TAFSIR AL-BAYANI LI AL-QUR’AN AL-KARIM
Pembimbing:
DR. KH Ahmad Dimyari B
Oleh:
Makmun Rasyid
Ahmad Toha
Syamsu Duha
SEKOLAH TINGGI KULLIYATUL QUR’AN AL-HIKAM
Jln. H. Amat, No. 21, Rt/Rw. 006/01, Kel. Kukusan, Kec. Beji, Depok, Jawa Barat
Fax. (021) 9835052
Kata Pengantar
Syukur Alhamdulillah
pemakalah memanjatkan puja-puji kepada Allah Swt yang telah memberi rahmat
serta jalan yang lurus kepada pemakalah berupa nikmat kesehatan yang
mengatarkan pemakalah mampu menyelesaikan tugas makalah ini dan karunia
dari-Nya yang tidak terhingga, baik berupa karunia akal pikiran yang menjadikan
manusia bisa berkreasi dan berinovasi serta mampu mengamalkan norma-norma
ajaran yang dibawa oleh kanjeng Nabi Muhammad Saw, terlebih dengan selesainya
tulisan kami yang berjudul “Tafsir al-Bayani al-Qur’an al-Karim”. Shalawat dan
salam, keberkahan semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad Saw
kepada keluarganya para sahabatnya hingga sampai kepada kita sebagai umatnya.
Selanjutnya, makalah yang
berjudul “Tafsir al-Bayani al-Qur’an al-Karim” ini merupakan aktualisasi dari
penulis dalam memenuhi tugas pada mata kuliah. Pemakalah menyadari akan kekhilafan dan kekurangan dalam pembahasan atau dalam penuturan
bahasanya. Oleh karenanya, penulis berharap sumbangan
kritik yang konstruktif-normatif dari para pembaca demi perbaikan di masa yang akan datang.
Demikianlah sekapur sirih
dari kami, atas partisipasinya dan keikutsertaan dalam kritik, saran dan
masukan, guna memperkaya ide mengenai judi dalam pandangan Islam khususnya
Al-Qur’an, semoga Allah Swt senantiasa memberikan imbalan yang setimpal. Sekian
dan terima kasih.
BAB I
1.
Defenisi
Kataالبلاغي berasal dari kata البلاغة
yang mendapat tambahan ya’ nisbat. Menurut bahasa makna kata “Balaghah” adalah
sampai dan selesai. Seperti contoh: بلغ فلان مراده
artinya “Fulan sampai pada keinginannya”.
Sedangkang menurut istilah adalah
تأدية المعنى الجليل واضحا
بعبارة صحيحة فصيحة, لها في النفس أثر خلاب مع ملاءمة كل كلام للموطن الذي يقال
فيه,والأشخاص الذين يخاطبون
“Mengungkapkan makna yang indah yang jelas dengan
ungkapan yang benar dan fashih,
yang mempunyai dampak pada diri seseorang, disertai dengan kesesuaiannya pada
kondisi dan orang yang diajak bicara.”[1]
Setelah mengetahui makna Balaghah dari
segi bahasa dan istilahnya, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir balaghi adalah
menafsirkan Al-Qur’an yang menekankan pada pembahasan yang mengandung ungkapan
sebuah keindahan bahasa, atau sastra.
2.
Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Balaghah
Hampir kebanyakan kitab-kitab Balaghah yang
berada di tangan-tangan pelajar pada era modern ini sepakat bahwa pembagian
ilmu balaghah ada tiga: ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu
badi’.
Sebelum turunnya Al-Qur’an sampai masa islam
yang pertama, balaghah ditinjau dari dzauq/ rasanya. Disertai dengan
ungkapan yang indah. Orang-orang Arab pada masa jahiliyyah memiliki posisi yang
tinggi dari ilmu balaghah dan Bayan. Diriwayatkan bahwa Walid bin Mughirah
adalah salah satu orang yang sangat memusuhi Rasulullah saw.ketika mendengarkan
ayat alqur’an ia berkata: “demi Allah sungguh aku telah mendengar dari Muhammad
sebuah perkataan yang seperti bukan perkataan manusia dan jin, sesungguhnya
perkataan itu memiliki rasa manis (enak didengar)”.
Ketika penyebaran Islam sudah semakin meluas,
orang arab sudah berbaur dengan orang selain mereka, dan melemahnya berpegangan
pada dzauq/ rasa, maka tentunya harus dibuatkan sebuah kaidah-kaidah. Maka Abu
‘Ubaidah salah seorang yang meletakkan kaidah dengan nama “Majaz al-Qur’an”.
Kemudian datang orang yang namanya “Jahidh”,
Allah menganugrahinya kecerdasan sehingga ia memiliki keluasan ilmu tentang
kebudayaan. Disusul kemudian Ibnu Qutaibah[2],
Ibnu al Mu’taz[3]
yang mengarang kitab “Al-badi’”. Kemudian Ibnu Qudamah[4],
disusul oleh Ar Rummani[5]
kitab karanganya “ An Naktu Fi I’jazil Qur’an”.
Kemudian
Abdul Qahir Al Jurjani pengarang kitab “Dalailul I’jaz” dan “Asrarul
Balaghah” sampai pada masa Az Zamakhsyari, seorang mufassir yang terkenal
dengan kitab karangannya “al-Kasysyaf”[6]
Demikian sedikit sejarah singkat perkembangan
ilmu balaghah yang sampai sekarang masih terus dikaji di berbagai universitas,
baik di Indonesia sendiri atau di luar negeri. Sampai juga pada masa Bintu
Syathi’, seorang mufassir dari kalangan perempuan yang sangat giat dalam
mencari ilmu sehingga beliau menghasilkan banyak karya, salah satunya Tafsir al Bayan lil qur’anil Karim,
karya monumental beliau yang bercorak balaghi/sastrawi.
