KENABIAN
PERSPEKTIF TAFSIR AL-MARAGHI
I.
Pendahuluan
A. Latar
belakang
Pada tahun kesepuluh
Hijriyah, Nabi Muhammad SAW menerima Surah dari seseorang yang mengaku jadi
nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab
yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad).
Dalam Surahnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk
Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi
semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”
Seperti dituturkan
ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriyah, Imam Ibn
Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah
Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari,
Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan
sebelum berkirim Surah, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang
menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang
kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.
Namun, setelah Nabi
wafat, Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya
berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan
diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr
al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk
kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti
Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan
menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan
pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan
ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu
tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan
membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan
kemurtadan (hurub al-ridda).”
Tampaknya, “perang
melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan
terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk
perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga
warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan
muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak
kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para
pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka
lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah
dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan
karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.[1]
B.
Rumusan masalah
1. Apa
pengertian Nabi dan Rasul
2. Apakah
Nabi itu pilihan tuhan atau bisa di usahakan
3. Apakan
keNabian masih berlanjut atau sudah berakhir
C. Tujuan
dan kegunaan penulisan
Penelitian
ini ditujukan untuk mengetahui jawaban-jawaban dari rumusan masalah yang sudah
peneliti uraikan rinciannya di atas.
II.
Pembahasan
A. Biografi
penulis
Nama
lengkapnya Ahmad Mustafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi, lahir di
desa al-Maragah[2]
pada Rabi’ul akhir tahun1289,atau bertepatan pada 9 Maret 1881[3].
Ia dikenal sebagai sebutan al-Maraghi karena dinisbatkan kepada kota
kelahirannya.
\
Jenjang
Pendidikan dan Pengabdian
Al-Maraghi
dibesarkan bersama delapan saudaranya dibawah naungan rumah tangga yang sarat
pendidikan agama. Dikeluarga inilah al-Maraghi mengenal dasar-dasar agama
sebelum mengenal dan menempuh pendidikan dasar disebuah madrasah di desanya. Di
madrasah, ia rajin mempelajari al-Quran, baik untuk membenahi bacaan maupun
untuk menghafalnya. Karena itulah semenjak umur 13 tahun ia telah hafal al-Quran.[4]
Kemudian
jenjang pendidikannya dilanjutkan di madrasah di kota Thahta[5],
desa ini terletak tidak jauh dari kampung asalnya. Disana ia mempelajari agama,
kemudian pada tahun 1314 H/1897 M al-Maraghi menempuh kuliah di Universitas al-Azhar
dan Dar Ulum keduanya terletak di Kairo. Al-Maraghi sangat tertarik untuk
belajar di al-Azhar karena pada waktu itu terdapat para guru besar seperti Muhammad
Abduh. Di al-Azhar ia selalu mengikuti pengajian balaghah dan tafsir
yang diasuh langsung oleh Muhammad Abduh. Al-Maraghi dianggap sebagai salah
satu murid Muhammad Abduh, tetapi pengajian yang diikuti al-Maraghi dengan
gurunya Muhammad Abduh tidak berlangsung lama karena ia merampungkan pendidikannya
pada tahun 1904 M dan langsung diangkat menjadi staf pengajar di Universitas al-Azhar.[6]
Dari
dua universitas top ini, al-Maraghi menyerap ilmu dari beberapa ulama kenamaan
seperti Muhammad Abduh, Muhammad Bukhait al-Muth’i, Ahmad Rifa’i al-Fayumi, dan
lain-lain. Mereka mempunyai andil besar dalam membentuk bangunan
intelektualitas al-Maraghi.
Lulus
dari universitas bergensi tersebut dan setelah mengabdikan diri sebagai guru di
beberapa madrasah. Tak lama kemudian dia diangkat menjadi seorang Hakim di
Danqalah, Sudan. kemudian pada tahun 1970 dia diangkat menjadi Qadhi di ibukota
Sudan, Khurtum.
Karena
kecakapan dan kelihaian al-Maraghi dalam menjalankan tugas tercium oleh
pemerintah Mesir al-Maraghi dia dipanggil oleh pemerintah Mesir untuk diangkat
menjadi pengawas kementrian perwakafan pada tahun 1907 M. Dan pada tahun
1909 al-Maraghi kembali lagi ke Negara Sudan dan diminta untuk menjadi Hakim
Agung Negara Sudan. Kemudian pada tahun 1923 ia kembali lagi ke Mesir atas
perintah presiden kala itu untuk mendirikan رئاسة
المحكمة العليا الشرعية.[7]
Syaikh
Al-Azhar
pada
tanggal 22 mei 1926, al-Maraghi diangkat menjadi Green Syekh Al-Azhar, ketika
menjadi Syaikh al-Azhar, al-Maraghi banyak melakukan perubahan untuk kemajuan
al-Azhar.
Peninggalan
Berharga
Al-Maraghi
adalah seorang tokoh ulama pada zaman itu yang mempunyai banyak jasa bagi
rakyat Mesir dan bagi Civitas Intelektualitas Universitas al-Azhar diantara
jasa-jasa beliau adalah:
1. Keputusannya
ketika menjadi ketua di lembaga hukum syari’ah tertinggi kepada para hakim
untuk tidak Bertaqlid kepada salah satu 4 madzhab. Tetapi para hakim diberi
kebebasan untuk memutuskan hukum yang sesuai dengan kondisi zaman dan tempat
yang berlaku pada saat itu sebagaimana yang dikatakannya:
ضعوا من المواد ما يبدو لكم أنه
يوافق الزمان والمكان وأنا لا يعوزني بعد ذالك أن أتيكم بنص من المذاهب الإسلامية
يطابق ما وضعتم
2.
Reformasi di Universitas
al-Azhar
Karya-karyanya:
١.بحث
فى ترجمة القران الكريم واحكامها
٢.رسالة
الأولياء المحجوبين التي حصل بها علي عضوية كبار العلماء
٣.بحوث
فى التشريع الإسلامي
٤.تفسير
جزء تبارك
٥.تفسير
سورة الحجرات
٦.تفسير
سورة الحديد وايات من الفرقان
٧.تفسير
سورتي لقمان و العصر
٨.الدروس
الدينية التي كانت يلقاها فى المسجد
Wafat
Al-Maraghi
meninggal di kota Iskandariah, malam Rabu tangal 14 -9-1374 dan bertepatan pada
Agustus 1945. Atas jasa-jasanya, namanya diabadikan sebagai salah satu jalan
kota di kota tersebut[8].
