الخير وما مسني السوء إن أنا إلا نذير لقوم يؤمنون
Katakanlah:”Aku tidak kuasa meraih manfaat bagi diriku dan tidak pula menolak mudharat-mudharat kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebijakan sebanyak-banyaknya yang aku tidak akan timpakan kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.
Sedangkan menurut al-Maraghi kenabian ialah seseorang yang diberikan kemampuan oleh Allah untuk memberikan petunjuk kepada manusia dan diberikan kemampuan untuk memahami petunjuk-petunjuk Allah berupa kitab atau hukma. Sebagaimana al-Maraghi menjelaskan Surah al-An’am ayat 89:
اولئك الذين أتيناهم الكتاب والحكم والنبوة فإن يكفر بها هؤلاء فقد وكلنا بها قوما ليسوا بها بكفرين
Kitab disini adalah kumpulan petunjuk-petunjuk Allah kepada manusia dalam menjalani kehidupan, dan hukma adalah seorang hakim dan orang yang menengahi dalam sebuah permasalahan dan sifat hukma tidak diberikan kecuali kepada para nabi.[34] Jadi, menurut al-Maraghi kenabian tidak bisa diusahakan karena itu adalah sebuah pemberian atau fadhilah dari Tuhan.

2.      Rasul
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata Rasul diartikan sebagai orang pilihan yang menerima wahyu dari tuhan untuk disampaikan kepada manusia. Dan al-Quran menyebutkan kata rasul tidak kurang dari 513 kata beserta derivasinya diantaranya dengan kata arsala, rasul, mursalin, risalah, dan lain-lain. Jumlah mereka secara pasti tidak diketahui, karena hanya Allah yang tahu jumlahnya, al-Quran hanya mengatakan dalam surah al-Mu’min ayat 78:
ولقد أرسلنا رسلامن قبلك منهم من قصصنا عليك ومنهم من لم نقصص عليك.....الأيه
“Kami telah mengutus nabi-nabi atau rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang telah Kami sampaikan kisahnya, dan ada pula yang tidak Kami sampaikan kisahnya kepadamu”.
Menurut al-Maraghi rasul adalah seorang utusan yang menyeru kepada kaumnya untuk  bertauhid, iman pada Tuhan, dan hari akhir. Dan seorang rasul adalah pilihan dari Tuhan kepada seseorang yang dianggap mampu menyeru atau mengajak kaumnya untuk bertauhid. Dan yang mengetahui secara pasti jumlahnya hanya Allah tidak ada seorangpun yang tahu secara pasti jumlahnya.

E.     Pandangan tafsir maraghi tentang kenabian
Sebenarnya manusia menginginkan untuk mengetahui akan Tuhan dan memperoleh informasi yang pasti dari-Nya, tapi sayangnya tidak semua manusia mampu untuk melakukannya. Atas belaskasihan dari Allah ada manusia tertentu yang dipilih untuk menyampaikan pesan-pesan dari-Nya, baik untuk masyarakat tertentu atau seluruh manusia disepanjang zaman. Mereka itulah yang disebut Nabi dan Rasul.
Menurut Ahmad Musthofa al-Maraghi kenabian adalah suatu pemberian dari Allah berupa kitab, mu’jizat, atau hukma. Karena kecerdasan seseorang tersebut, pemahaman agamanya, bisa atau mampu mengajak manusia kejalan Tuhan, dan menjadi qudwah. Jadi, kenabian sendiri tidak bisa diusahakan, tapi karena pemberian langsung dari Allah, dan Allah maha mengetahui atas hamba-Nya yang dikehendaki. Dan sebagaimana penafsir-penafsir lain yakni al-Maraghi sendiri tidak mengakui adanya rasul setelah Nabi Muhammad SAW semua ulama bersepakat demikian.[35]


 III.            Penutup
Dari pembahasan kami tentang kenabian dalam pandangan tafsir al-Maraghi, kami dapat menyimpulkan diantaranya bahwa:
1.      Nabi adalah seseorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah untuk membawa berita atau peringatan dari Allah, dan nabi adalah sebuah pemberian dari Allah bukan usaha seseorang. Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW tidak ada nabi lagi setelah beliau, maka dari itu jika ada seorang setelah Nabi Muhammad SAW mengaku senbagai nabi itu adalah nabi palsu.
2.      Rasul adalah seseorang yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan syariat agama Allah, berupa berita gembira, peringatan, ataupun wahyu, ada yang diutus hanya kepada kaumnya dan ada yang diutus untuk seluruh manusia sepanjang zaman seperti Nabi Muhammad SAW. Rasul seperti halnya nabi tidak bisa diusahakan, karena sebuah pilihan atau pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Jumlah rasul dan nabi tidak ada yang mengetahui secara pasti, hanya Allah yang tahu.
3.      Nabi adalah kehendak Tuhan bukan kehendak manusia, tidak ada manusia yang mampu mengangkat seseorang sebagai nabi sebagaimana halnya pemimpin masyarakat yang bisa dipilih warga.
4.      Setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia 15 abad yang lalu, maka beerakhirlah masa kenabian dan kerasulan. Allah tidak lagi mengutus nabi atau rasul, karena Nabi Muhammad SAW sebagai penutup atau pamungkas para nabi dan rasul seperti dalam firman-Nya Surah al-Ahzab ayat 40.




DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman, Manhaj al-madrasah al-aqliyah al-haditsah fi at-tafsir, Riyadh: Idarah al-buhuts  al-ilmiyah wa al-ifta wa ad-da’wah wa al-irsyad, th. 1983 M.
Al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah, Al-burhan fi ulum al-Quran, Kairo: Dar al-Hadits, th. 2006 M.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, Bairut: Dar al-kutub al-islamiyah, th. 2006 M.
Asma’ bin Umar Hasan Fasdak, Manhaj Sayyid Qutub fi Dzilal al-Quran, Desertasi. Su’udiyyah: Jami’ah Ummul Qura, th. 1416 H.
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Quran al-Hakim as-Syahir bi Tafsir al-Manar, Bairut: Dar al-Fikr, th. 2007 M.
Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab, Kairo: Dar al-Hadits,th. 2003 M.
Shihab, M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam sorotan al-Quran dan hadits-hadits shahih, Jakarta: Lentera Hati, th. 2011 M.
Az-Zain, Samih A’tif, Mu’jam tafsir mufradat al-fadz al-Quran al-karim, Bairut: Dar al-Kutub al-Banani, th. 2007 M.
Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus lengkap bahasa Indonesia, Jakarta: Difa Publisher, th. 2008 M.



[1]  Akhmad Sahal, Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiah, ( http://www.tempo.com),diakses pada tanggal 22/12/2013 jam 0.44
[2] Sebuah desa yang terletak di pinggiran Sungai Nil, kira-kira 70 KM arah Selatan Kota Kairo, Mesir
[3] Ada yang berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun 1300H/1883 M.lihat Saiful Amin Ghafur,Profil Para Mufasir Al-Quran,(Jogjakarta:Insan Madani) h, 151
[4] Saiful Amin,h.152
[5] Muhammad Husain adz-Zahabi,at-Tafsir wa al-Mufasirun,(Qahirah:Maktabah Wahbah)v.2,h.366
[6] Adz-Zahabi,h.434
[7] Adz-zhabi,h.436
[8] Saiful Amin,h.154
[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi,Tafsir al-Maraghi,(Bairut:Dar al-Kutub al-Islamiah),H.12-13
[10]Saiful Amin,154
[11] Adz-Zahabi,H.437
[12] Muhammad Rasyid Ridha,Tafsir al-Quran al-Hakim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar,(Bairut: Dar al-Fikir),h.11
[13] Ahmad Mustafa al-Maraghi,h.12
[14] Ahmad Mustafa al-Maraghi,h.12
[15] Muhammad Abduh,h.11
[16] Ahmad Mustafa al-Maraghi,h.19
[17] Ibnu mandzur,lisan al-arab,(pustaka:Qahirah:dar al-hadits),v.9,h.236
[18] Asma binti umar hasan fasdak,manhaj sayyi qutb fi dzilal al-Quran, desertasi,Saudi:jami’ah ummur qura,v.1,h.209
[19] Lisanul A’rab,v.9,h.328
[20] Asma binti Umar Hasan Fasdak,v.1,h.210
[21]Asma binti Umar Hasan Fasdak,h.211
[22] Badruddin Muhammad bin Abdullah al-zarkasyi,al-burhan fi ulum al-Quran,Qahirah dar  al-hadits,hal36-40
[23] Fahd bin Abdurrahman bin sulaiman ar-rumi,manhaj al-madrasah al-aqliyah al-haditsah fi at-tafsir,riyadh:idarah al-buhuts  al-ilmiyah wa al-ifta wa ad-da’wah wa al-ir,h.409
[24] Ahmad Mustafa al-Maraghi,juz 1,h.493
[25] Muhammad Abduh,Tafsir al-Manar,juz 3,h.204
[26] Muhammad Abduh,H.14
[27] Ahmad Mustafa al-Maraghi,Juz.1,H.19
[28] Ahmad Mustafa al-Maraghi,Juz 1,H.450
[29] Pengajian Syaikh Mustafa al-Maraghi pada tahun 1357,(lihat Fahd Bin Abdurrahman Bin Sulaiman Ar-Rumi,H.386)
[30] M.quraish shihab, membaca sirah Nabi Muhammad saw dalam sorotan al-Quran dan hadits-hadits shahih, Jakarta:Lentera Hati, h309-3011
[31] Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, kamus lengkap bahasa Indonesia,(Jakarta:Difa Publisher), h583
[32] M. Fuad Abdul Baqi mu’jam mufhiras Kairo: Darul Hadits, hal: 781-783
[33] Samih A’tif az-Zain mu’jam tafsir mufradat al-fadz al-Qruan al-karim,(Bairut;dar al-kutub al banani),h,996
[34] Al-Maraghi, hal: 152
[35] Al-Maraghi, hal 165-166