BAB II
1.
Biografi
Nama asli dari Bintu Syathi’ adalah ‘Aisyah
Abdurrahman. Dia dilahirkan di Dumyat sebelah barat Sungai Nil pada tanggal 6
Nopember 1913. Nama itu disandangkan
kepadanya karena memang ia dilahirkan di tepian sungai Nil. Jadi, nama itu
berarti anak perempuan tepian (sungai). Ia tumbuh kembang di tengah keluarga
muslim yang shaleh dan taat mengamalkan ajaran agama. Pendidikan dasar dan
menengahnya ditempuh di kota kelahirannya. Adapun pendidikan tingginya
dirampungkan di Universitas Fuad I, Kairo.
Nama Bintu Syathi’ mulai menjadi buah bibir
khalayak ramai lantaran studinya tentang sastra Arab dan tafsir Al-Qur’an. Pada
tahun 1960-an ia kerap memberi ceramah keagamaan kepada para sarjana di Roma,
Aljazair, Baghdad, New Delhi, Kuwait, Rabat, Khartoum, Fez, dan Yerussalem.
Pada tahun 1970-an ia dinobatkan sebagai profesor sastra dan bahasa Arab di
Universitas ‘Ain Syam, Mesir. Kadang-kadang ia juga diundang sebagai profesor
tamu di sejumlah universitas terkemuka, seperti Universitas Umm Durman, Suda,
dan Universitas Qarawiyyin, Maroko.[7]
Memang sejak kecil beliau sudah di didik dengan
keras, beliau sudah hafal Al-Qur’an pada usia belia. Di Universitas Kairo,
Bintu Syathi’ bertemu dengan Amin al-Khulli yang sebagai dosen dan akhirnya
menjadi suami beliau. Suaminya merupakan pakar ilmu Tafsir. Selain membimbing
dalam keluarga, Amin Khulli, sag suami juga banyak memberikan pengaruh terhadap
pemikiran Bintu Syathi. Hal ini terlihat dari corak beberapa tulisan dan
pemaparan Bintu Syathi.[8]
2.
Metode Penafsiran Aisyah Bint al-Shati.
Pada kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran, Bint
Syathi menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya tersebut mengikuti
standarisasi metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen sekaligus Suami
tercintanya, Amin al-Kulli. Perlu diketahui,
gagasan Amin al-Kulli adalah menciptakan paradigma baru mengenai al- Qur’an,
yaitu menjadikan metode sastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya.
Metode sastra yang dimaksud adalah pengkajian
al-Qur’an dengan dua tahap:
1. Dirasah
Min a Haula al-Nass (Kajian seputar al-Quran) Kajian tersebut meliputi
kajian khusus dan kajian umum. Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran.
Sedangkan kajian umum adalah kajian konteks/situasi, material dan immaterial
lingkungan Arab.
2. Dirasah
ma fi al-Nass (kajian tentang al-Quran itu sendiri) Kajian ini bermaksud
untuk mencari
makna etimologis, terminologis. Semantic yang stabil dalam sirkulasi kosakata
dan makna semantic dalam satu ayat yang ditafsirkan. Berangkat dari metode yang
ditawarkan oleh Amin al-Kulli tersebut, Bint Syathi kemudian menetapkan metode
penafsirannya sebagai berikut.
Bintu Syathi sangat terpengaruh gaya sang guru yang juga
pendamping hidupnya, Amin al-Khulli. Karakteristik khusus yang membedakan cara
pandang Bint al-Shati’ dengan mufasir lainnya adalah bahwa dia lebih
menonjolkan segi sastra. Pendekatan yang beliau pakai yaitu dengan menggunakan metode semantik, metode
yang berbasis pada analisa teks. Metode penafsiran yang digunakan Bint al-Shati’ dalam menafsirkan
ayat al-Qur’an yaitu metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah, yaitu
metode yang mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada di dekatnya
dan bahkan ayat yang berjauhan. Langkah pertamanya yaitu dengan mengumpulkan kata dan
penggunaannya dalam beberapa ayat al-Qur’an untuk mengetahui penjelasan apa
saja yang terkait dengan sebuah kata yang ditafsirkan atau diberi penjelasan. Secara garis
besar metodologi kajian ini disimpulkan dalam empat pokok pikiran.
Pertama:
mengumpulkan unsur- unsur tematik secara
keseluruhan yang ada di beberapa surat. Untuk dipelajari secara tematik. Dalam
tafsir ini beliau tidak memakai metode kajian tematik murni seperti itu. Namun
dengan pengembangan induktif (istiqra’i). Mula- mula beliau gambarkan
ruh sastra tematik secara umum. Kemudian merincinya per-ayat. Akan tetapi
perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlily
(analitik) yang cenderung menggunakan maqtha’ (pemberhentian tematik
dalam satu surat). Di sini beliau membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu
kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa.
Kadang menyebut jumlah kata, adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam
penggnaannya, terakhir beliau simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.
Kedua: memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada.
Seperti mengkaji ayat sesuai turunnya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan
lingkungan diturunkannya ayatayat al-Qur’an pada waktu itu. Dikorelasikan
dengan studi asbab al-Nuzul. Meskipun beliau
tetap menegaskan kaidah al-Ibrah Bi ’Umum al-Lafadz La Bi al-Khusus al-Sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman
lafadz bukan dengan kekhususan sebab- sebab turun ayat).
