BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tafsir Al-Qur’an sebagai hasil pemikiran, iterpretasi dan komentar
tentunya mengandung kebenaran yang sifatnya relatif. Tafsir tidaklah mutlak
atau absolut benar. Setiap hasil penafsiran tetaplah nisbi. Oleh sebab itu, setiap
penafsiran mempunyai potensi untuk mengalami kekeliruan. Tidak ada hasil
penafsiran yang kebenarannya bersifat mutlak. Hal ini memberi arti bahwa setiap
mufassir haruslah mempunyai sikap rendah hati menerima kritik ketika hasil
penafsiran telah ia keluarkan.
Bila ditelusuri bentuk-bentuk kekeliruan tersebut, akan ditemukan ,
baik dalam tafsir bi al-ma’tsur maupun dalam tafsir bi ar-ra’yi. Kekeliruan
tersebut bisa jadi disebabkan karena sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh
mufassir tidak bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya, bertentangan dengan
akal sehat, dan bisa jadi juga karena mufassir ketika menafsirkan suatu ayat
ingin memaksakan kehandaknya terhadap Al-Qur’an tanpa memperhatikan konteks dan
kaidah-kaidah kebahasaan yang ada pada ayat yang akan ditafsirkan. Di samping
itu, mufassir juga belum memiliki pemahaman yang begitu mendalam bahkan lebih
kelirunya lagi ada yang sama sekali tidak memahami kaidah-kaidah dalam
menyikapi ayat-ayat yang terkesan kontradiksi atau bertentangan, serta tidak
begitu menguasai persyaratan keilmuan sebagai seorang mufassir,seperti bahasa
Arab, asbab al-nuzul, nasikh wal mansukh, ilmu hadits, ilmu fiqih dan ilmu-ilmu
lain yang menjadi syarat keabsahan sebuah penafsiran.
Kekeliruan penafsiran tersebut ada juga yang berbentuk kisah-kisah
Israiliyyat yaitu suatu fenomena yang diriwayatkan dan bersumber dari bangsa
Israil, yakni keturunan bani Ya’kub yang dinisbatkan kepada orang-orang Yahudi
dan Nashrani serta musuh-musuh Islam dan tidak memiliki landasan yang jelas.
Dalam hal ini penulis hanya akan membahas masalah, apa definisi
ad-dakhil, apa penyebab munculnya ad-dakhil dan siapa tokoh yang terkenal
sebagai perawi ad-dakhil.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Ad-Dakhil
2.
Penyebab
Ad-Dakhil
3.
Perawi-perawi
Ad-Dakhil
BAB II
AD-DAKHIL
A.
Pengertian
Ad-Dakhil
Pengertian Ad-Dakhil dalam bahasa Arab memilki banyak arti.
Fairuzzabadi dalam kamusnya Al-Muhit mengartikan kata Ad-Dakhil sebagai sesuatu
yang masuk ke dalam tubuh manusia ataupun akalnya berupa penyakit atau sesuatu
yang jelek. Menurut Az-Zamakhsyari Ad-Dakhil merupakan suatu penyakit atau aib
yang masuk ke dalam tubuh atau ke dalam makanan sehingga merusaknya, sedangkan
masyarakat Arab memaknainya sebagai suatu kata atau bahasa asing yang masuk dan
bercampur ke dalam bahasa Arab. Dari pengertian secara bahasa di atas Ad-Dakhil
adalah makar, rekayasa, aib, dan kerusakan.
Sedangkan secara istilah Ad-Dakhil menurut Dr.Ibrahim Khalifah adalah
penafsiran Al-Qur’an yang tidak memiliki sumber yang jelas dalam Islam, baik
itu tafsir yang menggunakan riwayat-riwayat hadits yang lemah dan palsu,
ataupun menafsirkannya dengan teori-teori sesat sang penafsir (karena sebab
lalai ataupun disengaja). Sedangkan menurut Dr.Abdul Wahab memaknai Ad-Dakhil
dengan: menafsirkan Al-Qur’an dengan metode dan cara yang diambil bukan dari
Islam.
B.
Penyebab
Munculnya Ad-Dakhil
Kemunculan
Ad-Dakhil dalam penafsiran disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1.
