1. Sanad
Kata “Sanad”
menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran.
Dikatakan demikian, karena hadis bersandar kepadanya.[1]
Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan
pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thîby mengatakan bahwa sanad adalah:
الإِخْبَارُ
عَنْ طَرِيْقِ الْمَطْنِ[2]
“Berita tentang jalan matan”
Yang lain menyebutkan:
سِلْسِلَةُ
الرِّجَالِ المُوْصِلَةُ لِلْمَتَن[3]
“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang
menyampaikannya kepada matan hadis”.
Ada juga yang menyebutkan:
“Silsilah
para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama”.
Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat
kata-kata seperti, al-isnâd, al-musnid, dan al-musnad.
Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana
yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata al-isnâd berarti menyandarkan,
mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksudkan di sini,
ialah menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya (raf’u hadîts
ilâ qâ’ilih atau ‘azwu hadîts ilâ qa’ilih).
Menurut
Al-Thîby, sebenarnya kata al-isnâd dan al-sanad digunakan oleh
para ahli hadis dengan pengertian yang sama.
Kata al-musnad mempunyai beberapa arti. Bisa
berarti hadis yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang; bisa berarti
nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunan
berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadis, seperti kitab Musnad
Ahmad; bisa juga berarti nama bagi hadis yang marfû’ dan muttashil.[6]
Selain
itu terdapat istilah shigat isnad atau shigat tahammul yaitu lafal yang
terdapat dalam sanad yang digunakan oleh rawi yang menunjukkan tingkat
penerimaan dan menyampaian hadis dari rawi tersebut. Terdapat delapan shigat
isnad yaitu:
- as-sima’min lafz asy-syaikh (mendengar dari lafal syeikh) contohnya sami’tu (aku mendengar)
- qiraat ‘ala asy-syaikh (membaca tulisan syeikh) contoh qara'tu ‘ala (aku membaca)
- al ijazah contohnya ajaztu laka sahih al Bukhari (aku bolehkan/izinkan untukmu kitab sahih Bukhari)
Syarat perawi menurut muhaddisin: Pertama, beragama Islam. Kedua,
baligh. Ketiga, berakal. Keempat, tidak fasik. Kelima, terhindar
dari tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muruah). Keenam,
mampu menyampaikan hadis yang telah dihafalnya. Ketujuh, dapat dipercaya
dan kedelapan, mengetahui dengan baik hadis baik maksud maupun makna[7]
Kritik Sanad (Naqd al-Sanad)
Kata sanad secara etimologis berarti bagian bumi yang tinggi
dan menghadap ke gunung. Bentuk plural atau jamaknya adalah asnad[8]. Secara terminologis, sanad adalah jalan yang menghubungkan kepada
matan, yaitu rangkaian nama perawi yang mengambil matan hadis dari sumbernya. Sanad telah digunakan
secara insidental dalam sejumlah literatur pra Islam. Sanad juga dipakai secara
luas dalam periwayatan syair jahiliyah. Akan tetapi, tidak ditemukan
keterangan lebih banyak tentang semua itu[9].
Tradisi sanad, dalam Islam telah ada sejak zaman Rasul. Ketika seorang
sahabat menyampaikan hadis kepada lainnya, selalu disebutkan dari siapa hadis
itu didapatkannya sampai kepada Rasul, atau dia sendiri yang menerima hadis
tersebut dari Rasul. Menurut Imam Nawawi (w. 676 H/ 1277 M), seringkali dalam
rangkaian periwayatan (silsilat al-ruwat) terdapat empat orang sahabat,
dan ada juga dalam sanad lain terdapat empat Tabi’in[10]. Menurut Imam Suyuthi (w. 911 H), karena tingginya perhatian sahabat
terhadap sanad, pernah seorang sahabat meriwayatkan hadis dari generasi tabi’in
karena telah menerima hadis dari sahabat lain yang mendengarkan langsung dari
Nabi[11].
Para perawi hadis jika ditanya tentang keadaan dan nilai sebuah sanad juga
memberikan informasi yang benar. Mereka
tidak menyembunyikan atau menutup-nutupi, jika sanad hadis tersebut memiliki ‘ilat.