Ketiga: memahami dalalah al-Lafadz. Maksudnya,
indikasi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz al-Qur’an, apakah dipahami
sebagaimana dhahirnyaataukah mengandung arti majaz dengan berbagai macam
klasifikasinya. Kemudian ditadabburi dengan hubungan-hubungan kalimat
khusus dalam satu surat. Setelah itu mengkorelasikannya dengan hubungan kalimat
secara umum dalam al-Qur’an.
Keempat:
memahami rahasia ta’bir dalam al-Qur’an.
Hal ini sebagai klimaks kajian sastra, dengan mengungkap keindahan, pemilihan
kata, beberapa pentakwilan yang ada di beberapa buku tafsir yang mu’tamad tanpa
mengkesampingkan kajian gramatikal arab (i’rab) dan kajian balaghahnya.[9]
Sastra tematik yang dimaksud di sini adalah corak tafsir
kontekstual yang menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhu’i ‘am).
Pengkajiannya dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat.
Beliau tidak mengambil seluruh surat dalam al-Qur’an. Namun, beberapa surat
pendek saja di juz amma pada buku pertama: Adh- Dluha, Asy-Syarh, Az-
Zalzalah, Al-Adiyat, An-Nazi’at, Al-Balad, dan At-Takatsur. Dan tujuh surat
pendek lainnya pada buku kedua: Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr, Al-Lail, Al-
Fajr, Al-humazah, dan Al-Ma’un.
3.
Prinsip-Prinsip Metodologis Bintu Syathi’
Pencapaian prestasi Bintu Syathi’ tidak bisa
dilepaskan dari sosok Amin Al-Khulli, guru sekaligus suaminya. Bahkan ia
mengakui bahwa metode yang digunakannya terilhami dari Al-Khulli. Berikut ini
prinsip-prinsip metodologis Bintu Syathi’ dalam menafsirkan Al-Qur’an:
Pertama,
prinsip “sebagian ayat Al-Qur’an menafsiri sebagian ayat lain”. Bertumpu pada
prinsip ini, ia telaten melacak makna suatu ayat dalam ayat-ayat lain.
Kedua, prinsip Munasabah.
Artinya, mengaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat-ayat di dekatnya,
bahkan sangat mungkin dengan kata atau ayat yang jauh dari kata atau ayat yang
sedang ditafsirkan.
Ketiga, prinsip al-‘ibratu
bi ‘umum al-lafdhi la bi khusus as-sabab. Artinya, pertimbangan dalam
menentukan suatu masalah itu berdasarkan pada redaksi dalil (Al-Qur’an dan
Hadis) yang berlaku umum bukan berdasar atas sebab khusus lahirnya dalil
tersebut.
Keempat, prinsip
bahwa setiap kata dalam bahasa arab Al-Qur’an tidak mengandung sinonimitas
(mutaradif). Satu kata hanya mempunyai satu makna. Seandainya ada orang yang
mencoba menggantikan suatu kata dari Al-Qur’an dengan kata lain, maka Al-Qur’an
bisa kehilangan efektivitas, ketepatan, esensi, dan keindahannya. Tidak ada
satu kata pun dalam Al-Qur’an yang bisa di tukar dengan kata lain.[10]
4.
Corak Penafsiran
Tafsir al-Qur’an merupakan ilmu yang sangat penting dalam
litelatur Islam. Karena dari sinilah sebuah teks yang tidak bernyawa akan
berbicara dan memposisikan dirinya sebagai kitab petunjuk. Pesan yang
disampaikan dalam al-Qur’an akan menjadi sebuah hal yang
sangat relatif ketika diintepretasikan oleh beberapa corak pemikiran yang berbeda. Seiiring dengan berkembangnya zaman dan
semakin luasnya ilmu yang dikuasai umat Islam,
maka hal ini menyebabkan pergeseran metodologi dalam intepretasi al-Qur’an.
Para ulama zaman dahulu mengklasifikasikan metode tafsir secara global menjadi 2 macam, yaitu;
1. Tafsir bil
ma’tsur (analisa teks Al Qur’an dengan berpedoman pada teks lain, AlQur’an
dan Hadits. Corak metode tafsir seperti ini banyak kita dapatkan dalam
tafsir Thabary.
2. Tafsir bi
ra’yi (analisa teks dengan berpedoman pada akal). Corak metode ini banyak
kita dapati dalam tafsir Al Kasyyâf, Mafâtihul Ghaib, Al Mannâr.
Penggolongan
metode tafsir menjadi 2 tersebut saat ini dipandang kurang relevan dan terkesan
kaku. Maka dari itu para pakar tafsir kontemporer mencoba mencari alternatif
lain yang lebih simpel dan sistematis. Dr. Abdul Jabar Ar Rifa’i, menyebutkan
ada 4 teori dalam studi tafsir kontemporer:
Tafsir
‘Ilmi (analisa ilmiah terhadap ayat-ayat yang terkandung
dalam Al Qur’an dengan
menghubungkan dengan fenomena alam yang terjadi). Contoh; Tafsir Jawâhirul Qur’an milik
Imam Ghazali, al Burhân Fi Ulûmil Qur’an milik Zarkasyi.
Tafsir
Madhu’i (analisa sebuah teks dengan menghimpun satu
kesatuan tema di dalamnya). Contoh; Ad Dustûr Al Qur’ani Fi Syu’ûnil Hayât milik
Muhammad ‘Izzat Darwizah, Tafsir Ayat Riba milik Sayyid Qutb, Al Qur’an Wal
Mujtama’ milik Mahmud Syaltut.