Israiliyyat
Pada kurun awal penafsiran terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an para
sahabat menukil panafisiran yang dilakukannya langsung melalui Rasulullah SAW.,
kemudian para tabi’in menukil penafsirannya melalui para sahabat. Pada masa
tersebut para sahabat dan tabi’in satu sama lain saling meriwayatkan dalam
penafsiran yang mereka lakukan. Sehingga pada masa ini dikenallah sebagai masa
periwayatan. Masa periwatan ini terus berlangsung hingga pada masa akhir
pemerintahan bani Umayyah dan masa awal dari pemerintahan Abbasyiah.[1]
Pada permulaan masa ini, para sahabat serta beberapa generasi
setelahnya masih sempat menyaksikan nuansa turunnya Al-Qur’an dan merasakan
kenyamanan pada jiwa mereka dan kelegaan bagi hati dan dada mereka, sehingga
mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai jalan hidup dan tuntunan berperilaku. Kebanyakan
di antara mereka tidak berambisi untuk mengemban seluruh isi kandungan
Al-Qur’an, tapi mereka hanya mencukupkan diri berpegang pada beberapa surah
untuk kemudian mereka renungkan sehingga bermanfaat bagi mereka. Sebagaimana
diriwayatkan, bila mereka sedang mempelajari sepuluh surah, mereka tidak akan
melangkahinya kecuali bila sudah memahami kandungan ilmu dan prakteknya.
Hal ini berarti meskipun Rasulullah SAW., senantiasa bersama mereka
dan mungkin untuk ditanya, tapi mereka mengutamakan untuk tidak melakukan hal
tersebut. Mereka juga berasumsi, bahwa tahu sedikit dan langsung bisa dimalakan
dalam kehidupan lebih baik daripada tahu banyak perkara tapi tidak
mengamalkannya.[2]
Akan tetapi, menjelang wafatnya Rasulullah SAW., dan terputusnya generasi
sahabat membuat potret terhadap agama Islam berubah drastis, karena adanya
penaklukan-penaklukan yang membawa ribuan kaum muallaf untuk berpihak
pada Islam, baik itu dari kaum Yahudi, Nasrani, ataupun Shabi’ah.
Secara kultural, mereka kaum muallaf, tentu saja tidak mudah
melupakan keyakinan lama yang pernah mereka miliki begitu saja. Lemahnya
pengetahuan bahasa Arab yang mereka miliki berakibat pada sulitnya menangkap
sisi kemukjizatan Al-Qur’an dan hal ini menambah rumitnya persoalan. Orientasi
mereka bukan lagi menggabungkan antara pengetahuan dan pengamalan nilai-nilai
yang terkandung dalam Al-Qur’an, tetapi lebih pada keinginan untuk
membandingkan kesamaan dan ketidaksamaan antara apa yang dikandung Al-Qur’an
dengan keyakinan lama mereka. Di tambah lagi, mereka yang berada di tampuk
kekuasaan ketika itu bukan lagi orang yang sederajat Nabi; sebagai sosok yang
legislator yang memutuskan perkara yang tidak akan banyak dibantah oleh ummatnya.
Dari sinilah kemudian kran ilmu Al-Qur’an mulai terbuka. Beberapa orang
diantara mereka lantas mengkhusukan diri
untuk menafsirkan dan menakwilkan Al-Qur’an dari sudut pandang mereka
sendiri, dengan alat bantu berupa kitab-kitab lama, seperti kitab Taurat,
kisah-kisah dan riwayat yang penuh rincian dalam alur ceritanya. Ketika itu,
sumber-sumber tersebut dikuasai oleh para Ahli Kitab. Mereka melakukan itu
karena tahu bahwa hadits tidak melarang melakukan hal itu, bahkan menemukan
beberapa hadits yang justru menganjurkannya, seperti hadits, “berdialoglah
dengan Bani Israel. Itu tidaklah menjadi persoalan” lantas mereka
mengadopsi beberapa sumber dari beberapa Ahli Kitab yang tidak pernah terhindar
dari kerancuan. Lantas kaum Muslim tersadar bahwa kitab tafsir sudah memuat
kisah-kisah yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an sendiri, tapi diadopsi dari
para kalangan tersebut. Inilah yang populer disebut dengan Israiliyyat. Asal
muasal sumbernya tak jarang sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi yang masuk
Islam dan diangkat kaum muslim menjadi guru dan pewarta mereka atas apa-apa
yang tidak dikisahkan Al-Qur’an secara detil.[3]
2.
Musuh-musuh
Islam
Selain disebabkan oleh cerita-cerita Israiliyyat, Ad-Dakhil yang
terjadi dalam penafsiran Al-Quran juga disebabkan oleh musuh-musuh Islam.