B. Profil
tafsir
·
Nama dan latar
belakang penulisan
Al-Maraghi
merupakan potret ulama yang produktif
yang mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu, disela
kesibukannya belajar dan mengajar, ia telah menyisihkan waktu untuk menulis.
Dan karyanya yang monumental adalah Tafsir Al-Quran Al-Karim yang lebih
dikenal dengan Tafsir al-Maraghi.
Tafsir
al-Maraghi ditulis selama kurang lebih 10 tahun, sejak tahun 1940-1950 M.
Menurut sebuah sumber, ketika menulis tafsirnya, ia hanya beristirahat selam
empat jam sehari. Dalam 20 jam yang tersisa, ia gunakan untuk mengajar dan
menulis.
Ketika
malam bergeser pada paruh akhir kira-kira pukul 3.00, al-Maraghi memulai
akitivitas dengan salat tahajud dan solat hajat.
·
Latar Belakang Tafsir
al-Maraghi
Dalam
muqaddimah tafsirnya, al-Maraghi menuturkan
alasan menulis kitab tafsir. Ia merasa ikut bertanggung jawab untuk
mencari solusi terhadap berbagai masalah yang mewabah di masyarakat berdasarkan
al-Quran, di tangan al-Maraghi, al-Quran ditafsirinya dengan gaya modern sesuai
dengan tuntutan masyarakat. Pilihan bahasa yang disuguhkan kepada pembacapun
ringan dan mengalir lancar. Ia melihat bahwa para mufasir terdahulu cenderung
menulis tafsir hanya terpaut pada kajian bahasa dan dan tidak menyentuh kajian
inti yaitu fungsi al-Quran sebagai Hudan Linnas. Oleh karena itu para
penafsir kontemporer salah satunya al-Maraghi mempunyai inisiatif dan merasa
terdorong untuk mengarang sebuah tafsir yang langsung mengacu pada fungsi utama
al-Quran sebagai Hudan Linnas dan sebagai solusi pada masyarakat social
modern dan tidak banyak mengkaji pada kajian bahasa sehingga dapat dengan
mudah dicerna oleh masyarakat dan tidak bertele-tele. Pada beberapa bagian, penjelasannya
cukup global. Tetapi ditempat lain, uraiannya begitu mendetail, tergantung
kondisinya.[9]
Gaya
penafsiran seperti ini sebenarnya mirip dengan strategi penulisan Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Mannar, harus diakui al-Maraghi
merupakan orang yang sangat terpengaruh oleh kedua penafsir itu.
Tafsir
al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 M di Kairo. Pada terbitan
perdana, al-Maraghi diterbitkan dengan 30 juz. Tafsir ini juga pernah
diterbitkan dalam edisi 15 jilid, setiap jilid berisi dua juz. yang lumrah
beredar di Indonesia adalah edisi Tafsir al-Maraghi yang 10 jilid.[10]
Sumber
Penafsiran Tafsir al-Maraghi
1.al-Quran
2.al-Sunah
3.Ulama
Salaf
4.Kajian
Bahasa
5.Menukil
dari ulama tafsir terdahulu
Tetapi
semua sumber yang al-Maraghi jadikan referensi semuanya dibawah kendali
pemikirannya. Apabila ia menganggap benar maka ia akan menukilnya dan apabila
ia menggapnya tidak benar maka ia tidak akam mengambil sumber itu.[11]
C. Metodologi
penafsiran
Para
penafsir kontemporer menegaskan bahwasannya fungsi dari al-Quran yang utama
adalah sebagai petunjuk untuk menuntun manusia kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat. Inilah maksud utama diturunkannya al-Quran kepada Nabi Muhammad, sedangkan
selain tujuan itu, semuanya hanya
berfungsi sebagai jalan untuk menuju maksud utama, kebahagian dunia dan
akhirat.[12]
Ini
juga yang dikatakan al-Maraghi dalam muqadimah tafsirnya:”al-Quran
diturunkan kepada makhluk yang paling mulia yang megetahui bagaimana maksud
diturunkannya.Allah hanya menutut kita untuk memahami ayat-ayatnya yang
diturunkan,karena firman-Nya adalah cahaya dan petunjuk bagi seluruh umat
manusia.dan Allah menjadikan al-Quran itu mencakup segala sendi kehidupan baik
untuk kehidupan di dunia maupun untuk kehidupan di akhirat,dan tidak mungkin
bagi umat manusia untuk mengamalkan cahaya firmannya kalau tidak dipahami
secara mendalam dan dibukan takbir maknanya.oleh karena itu kita di tuntut
untuk memdalami al-Quran dan membukan makna tafsirnya dari segi bahwasany al-Quran adalah sebagai petunjuk
bagi manusia yang menuntunnya kejalan kebahagian baik di dunia maupun di
akhirat,sedangkan segala sesuatu yang tidak sejalan dengan tujuan utamannya
semuanya hanya berfungsi sebagai wasilah atau jalan untuk mencapai kebahagiaan
itu”[13]
Mereka
sebenarnya ingin mengkritik kepada para penafsir klasik yang tidak menafsirkan al-Quran
kepada tujuan utamannya sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Maraghi:”kebanyakan
para penafsir klasik memusatkan perhatian penafsiran al-Quran bukan pada tujuan
utama tetapi hanya kepada wasilah-wasilahnya saja”[14]
Oleh
karna itu, Muhammad Abduh berkata dalam muqadimah tafsirnya:”Diantara kekuarangan
para penafsir adalah menyibukan para pembaca tafsir kepada hal yang bukan
tujuan utama.diantara mereka hanya menafsirkan al-Quran hanya dalam bidang
pembahasa I’rab,kaidah,kaidah nahwu,ada yang membahasnya dari perbedaan
pendapat para ahli mutakalim,istimbat fuqaha,ta’sub para pemngit
madzhab,menukil riwayat-riwayat israiliyat yang belum tentu benar,bahkan
al-razi memalingkan al-Quran dan menafsirkan al-Quan dengan di tambahkan