Tafsir
Ijtimâi (analisa teks dengan pendekatan sosiologi dan
fakta sosial yang terjadi). Contoh; Tahrîr Wa Tanwîr milik Thahir Ibnu
‘Asyur, Tafhîmul Qur’an milik Abu A’la al Maududi.
Tafsir
Adabi (analisa teks dengan mengungkap sisi sastra
yang terkandung didalamnya. Metode ini lebih cenderung kepada metode kritis
dalam memahami Al Qur’an) Contohnya; Tafsir Bayani Lil Qur’anil Karim milik
Aisyah Abdurrahman atau Bint al-Shati’. Tafsir Adabi (tafsir sastra) yang
barang kali akhir-akhir ini banyak digandrungi oleh banyak orang. Basis metode
ini mulai diperkenalkan Amin Khuli, seorang intelektual Mesir dan dosen adab di
Universitas Cairo. Sosok inilah yang dikenal kuat mempengaruhi corak penafsiran
generasi selanjutnya, seperti Ahmad Khalfallah, Nasr Hamid Abu Zayd, Aisyah
Abdurrahman atau Bint Shati’. Dari ketiga penerus beliau ini, Bint Shati’-lah
yang pemikirannya secara luar dikonsumsi publik. Selain berbasis metode analisa
teks, Bint Shati’ dikenal sangat memperhatikan sisi normatif dan tidak terlepas
dari sisi ilmiah.
5. Keistimewaan Dan
Kelemahan Tafsir al-Bayani
Dalam kaitannya mempelajari, memahami dan mengkaji al-Qur’an,
kita mengenal adaempat metode tafsir,[11]
meliputi metode tahlili, ijmal, maudhu’i,dan muqaran. Namun
dari keempat metode diatas yang paling populer digunakan dalam menafsirkan adalah
metode tahlili[12]dan
maudhu'i.[13]
Namun saat ini telah banyak metode yangditawarkan oleh berbagai mufasir,
kesemuanya itu merupakan perangkat pendukung untuk memahami makna-makna yang
terkandung dalam teks-teks al-Qur’an. Selain itu, karena alasan bahwa bahasa
adalah bentuk pemikiran, sedangkan makna adalah kandungannya, adapun realitas
eksternal merupakan rujukan maknanya. Ketika kita berbicara kelemahan yang
terdapat dalam Tafsir al-Bayan khususnyapada langkah ketiga, jika pemahaman
lafaz al-Qur’an harus dikaji lewat pemahamanBahasa Arab yang merupakan bahasa
“induknya”, padahal kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa
Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti membuka peluang
dan menggiring masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam pemahaman al-Qur’an;
sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri. Bint al-Shati’
kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema
tertentu, melainkan lebih pada analisis semantik. Kenyataannya, ketika Bint
al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan lafazh-lafazh yang
serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa
(semantik). Hal ini tampak pada penafsirannya pada surat al-Zalzalah, ia
mengumpulkan semua derivasi dari kata al-zilzal, tapi bukan untuk dicari
maknanya secara lebih utuh dan komprehensif, melainkan lebih pada analisis
semantiknya, untuk mendukung gagasan yang dilontarkan. Di sinilah Bint
al-Shati’ banyak menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang
dikemukakannya. Dengan demikian, meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat
bagus dan kompleks, ia tidak dianggap sebagai pencetus metode tematik.
6.
Contoh Penafsiran Aisyah Bint al-Shati
Mengenai sumpah-sumpah yang terdapat di dalam al-Qur'an yang
diawali dengan waw al-Qasam - Bint al-Syati' menolak pendapat bahwa
semua itu - seperti kebanyakan kitab tafsir - menandakan pemuliaan obyek
sumpah. Bint al-Syati’ meyakini bahwa sumpah Qur’ani adalah hanya salah satu
alat retoris yang digunakan untuk menarik perhatian terhadap suatu hal lewat
fenomena nyata untuk memperkenalkan hal-hal lain yang tak terjangkau oleh akal.
Oleh karena itu pilihan objek sumpah dalam al-Qur’an sesuai dengan situasi dan
kondisi. Bint al-Syati’ memberikan gambaran dari berbagai surah-surah yang
dipilihnya sebagai objek seperti ketika Allah bersumpah demi waktu pada
surah al-‘Asr, duha, demi siang, demi waktu malam, dan
lain sebagainya. Ia menjelaskan bahwa waktu pagi dan siang adalah
merepresentasikan makna petunjuk (hidayah) dan kebenaran (al-Haq). Sedangkan
malam merepresentasikan makna kesalahan dan dusta.
Seseorang
dapat terpukau terpesona ketika mendengar alunan ayat-ayat al-Qur’an. Seperti yang digambarkan
oleh cendikiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam TheMeaning of Gloriuos
Qur’an: “al-Qur’an mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap
nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita” Inilah
yang dinamakan fawasil yang mengandung sajak dalam al-Qur’an. Mayoritas ulama
sependapat bahwa dalam al-Qur’an mengandung sajak. Hanya saja mereka berbeda
pendapat apakah al-Qur'an terikat dengan formulasi dan bentuk sajak dengan
mengabaikan sisi makna atau sebaliknya, memegang makna dengan mengabaikan
sajak. Bint al-Shati’ memposisikan dirinya pada pendapat kedua. Bint al-Shati
tatkala menafsirkan surah al-Duha dengan mengabaikannya kata ganti (dhamir)
‘ka’ sebagai objek dari fi’il qala , menolak argumen prosodik (argumen yang
berkaitan dengan hal-hal
irama-sajak) sehubungan dengan terabaikannya dhamir ‘ka’. Argumen ini dipegangi
oleh al-Naysaburi. Berdasarkan hasil studi Bint al-Shati’ tentang sajak dalam
al-Qur’an, dia percaya bahwa tidak ada lafal di dalam al-Qur'an yang ditemui di
mana pun hanya karena alasan prosodik. Ia menyarikan pandangannya:
"Perihal alasan terabaikannya dhamir ‘ka’ sehubungan dengan adanya kesan
harmonisasi fasilah dengan sajak,
kita tidak menerima pandangan bahwa retorika Qur’ani didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan verbal. Yang semestinya adalah tunduk dan
menyelaraskan pada makna retoris.