Mereka adalah orang-orang yang menisbatkan diri pada Islam, namun mereka
melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk menjauhkan orang-orang muslim dari
Firman Tuhan-nya (Al-Qur’an), membingungkan orang-orang Islam terhadap ajaran
yang diajarkan oleh Al-Qur’an, dan tujuan utamanya adalah untuk memalingkan orang-orang
muslim dari Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir ketika
Al-Qur’an diturunkan. Perlakuan mereka itu telah digambarkan dalam Al-Qur’an
pada surah Fushilat:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا
الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ
Artinya: Dan orang-orang yang
kafir berkata: janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an
ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka.
(QS. Fushilat: 26)
Tidak hanya berhenti sampai di situ, pada masa-masa
awal Islam kelompok mereka semakin beragam, semakin banyak
penyimpangan-penyimpangan serta ta’wil yang mereka lakukan hingga muncullah
berbagai macam jenis Ad-Dakhil, dan kebaatilan-kebatilan yang masuk dalam
kitab-kitab tafsir. Namun, bagaimanapun Allah SWT., telah berjanji akan menjaga
agama ini dari tipu muslihat para penipu, pena’wilan yang batil, dan klaim-klaim
orang yang berlebihan, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya:
يُرِيدُونَ
لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ
كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Artinya: Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan
mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya,
walau orang-orang kafir membencinya. (QS. Shaf: 8)[4]
3.
Hadits-hadits Maudu’
Dalam penafsiran Al-Qur’an juga sering terjadi
penyusupan-penyusupan hadits maudu’ (hadits palsu). Hadits-hadits palsu
tersebut tumbuh dalam penafsiran Al-Qur’an bersamaan dengan pertumbuhannya
dalam Hadits, karena keduanya (tafsir dan hadits) saling terkait. Seperti dalam
Hadits kita akan mendapatkan hadits-hadits yang sahih, hasan, dan dha’if, serta
dalam periwayatannya ada yang tsiqah, masykuk (diragukan), dan apa yang dikenal
dengan maudu’ (palsu), hal-hal tersebut juga akan kita dapatkan dalam
penafsiran Al-Qur’an.
Awal mula kemunculan hadits-hadits maudu’ yaitu pada tahun 41
Hijriah, ketika orang-orang muslim berbeda dalam perpolitikan, berpecahnya
mereka menjadi Syiah, Khawarij dan jumhur. Selain itu juga didapati para
ahli-ahli bid’ah yang menyebarluaskan kebid’ahan mereka, dan orang-orang yang
senantiasa condong terhadap hawa nafsu mereka, kemudian mereka masuk Islam
dengan cara menyembunyikan kekafiran mereka yang bertujuan untuk menyesatkan
orang-orang Muslim dan meletakkan riwayat-riwayat yang bathil.[5]
BAB III
PERAWI-PERAWI AD-DAKHIL
1. Abdullah bin salam
Abdullah bin Salam adalah salah seorang sebaik-baik sahabat, dia salah satu orang yang mendapat kabar gembira masuk ke
dalam surga. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Mu’adz, dia berkata :”saya mendengar
Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya dia salah satu sepuluh orang yang masuk
ke dalam surga”.[7]
Nama : Abdullah bin Salam bin Al-Kharits
Al-Israiliyyi ,Abu Yusuf, (golongan bani Auf dari bani Al-Khazraj)
Thabaqat: 1. Shohabi
Wafat : 43 H di Madinah
Diantara yang Meriwayatkan
kepada Abdullah bin salam adalah: Al-Bukhari-Muslim-Abu Dawud-At Tirmidzi-An Nasa’i-Ibnu
Majah.
Urutannya menurut Ibnu Hajr :Shahaby
(Sahabat), dikatakan namanya Al Khasin, maka Rasulullah Saw menyebutnya
Abdullah (masyhur).
Urutannya menurut Az Dzahabi: Shahaby.
Al-mazi berkata dalam Tahszib Al Kamal : Abdullah bin Salam bin Al-Kharits
Al-Israiliyyi, Abu Yusuf hkalif al Quwaqilah, dari golongan ‘Auf bin al
khazraj, dari golongan Anshar, dia masuk Islam ketika rasulullah Saw masuk
Madinah[8].
Dikatakan namanya adalah Al Khasin, maka Rasulullah menyebutnya Abdullah, dan
bersaksi akan masuk surga, dan Allah menurunkan ayat yang berkaitan dengan
ini,
( و شهد شاهد
من بنى إسرائيل على مثله ، فآمن و استكبرتم ) ، و قوله تعالى : * ( قل كفى بالله
شهيدا بينى و بينكم و من عنده
علم الكتاب )
Akan tetapi sebagian mufassir mengingkarinya.