pengetahuan-pengetahuan yang bersifat eksak dan pengetahuan-pengetahuan lainnya
yang datangnya dari peradaban yunani kuno”.[15]
Oleh
karna itu, para penafsir kontemporer seperti al-Maraghi ingin memberikan nuansa
baru dalam menafsirkan al-Quran dengan langsung mengarah kepada pembahasan
intinya yaitu sebagai petunjuk bagi manusia dan menuntun mereka kejalan menuju
kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat sebagai mana yang dikatakannya:”Sesungguhnya
penafsiran al-Quran yang ditulis oleh para mufassir zaman terdahulu disesuaikan
dengan penafsiran zaman itu agar supaya penafsiran itu mudah dipahami oleh
mereka.dan oleh karan pada setiap zaman mempunyai masa sendiri-sendir dan
mempunyai tabi’at dan kebiasaan dan cara berfikir yang berbeda-beda maka para
mufassir zaman sekarang harus menggunakan corak baru dalam penafsiran al-Quran
dan disesuaikan dengan kondisi,keadaan cara berfikir orang masa sekarang.sebagaimana
tujuan inti dari sebuah pembicaraan yaitu:
ان
لكل مقام مقال
bagi
setiap makam ada maqal
sesorang itu diajak
bicara disesuaikan dengan kemampuan akalnya”[16]
Oleh
karna itu, kalau kita membaca penafsiran ulama kontemporer seperti al-Maraghi
maka kita akan disuguhkan nuansa penafsiran yang berbeda dengan ulama
sebelumnya. Dan pada hakikatnya mereka kadang-kadang sependapat dengan
metodologi penafsiran ulama salaf dan kadang-kadang mereka juga bertolak
belakang dengan metodologi tersebut.
Diantara
metodologi penafsiran itu adalah sebagai berikut
1. Al-Wihdah Al-Maudhu’iah Dalam
Surah Al-Quran
Yang
dimaksudkan dengan wihdah al-maudhu’iyah secara bahasa adalah diambil
dari kata wihdah. Menutut Imam Syibawaih kata wihdah berasal dari
التوحد (bersatu)
atau dengan kata lain berarti التفرد
(bersatu)[17].
Sedangkan menurut al-Raghib al-Asfahani berpendapat bahwa kata wihdah
berarti:أن الوحدة فى الحقيقة هو الشئ الذي لا جزء له
البتة,ثم يطلق على كل موجود (kata wihdah pada hakikatnya adalah sesuatu
yang tidak mempunyai bagian sama sekali, kemudian kata itu berkembang dan
diucapkan kepada segala sesuatu yang maujud).[18]
Sedangkan
yang dimaksud dengan maudu’ disini berasal dari kata الوضع ضد الرفع (adalah kebalikannya dari kata tinggi).[19]
Kalau
kita gabungkan kedua kata ini maka makna akan menjadi:”Sebuah kesatuan tema
yang ditampilkan didalam al-Quran dan didalamnya tidak ada perbedaan sama sekali
atau dengan kata lain bersatunya keseluruhan tema.”
Sedangkan
yang dimaksudkan wihdah waudhu’iah dalam al-Quran adalah pembahasan
tema tema tertentu yang ditawarka oleh al-Quran dalam Surat-Surat yang
berbeda-beda agar supaya ada kejelasan tentang makna yang dimaksud yang
berhubungan dengan tema yang umum yang dimaksud agar tujuan utamanya tercapai.[20]
Sedangkan
yang dimaksud dengan wihdah maudhu’iyah dalam Surah adalah:
البحث
عن الهذف الواحد الذي عرضت له كل سورة من السور القران الكريم ومدى ارتباطه فى كل
السورة ومن موضوعاتها الأخرى من جدل إلى قصاص الى تشريع الى وصف_فإجاد الوشائج
التي ترتب بين موضوعات السورة من أحكام ومبادئ وما تذكره القصص,ومشاهد والخروج من
ذالك كله الى هدف واحد يجمع بينها وهو الوحده الموضوعة للسورةز
Artinya: pembahasan mengenai tujuan utama al-Quran
yang ditampilkan disetiap Surah dari Surah-Surah al-Quran semua keterkaitan
yang ada didalam berbagai tema di dalam al-Quran semuanya mengacu pada satu
tujuan yaitu الوحدة الموضوعة.[21]
Pengerian
ini sangat berbeda dengan pengerian ulama-ulama klasik seperti as-Syatibi dan
al-Suyuti dan al-Imam Zarkasyi dalam al-Burhan: “Ketersambungan al-Quran dari
satu ayat dengan ayat yang sehingga menjadi satu kalimat merupakan ilmu yang
agung dan mulia tidak bisa dipahami semua itu kecuali orang-orang yang alim.”[22]
Oleh
karena itu, kadang-kadang mereka menolak penafsiran yang bertentangan dengan
tujuan utama tema besar Surah al-Quran tersebut, sehingga mereka tetap
menjadikan tema Surah sebagai pedoman utama dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
Contohnya adalah penafsiran Surah al-Imran ayat 37:
كلما دخل عليها زكريا المحراب زجد عندها
الرزقا
Dalam
menafsirkan ayat ini kebanyaka ulama diantaranya Imam ar-Razq bahwasannya
ditemukan di sisi Sayidah Maryam berbagai macam buah-buahan baik yang ada pada
musim dingin maupun yang ada dimusim panas.[23]
Penafsiran
ini bertolakbelakang dengan penafsir
kontemporer diantaranya al-Maraghi yang mengatakan:
وليس
لنا مسند صحيح من كتاب أو سنة يأيد هذه الروايات الإسرائليات
“Kami
tidak menemukan musnad yang shohih dari al-Quran maupun hadits yang mendukung
pendapat dari riwayat israiliyat ini”[24]
Pendapat al-Maraghi ini
juga di dukung oleh gurunya Muhammad Abduh yang mengatakan:
“Demi Allah tidak bisa dikatakan begitu,Nabi pun tidak
mengatakan begitu,dan pendapat itu tidak bisa diterima oleh rasio yang
sehat,apalagi tidak ada sejarah,riwayat dari para mufasir salaf dan pandangan ini sangat bertentangan dengan
sanad-sanad yang shahih”
Lebih lanjut Muhammad
Abduh mengatakan:
“ Maka yang paling penting adalah
tidak membahas apa bentuk rizki itu,tapi yang laing penting adalah membahas