Satu hal
penting dari penafsiran Bint al-Shati’ pada ayat 8 surah al-Takatsur berkenaan
dengan arti dari kata na'im, adalah bahwa dia mempunyai pemahaman yang
berbeda dari makna kata na'im. Tidak ada tafsir yang mengomentari pembedaan
antara kata-kata na'im, ni'mah (memberkati) atau ni'am (jamak). Berdasarkan
penelitiannya pada kata-kata
yang terbangun dari huruf ن-ع-م ia menyatakan bahwa al-Qur'an selalu
menghubungkan kata na’im dengan al-Akhirah atau na'im al-Akhirah,
dan tidak pernah menggunakannya dengan kata al-Dunnya. Kata ni'mah atau ni'am
(jamak), sebaliknya, digunakan untuk menandai adanya bimbingan. Dan pemberkatan
dalam ayat terakhir surah al-Takatsur ini berhubungan dengan na'im al-akhirah.
Dan yang
tak kalah penting dari pemikirannya yang Menarik untuk dicatat bahwa Bint al-Shati' dalam penyelidikannya atas kata aqsama
dan halafa, yang secara umum dianggap sebagai sinonim-sinonim oleh
kebanyakan penafsiran, menemukan bahwa kata halafa tidak menginfomasikan makna yang sama seperti
kata aqsama dalam pemakaian al-Qur'an. Semua derivasi kata halafa yang
dia uji, berlaku dalam al-Qur'an dengan makna sumpah yang akan rusak dan dibuat
dengan penuh kesadaran, lebih jauh dari itu kata halafa tidak pernah
disandarkan pada Allah.
Bint
al-Shati’ tidak sependapat dengan al-Razi yang menganggap kata al-Takatsur adalah sinonim dari al-Tafakhur. Dia
menunjukkan bahwa al-Takatsur dan al-Tafakhur yang ditempatkan dalam ayat yang
sama dan digabung huruf ‘athaf waw dalam surah al- Hadid ayat 20 yang
menurut metodenya, ternyata tidak mengindikasikan sinonimitas.
7.
Huruf
Muqatha’ah dalam Fawatihussuwar (surat-surat pembuka)
Menurutnya,
wacana huruf muqatha’ah dalam konteks al-ijaz
al-bayani akan lebih tepat ketika huruf-huruf tersebut diperlakukan
sebagai huruf. Huruf-huruf muqatha’ah disebutkan untuk menunjukkan
bahwa al-Quran disusun dari huruf hijaiyyah. Huruf hijaiyyah yang dirangkai
menjadi kata, kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah kitab suci bernama
al-Quran. Hanya sesederhana itu dan tidak perlu penafsiran yang macam-macam.
Huruf-huruf tersebut juga menunjukkan kepada masyarakat Arab bahwa al-Quran
diturunkan dengan bahasa ibu serta dengan huruf-huruf seperti yang mereka
kenali dalam bahasa sehari-hari dan menjadi bukti kelemahan mereka yang tetap
tidak bisa menjawab tantangan Allah untuk membuat sebuah karya tulis seperti
al-Quran. Huruf-huruf muqatha’ah itu diucapkan menyendiri dan terpotong,
oleh karenanya huruf-huruf tersebut tidak dapat memberikan makna atau petunjuk
apapun. Bahkan hampir tidak keluar tanpa suara. Kemudian, ketika huruf-huruf
tersebut mengambil posisi yang setara dengan satu kata dalam retorika bahasa
al-Quran, maka terkuaklah rahasia besarnya.[14]
Surah
al-Quran terdapat 114, dari semuanya terdapat 26 surah Makkiah dan 3 surah
Madaniyah yang dimulai dengan huruf muqatha’ah. Adapun surah-surah
Makkiah yang diawali dengan huruf muqatha’ah sesuai dengan urutan
waktu turun, adalah:
Al-Qalam
(nun), Qaf,Shad, al-A’raf (alif lam mim shad), Yasin, Maryam (Kaf
Ha Ya Ain Shad), Thaha, al-Syu’ara (Tha Sin Mim), al-Naml(Tha Sin),
al-Qashash (Tha Sin Mim), Yunus (Alif Lam Ra), Hud (Alif Lam
Ra), Yusuf (Alif Lam Ra), al-Hijr (Alif Lam Ra), Luqman (Alif
Lam Mim), Ghafir dan Fushilat (Ha Mim), al-Syura (Ha Mim Ain Sin
Qaf), al-Zukhruf (Ha Mim), al-Dukhan (Ha Mim), al-Jatsiyah (Ha
Mim), al-Ahqaf (Ha Mim), Ibrahim (Alif Lam Ra), al-Sajdah (Alif
Lam Mim), al-Rum (Alif Lam Mim) dan al-Ankabut (Alif Lam Mim).
Sedangkan
surah-surah Madaniyah adalah al-Baqarah, Ali Imran (Alif Lam Mim) dan
al-Ra’d (Alif Lam Mim Ra’).[15] Dari penelitiannya tersebut, Bint Syathi
menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Fawatih dimulai
surah al-Qalam yang menunjukkan rahasia huruf. Kemudian bertambah banyak dan
datang beruntun pada pertengahan periode Makkiah-dari surah Qaf yang menempati
urutan ke-34 hingga surah al-Qashash yang menempati urutan ke-49.
2. Setiap surah dalam al-Quran yang dimulai dengan
huruf muqatha’ah, mengandung pembuktian kebenaran al-Quran,
penegasan al-Quran adalah Firman Allah dan jawaban atas yang menentangnya.
Selain itu, terdapat penyerupaan dengan kaum terdahulu yang menentangnya, baik
dari sikapnya ataupun akhir dari nasib penentangya.
3. Kebanyakan surah yang diawali dengan muqatha’ah
diturunkan ketika serangan orang-orang musyrik
mencapai puncaknya.[16]
Kesimpulannya, Fawatih dengan muqatha’ah
adalah bagian ijaz al-Quran karena dengan ijaz al-Quran tersebut,
yang terdiri dari hanya beberapa huruf hijaiyyah sudah bisa membungkam para
kaum penentang yang meragukan al-Quran adalah Firman Allah. Sebuah huruf yang
mengandung beberapa makna dan salah satu makna yang diyakini para ulama
adalah Fawatih dengan muqatha’ah mengandung nama Allah
maha Agung. Pendapat
tersebut terlihat ketika Bint Syathi menafsirkan Surah al-Qalam. Al-Qalam
sendiri dimulai dengan huruf muqatha’ah, yaitu huruf nun. Setelah
memaparkan berbagai pendapat ulama tentang tafsir huruf nun tersebut,
Bint Syathi mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan hurufnun menunjukkan
keagungan dan rahasianya huruf tersebut, bentuk sumpah dan bukti atas kenabian
Muhammad saw serta sebagai bantahan terhadap musuh yang berusaha mendatangkan
surah yang sama, itu semua sesuai dengan corak penafsiran yang diikuti dan
dikembangkannya.[17]
8.
Qasam dalam
Al-Qur’an
Bint
Syathi dalam karyanya, al-Tafsir al-Bayani, memuat empat belas
surat yang ditafsirkannya. Dari keempat belas itu, delapan diantaranya
mengandung gaya sumpah yang jelas, yaitu al-Dhuha, al-Adiyat,
al-Nazi’at, al-Balad, al-Qalam, al-Asr, al-Lail dan al-Fajr. Sedangkan
satu surah yang menggunakan qasam samar adalah al-Takatsur.
Dengan demikian, kajian qasam prespektif Bint Syathi perlu di
apresiasi.
Bint
Syathi sendiri tidak mendefinisikan qasam secara eksplisit.
Dia sepertinya mengikuti definisi umum yang telah berkembang atau menyimpan
definisinya dalam apa yang dikandung dalam pemikirannya. Dia hanya
mengungkapkan bahwa tujuan utama dari qasam untuk lit
Ta’kid, li al-iqrar’, lil ‘I’dzam (penguat, penetapan, dan mengagungkan).[18] Namun
Bint Syathi membedakan antara qasam dengan halaf. Qasam menurutnya
adalah kata yang mengandung makna sumpah yang tidak akan dilanggar oleh
pengucapnya. Sedangkan al-half digunakan khusus pelanggaran atau ingkar terhadap sumpah.[19]
Qasam dalam al-Quran tentunya beraneka ragam
bentuknya, begitu pula dengan huruf qasam itu sendiri. Namun
penulis membatasi kepada huruf qasam berupa wawu (و).
Menurut
Bint Syathi, penggunaan qasam dengan huruf wawu mempunyai
dua kategori.Pertama, wawu digunakan untuk lafal Allah atau Rabb. Hanya
saja lafal wawu yang disertakan dengan lafal Allah atau Rabb, dua
tempat merupakan sumpah yang bukan diungkapkan oleh Allah secara
langsung, akan tetapi merupakan rekaman al-Qur’an terhadap sumpah kaum musyrik
pada hari kiamat, yakni pada QS al-An’am:
ثم لم تكن فتنتهم إلا
أن قالوا والله ربنا ما كنا مشركين
“Kemudian
tiadalah fitnah mereka, kecuai mengatakan: demi Allah, Tuhan Kami, tiadalah
kami mempersekutukan Allah”.
........قالوا بلى وربنا...........
……… mereka menjawab: “sungguh benar, demi
Tuhan kami”……
Dua ayat
tersebut di dalamnya terdapat huruf Qasam, yang pada dasarnya makna dari qasam
di atas sebagai Iqrar (penetapan/pengakuan). Sedangkan empat tempat lainnya
ditempatkan pada pertengahan pembicaraan, baik itu didahului oleh الفأ pada QS
al-Hijr: 92 dan al-Dzariyat:23, atau فلا pada QS al-Nisa: 65, atau اي pada QS Yunus:53. Pada
kondisi inilah qasam dapat berfungsi sebagai penguat,
penetapan atau pengagungan, yang merupakan fungsi asli dari wawu qasam.[20]
Kedua,
wawu qasam yang
berada pada awal kalimat dan awal surah, seluruh subyeknya Allah, seperti al-Dhuha,
al-Lail, al-Fajr, al-Nazi’at, al-Adiyat, al-Zariyat, al-Saffat, al-Sama’,
al-Tur dan lain sebagainya. Seluruh surah tersebut makiyyah.[21]
Dengan
pengkategorian tersebut, Bint Syathi ingin mengatakan bahwa ada tujuan lebih
dari pemakaian lafal, qasam atau tempatnya. Para mufassir
terdahulu, menafsirkan ayat-ayat dengan menggunakan wawu qasam,
seperti penafsiran pada Q.S al-Dhuha:1-2, hanya sebatas kepada keagungan muqsam
bih. Mereka berpendapat atas keagungan malam secara mutlak, tidak
memandang tingkat kegelapan atau situasi malam yang tersebut pada ayat.[22] Atau
Mereka hanya menafsirkan al-dhuha dengan melihat hikmah dari
terpilihnya waktu tersebut.
Dengan
demikian, para ulama terdahulu melihat fenomena qasam dengan
huruf wawu sering mencampur antara keagungan muqsam
bih dengan hikmah diciptakannya muqsam bih tersebut.
Padahal, menurutnya hikmah penciptaan semua orang sudah mengetahuinya, karena
tidak ada ciptaan Allah yang tidak mempunyai hikmah.[23] Itu
semua, menurutnya adalah penafsiran yang dipaksakan, dalam artian memaksakan
hikmah penciptaan kepada dibalik terpilihnya lafal tersebut menjadi muqsam
bih dengan huruf wawu.
Menurut Bint
Syathi’, pemakaian wawu qasam memperlihatkan adanya makna yang
diinginkan yang keluar dari form lafal tersebut, seperti pemakaian amr dan nahy namun
tidak menunjukkan sebuah arti perintah maupun larangan. Wawu
qasam seperti dalam Q.S al-Dhuha:1 menunjukkan adanya penekanan
perhatian dari hal-hal yang bersifat indrawi atau materil sebagai suatu
fenomena alam yang umum diketahui dan tidak ada celah untuk mendebat atau
mengingkarinya, untuk persiapan menjelaskan (tautiah idhahiyyah) sesuatu
yang maknawi atau hal-hal berbau gaib yang tak tampak yang sering kali menjadi
bahan perdebatan yang dijadikan muqsam bih.[24]
Sehingga
penafsiran atas al-Dhuha (dan al-Lail) yang
menggunakan wawu qasam adalah sebagai berikut: “gambaran bersifat fisik dan realita konkret,
yang setiap hari dapat disaksikan manusia ketika cahaya memancar pada dini
hari. Kemudian turunnya malam ketika sunyi dan hening;tanpa menganggu sistem
alam. Silih bergantunya dua keadaan, dapat menimbulkan keingkaran, bahkan
sebagai sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikiran siapa pun, bahwa langit
telah meninggalkan bumi dan menyerahkannya kepada kegelapan dan keganasa
setelah cahaya memancar pada waktu dhuha, dan adakah yang lebih merisaukan,
jika sesudah wahyu yang menyenangkan, cahayanya menerangi Nabi, datang
saat-saat kosong dari wahyu yang terputus. Seperti malam sunyi kita saksikan
datang sesudah waktu dhuha yang cahanya gemerlapan”.[25]
9.
Karya-Karya Bintu Syathi’
Adapun karya-karya Bintu Syathi’ sangat banyak,
mungkin akan diklasifikasikan menjadi tiga jenis: pertama, tentang Dirasat
al-Qur’aniyah wal Islamiyyah (pembelajaran al-Qur’an dan Islam), nama-nama
kitabnya adalah:
1.
At
Tafsir Al Bayani Lil qur’anil Karim- Juz 1
2.
At
Tafsir Al Bayani Lil qur’anil Karim- Juz 2
3.
Al-I’jaz
Al Bayani lil qur’ani wa masaili ibni al-Azraq
4.
As-Syakhshiyyah
al Islamiyyah- Dirasat Qur’aniyah
5.
Maqal
Fil Insan-Dirasat Qur’aniyah
6.
Al-Qur’an
wa Qadhayal Insan
7.
Al
Qur’an wat Tafsir Al ‘Ashri
8.
Ma’al
Mushthafa ‘Alaihi Shalatu Wassalam
9.
Tarajum
Sayyidati Baitinnubuwwah-5 Juz
10.
Muqaddimah
Ibnu Shalah Fi Ulumil Hadis
11.
Mahasin
Al-Ishthilah Lissirajil Balqini
12.
Al
Israiliyyat fil Ghazwil Fikri
13.
Qira’atun
fi Watsaiqil Baha’iyyah
Kedua,
tentang Dirasat Lughawiyyah wal Adabiyyah wat Tarikhiyyah (pembelajaran
bahasa, sastra dan sejarah). Di antara kitab-kitabnya antara lain:
14.
Lughatuna
Wal Hayah
15.
Mu’jam
al Muhkam libni Sayyidah al andalusi
16.
Qayyimun
Jadidah lil adab al arabi al qadim wal Mu’ashir
17.
Abul
‘Ala’ al Ma’arri
18.
Al
Hayah al Insaniyyah fi Adabi Abi al ‘Ala’ Al-ma’arri
19.
Al
Ghufran-pelajaran tentang kritik
20.
Risalatul
Ghufran Li Abi al ‘Ala’ Al Ma’arri
21.
Qira’at
Jadidah fi Risalatil Ghufran
22.
Ma’a
Abi al’Ala’ fi rihlati Hayatihi
23.
Al-Khansa’
as sya’irah al’ Arabiyyah al Ula
24.
As
sya’irah al ‘arabiyyah al mu’ashirah
25.