Al-Mazi juga berkata : dia juga menyaksikan bersama Umar bin Khatab ketika
pembuka’an baitul maqdis dan al jabiyyah.
Al-Haitsam bin ‘Ady, Abu Ubaid, dan Khalifah
bin Khiyat berkata : dia wafat di Madinah tahun 43.
Diantara murid-murid Abdullah bin Salam adalah (al Mazi fi tahdib al kamal)
:[9]
1. Anas bin Malik
2. Basyar bin Syaghaf
3. Hamzah bin Yusuf bin Abdullah bin Salam
4. Khirsyah bin al Hurri al Fuzary
5. Daud bin Abi Daud al Anshary
6. Zararah bin Aufa al khursy, hakim Bashrah
7. Saif as Sudusy
8. Ubadah az Zaraqy
9. Abdullah bin khinzolah bin Ar Rahib
10. Abdullah bin Mu’aniq al Asy’ary
11. Abdullah bin Mughfil al Muzny
12. ‘Ubaidillah bin Khanis al Ghifary
13. ‘Atha’ bin Yasar
14. Auf bin malik Al Asja’iy
15. Qois bin Ubbad al bashry
16. Muhammad bin Abdullah bin salam
17. Muhammad bin Yahya bin Hibban al anshary
18. Yusuf bin Abdullah Salam
19. Abu Burdah bin Abi Musa Al Asy ‘ary
20. Abu Said al Muqbiry
21. Abu Salamah bin Abdurrahman
22. Abu Hurairah
Diantara guru-guru Abdullah bin Salam adalah
(al Mazi fi tahdib al kamal) :
1. Aflah. Maula Abi Ayub Al Anshary al madany, Abu Abdurrahman, ada yang
mengatakan Abu Yahya, Abu Katsir.
2. Said bin Malik Sunan bin Abid bin Tsa’labah bin Abid bin Al Abjar. Yaitu
Khudzrah bin Auf bin Al Kharist bin Al Khazraj al Anshary, Abi Said Al Khudry
3. Ibnu Akhi Abdullah bin Salam
2. Wahab bin Munibah
Wahab bin Munibah adalah seorang tabi’in yang tsiqah yang mempunyai
keilmuan yang luas. Dia banyak meriwayatkan dari Abi Hurairah, dia juga
mempunyai banyak hadits shakhihain (bukhari muslim)dari saudaranya yang bernama
Hamam. Dia mencapai kezuhudan dan keshalehannya, di tempat tinggalnya atau
persinggahannya dia melakukan shalat subuh memakai wudhunya shalat isya’ selama
dua pulu tahun.[10]
Nama :Wahab bin Munibbah bin Kamil bin Syaij
bin dzi Kibar keturunan al-Yamani al-Shana’any, Abu Abdillah al-Dzimary, al-Abnawy. Mempunyai saudara
Hamam, Mi’qal dan Ghailan.[11]
Lahir : 34 H
Thabaqat : 3 dari pertengahan Thabi’in
Wafat : 100 sekitar 10 H
Meriwayatkan dari : Bukhori. Muslim. Abu Daud.
At Tirmidzi. An Nasa’i. Ibnu Majah dalam tafsir(خ م د ت س فق )
Tingkatan menurut Ibnu Hajr : tsiqah
Tingkatan menurut az Zahaby : suduq
Hakim berkata dalam kitab “Tarikh Naisabur” :dikatakan bahwa Wahab berasal
dari Khurasan, dan kenbali ke nagaranya ketika usianya tua.[12]
Abu Hatim berkata dakam kitab Ats-Tsiqat :
wahab bin Munibbah bin Kamil bin Sayij sihan, adalah seorang yang ahli ibadah,
mempunyai keutamaan membaca kitab, dia mempunyai lima saudara: Wahab, Himam,
Ghailan, Aqil, Mi’qal. Wahab meninggal di Tanah Haram[13]
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya, ia berkata :”dia (Wahab bin
Munibbah) keturunan Persia, dan asalnya lahir Khurasan dari keturunan Hirrah
dan keluar dari Khurasan pergi ke Yaman dan masuk Islam pada masa nabi Muhammad
saw.[14]
3. Ka’ab al-akhbar
Beliau bernama Ka’ab al-Akhbar , Ka’ab bin Mati’ al-Khumairy, Abu Ishak
dari Musalamah ahlu kitab, dan masuk Islam pada masa Khalifah Abu Bakar
As-Shiddiq, ada yang mengatakan masuk Islam pada masa khalifah Umar bin
Khattab.[15]
Dan meninggal dunia pada masa Utsman bin Affan.
Ka’ab al akhbar adalah seorang tabi’in yang agung, dia masuk Islam pada
masa khalifah Abu Bakar. Dia mengambil riwayat dari shahabat, dan sekelompok
orang meriwayatkan dia mengambil riwayat dari tabi’in yang mursal.
Ali bin Zaid Jud’an dari ibnu al-Musayab berkata:” sesungguhnya Abbas
berkata kepada Ka’ab: “apayang mencegah
kamu untuk masuk Islam pada masa Nabi Saw dan pada masa Abu bakar sehingga kamu
masuk Islam padasaat ini ?”, maka Ka’ab menjawab :“sesungguhnya ayah saya
menulis tulisan tentang taurat dan menyerahkan kepada saya dan berkata :”saya
melakukan pekerjaan (penulisan) ini dan menguncinya” dan ayah saya menyuruh
untuk tidak membuka kunci/segel itu, sehingga sekarang saya tampak melihat
Islam dan tampak tidak berbahaya, maka hati saya berkata “ayahmu tidak ada
disampingmu, makabukalah kunci itu”. Maka
saya membaca dan menemukansifat Nabi Muhammad Saw dan umatnya, kemudian saya
masuk Islam dan Abbas sebagai saksinya.”[16]
Dia meriwayatkan dari: Umar, Shuhaib, Aisyah,
banyak meriwayatkan tentang Israilliyat.
Orang-orang yang meriwayatkan dari dia : Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Amr, Mu’awiyyah, Ibnu imra’tahu tubayya’, Abu Salam
Mamthur, Abu Rafi’ as-Saihg, Said bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Khalid
bin Ma’dan, Abdurrahman bin Mughits, Thoifah .[17]
Tetapi dalam tingkatan ini kita harus
membedakan antara perkataan yang diucapkannya itu shahih dan dia memindahkan
sesuatu yang shahih. Jika yang
diucapkannya itu shahih maka dia tingkatannya tsiqah dan penentuannya sepeti
kecerdasaanya. Namun jika dia memindahkan riwayat, ada yang shahih dan ada yang
tidak shahih, namun tidak adanya
keshahihan yang diriwayatkannya , kita dapat mengetahui dengan dua cara :
1. Perawi sanad yang memindahkan riwayat dari mereka (Abdullah bin salam, Waha
bin Munibah dan Ka’ab al akhbar) harus diperhatikan ‘adalah dan dhabitnya, maka
dari itu kita harus melihat silsilah riwayatnya, rawi per-rawi. Dengan tujuan
ini kita bisa menggunakan kitab-kitab jarh wa ta’dil. Tidak cukup hanya
dengan menyebutkan sanad-sanadnya di
dalam kitab-kitab yang besar seperti kitab Ibnu Jarir.
2. Adakalnya mereka bertiga mengambil riwayat Israiliyyat, maka kita bisa
menerima jika apa yang mereka riwayatkan mengambil dari riwayat islamiyyah,
maka dari itu kita bisa melihat periwyatan mereka, jika yang ditetapkan dari
islam kita dapat menerimanya, jika bertentangan kita harus menolaknya.
BAB III
Kesimpulan
Ad-dakhil adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan metode dan cara yang
diambil bukan dari Islam, atau bisa juga dikatakan suatu kebohongan yang
dinisbatkan kepada Islam.
Israiliyyat adalah suatu
fenomena yang diriwayatkan dan bersumber dari bangsa Israil, yakni keturunan
bani Ya’kub yang dinisbatkan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani serta
musuh-musuh Islam dan tidak memiliki landasan yang jelas.
Perbedaan antara Israiliyyat dan ad-dakhil adalah jika Israiliyyat
merupakan bagian dari ad-dakhil dan ad-dakhil lebih umum atau Setiap
Israiliyyat pasti ad-dakhil (lebih umum) dan tidak setiap ad-dakhil itu
Israiliyyat.
Persamannya antara ad-dakhildan israiliyyat adalah keduanya
sama-sama perlu dibuang karena tidak sesuai dengan keterangan yang jelas pada
al-Quran.
Penyebab terjadinya ad-dakhil yaitu:
1.
Sumber-sumber
yang dijadikan rujukan oleh mufassir tidak bisa dipertanggungjawabkan
kesahihannya, bertentangan dengan akal sehat, karena memaksakan bahkan
bertentangn dengan kehendak al-Qur’an.
2.
mufassir
juga belum memiliki pemahaman yang mendalam tentang penguasaan persyaratan
keilmuan sebagai seorang mufassir,seperti bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh
wal mansukh, ilmu hadits, ilmu fiqih dan ilmu-ilmu lain yang menjadi syarat
keabsahan sebuah penafsiran.
Tokoh-tokoh yang dikenal sebagai perawi ad-dakhil : Abdullah bin
Salam, Ka’ab al Akhbar, Wahab bin Munibbah.
Daftar Pustaka
Az Zahabi.
Muhammad Husain. Al-ittihahat al-munharifah fi tafsir al-quran al-karim
dawafi’uha wa daf’uha. Cet. Ke 2, Tahun 1978 M. Darr al-I’tishom
Al-Bana Gamal.
Evolusi Tafsir. Kairo, Darr Al-Fikr al-Islamy, 2003
Abi Abdillah Az-Zahabi.
Syamsuddin. Tadzhib Tahdzib Al-Kamal fii Asma’ Ar-Rijal. Cet. Ke 1.
Tahun 2004 M. Al-Faruq Al-Hadasyiyah li At-Taba’ah waAn-Nasyr. Kairo
Muglathai, ‘Ala
Ad-Din. Ikmal Tahdzib Al-Kamal fii Asma’ Ar-Rijal. Cet. Ke 1. Tahun 2001
M. Al-Faruq Al-Hadasyiyah li At-Taba’ah waAn-Nasyr. Kairo
Az-Zarqani,
Muhammad Abdul A’zim. Manahil Al-‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an. Juz. Ke 2.
Dar Al-Fikr
Al-Qattan,
Manna’ Khalil. Mabahis fi Ulum Al-Qur’an. Cet. Ke 14. Tahun 2007 M. Maktabah
Wahbah. Cairo
Az Zahabi.
Muhammad Husain. At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Juz 1. Tahun 2005 M. Daar
Al-Hadits. Mesir
Pdf, Manahij
Jami’ah Al-Madinah Al-‘Alamiyyah. Ad-Dakhi fi At-Tafsir. Jami’ah
Al-Madinah Al-‘Alamiyyah
[1] Dr.
Abdurrahman bin Shalih, Al-Aqwalu Syadzah Fi At-Tafsir (Madinah
Al-Munawwarah: Al-Hikmah, 2004), hal. 29
[2]
Gamal Al-Banna, Evolusi Tafsir (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2005), hal.
27
[3] Gamal
Al-Banna, Evolusi Tafsir (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2005), hal. 29
[4] Manahij Jami’ah Al-Madinah Al-‘Alamiyyah, Ad-Dakhil fi At-Tafsir
(Madinah: Jami’ahAl-Madinah Al-‘Alamiyyah)
[5] Muhammad
Husain Az-Zahabi, At-Tafsir wal Mufassirun (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005)
hal. 141
[6] Syaikh Muhammad Abdul ‘Adzim Az-Zarqany.
Manahil al ‘irfan. Daar al-fikr. Hal 26
[7] Syaikh Muhammad Abdul ‘Adzim Az-Zarqany.
Manahil al ‘irfan. Daar al-fikr. Hal 26
[8]
Duktur Muhammad Husain Adz Zahaby.at Tafsir al Mufasirun. Darr al-Hadits,
Mesir. Hal. 162
[9] Maktabah samelah
[10]Syaikh Muhammad Abdul ‘Adzim Az-Zarqany.
Manahil al ‘irfan. juz 2. Daar al-fikr.
Hal. 27
[11] Ikmal tahdzib al-Kamal fi asma’i ar
rijal. Jilid 12. Hal. 264
[12] Ikmal tahdzib al-Kamal fi asma’i ar
rijal. Jilid 12. Hal. 265
[13] Ikmal tahdzib al-Kamal fi asma’i ar
rijal. Jilid 12. Hal .265
[14]
Duktur Muhammad Husain Adz Zahaby.at Tafsir al Mufasirun. Darr al-Hadits,
Mesir. Hal. 171
[15] Tadzhib tahdzib al-kamal fi asma’i
al-rijal.jilid 7 Hal. 453
[16] Tadzhib tahdzib al-kamal fi asma’i al-rijal.jilid
7 Hal. 454
Tidak ada komentar:
Posting Komentar