Hal ini sebagaimana dilakukan Abu Ishaq al Sya’bi (w. 126 H). Dengan jujur dinyatakan, sanad yang dimilikinya terdapat tadlis
(penipuan) ketika ditanya Syu’bah bin al Hajaj (w. 160 H)[12].
Mustafa as-Siba’i menunjuk tahun 40 H sebagai batas pemisah antara
otentisitas (kemurnian) hadis dengan pemalsuannya. Karena saat itu terjadi friksi internal umat
Islam, antara Ali bin Abi Thalib vs.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sejak peristiwa itu, siapapun menjadi sangat kritis terhadap sanad ketika
menerima riwayat hadis. Realitas semacam
itu dapat dibuktikan dari
pernyataan Muhammad bin Sirin (w. 110 H/
728 M), “Pada mulanya umat Islam tidak
begitu mempermasalahkan sanad. Tetapi setelah terjadi fitnah, jika
menerima riwayat hadis, mereka akan
mengatakan, “Sebutkan rijalmu (orang-orang yang menyampaikan hadis ini
padamu)”. Riwayat hadis itu akan diambil jika rijalnya ahlu as sunnah;
dan –sebaliknya—akan ditolak jika rijalnya dikatagorikan ahlu
al bida’[13]. Jadi, setelah perang Sifin mereka lebih berhati-hati terhadap sanad atau
mempertanyakan secara ketat sumber informasi dan menelitinya dengan cermat.
Di penghujung abad pertama hijriah, kajian sanad
berkembang pesat dan mendapat perhatian lebih serius. Syu’bah (w. 160 H)
misalnya, sengaja mengamati gerak bibir Qatadah (w. 117 H) untuk membedakan
apakah dia menerima hadis dari tangan pertama atau kedua
dengan memperhatikan redaksi al tahammul wa al ‘ada’ yang
digunakan[14]. Bahkan bukan hanya muhadisin yang mempersoalkannya, tetapi orang badui juga menanyakan kelengkapan sanad
hadis kepada Sufyan bin ‘Uyainah (w. 194 H)[15].
Para ulama Hadis sesungguhnya telah memiliki
teori-teori sanad yang cukup ketat. Namun demikian, jauhnya jarak antara masa
Rasul saw. dengan masa kodifikasi hadis, sekitar satu setengah abad atau 150
tahun, menyebabkan teori-teri tersebut dalam prakteknya menghadapi hambatan
yang cukup serius. Diantaranya yaitu terbatasnya data-data yang diperlukan
dalam proses pembuktian. Dan pada perkembangan selanjutnya
keterbatasan-keterbatasan ini diatasi oleh teori-teori baru, seperti Ash-shohabah
Kulluhum 'Uduul (semua sahabat bersifat adil). Dengan kata lain,
validitas satu generasi pertama, generasi sahabat, tidak perlu ada pembuktian.
Dalam ukuran modern, teori kritik sanad secara umum
mengandung kelemahan inheren, seperti anggapan tentang seorang manusia
terhormat yang tidak memiliki keinginan berdusta sehingga mereka pasti
bercerita benar. Di samping itu, para peneliti hadis kadang tidak menyadari
adanya masalah ingatan yang keliru, pikiran yang mengandung kepentingan,
pembacaan ke belakang (dari masa kini ke masa lalu) atau pun tersangkutnya
pengaruh seseorang dan bahkan tentang adanya berbagai tuntutan mendesak.
Kelemahan yang terdapat dalam teori kritik sanad
ini mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses pembuktian
validitas sebuah hadis. Oleh karena itu, bukan hanya kritik sanad saja
satu-satunya hal yang bisa dilakukan dalam proses pembuktian keshohihan hadis,
kritik matan pun semestinya menjadi suatu keharusan yang dilakukan dan
dikembangkan hingga kini dalam proses pembuktian validitas dan otentisitas
sebuah Hadits.