tujuan utama diceritakan kisah ini.hal ini merupakan pengukuhan ke-Nabian Nabi Muhammad
SAW dan untuk menolak pengakuannya orang musyrik yang mengingkari ke-Nabian Nabi
Muhammad SAW.lebih lanjut bahsannya maksud diturunkannya awahyu adalah pengukuhan
terhadap akidah ilahiyah dan masalah yang paling pentingnya adalah masalah
ketahuhidan dan pengukuhan keimanan terhadap di bangkitkannya manusia dan
balasan yang akan di timpanya,dan untuk mempercayai wahyu dan para Nabi.dan
Surat Ali Imran ini di awalai dengan pengebutan tauhid dan diturunkannya al-Quran
kemudian dari mulai awal Surat sampai di paparkannya ayat ini tidak lepas dari
pembahasan tentang keTuhanan,balasan hari akhir,menghilangkan keraguan kemudina
ayat itu di lanjutkan dengan membahas bahwasannya manusia akan mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirt hanya dengan mengikuti Nabi dan Rasul dan
kisah ini untuk menghilangkan keraguan
yang lakukan oleh orang-orang musyrikin dan ahli kitab”[25]
2. Al-Quran
adalah sumber utama
Yang
dimaksudkan disini adalah sebagai mana yang di katakan oleh Muhammad Abduh: ”Al-Quran
adalah pijakan utama bagi agama ini, maka kalau dijelaskan di dalam al-Quran
tidak perlu lagi untuk mengambil tambahan dari yang lain, tapi kalau tidak ditemukan
di dalam al-Quran maka boleh berpegangan pada keterangan hadits oleh karena itu
Nabi membenarkan Mu’adz bin Jabal ketika akan diutus ke Yaman dan ini juga yang
diwasiatkan kepada para Kahlifa ar-Rasyidin dan para sahabat dan tabi’in
yang lain”[26]
Dari
pendapat ini tentu mempunyai banyak konsekuensi terhadap penafsiran al-Quran
dan tidak jarang al-Maraghi dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu bersebrangan
dengan ulama terdahulu.
Seperti
ketika menafsirkan Surah al-An’am ayat 145:
قل لا أجد فيما أوحي
إلي محرما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحمام خنظير فإنه رجس
أو فسقا اهل لغير الله به فمن اضطر غير باغ ولا عاد فإن ربك غفور رحيم
Dalam hal ini al-Maraghi
menafsirkan ayat ini dengan mengatakan:
وما صح من الأحاديث
فى النهي عن طعام غير هذه الانواع فهو اما مؤقت واما للكراهة فقط ومن الأول تحريم
الحمر الأهلية فقد روى ابن ابي شيبة والبخاري عن ابن عمر قال: نهى النبي صلى الله
عليه وسلم عن لحوم الحمر الاهلية يوم خيبر
ومن الثابي ما رواه البخري ومسلم عن ابي ثعلبة الخشني ان رسول الله نهى عن
كل ذي ناب من السباع وكل ذي مخلب من الطير
Hadits-hadits yang sohih
yang menjelaskan tentang larangan memakan makanan selain apa yang disebutkan di
dalam ayat ini maka hal itu bisa jadi karena larangan yang sifatnya sementara
atau larangan yang sifatnya makruh, contoh yang pertama adalah apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah tentang pelarangan burung hamr bahwasannya Nabi melarang memakan daging burung hamr dihari
khibar, dan yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Tsa’labah al-Khasyani bahwasanya Rasulullah
melarang memakan semua hewan buas yang bertaring dan burung pemburu.
3. Al-Quran
Universal
Ke
universalan al-Quran merupakan refleksi dari keuniversalan risalah
al-islamiah sebagaimana firma-Nya:
قل
يا أيها الناس إني رسول اللله إليكم جميعا
وما
ارسلناك إلا رحمة للعالمين
وما
أرسلناك إلا كافة للناس بشير ونذيرا
Oleh
karena itu Syari’at Islamiyah selalu umum disetiap zaman dan tempat. Maka, tidak
heran lagi kalau al-Quran itu sifatnya umum bagi semua umat manusia.
Hal
ini mempengaruhi gaya penafsiran bagi penafsir kontemporer tidak terkeculi al-Maraghi
dalam menafsirkan berbagai ayat al-Quran. Dan mereka cenderung memahami
ayat-ayat al-Quran itu umum sebagaimana yang diungkapkan dalam usul fikih
العبرة
بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Berbeda dengan pemaham
ulama lain yang mengatakan bahwa:
العبرة
بخصوص السبب لا بعموم اللفظ
Sebagaimana al-Maraghi
memahami Surah al-Baqarah ayat144:
فول وجهك شطر المسجد
الحرام وحثيما كنتم فولوا وجوهم شطره
Dengan
mengatakan:
والأوامر التي حاءت
فى الكتاب موجهة إلى رسول الله هي له ولأمته ألا دل دليل على أنها خاصة به كقوله
{خالصة لك من دون المؤمنين}{ومن الليل فتهجد به نافلة لك}وأنما أكد الأمر
باستقباله ووحهه الى المؤمنين بعد أن أمر به بنيه وشرفهم بالخطاب بهد خطاب رسوله
لتشند عزيمتهم وتطمئن قلوبهم ويتلقوا تلك الفتنة التي اثاها المنافثون واهل
الكتابب واليهوود بعزيمة صادقة وثبات على اتباع الرسول
Perintah
yang ada dalam ini di tujukan khusus untuk Nabi Muhammad,akan tetapi sebenarnya
perintah itu umum ditunjukan untuk Nabi dan umatnya kecuali ada dalil yang
secara jelas menunjukan khusus Nabi Muhammad seperti firmannya
خالصة لك من دون
المؤمنين
ومن الليل فتهجد به
نافلة لك
Dalam
ayat ini Allah menegaskan perintah menghadap qiblat untuk semua orang mukmin setelah memerintahkannya
kepada Nabi orang mukmin tujuan penyebutan khitab orang mukmin setelah di
khitabnya Nabi agar kemauam mereka menjadi kuat dan hati mereka menjadi tenang
setelah mereka mendapatkan fitnah dari kalanga orang munafik ,ahli kitab dan
orang yahudi denga kemauan yang murni dan keteguhan hati untuk mengikuti nab Muhammad
SAW.