Risalatu
ibni alQarih
26.
Risalatu
as Shahil was Syahij
27.
Turatsuna
baina madli wa Hadlir
28.
Ardhul
Mu’jizat-rihlatu fi jairatil ‘Arab
29.
A’daul
Basyar-dirasat tarikhiyyah lijawwalatil Ma’rakah
30.
Bainal
Insaniyah wa a’daul basyar
31.
Muqadimah
fil manhaj
Ketiga,
tentang perbuatan-perbuatan yang santun dan pembelajaran tentang sosial. Di
antara karya-karyanya adalah:
32.
Ar
riful Mishri (1936 M)
33.
Sayidul
‘Azbah
34.
Qadliyyatul
falah
35.
Shuwarun
min hayatihinn
36.
Imra’atun
khathi’ah
37.
Sirru
syathi’
38.
‘alal
Jisr[26]
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani
Lil Qur’anil Karim. Darul Ma’arif. (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968).
Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al
bayani lil Qur’an, Darul Ma’arif. Cetakan Ketiga. 1984
Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar dan
Rahasia Huruf” dalam Issa J. Boullata, Al-Quran Yang
Menakjubkan:Bacaan Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern dari
Seorang Ilmuan Katolik, Terj, Bachrum Dkk (Tangerang:Lentera
Hati, 2008)
Saiful Amin Ghofur. Profil Para Mufassir
Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Dr. Muhammad Abdusalam Abu Khuzaim (cucunya
bintu Syathi’). Mauqif Bintu Syathi’ min ittijahat at tajdid fi tafsiril
qur’anil karim fi Mishr. Darul yasr. Cetakan kedua.2008
Dr. A.M. Hidayatullah, MA. ‘ilm al Balaghah,
program studi Bahasa dan sastra Arab Fakultas Adab dan Humanoria UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta. 2008
Saiful Bahr, Bintu Syathi’ & aliran
sastra tematik, http://saifulesaba.wordpress.com/kajian
[1] .
Hidayatullah. ‘ilm al Balaghah, program studi Bahasa dan sastra Arab
Fakultas Adab dan Humanoria UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. 2008. Hal: 7
[2] . Nama aslinya
Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad dainuri al marwazi. Seorang
sastrawan sekaligus penulis, ahli sejarah lahir pada tahun 213 H, dan wafat 276
H.
[3] . Abdullah bin
Mu’taz billah, Abul Abbas, seorang sastrawan, penyair. Lahir bulan sya’ban,
wafat tahun 296 H
[4] . Qudamah bin
Ja’far bin Ziyad, Abul Qasim pemuka penduduk Baghdad. Wafat 319 H.
[5] . Ali bin Isa
bin Ali Abu al hasan ar rummani, lahir 296 H dan wafat 384 H.
[6] .
Hidayatullah. ‘ilm al Balaghah……….hal 12-14
[7] . Saiful Amin
Ghofur. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008. Hal, 187
[8] . Lihat situs http://hambawang.blogspot.com/2009/05/bintu-syathi.html yang
ditulis Musyidah Mujahid. Diambil 30-5-2014. Jam 20.03.
[9] Saiful
Bahr, Bintu Syathi’ & aliran sastra tematik, http://saifulesaba.wordpress.com/kajian
di ambil jam 21.55 WIB tanggal 30-05-2014.
[10] . Saiful Amin
Ghofur. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008. Hal, 187
[11]
Al-Ashbahani mengatakan bahwa tafsir merupakan hasil karya manusia yang paling
mulia. Kemulian sebuah karya adakalanya di lihat dari objeknya, adakalanya dari
tujuannya dan adakalanya karena kebutuhan yang mendesak terhadapnya. Hal inilah
yang merupakan salah satu ketertarikan AisyahBint al Shati membuat karya tafsir
walaupun ia tidak menuntaskan hingga selesai dikarenakan Allah telah
memanggilnya.
[12] Metode
Tahlili atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajz'iy.
Tafsir tahlili adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan meneliti semua
aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya,
dimulai dari uraian makna kosakata, makna
kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antarpemisah sampai sisi-sisi
keterkaitan antarpemisah itu dengan bantuan asbab al-Nuzul, riwayat-riwayat
yang bersumber dari
Nabi Muhammad
Saw, sahabat,dam tabi'in.
[13] Metode
Maudhu'I adalah menghimpun seluruh ayat al-Qur'an yang memiliki tujuan dan tema
yang sama. Setelah itu – kalau mungkin – disusun berdasarkan kronologis
turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah
menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali, hasilnya
diukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga si mufasir dapat menyajikan
tema secara utuh dan sempurna. Lihat Abdul Hayy al-Farmawi,terj. Rosihon Anwar,
Metode Tafsir Maudhu'I Dan Cara Penerapannya, 2002, Penerbit: CV Pustaka
Setia, hal. 43-44.
[14] . Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir
al-Bayan al-Quran al-Karim Juz II (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968),hlm,
41-43
[15]. Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar dan
Rahasia Huruf” dalam Issa J. Boullata, Al-Quran Yang
Menakjubkan:Bacaan Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern dari
Seorang Ilmuan Katolik, Terj, Bachrum Dkk (Tangerang:Lentera
Hati, 2008), hlm. 291
[26] . Muhammad
Abdusalam Abu Khuzaim (cucunya bintu Syathi’). Mauqif Bintu Syathi’ min
ittijahat at tajdid fi tafsiril qur’anil karim fi Mishr. Darul yasr.
Cetakan kedua.2008. hal: 54-56.