Kritik sanad bertujuan
mengevaluasi perawi hadis secara proporsional, baik hal positif maupun negatif;
dengan mengupas karakteristik setiap
rangkaian sanad hadis. Sehingga diketahui, apakah perawinya itu seorang yang
integritas moralnya tidak cacat, taqwa, jujur, cerdas, dan seterusnya,
atau sebaliknya sanad yang terlibat dalam rangkaian riwayat itu orang yang
integritas moralnya tercemar, rusak, pelupa, pendusta, dan sebagainya.[16]
Metode Kritik Sanad
Ulama hadis sepakat, ada lima tonggak penting yang bisa menopang bangunan validitas
(keshahihan) riwayat hadis, yaitu: 1)
rangkaian sanad bersambung (ittishal al-sanad) 2) rawi bersifat ‘adil 3) rawi bersifat dlabith, 4)
terhindar dari kejanggalan (syudzudz),
dan 5) terhindar dari cacat (‘ilat)[17].
Menurut Imam Nawawi (w.
676 H / 1277 M), semua persyaratan di atas
mencakup kriteria keshahihan sanad dan matan hadis. Karena
persyaratan nomor 4 dan 5 berkaitan
dengan sanad dan matan, sementara nomor 1, 2, dan 3 hanya berhubungan dengan
sanad[18].
Mekanisme kritik
sanad melalui tahapan metodologi sbb.:
1.
Harus dipastikan bahwa riwayat yang
akan dikritik sanadnya terbatas pada
riwayat yang belum dibahas ulama yang dikenal sebagai pakar hadis; dan
kualitasnya belum diketahui, apakah
shahih atau dla’if?
2.
Riwayat yang akan diteliti tidak
dimuat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim.
3.
Pelacakan dimulai dari: nama rawi,
gelar, asal daerah, thabaqat, nama bapaknya, gurunya, dan sebagainya.
4.
Jika rawi yang akan diteliti
terdapat di dalam kutub as-sitah atau kutub al-‘asyrah[19], penelitian
identitas si rawi bisa langsung dilacak
dalam kitab tarjamah perawinya, misalnya, الكاشف فى معرفة من له رواة
في الكتب الستة karya Muh. bin Ahmad Az-Zahabi.
5.
Melacak nama periwayat hadis yang
dijadikan objek kritik dalam kutub
ar-rijal, kutub ar-ruwat, atau dalam
buku biografi periwayat hadis lainnya untuk mengetahui kadar ketsiqahannya (integritas moral العدالة dan
kapabilitasnya intelektualnya الضبط); dan sebaliknya. Penilaian tsiqat ar-
rawi harus mengacu pendapat ulama al-jarh wa ta’dil.
6.
Ada atau tidak adanya
persambungan sanad (ittishal as-sanad) dapat
diteliti dengan melihat redaksi periwayatan yang digunakan, misalnya
apakah redaksi yang digunakan:
سمعنا,
حدسني, أخبرنا, قرأت على فلان, أنبأنى, ناولني, أوصى إلي, وغير ذلك.
[1]Mahmûd Al-Thahhan, op.cit., h. 15
[2]Al-Suyûthî, Jilid. I, op.cit., h. 41
[3]Mahmûd Al-Thahhân, loc.cit.
[4]‘Ajjâj Al-Khathîb, op.cit., h. 32
[5]Al-Qâsimî, op.cit., h. 202
[6]Mahmûd Al-Thahhân, op.cit., h. 16.
Hadis Marfu’ dan hadis muttashil adalah dua istilah untuk hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW
dan sanadnya bersambung.
[7] Ibnu Shalah h. 114-117. al Nawawiy, al Tajrib li al
Nawawiy Fann Ushul al Hadis (cairo:
Abd al rahman, tt) h. 12-15. Abu al Fayd Muhammad bin Ali al Harawiy, Jawahir
al Ushul fi Ilm Hadis al Rasul (Madinah: al Maktabah al Ilmiyah 1373 H), h.
55-68
[8]Muhammad bin Makram bin Mandzur Al-Ifriqy, Lisan al-Arab, cet. I,
juz III, h. 220. Definisi yang ditulis;
السند ما ارتفع من الأرض في قبل الجبل أو الوادي والجمع
أسناد لا يكسر على غير ذلك وكل شيء أسندت إليه شيئا فهو مسند.