4. Tidak
memperpanjang pembahasan pada ayat-ayat yang dimubhamkan al-Quran
Al-Maraghi
selalu tidak memperpanjang pembahasan tentang sesuatu yang samar baik yang
bersifat materi dan yang bersifat non materi contohnya ketikan menafsirkan
ayat:
وسارعوا
إلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموات والأرض أعدت للمتقين
Al-Maraghi mengatakan:
والأية
تدل مظارها على ان الجنة مخلوخة الان لأن الفعل الماضى بفهم هذا غير أنه من الجاز
ان يكون من قبل قوله تعالى {ونفخف الصور فصعق من فى السموات ومن فى الأرض}فلا يدل
على خلقها الان والبخث فى هذا لا فادة له ولا طائل تحته
Ayat ini secara dzahir
menjelaskan bahwasannya surga itu sekarang telah diciptakan karena fi’il
madhi yang digunakan dalam ayat ini bisa difahami begitu, tetapi dalam ayat
lain seperti ayat:
ونفخف
الصور فصعق من فى السموات ومن فى الأرض
Tidak
menunjukan telah diciptakannya surga sekarang dan membahas lebih detai hal-hal
seperti ini tidak ada faidahnya.
5. Tafsir
ilmi pengetahuan modern
Al-Maraghi
tidak menganjurkan ulama untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan penemuan-penemuan
modern sebagai refrensi utama, tetapi menganjurkan mereka untuk mengetahui dan
menukilnya hanya sebatas untuk menunjukan kebesaran kekuasaan Allah saja, sebagai
mana yang dikatakannya:
وجد
الخلاف بين المسلمين فى العقائد والاحكام الفقهية ووجد هم مرض اخر هو الغرور
بالفلبسفة وتأويل القران ليرجع اليها وتأويله من النظريات العلمية التى لم يقر
قرارها وذالك خطر عظيم على الكتاب للفلايفة أو هاما لا تزيد على خذيان المصاب
بالحمى والنظريات التى تستقر لا يصح ان يرد اليها كتاب الله
Telah
banyak ditemukan banyak perbedaan dikalangan umat muslim tentang masalah hukum
dan akidah dan hukum-hukum fikih dan telah ditemukan penyakit lain yaitu
tertipu denga filsafat dan mentakwilkan Quran disesuaikan dengan penemuan
ilmiah yang belum ada kejelasan tentang kebenarannya dan hal ini merupakan
bahaya yang besar bagi al-Quran, dan pnemuan-penemuan yang belum diyakini
kebenarannya tidak sah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah
penemuan tersebut.
6. Tafsir
yang rasional
7. Mengingkari
riwayat israiliat
Al-Maraghi
sangat ingkar sekali terhadap riwayat-riwayat israiliat dan sangat menentang
para mufassir yang menggunakan dan menukil riwayat-riwayat al-Quran dalam
menafsirkan al-Quran sebagaimana yang ia katakan dalam muqaddimah tafsirnya:
اشار
الكتاب الكريم الى كثير من تاريخ الامم الغارة التى حل بها العذاب على ما اجترحت
من الاثام والى بدء الخلق وتكوين الارض والسموات ولم يكن لدى العرب من المعرفة ما
يستطيعون به شرح هذه المجلات التى اشار اليها الكتاب اذ كانوا أمة أمية فى صحراء
نائبة عن مناهل العلم والمعرفة الوالانسان بطبيعة حريص على استكناه المجهول
واستيضاح ما عزت عليه معرفه فالجأتهم الحاجة الى الاستفسار من اهل الكتاب من
اليهود والنصارى ولا سيما مسلمتهم كعبد الله بن سلام وكعب الاحبار ووهب بن منبه
فقصوا عليهم من القصص ما ظنوه تفسيرا لما خفى عليهم فهمه من كتابهم ولكنهم كانوا
فى ذلك كحاطب ليل بجمع بين الشذرة والبعرة الذهب واليبة فساقوا الى المسلمين من الاراء فى تفسير كتابهم ما
ينبذه العقل وينافيه الدين وتكذبه المشاهدة ويبعده كل البعد ما اثبته العلم فى
العصور اللاحقة
8. Mempersedikit
riwayat bil ma’tsur
Dalam
muqaddimah tafsirnya al-Maraghi mengatakan:
ومن
ثم ألا نذكر رواية مأثورة الا اذا يلقاها العلم القبول ولم نر فيها ما يتنافر مع
قضايا الدين التي لا خلاف يها بين اهله وقد وجدنا ان ذلك اسلم لصادق المعرفة واشرف
لتفيسر كتاب الله واجذب لقلوب الثقفين ثقافة علمية لا يقنعها الا الدليل والبرهان
ونور المعرفة الصادقة
“Oleh
karena itu,kami tidak akan menukil sebuah riwayat hadits kecuali kalau
kebenarannya telah diyakini dan tidak ada pertentangan dengan pemahaman agama.Hal
itu menurut kami lebih selamat dan lebih bijak untuk sebuah penafsiran al-Quran
yang mulia dan akan dan akan bisa diterima oleh para pemikir ilmu pengetahuan
modern karna kebenarannya sudah bisa dipastikan.[27]
Tentu
dengan metodologi yang digunakan al-Maraghi ini akan menimbulkan hal dan nuansa
berbeda dalam menafsirkan al-Quran contohnya ketika al-Maraghi menafsirkan
kalimat taqwa dalam Surah Ali
Imran ayat 101[28]
ياأيها
الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على اللذين من قبلكم لعلكم تتقون
Menutut al-Maragh kata
taqwa mempunyai banyak arti seperti:
1.
Ikhlas
Sebagaimana firman
Allah
فإنها
من تقوي القلوب
Artinya :”Dan sesungguhnya hal itu merupakan keikhlasan
hati”
Sebagaimana yang disabdakan Nabi:
من
احب ان يكون اكرم الناس ليتق الله
“Barangsiapa yang ingin menjadi
orang yang dimulyakan manusia maka ikhlaskanlah hati kepada Allah”
لا
يبلغ العبد المتقين حتي يدع ما لا باس به حذرا مما به باس
“Seorang hamba tidak akan mencapai derajat
orang muttaqin (ikhlas), sehingga ia bisa meninggalkan apa yang
dicegah padahal tidak dilarang”
2.
Ta’at
ان
انذروا أنه لا إله إلا أنا فاتقون
“Berilah peringatan kepada mereka bahwasannya tiada
Tuhan selain Aku dan bertaqwalah”
3.
Iman
فأنه
من تقوي القلوب
“Sesungguhnya hal itu adalah merupakan bagian dari hati
yang iman”
9. Mengingkari
taqlid
Dalam
menafsirkan al-Quran al-Maraghi tidak terpaku pada satu madzhab, tapi beliau
berijtihad sendiri dan mengacu pada kebebasan berfikir. Jelasnya ketika
al-Maraghi menafsirkan surah al-Baqarah ayat 170
وإذا
قيل لهم اتبعوا ما أنزل الله قالوا بل نتبع ألفينا عليه ابائنا...الاية
Artinya: Dan apabila dikatakan
kepada mereka ikutilah terhadap apa yang telah dirutunkan oleh Allah mereka
berkata”kami mengikuti apa yang telah digariskan oleh nenek moyang kita”.
وفى
هذه الاية ارشاد الى منع التقليد لمن قدر على الاجتهاد فاذا اتبع المرئ غيره فى
الدين ممن علم انه على حق كالانبياء والمجتهدين _فهذا ليس بتقليد_بل اتباع لما
انزل الله
“Ayat ini menerangkan terhadap
larangan bagi orang yang mampu berijtihad untuk taqlid dan apabila
seseorang yang merasa mampu berijtihad tetapi dia masih mengikuti pendapat
orang lain ini bukan dinamakan taqlid, tetapi merupakan perintah Allah yang
menyuruh seseorang untuk bertanya kepada yang lebih alim”.
10. Islah ijtima’i
Al-Maraghi
mempunyai perhatian khusus masalah kemaslahatan umat dan persatuan umat islam
dalam penafsiran al-Quran karena memandang bahwa al-Quran adalah kitab suci
yang menjadi pedoman yang utama dalam membentuk dan membangun karakter masyarakat
madani. Selain perhatiannya dalam membangun masyarakat islam yang madani al-Maraghi
juga mempunyai perhatian khusus dalam persatuan umat islam sebagaimana yang
dilakukan oleh Jamaluddin al-Afgani dengan “panji islam”nya. Hal ini
dapat kita lihat misalnya ketika al-Maraghi menafsirkan Surah al-Anfal ayat 25:
والتقوا
فتنة لا تصيبن الذين ظلموا خاصة واعلموا أن الله شدسد العقاب
Artinya ;
“Al-Maraghi
mengatakan dalam tafsirnya:fitnah yang paling besar yang dimaksudkan dalam
ayat ini adalah fitnah matrealiasitik dan fitnah fanatic golongan yang mewabah
di dalam umat islam, Allah SWT menuntut orang islam untuk menghindari hal
semacam ini,khususnya terhadap sesusatu yang menyebabkan perpecahan di dalam
tubuh umat islam,karna perpecahan itu menyebabkan melemahnya kekuatan umat
sehingga memudahkan musuh untuk menghancurkan umat islam baik dari dalam maupun
dari luar.”[29]
D. Term
yang digunakan al-Quran tentang tema keNabian
1. Nabi
Kenabian terambil dari kata Nabi. Kata ini berasal dari kata naba’
dari segi bahasa berarti berita penting, berita penting yang dimaksud adalah
informasi yang diterima seseorang dari Allah. Semua
Nabi memperoleh informasi dari Allah, dengan cara apa pun, informasi tersebut mengandung tuntunan
agama atau semacamnya.[30]
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia Nabi diartikan sebagai utusan Allah, orang-orang yang terpilih karna
keimannya dan akhlaknya yang baik sehingga diangkat Allah menjadi utusan-Nya
untuk menyebarkan agama-Nya di muka bumi, para Nabi adalah utusan Allah.[31]
Kata-kata
nabi beserta derivasinya diulang dalam al-Qur’an sebanyak 82 kata atau ayat,
diantaranya[32]:
Kata
nabi sebanyak 42 kata
Kata
nabiyyan sebanyak
9 kata
Kata
nabiyuhum sebanyak 2 kata
Kata
nabiyyun sebanyak 3 kata
Kata
nabiyyin sebanyak 13 kata
Kata
anbiya sebanyak 5 kata
Kata
nubuwah sebanyak 5 kata
Didalam
mufradat al-Quran
kata Nabi diartikan
السافر
بين الله وبين ذوى العقول من عباده لازاحة علتهم فى أمر معادهم ومعاشهم
Orang
yang dipilih Allah sebagai utusan dari hamba-Nya untuk mememuhi kebutuhan semua
hamba-Nya baik untuk di dunia maupun di akhirat.[33]
Dahulu
orang mengkaitkan kenabian dengan sihir, tenun, dan perdukunan. Yang bercampur didalam dirinya informasi antara
kesadaran dengan ketidaksadaran, bahkan juga penerimanya dinilai mengelami apa
yang dinamakan jadzab yakni berada dalam kondisi daya tarik suatu
kekuatan suci, yang menjadikannya mengucapkan kalimat-kalimat yang dianggap sebagai
informasi yang benar. Oleh sementara orang jadzab ini dinilai sebagai
“kegilaan suci”.
Kenabian masa lalu dikaitkan dengan informasi gaib, bahkan
menjadi salah satu ciri buktinya yang paling kuat bacalah perjanjian baru. Anda
akan mememukan bahwa Nabi isa as. menyatakan pada umatnya: ”Jika aku tidak
melakukan pekerjaan bapakku maka janganlah percaya padaku” (yahya 10:37) al-Quran
pun mengurai tentang Nabi Isa yang menyatakan kepada umatnya:
وأنبأكم بما تاكلون وما تدخرون فى
بيوتكم إن فى ذالك لأية لكم إن كنتم مؤمنين
“Dan
aku akan beritakan kepadamu apa yang kamu dan apa yang kamu siapkan di rumah
kamu, sesungguhnya
pada yang demikian itu adalah suatu tanda bagimu, jika kamu sungguh-sunguh beriman”.
Demikian
kenabian pada masa
lalu. Tetapi kenabian yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW berbeda dengan itu, akibat
perkembangan pemikiran dan kesadaran umat manusia. Kenabian
beliau tidak dikaitkan dengan pemberitaan ghaib, kecuali
yang disampaikan oleh Allah. Beliau
sendiri selalu menyatakan atas
perintah wahyu yang beliau terima bahwa beliau tidak mengetahui gaib:
قل لا املك لنفسي نفعا ولا ضرا إلا
ما شاء الله ولو كنت أعلم الغيب لاستكثرتم من الخير وما مسني السوء إن أنا إلا
نذير لقوم يؤمنون
Katakanlah:”Aku
tidak kuasa meraih manfaat bagi diriku dan tidak pula menolak mudharat-mudharat kecuali yang dikehendaki
Allah. Dan sekiranya
aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebijakan sebanyak-banyaknya
yang aku tidak akan timpakan kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.
Sedangkan menurut al-Maraghi kenabian ialah seseorang
yang diberikan kemampuan oleh Allah untuk memberikan petunjuk kepada manusia
dan diberikan kemampuan untuk memahami petunjuk-petunjuk Allah berupa kitab
atau hukma. Sebagaimana al-Maraghi menjelaskan Surah al-An’am ayat 89:
اولئك الذين
أتيناهم الكتاب والحكم والنبوة فإن يكفر بها هؤلاء فقد وكلنا بها قوما ليسوا بها
بكفرين
Kitab disini adalah kumpulan petunjuk-petunjuk Allah
kepada manusia dalam menjalani kehidupan, dan hukma adalah seorang hakim
dan orang yang menengahi dalam sebuah permasalahan dan sifat hukma tidak
diberikan kecuali kepada para nabi.[34]
Jadi, menurut al-Maraghi kenabian tidak bisa diusahakan karena itu adalah
sebuah pemberian atau fadhilah dari Tuhan.
2. Rasul
Dalam kamus besar
bahasa Indonesia kata Rasul diartikan sebagai orang pilihan yang
menerima wahyu dari tuhan untuk disampaikan kepada manusia. Dan
al-Quran menyebutkan kata rasul tidak kurang dari 513 kata beserta derivasinya
diantaranya dengan kata arsala, rasul, mursalin, risalah, dan lain-lain.
Jumlah mereka secara pasti tidak diketahui, karena hanya Allah yang tahu
jumlahnya, al-Quran hanya mengatakan dalam surah al-Mu’min ayat 78:
ولقد أرسلنا رسلامن قبلك منهم من قصصنا عليك ومنهم من لم
نقصص عليك.....الأيه
“Kami telah
mengutus nabi-nabi atau rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang telah
Kami sampaikan kisahnya, dan ada pula yang tidak Kami sampaikan kisahnya
kepadamu”.
Menurut al-Maraghi rasul adalah seorang utusan yang
menyeru kepada kaumnya untuk bertauhid,
iman pada Tuhan, dan hari akhir. Dan seorang rasul adalah pilihan dari Tuhan
kepada seseorang yang dianggap mampu menyeru atau mengajak kaumnya untuk
bertauhid. Dan yang mengetahui secara pasti jumlahnya hanya Allah tidak ada
seorangpun yang tahu secara pasti jumlahnya.
E. Pandangan
tafsir maraghi tentang kenabian
Sebenarnya manusia menginginkan untuk mengetahui akan
Tuhan dan memperoleh informasi yang pasti dari-Nya, tapi sayangnya tidak semua
manusia mampu untuk melakukannya. Atas belaskasihan dari Allah ada manusia
tertentu yang dipilih untuk menyampaikan pesan-pesan dari-Nya, baik untuk
masyarakat tertentu atau seluruh manusia disepanjang zaman. Mereka itulah yang
disebut Nabi dan Rasul.
Menurut Ahmad Musthofa al-Maraghi kenabian adalah suatu
pemberian dari Allah berupa kitab, mu’jizat, atau hukma. Karena
kecerdasan seseorang tersebut, pemahaman agamanya, bisa atau mampu mengajak
manusia kejalan Tuhan, dan menjadi qudwah. Jadi, kenabian sendiri tidak
bisa diusahakan, tapi karena pemberian langsung dari Allah, dan Allah maha
mengetahui atas hamba-Nya yang dikehendaki. Dan sebagaimana
penafsir-penafsir lain yakni al-Maraghi
sendiri tidak mengakui adanya rasul setelah Nabi Muhammad SAW
semua ulama bersepakat demikian.[35]
III.
Penutup
Dari pembahasan kami tentang kenabian dalam pandangan
tafsir al-Maraghi, kami dapat menyimpulkan diantaranya bahwa:
1.
Nabi adalah seseorang yang diberikan keistimewaan oleh
Allah untuk membawa berita atau peringatan dari Allah, dan nabi adalah sebuah
pemberian dari Allah bukan usaha seseorang. Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad
SAW tidak ada nabi lagi setelah beliau, maka dari itu jika ada seorang setelah
Nabi Muhammad SAW mengaku senbagai nabi itu adalah nabi palsu.
2.
Rasul adalah seseorang yang diutus oleh Allah untuk
menyampaikan syariat agama Allah, berupa berita gembira, peringatan, ataupun
wahyu, ada yang diutus hanya kepada kaumnya dan ada yang diutus untuk seluruh
manusia sepanjang zaman seperti Nabi Muhammad SAW. Rasul seperti halnya nabi
tidak bisa diusahakan, karena sebuah pilihan atau pemberian dari Allah kepada
hamba-Nya yang dikehendaki. Jumlah rasul dan nabi tidak ada yang mengetahui
secara pasti, hanya Allah yang tahu.
3.
Nabi adalah kehendak Tuhan bukan kehendak manusia, tidak
ada manusia yang mampu mengangkat seseorang sebagai nabi sebagaimana halnya
pemimpin masyarakat yang bisa dipilih warga.
4.
Setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia 15 abad yang
lalu, maka beerakhirlah masa kenabian dan kerasulan. Allah tidak lagi mengutus
nabi atau rasul, karena Nabi Muhammad SAW sebagai penutup atau pamungkas para
nabi dan rasul seperti dalam firman-Nya Surah al-Ahzab ayat 40.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rumi,
Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman, Manhaj
al-madrasah al-aqliyah al-haditsah fi at-tafsir, Riyadh: Idarah al-buhuts al-ilmiyah wa al-ifta wa ad-da’wah wa
al-irsyad, th. 1983 M.
Al-Zarkasyi,
Badruddin Muhammad
bin Abdullah, Al-burhan
fi ulum al-Quran, Kairo: Dar al-Hadits, th.
2006 M.
Al-Maraghi,
Ahmad Mustafa, Tafsir
al-Maraghi, Bairut: Dar al-kutub al-islamiyah, th. 2006 M.
Asma’ bin Umar Hasan Fasdak, Manhaj Sayyid Qutub fi Dzilal
al-Quran, Desertasi. Su’udiyyah: Jami’ah Ummul Qura, th. 1416 H.
Ridha,
Muhammad Rasyid, Tafsir
al-Quran
al-Hakim as-Syahir bi Tafsir al-Manar, Bairut: Dar
al-Fikr, th. 2007 M.
Mandzur,
Ibnu, Lisan al-‘Arab, Kairo: Dar al-Hadits,th. 2003 M.
Shihab,
M. Quraish, Membaca
Sirah Nabi Muhammad saw dalam sorotan al-Quran dan hadits-hadits shahih, Jakarta: Lentera Hati, th. 2011 M.
Az-Zain,
Samih A’tif, Mu’jam
tafsir mufradat al-fadz al-Quran
al-karim, Bairut: Dar al-Kutub al-Banani, th. 2007 M.
Em
Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus
lengkap bahasa Indonesia, Jakarta: Difa Publisher, th. 2008 M.
[1] Akhmad Sahal, Nabi Palsu, Sikap
Nabi, dan Ahmadiah, ( http://www.tempo.com),diakses pada tanggal 22/12/2013 jam 0.44
[2] Sebuah desa yang terletak di
pinggiran Sungai Nil, kira-kira 70 KM arah Selatan Kota Kairo, Mesir
[3] Ada yang berpendapat bahwa
beliau lahir pada tahun 1300H/1883 M.lihat Saiful Amin Ghafur,Profil Para
Mufasir Al-Quran,(Jogjakarta:Insan Madani) h, 151
[4] Saiful Amin,h.152
[5] Muhammad Husain adz-Zahabi,at-Tafsir
wa al-Mufasirun,(Qahirah:Maktabah Wahbah)v.2,h.366
[6] Adz-Zahabi,h.434
[7] Adz-zhabi,h.436
[8] Saiful Amin,h.154
[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi,Tafsir
al-Maraghi,(Bairut:Dar al-Kutub al-Islamiah),H.12-13
[10]Saiful Amin,154
[11] Adz-Zahabi,H.437
[12] Muhammad Rasyid Ridha,Tafsir
al-Quran al-Hakim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar,(Bairut: Dar
al-Fikir),h.11
[13] Ahmad Mustafa al-Maraghi,h.12
[14] Ahmad Mustafa al-Maraghi,h.12
[15] Muhammad Abduh,h.11
[16] Ahmad Mustafa al-Maraghi,h.19
[17] Ibnu mandzur,lisan
al-arab,(pustaka:Qahirah:dar al-hadits),v.9,h.236
[18] Asma binti umar hasan
fasdak,manhaj sayyi qutb fi dzilal al-Quran, desertasi,Saudi:jami’ah ummur
qura,v.1,h.209
[19] Lisanul A’rab,v.9,h.328
[20] Asma binti Umar Hasan
Fasdak,v.1,h.210
[21]Asma binti Umar Hasan
Fasdak,h.211
[22] Badruddin Muhammad bin Abdullah
al-zarkasyi,al-burhan fi ulum al-Quran,Qahirah dar al-hadits,hal36-40
[23] Fahd bin
Abdurrahman bin sulaiman ar-rumi,manhaj al-madrasah al-aqliyah al-haditsah
fi at-tafsir,riyadh:idarah al-buhuts
al-ilmiyah wa al-ifta wa ad-da’wah wa al-ir,h.409
[24] Ahmad Mustafa al-Maraghi,juz
1,h.493
[25] Muhammad Abduh,Tafsir
al-Manar,juz 3,h.204
[26] Muhammad Abduh,H.14
[27] Ahmad Mustafa al-Maraghi,Juz.1,H.19
[28] Ahmad Mustafa al-Maraghi,Juz
1,H.450
[29] Pengajian Syaikh Mustafa al-Maraghi
pada tahun 1357,(lihat Fahd Bin Abdurrahman Bin Sulaiman Ar-Rumi,H.386)
[30] M.quraish shihab, membaca sirah Nabi Muhammad saw dalam
sorotan al-Quran dan
hadits-hadits shahih, Jakarta:Lentera
Hati, h309-3011
[31] Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia
Senja, kamus lengkap bahasa
Indonesia,(Jakarta:Difa Publisher), h583
[32] M. Fuad Abdul Baqi mu’jam
mufhiras Kairo: Darul
Hadits, hal: 781-783
[33] Samih A’tif az-Zain mu’jam tafsir mufradat al-fadz al-Qruan
al-karim,(Bairut;dar al-kutub al banani),h,996
[34] Al-Maraghi, hal: 152
[35] Al-Maraghi, hal 165-166