[9]Muhammad Musthafa
al-A’dzami, op.cit., h. 32.
[10]Rif’at Fauzi Abdul Muthalib, Tautsiq as-Sunnah fi al-Qarni as-Tsani
al-Hijri, Ususuhu wa Ittijahatuhu, (Mesir: Maktabah al-Khanji, 1400 H/ 1981
M), h. 36-37.
[11]Jalaludin ‘Abdurrahman bin Abi Bakar
as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawy fi Syarh Taqrib an-Nawawy,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1979), cet. ke-2, h. 386-389.
[12]Muhammad Luqman as-Salafi, Ihtimam
al-Muhadisin bi Naqdi al-Hadis, Sanadan wa Matnan, (Riyadh: Maktabah
al-Riyadh, 1405 H/ 1984 M), h. 155.
[13]Muhammad Musthafa al-A’dzami, Dirasat Fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikhi
Tadwinihi, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994), terjemahan oleh Ali Mustafa Yaqub, h. 531. Menurut Thahanawi,
bid’ah apabila dikaitkan
dengan al-fisq yang dilakukan seorang
rawi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1. Bid’ah Sughra,
bid’ah moderat dan tidak
ekstrem; baik yang dilakukan simpatisan sekte teologi Syi’ah, Khawarij,
Rafidlah, Qadariah, dan sebagainya., sebagaimana banyak dianut tabi’in
dan tabi’-tabi’in yang dikenal ta’at beragama, wara’ (hati-hati),
shaduq, dan secara lahiriah tidak bertentangan dengan dasar Sunnah.
Meskipun bisa saja mereka berbeda dalam memberikan interpretasi terhadap
substansi Al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak berdusta terhadap Rasulullah, dan dikenal
sebagai orang yang tertpelihara muru’ahnya. Kelompok ini dapat
diterima riwayatnya.
2. Bid’ah
Kubra, bid’ah ekstrem dari kelompok
Syi’ah Rafidlah yang terang-terangan menghina Abu Bakar, Umar,
menganggap Ali anak Tuhan, dan sering
berdusta mengatasnamakan Rasulullah untuk membela misi teologisnya. Riwayat kelompok ini, baik
simpatisan maupun dedengkotnya tidak diterima. Lihat, Zhafar Ahmad al-Usmani
at-Thahanawi, al-Qawa’id fi Ulum
al-Hadis, (Beirut: Maktabah al-Matba’ah al-Islamiah, tth.), h. 229
[14]Muhammad Musthafa
al-A’dzami, Dirasat Fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikhi Tadwinih, ibid..
[15]Akram Dliya’ al-‘Umari, Buhuts fi Tarikh
as-Sunah al-Musyrifat, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1405 H/ 1984 M), cet. ke-4, h.
47.
[16]Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Hiadayah, 1995),
h. 98.
[17]Abu ‘Amr Usman bin Abdurrahman
bin as-Shalah (w. 643 H.), Ulum al-Hadis, (Madinah: Al-Maktabah
al’Ilmiah, 1972), h. 10. Definisi
hadis shahih yang dikemukakan, sbb.:
أما
الحد يث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط
إلى منتهاه ولايكون شاذا ولامعللا.
[18]Abu Zakariya Yahya
bin Syaraf an-Nawawi, At-Taqrib li
An-Nawawi Fan Ushul al-Hadis, (Beirut: Dar
al-Fiqr, tth.), h. 60.
[19]Kutub al-‘Asyrah ini memuat biografi
periwayat sepuluh kitab, kutub at-tis’ah plus kitab Muawatha’
Malik, Musnad As-Syafi’i, Musnad Ahmad bin Hambal, dan Musnad Husain bin Muhammad yang berisi hadis-hadis riwayat Abi Hanifah.
Kitab yang merangkum biografi kutub al-‘asyrah ini adalah التذكرة برجال العشرة karya Muhammad bin Ali
Husaini (w. 765 H).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar