BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Di
era globalisasi ini telah banyak sekali hal baru yang muncul dan selalu menjadi
perbincangan panjang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi seiring
semakin longgarnya aturan sebuah Negara dalam menyikapi suatu masalah baru yang
ada pada rakyatnya. Ada satu hal yang sejak dulu sampai sekarang selalu menjadi
topik hangat yang patut diperbincangkan oleh siapa saja. Jika kita berbicara
tentang masalah hak dan kewajiban pasti takkan ketinggalan tentang persoalan
yang disebut sebagai HAM (Hak Asasi Manusia). Dari dulu sampai sekarang seakan
menjadi satu hal yang patut diteliti lebih jauh seiring perkembangan pemikiran
manusia.
Manusia
mempunyai kedudukan tertinggi dalam kehidupan ini jika dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lainnya. Dia menjadi makhluk paling sempurna dari segi
penciptaan dan tentunya memiliki kedudukan tertinggi dibandingkan semua makhluk
lainnya di muka bumi ini. Ini dikarenakan Allah menciptakannya atas dasar
fitrah. Jika dalam perjalanan hidupnya ia mempertahankan fitrah tersebut, ia
akan tetap pada jalan lurus yang mengantarkannya pada kebenaran. Sebaliknya
jika ia menyalahi fitrah yang ada pada dirinya, ia akan tersesat lantaran apa
yang telah diperbuat. Itulah mengapa keseimbangan antara hak dan kewajiban itu
harus dimiliki setiap individu dalam koridor hukum Tuhan. Karena itulah
pelaksanaannya yang bersifat universal itu akan mewajibkan seluruh individu
maupun lembaga masyarakat untuk senantiasa menghormati dan menjunjung tinggi
hak-hak masing-masing.[1]
Perlu
diketahui bahwa HAM itu mempunyai penekanan pada prinsip kebebasan dan
perlindungan terhadap hak hidup seseorang. Ini akan mengarah pada satu
kedudukannya yang sangat vital dalam mencegah terjadinya pembunuhan antar
saudara sendiri dan mengembangkan kreatifitas manusia. Sehingga, ketika semua
itu dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan tentu demokratisasi pun akan
lebih mudah diwujudkan. Selain itu, adanya konsep HAM juga akan berfungsi
sebagai salah satu tindakan preventif untuk mencegah dan mengakhiri perang yang
ada di belahan bumi ini.[2]
Jadi,
jika pelaksanaan HAM ini terwujud di semua belahan dunia bukan tidak mungkin
perdamaian dunia ini akan selalu terjaga. Akan tetapi, jika sebaliknya yang
terjadi penyelewengan HAM yang terus menerus tak pernah berhenti akan menjadikan
keresahan setiap individu di dunia. Mereka tentu menganggap bahwa adanya konsep
HAM itu hanya sebatas jargon yang semata-mata menjadi simbol saja. Namun,
pelaksanaannya masih jauh dari dari harapan dan realita yang ada.
B.
Rumusan
masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, dapat kami rumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Definisi
HAM serta ruang lingkupnya
2.
Bagaimana
kronologi kelahiran HAM
3.
HAM
di Indonesia
4.
Pandangan
Islam terhadap Hak Asasi Manusia
5.
Pendapat
Muhammad Al-Ghazali tentang Hak Asasi Manusia di dalam kitab Nahwa Tafsir
Maudlu’i Li Suwar Al-Qur’an Al-Karim
C.
Tujuan
penulisan makalah
Dengan
adanya makalah ini, diharapkan akan menjadi sebuah kontribusi wacana bagi para
pembaca. Dan juga dapat menambah wawasan keilmuan khususnya bagi penulis. Di
samping itu, kami berharap tulisan ini akan menjadi suatu kajian lanjutan bagi
kita semua.
BAB II
HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
TINJAUAN TAFSIR MUHAMMAD AL-GHAZALI
(Nahwa Tafsir Maudlu’i Li Suwar al-Qur’an al-Karim)
A.
Definisi
HAM
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak asasi diartikan sebagai hak – kekuasaan
untuk berbuat atau menuntut sesuatu – yang paling mendasar atau pokok, seperti
hak hidup dan mendapat perlindungan.[3] Dalam
pandangan Barat Hak asasi manusia sering juga disebut sebagai Human Rights.
Adapun cakupannya bersifat universal – berlaku bagi siapa saja. Setiap individu
manusia tentu memiliki hak-hak asasi tertentu yang tidak mungkin dapat
dihilangkan. Oleh karena itu, HAM yang dalam pelaksanaannya mewajibkan semua
orang atau lembaga apapun untuk menghormati hak-hak tersebut.[4] Setiap
orang yang terlahir ke dunia pasti mempunyai hak asasi yang sama tanpa
terkecuali. Ada beberapa pendapat yang mencoba mendefinisikan HAM oleh para
tokoh sebagai berikut:
a)
John
Locke (Two Treaties on Civil Government)
Menurutnya,
Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir oleh manusia dan secara
kodrati melekat pada setiap individu yang tidak dapat diganggu gugat (bersifat
mutlak). Dari itulah, maka hak asasi harus dikorbankan untuk kepentingan
masyarakat sehingga lahirlah kewajiban.
b)
Koentjoro
Poerbapranoto (1976)
Hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Artinya hak-hak yang
dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya
sehingga sifatnya suci.
c)
UU
No. 39 Tahun 1999 (tentang Hak Asasi Manusia)
Hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[5]
Dari sekian pengertian yang diberikan oleh para tokoh di atas, kami
dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa HAM adalah hak asasi yang dimiliki
setiap manusia sejak ia lahir sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
bersifat suci. Atau dalam kata lain, hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki
setiap manusia menurut kodratnya yang pada hakikatnya bersifat suci.
B.
Ruang
Lingkup HAM
Pada
dasarnya, HAM merupakan suatu konsep yang bersifat moral yang secara umum ruang
lingkupnya hanya menyangkut hak yang bersifat individual saja. Adapun hak-hak
yang harus diakui oleh semua orang terhadap setiap manusia adalah hak hidup dan
hak mendapat perlindungan. Sebagai penduduk sipil, tentu setiap individu berhak
mendapatkan kedua hak tersebut. Namun,
seiring perkembangan pemikiran manusia dan fenomena yang berkembang di
masyarakat tentu HAM ini menjadi bersifat kolektif. Perkembangan pemaknaan
mengenai HAM itu terjadi juga seiring tingkat kemajuan peradaban.[6]
Sehingga, hak-hak yang tercakup dalam HAM tidak hanya hak yang melekat pada
diri manusia saja. Namun juga merambah sampai pada hak-hak bidang politik, hukum,
ekonomi, bahkan bidang sosial dan budaya.[7]
Secara
eksplisit, Hak Asasi Manusia dapat diperinci sebagai berikut:
a.
Hak asasi
pribadi (Personal Right)
1.
Hak
kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat
2.
Hak
kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
3.
Hak
kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
4.
Hak
kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang
diyakini masing-masing
b.
Hak
asasi politik (Political Right)
1.
Hak
untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
2.
Hak
ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
3.
Hak membuat
dan mendirikan partai politik dan organisasi politik lainnya
4.
Hak
untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
c.
Hak
asasi hukum (Legal Equality Right)
1.
Hak
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
2.
Hak
untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS)
3.
Hak
mendapat layanan dan perlindungan hukum
d.
Hak
asasi ekonomi (Property Right)
1.
Hak
kebebasan melakukan kegiatan jual beli
2.
Hak
kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
3.
Hak kebebasan
menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dan lain-lain
4.
Hak
kebebasan untuk memiliki sesuatu
5.
Hak
memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
e.
Hak
Asasi Peradilan (Procedural Right)
1.
Hak
mendapat pembelaan hukum di pengadilan
2.
Hak
persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan
di mata hukum.
f.
Hak
asasi sosial budaya (Social Culture Right)
1.
Hak
menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
2.
Hak
mendapatkan pengajaran
3.
Hak
untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat[8]
Dari sekian hak yang disebutkan di atas, paling tidak ada beberapa
poin penting terkait hak-hak tersebut jika dipandang menurut acuan pemikiran diskursus keislaman. Tidak
menutup kemungkinan hak-hak yang tertulis dalam undang-undang Negara kita ini –
UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM – tentu berkaitan erat dengan pandangan Islam
Tentang HAM itu sendiri. Adapun poin-poin tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Hak
hidup
Perlu
diketahui jika hidup manusia itu bersifat suci yang tak seorang pun berhak
untuk melanggarnya. Sebab jika ada seseorang yang melakukannya, itu sama halnya
melanggar hak seluruh manusia yang ada di dunia. Jika ia membunuh satu orang
saja, itu sama dengan memusnahkan seluruh manusia yang hidup di dunia ini.
Sehingga, tak akan ada yang sanggup untuk merampas kesucian tersebut kecuali
kekuasaan syari’at yang telah ditetapkan.[9] Allah
berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 179:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan
di dalam Qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang
berakal agar kamu bertakwa.”
(QS. 2/179)
Al-Maraghi
berpendapat dalam tafsirnya bahwa: “Di balik hukum qisas yang kejam itu,
terdapat jaminan kehidupan yang nyaman dan tentram. Jika seseorang diketahui
membunuh seseorang, maka balasannya adalah dibunuh sebagai hukum qisas. Sebab
dari itu, orang akan merasa terlindungi dari adanya penyerangan brutal yang
dilakukan oleh siapa saja.”[10]
2.
Hak
berkeluarga
Membina
keluarga merupakan salah satu sifat naluriah manusia. Pernikahan merupakan cara
yang disyari’atkan Islam untuk mendapatkan keturunan. Aturan yang ditetapkan
tersebut tidak hanya membahas hal-hal yang terkait dengan urusan pasca nikah,
tetapi urusan pra nikah juga tak lepas dari pembahasan syari’at Islam. Di
samping itu, menikah merupakan salah satu sunnah Nabi. Dan jika ada seorang
muslim yang tidak mengikuti sunnah beliau ia tidak dikategorikan sebagai umat
beliau. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِى
فَلَيْسَ مِنِّى.
الحديث
“Barang siapa
yang membenci sunnahku maka dia tidak termasuk golongan umatku.” HR. Muslim
Sehingga, sangat lazim jika pernikahan
merupakan salah satu urusan yang patut diperhatikan oleh setiap individu dan
harus mendapatkan perlindungan hukum. Ini dalam upaya menegakkan hak asasi
manusia dalam urusan memelihara keturunan.[11]
Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari hubungan pernikahan di dalam Islam meliputi
hal-hal sebagai berikut:
-
Menjaga
ras manusia
-
Menjaga
keturunan
-
Menyelamatkan
masyarakat dari kelemahan tabi’at
-
Menyelamatkan
masyarakat dari berbagai penyakit
-
Ketenangan
jiwa dan raga
-
Menjalin
kerjasama antara suami istri dalam membangun rumah tangga dan mendidik anak[12]
3.
Hak
memelihara agama
Kebebasan
dalam berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki manusia. Jika
ada orang yang melanggar hak tersebut itu sama saja merampas hak yang telah
dimiliki oleh seseorang. Islam merupakan agama yang meninggikan keberadaan dan
hidup seseorang. Selain itu, Islam mempunyai cara paling benar dalam mewujudkan
kerukunan antar umat beragama di dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam Islam
tidak pernah mengajarkan adanya paksaan dalam beragama. Kebebasan sepenuhnya
diberikan kepada setiap individu untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan
masing-masing. Jika hal ini dilanggar, itu berarti telah melanggar hak asasi
seseorang.[13] Allah berfirman di dalam surah Al-Baqarah
ayat 256
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh pada bubul tali yang
sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS: 2/256)
Pakar
tafsir Imam As-Showi berpendapat bahwa: “Seseorang tidak boleh dipaksa atau
memaksa untuk memeluk agama Islam. Karena setiap individu tentu memiliki sisi
benar maupun salah. Dan itu akan tampak jelas ada pada setiap manusia. Untuk
itu, adanya pemaksaan tersebut sangatlah tidak ada gunanya.”[14]
Sehingga tak perlulah sampai menggunakan kekerasan atau pemaksaan yang kejam
untuk mengajak orang lain masuk pada agama yang kita yakini. Karena itu sangat
bertentangan dengan keberadaan hak asasi yang dimiliki setiap manusia.
4.
Hak
kepemilikan harta
Islam
memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan
cara yang benar. Dari cara tersebut seorang muslim diperbolehkan untuk
mendapatkan harta yang halal dan menikmatinya. Selain itu. Ia juga dapat
mengembangkannya dalam urusan kebaikan. Sebab itulah, maka ia berhak
mempertahankan harta tersebut dari rampasan pihak lain.[15]
Akan
tetapi, Islam akan melarang keras jika dalam upaya seseorang berekonomi itu
bertujuan untuk menumpuk harta secara berlebihan. Begitu juga pembelanjaan
harta secara berlebihan sangatlah dilarang. Sebab, berlebih-lebihan ini akan
mengakibatkan banyak kerugian baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dari
itulah Islam melarangnya. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-A’raf
ayat 31
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِين
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah
di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS: 7/31)
Sehingga, satu hal yang sangat dianjurkan oleh
Islam dalam urusan harta adalah penggunaan dalam belanja yang cukup dan tidak
bakhil ketika mempunyai harta lebih. Dalam
kata lain, jangan sampai besar pasak daripada tiang dalam urusan harta.
Membelanjakan harta sesuai dengan kemampuan dan tidak bakhil dalam urusan
bersedekah.
5.
Hak memelihara
akal sebagai media berpikir dan berekspresi
Manusia
dibekali akal pasti untuk berpikir sebagaimana mata untuk melihat. Islam
meletakkan dasar kebenaran dalam berkeyakinan yang merupakan hasil dari
pemikiran yang benar.[16] Dalam
Islam, berpikir adalah sebuah kewajiban. Islam tidak pernah membelenggu gerak
pikiran sehat untuk berusaha menggapai hakikat serta menggelitik keraguan untuk
sampai pada sebuah keyakinan. Islam memberikan kebebasan berpikir dan
berekspresi. Hal itu dilakukan dalam upaya untuk memperoleh ilmu tingkat tinggi
yang bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.[17]
Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim harus mau berpikir untuk kemudian
memanfaatkan hasil pemikiran yang dia miliki bagi kemaslahatan umat Islam
secara umum.
Kelima hak dasar tersebut dijelaskan dengan detail oleh Al-Ghazali
dalam kitab Al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul dan Imam Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat.
Akan tetapi, penjelasan yang cukup jelas itu tentu saja masih membutuhkan kajian
yang lebih jauh agar dapat dengan mudah dimengerti oleh semua orang. Sehingga,
ketika pelaksanaan hak-hak tersebut dapat terpenuhi secara seimbang dipastikan
kesejahteraan seseorang akan dengan mudah diraih baik di dunia maupun di
akhirat.[18]
C.
Sejarah
Lahirnya HAM
Secara
historis, bisa dibenarkan jika kemunculan Hak Asasi Manusia itu secara tidak
langsung merupakan akibat dari penjajahan, perbudakan, ketidakadilan dan
kedzaliman (tirani) yang sangat banyak terjadi di sepanjang sejarah kehidupan
manusia. Bahkan ada satu pendapat yang menyatakan bahwa kemunculan HAM itu
disebabkan oleh terbentuknya sebuah Negara. Karena, pada umumnya setelah suatu
Negara itu terbentuk akan ada aturan bagi rakyatnya. Dari sinilah, sangat
dimungkinkan adanya tindakan semena-mena (tirani)[19] dilakukan
oleh suatu pemerintahan saat itu.
Pada
dasarnya, perjuangan untuk mengangkat hak asasi manusia ke permukaan telah
dimulai sejak masa nabi Musa AS yang saat itu selalu mencoba untuk melawan
tirani yang dilakukan oleh raja Fir’aun. Akan tetapi, peristiwa itu seakan
tidak menjadi suatu pembahasan penting karena tidak termuat dalam buku-buku bacaan
yang beredar sekarang. Sehingga, kebanyakan tulisan yang membahas sejarah
tentang HAM itu biasanya hanya berawal sejak masa Yunani kuno.[20] Saat
itu, filosof Yunani kenamaan, sepeti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348
SM) meletakkan dasar-dasar perlindungan dan jaminan diakuinya HAM. Konsep yang
mereka ciptakan saat itu adalah sebuah anjuran bagi masyarakat untuk melakukan
control sosial kepada penguasa yang dzalim, dan tidak mengakui nilai-nilai
keadilan dan kebenaran. Setelah beberapa tahun berlalu, Aristoteles (348-322
SM) akhirnya mengajarkan pemerintah untuk mendasarkan kekuasaannya pada kemauan
dan kehendak rakyatnya.
Setelah
beberapa abad berlalu, kelahiran HAM ditandai dengan adanya piagam-piagam yang
dikumandangkan sebagai konvensi HAM pada masa yang berbeda. Berawal dari abad
ke-11 yang lalu, paling tidak ada beberapa piagam yang berhasil disusun dan
dikukuhkan sebagai konvensi HAM di beberapa Negara Barat sebagai berikut:
a)
Inggris
Kemunculan HAM di Negara ini ditandai dengan munculnya empat piagam
yang berhasil disusun dan dikampanyekan oleh masyarakat di sana pada masa yang
berbeda. Pertama, pada tanggal 15 Juni 1215 lahir piagam Magna Charta.
Ini merupakan konvensi antara rakyat dengan raja John yang saat itu memerintah
dengan sewenang-wenang terhadap kaum rakyat kecil maupun bangsawan. Padahal,
raja Richard yang sebelumnya memerintah di Negara tersebut sangat terkenal akan
keadilan dan bijaksananya terhadap siapapun. Tentu saja ini mengundang
kegeraman rakyat untuk mengadakan protes yang ditandai dengan membentuk piagam
tersebut sebagai kesepakatan antara raja dan rakyat di sana. Di dalam piagam
ini termuat adanya prinsip pembatasan bagi kekuasaan raja yang selalu bertindak
semena-mena saat itu. Sampai-sampai kekebalan hukum yang sebelumnya dimiliki
oleh raja ditiadakan. Sehingga, jika raja melakukan kesalahan atau pelanggaran
ia harus dihukum selayaknya rakyat jelata. Kedua, pada tahun 1628 lahir
piagam Petition of Rights yang berisi pertanyaan-pertanyaan atau
tuntutan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Ketiga, pada tahun
1679 Hobeas Corpus Act muncul sebagai undang-undang yang mengatur
tentang penahanan seseorang. Keempat, kemunculan Bill of Rights
sebagai undang-undang yang diterima parlemen Inggris pada tahun 1689. Adapun
isinya memuat aturan sebagai berikut:
-
Kebebasan
dalam pemilihan anggota parlemen
-
Kebebasan
untuk mengeluarkan pendapat
-
Kebebasan
untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing
-
Hak
parlemen untuk mengubah keputusan raja
-
Hak
parlemen untuk memberikan izin atau tidak urusan pajak, undang-undang dan
pembentukan tentara.
b)
Amerika
Serikat
Pada tanggal 4 Juli 1776, Declaration of Independence (deklarasi
kemerdekaan) berhasil diumumkan setelah sekian lama melakukan aksi
pemberontakan terhadap penguasa Inggris yang saat itu menjajah Amerika Serikat.
Pemberontakan tersebut tak lepas dari sebuah pemikiran filosof ternama John
Locke (1632-1704) yang mengilhami rakyat di sana untuk melakukan perlawanan
terhadap penjajah. Adapun rumusan pemikiran tersebut memuat beberapa hak-hak
alami yang terdapat pada diri manusia. Ada tiga hak asasi tersebut isinya
meliputi, yaitu life (hak hidup), liberty (hak kebebasan) dan property
(hak kepemilikan). Jadi, hak-hak dasar seorang manusia baik secara individual
maupun sosial – sebagai warga Negara – haruslah dilindungi oleh Negara.
Puncak deklarasi HAM di Amerika ini terjadi ketika sang presiden
Franklin D. Rosevelt mengumandangkan empat kebebasan di depan konggres Amerika
tanggal 6 Januari 1941. Adapun isinya memuat beberapa kebebasan sebagai
berikut:
-
Kebebasan
untuk berbicara dan berpikir (freedom of speech and expression)
-
Kebebasan
untuk memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing (freedom
of religion)
-
Kebebasan
dari rasa takut (freedom of fear)
-
Kebebasan
dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want)
Empat kebebasan tersebut disinyalir menjadi tiang penyangga hak-hak
asasi manusia yang paling pokok dan mendasar. Sedangkan tujuannya saat itu
adalah sebagai upaya protes terhadap kekejaman dan penindasan yang dilakukan
oleh fasisme yang berada di bawah totalitarisme Hitler (Jerman), Jepang dan
Italia. Selain itu, dari empat kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai hak
(kebebasan) bagi umat manusia untuk meraih perdamaian dan kemerdekaan yang
abadi dalam hidup mereka.
c)
Perancis
Pada tahun 1789 menjadi awal perjuangan HAM di Negara Perancis. Ditandai
dengan revolusi Perancis sebagai upaya melawan kesewang-wenangan penguasa saat
itu. Pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga Negara tersebut dikenal
dengan Declaration Des De L’homme Et Du Citoyen. Di dalam piagam
tersebut termuat tiga kebebasan yang meliputi hak atas kebebasan (liberte),
kesamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite).
d)
PBB
Setelah Perang Dunia II usai, tepatnya pada tahun 1946 mulailah
disusun rancangan piagam hak asasi manusia oleh Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB). Baru setelah dua tahun kemudian, pada tanggal 10 Desember 1948 sidang
Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris akhirnya berhasil
merumuskan piagam hak asasi manusia. Piagam tersebut dikenal sebagai Universal
Declaration of Human Rights yang merupakan ‘pernyataan hak asasi manusia
dari masyarakat sedunia’.[21] Sehingga,
setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Adapun
deklarasi HAM tersebut memuat 30 pasal yang secara global menekankan akan hak-hak
seseorang baik secara individual maupun sebagai masyarakat sipil di suatu
Negara maupun dunia internasional.[22]
D.
Hak
Asasi Manusia di Indonesia
Kemunculan
Hak Asasi Manusia tidak sama dengan apa yang terjadi di kebanyakan
negara-negara Barat. Jika di negara Barat HAM itu muncul karena adanya tindakan
semena-mena yang dilakukan oleh golongan pemerintah terhadap rakyat, lain
halnya di Indonesia yang menjadi faktor utama kemunculan HAM disebabkan karena
kekejaman kaum penjajah yang telah lama menduduki nusantara saat itu. Inilah yang
membuat rakyat Indonesia terbangun untuk mengadakan perlawanan dalam upaya
mengusir kaum penjajah untuk mencapai kemerdekaan sebuah negara. Sehingga dalam
proses yang begitu panjang itu, bangsa Indonesia mengalami gejolak perkembangan
pemikiran HAM yang signifikan. Ada beberapa periode yang dialami bangsa ini
dalam usaha mereka memunculkan HAM ke muka publik. Secara garis besar Prof.
Bagir Manan membagi perkembangan dan pemikiran HAM di Indonesia ke dalam dua
periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah
kemerdekaan (1945-sekarang).
Pada
masa sebelum kemerdekaan perkembangan pemikiran HAM masih bersifat tradisional.
Upaya dalam memperjuangkan HAM saat itu masih dilakukan dengan cara yang
sederhana. Dengan dipimpin oleh tokoh masyarakat, agama maupun bangsawan mereka
masih berjuang untuk mewujudkan HAM di negeri ini. Saat itu, keberadaannya
masih belum bisa terorganisir dengan baik. Kenyataan itu bisa kita lihat dari
perjuangan kemerdekaan yang masih bersifat kedaerahan dan mengandalkan kekuatan
fisik persenjataan.[23]
Hal
itu berbeda, ketika Indonesia telah merdeka pada tahun 1945. Seiring
perkembangan pemikiran yang terjadi saat itu, pemikiran tentang HAM berkembang
pada hak untuk berserikat dan berkumpul menyampaikan pendapat yang dimiliki
seseorang. Beberapa tahun kemudian pemerintah berhasil meratifikasi hak
berpolitik bagi kaum hawa. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan
pemerintahan ada satu saat di mana HAM harus mengalami kemundurannya.
Penyalahan kekuasaan serta ambisi seorang pemimpin menjadikan hak sipil dan hak
politik menjadi terpasung tanpa arti. Kemunduran HAM terus berlanjut hingga
pada saat itu terjadi berbagai peristiwa yang melanggar HAM di berbagai daerah
di nusantara. Sehingga, para masyarakat tergerak untuk mendirikan sebuah
lembaga yang bisa menjadikan HAM dapat ditegakkan kembali. Selain itu, lembaga
swadaya masyarakat itu didirikan atas tujuan untuk membentuk jaringan
internasional terkait kasus-kasus pelanggaran yang terjadi. Puncaknya ditandai
dengan pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusi (KOMNAS HAM) berdasarkan
KEPRES No. 50 Tahun 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau serta menyelidiki
pelaksanaan HAM di Indonesia. Lembaga ini juga berfungsi untuk memberikan
pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah dalam urusan pelaksanaan
HAM.[24]
Adapun
landasan pelaksanaan dan penegakan HAM di Indonesia itu didasarkan pada hal-hal
sebagai berikut:
1.
Pancasila
2.
UUD
1945
3.
Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
E.
HAM Dalam
Perspektif Islam
Adanya
ajaran tentang HAM dalam Islam menunjukan bahwa Islam telah menempatkan manusia
sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan
penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan ajaran itu sendiri yang wajib
dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia tanpa terkecuali. Hak-hak
yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal dan abadi serta tidak boleh
dirubah atau dimodifikasi.[25]
Islam
menempatkan prinsip kebebasan, keadilan dan persamaan pada setiap manusia. Ini
sebagai upaya untuk memuliakannya kapanpun dan di manapun mereka berada. Tujuan
dasar syari’at Islam adalah untuk memberikan kebebasan kepada manusia dan
meninggikan martabatnya tanpa memandang ras maupun sukunya. Atau dalam kata
lain tujuan syari’at Islam itu semata-mata untuk memuliakan kedudukan manusia
dan memberikan kebebasan kepadanya. Selain itu juga untuk mewujudkan
terciptanya keadilan serta kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat
nantinya.[26]
Bagi Islam, menghormati serta memelihara hak-hak asasi manusia adalah sebuah
keniscayaan. Semua orang berperan dalam urusan HAM tanpa terkecuali.
Islam
membangun hak asasi manusia atas dua prinsip utama, yaitu prinsip persamaan
(kesetaraan) dan prinsip kebebasan setiap individu. Prinsip pertama bertumpu
pada dua pilar ajaran Islam, yaitu kesatuan asal muasal manusia dan kehormatan
kemanusiaan secara universal.
Berkenaan dengan dua hal itu, Allah berfirman di dalam surah An-Nisa’
ayat 1 dan surah Al-Isra’ ayat 70
يا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا
وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian
manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (QS: 4/1)
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ
مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS: 17/70)
Dengan kemuliaan dan kehormatan yang manusia
miliki, Allah menjadikannya sebagai khalifah di bumi. Allah telah mempersiapkan bumi seisinya sebagai bekal baginya dalam
menjalankan amanah yang dilimpahkan Allah kepadanya. Adapun prinsip kedua
merupakan prinsip kebebasan yang membangun hak-hak asasi manusia dalam Islam.
Dalam perspektif Islam, manusia merupakan makhluk yang diberi tugas dan
tanggung jawab untuk memakmurkan bumi dan membangun peradaban yang manusiawi. Adanya
tanggung jawab yang sangat berat itu lahir akibat adanya konsekuensi manusia
dalam menentukan pilihan menurut apa yang dikehendaki.[27]
Pada
dasarnya, relasi antara Islam dan HAM itu tidak ada masalah sedikit pun. Karena
keduanya mempunyai dasar-dasar konsep yang saling mendukung satu sama lain.
Akan tetapi, situasi ini berubah ketika Islam dipaksa untuk mengakui
universalisasi deklarasi HAM PBB yang tentunya berasal dari Barat. Paling
tidak, perubahan itu disebabkan oleh kultur dan tradisi yang sangat berbeda
jauh antara Islam dan Barat itu sendiri. Jika dalam Islam, secara penuh apapun hukum
yang ada harus berlandaskan pada kitab suci. Sehingga, tidak menutup
kemungkinan jikalau kitab sucilah yang menjadi pedoman pokok dalam menentukan
konsep HAM tersebut. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di dunia Barat.
Mereka cenderung bersandar pada sekularisme dan humanisme ketika
mengartikulasikan HAM itu sendiri. Tentu hal ini bisa menjadikan adanya
kontradiksi antara agama dengan budaya mereka. Sehingga, ini bisa saja
menimbulkan adanya keyakinan bahwa HAM Barat itu tidak bersandar kepada kekuasaan
Tuhan yang seharusnya menempatkan kebenaran berdasarkan apa yang terdapat kitab
suci. Bahkan, situasi itu semakin parah ketika stigma negative ditambahkan
dalam pandangan mereka terhadap Islam. Misalnya, kasus ekspansi Islam ke Eropa
dan perang salib pada masa silam. Tentu itu semua menciptakan kebencian yang
luar biasa bagi mereka terhadap Islam.[28]
Oleh
karena itu, sampai sekarang Islam tetap saja dicap oleh mereka (kaum Barat) sebagai
agama yang suka menggunakan kekerasan dalam dakwahnya. Bahkan ada yang
berpendapat bahwa Islam merupakan agama pedang yang seakan-akan Islam selalu
menimbulkan peperangan di mana-mana. Padahal, jika melihat kenyataan yang ada
sekarang justru kaum Barat-lah yang cenderung bertindak semena-mena di berbagai
belahan dunia. Bahkan tindakan mereka sangat membabi buta tanpa pandang bulu.
Sedangkan Islam malah selalu berusaha menjunjung tinggi HAM di manapun
keberadaannya. Akan tetapi, karena fanatik buta yang telah mengakar pada kaum Barat
tentu saja tetap membuat mereka menafikan hal itu.
F.
Upaya
Penegakan dan Sanksi Terhadap Pelanggaran HAM
Sejak
PBB memproklamirkan Deklarasi HAM secara universal pada 10 Desember 1948, tentu
berdampak pada upaya penegakan HAM di seluruh dunia. Bahkan setelah deklarasi
itu, tetap saja masih ada kekerasan terhadap orang lain di dunia. Padahal,
tujuan utama pembentukan berbagai macam bentuk konvensi tersebut adalah untuk
menegakkan keadilan sebagai bagian dari penegakan HAM dan pembelaannya.
Sehingga, dari sanalah manusia diharapkan akan memperoleh ketenangan dalam
kehidupan yang saling berdampingan, saling menghormati dan memelihara peradaban
serta kebudayaan dunia dalam segala aspek bentuknya.[29]
Bila
kita dapat meneliti secara jeli dan teliti terhadap nilai-nilai yang terdapat
pada konvensi HAM, pada hakikatnya semua itu dapat dirujuk pada al-Qur’an
maupun sunnah Rasul. Sehingga, bisa dipastikan jika deklarasi HAM yang dimotori
oleh Barat maupun Islam mempunyai nilai-nilai yang sama. Oleh karena itu, dalam
penerapan atau penegakannya tentu tidak berbeda jauh antara keduanya. Hanya
saja landasan yang digunakan dalam menetapkan hukum kemungkinan berbeda. Jika
di dalam Islam mengacu pada al-Qur’an dan Hadis, maka di dunia Barat mereka
berlandaskan pada humanisme dan sekularisme yang cenderung mengabaikan aturan
yang bersumber dari Tuhan. Adapun penegakan HAM yang dilakukan di Indonesia
haruslah berlandaskan dengan konstitusi negara. Pancasila dan UUD 1945 menjadi
rujukan utama dalam memelihara kelangsungan HAM di Indonesia.
Akan
tetapi, dalam penegakan HAM tentu mengacu pada prinsip-prinsip yang bisa
menjadikan HAM itu tetap terpelihara dan terjaga dalam kehidupan bermasyarakat.
Maka penetapan prinsip itu perlu lantaran di setiap negara berbeda dalam
penggunaan landasan untuk menerapkan HAM. Adapun prinsip-prinsip yang dapat
dijadikan sebagai landasan penerapan HAM meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.
Prinsip
kesetaraan
-
Kesetaraan
dalam berkeyakinan
-
Kesetaraan
secara yuridis (di depan hukum)
-
Kesamaan
secara ekonomi
-
Kesetaraan
dalam politik atau kekuasaan
2.
Prinsip
kepercayaan (amanah)
Sedangkan prinsip-prinsip perlindungan HAM itu meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1.
Perlindungan
terhadap kehormatan
2.
Perlindungan
jiwa
3.
Perlindungan
harta benda
4.
Perlindungan
jenazah
5.
Perlindungan
terhadap sentimen-sentimen keagamaan
6.
Perlindungan
bagi orang yang tidak bersalah[30]
Semua prinsip yang disebutkan di atas sebenarnya bermuara pada satu
tujuan, yaitu terciptanya keadilan di segala aspek kehidupan. Dengan mengacu
pada prinsip-prinsip tersebut bisa dipastikan bahwa semua aspek yang
berhubungan dengan HAM dapat terpenuhi secara menyeluruh. Namun, semua itu
kembali pada masing-masing individu yang mempunyai HAM itu sendiri.
Sementara jika dalam penegakan maupun pemeliharaan HAM terjadi
pelanggaran dan penyalahgunaan kebebasan, maka sanksi bisa saja diberikan
kepada siapa saja yang melakukan pelanggaran. Adapun sanksi itu harus sesuai
dengan sistem hukum yang dipakai dalam negara itu. Dan bila dikaitkan dengan
hukum Islam, tentu sanksi atau hukuman yang diberikan kepada para pelanggar
hukum haruslah sesuai dengan hukum syari’at Islam. Tujuannya adalah untuk
memberikan efek jera bagi pelakunya agar tidak mengulanginya lagi. Bukan untuk
membinasakan keberadaan pelaku kejahatan itu sendiri.
BAB III
PENDAPAT MUHAMMAD AL-GHAZALI TENTANG HAM
A.
Biografi
Muhammad Al-Ghazali
Syekh Muhammad Al-Ghazali lahir pada 5 Dzulhijjah 1335 H yang
bertepatan pada tanggal 22 september 1917 M di desa “Naklal Inab” yang ikut
pada propinsi “Buhairah” di Mesir. Ayahnya memberi nama “Muhammad Al-Ghazali” sebagai
bentuk penghormatan dengan mengikuti seorang ulama’ besar yang bernama Abu
Hamid Al-Ghazali (w. Jumadil Akhir 505 H).
Dalam perjalanan hidupnya, beliau tumbuh besar dalam keluarga yang
beriman dan mulia, beliau punya lima saudara. Beliau hafal al-Qur’an ketika
berusia 10 tahun, pada waktu itu imam Muhammad Al-Ghazali berkata pada dirinya
sendiri: “Dulu aku berlatih untuk memperbarui hafalan dan bacaan siang dan
malam, dan aku mengkhatamkan al-Quran dalam setiap shalatku, sebelum tidurku,
dan ketika sendiri. Dan aku mengingat bahwa aku mengkhatamkannya di
tengah-tengah penangkapan, sungguh al-Quran bagiku sebagai teman yang menemani
kesendirianku yang suram.”
Kemudian beliau masuk di Institut Iskandariah dan menetap di sana
sampai beliau mendapatkan ijazah kecakapan kemudian ijazah Tsanawiyyah Azhar,
setelah itu beliau pindah ke Kairo tahun 1356 H yang bertepatan 1937 M. Dan
masuk di fakultas ushuluddin di Al-Azhar as-Syarif. Beliau memulai
tulisan-tulisannya di majalah Ikhwanul Muslimin saat belajar di tahun ketiga di
fakultas tersebut. Setelah perkenalannya dengan Imam Hasan Al-Banna yang
mendirikan jamaah tersebut, Syekh Al-Ghazali memberanikan untuk menulis sampai
lulus setelah 4 tahun (1360 H=1941 M). Setelah itu, beliau takhassus di
fakultas Dakwah wal Irsyad sampai beliau mendapat prestasi internasional (1362
H=1943M.) ketika berusia 26 tahun. Setelah itu
beliau memulai perjalanan dakwahnya di sekitar masjid-masjid di Kairo, dan
belajar langsung pada Syekh Abdul Adhim Az-Zarqani, Syekh Mahmud Syalthut, Syekh
Muhammad Abu Zahrah dan Dr. Muhammad Yusuf Musa dan ulama Al-Azhar as-Syarif lainnya.
Bersama Imam Al-Banna
Syekh Al-Ghazali berbincang-bincang pada
pertemuan pertamanya dengan Imam Syekh Al-Banna, beliau berkata: “Suatu hari di
tengah-tengah belajarku di tingkat tsanawiyyah di Institut Iskadariyyah,
termasuk kebiasaanku adalah mengunjungi masjid Abdurrahman bin Hurmuz sebagaimana
biasa diskusi pelajaranku, suatu saat di sore hari ada seorang pemuda yang
bangkit yang tidak aku kenal, dan ia menyampaikan pada manusia khutbah pendek
yang menjelaskan hadis mulia: “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu
berada, dan iringilah suatu kejelekan dengan kebaikan, karena bisa menghapusnya
dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” Hadis tersebut sangat
merasuk ke dalam hati. Dan sejak saat itu hubunganku dengannya semakin erat,
dan aku melanjutkan aktifitasku di medan perjuangan Islam bersama lelaki
tersebut sampai ia mati syahid pada tahun 1949 M.[31]
B.
Profil
dan Metodologi penulisan tafsirnya
Ada keunikan tersendiri dari metode yang digunakan Al-Ghazali dalam
kitab ini. Berbeda dengan tafsir Maudlu’i lainnya, tafsir ini memiliki
karakteristik tersendiri yang membawa ciri khas beliau dalam menganalisis suatu
permasalahan. Ada beberapa hal yang dijadikan landasan metode beliau dalam
menulis kitab tersebut, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
-
Menuangkan
contoh-contoh sastra yang tinggi dalam membantu pemikiran Islam
-
Memilih
susunan kalimat sastra yang indah dalam ungkapan maupun karangannya
Jadi, karakteristik utama dalam tafsir ini lebih menonjolkan pada
sisi nilai sastranya. Selain itu, tafsir ini tergolong tafsir tematik yang
berupa analisis langsung tanpa membahas istilah (term) permasalahan secara
panjang lebar. Karena, pembahasannya bersifat langsung berdasarkan urutan surah
dalam al-Qur’an. Menurut beliau, Tafsir maudlu’i itu bukan Tafsir Maudli’i yang
pada akhirnya memuat sekelompok ayat yang kemudian dijelaskan lafadh, tarkib
dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, Tafsir Maudlu’i itu
memuat satu surah secara keseluruhan. Misalnya melakukan pembahasan yang begitu
tajam pada gambaran matahari yang antara pembahasan awal dan akhirnya harus
saling berkaitan. Di dalamnya terdapat keterangan yang saling terikat satu sama
lain yang menjadikan keutuhan argumentasi yang kuat. Atau dalam kata lain,
pembahasan awal merupakan pendahuluan terhadap pembahasan akhir yang menjadi
bukti berupa pernyataan-pernyataan yang mendukung pembahasan awal.[32]
C.
Pendapat
Muhammad Al-Ghazali Tentang HAM
Menurut pandangan Islam sesungguhnya kedudukan manusia itu
sangatlah tinggi. Kedudukan tersebut menjadikannya sebagai pemimpin baik di
langit maupun bumi. Itu disebabkan karena di balik tubuhnya itu terdapat tiupan
ruh ilahi dan secercah cahaya suci-Nya (Shad: 71-72). Sehingga, di dalam
kehidupan ini setiap manusia memiliki kesamaan dalam hak dan kedudukan. Syekh
Al-Ghazali berpendapat berkaitan dengan HAM yang meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1.
Hak-hak
politik dan hak-hak warga negara
Manusia yang tersebar di lima benua adalah satu keluarga yang
muncul dari satu nenek moyang, kemudian mereka berkembang menjadi seorang ayah
dan seorang ibu. Tidak ada posisi apapun antara mereka untuk saling mengungguli
satu sama lain atas dasar penciptaan dan permulaaan kehidupan.
Taklif Tuhan mengarah untuk mereka semua atas dasar kesamaan dengan
ciri-ciri mereka saling mewarisi keistimewaan-keistimewaan jiwa dan akal yang sesuai
dengan jenis mereka. Selain itu, mereka adalah orang yang sudah berhak dapat
taklif (tuntutan) dari Allah untuk melaksanakan tugas kemanusiaan dan
melaksanakan kewajiban. Sebagaimana firman Allah:
ياأيها
الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا ونساء
واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1)
يبني
أدم إما يأتينكم رسل منكم يقصون عليكم أياتي فمن اتقى وأصلح فلا خوف عليهم ولاهم
يحزنون
“Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul daripada kamu
yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka Barangsiapa yang bertakwa dan
Mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” (QS.
Al-A’raf: 35)
Dari dua ayat tersebut terdapat beberapa contoh yang menjelaskan
bahwa manusia mempunyai hak yang sama sebagai penduduk bumi. Tidak ada
perbedaan antara penduduk daerah panas dengan daerah dingin, tidak ada
perbedaan antara mereka sekarang dengan nenek moyang mereka pada masa-masa
sebelumnya atau anak cucu mereka setelah masa-masa mendatang.
Tidak boleh membedakan antara manusia dikarenakan perbedaan
penciptaan
Terkadang manusia dikucilkan karena berkulit hitam, dalam kondisi miskin,
berasal dari keluarga yang lemah dan lain sebagainya. Maka ketika syari’at Islam
datang, akhirnya menunjukkan dan menuntun manusia menuju jalan yang lurus,
tanpa dipengaruhi peninggalan-peninggalan jahiliyyah.
Orang-orang Arab dulu ketika masa jahiliyah selalu melecehkan orang
kulit hitam dan membanggakan tempat tinggal mereka. Akan tetapi ketika Islam
muncul, orang yang pertama kali adzan justru seorang budak yang berkulit hitam,
yang bernama Bilal, dia adzan lima kali setiap hari. Ketika setelah Fathu
Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk syi’ar Islam: “Allahu akbar Allahu
Akbar, Asyhadu an Laa Ilaha Illallah.” Dengan serta merta shahabat yang
bernama Abu Dzar Al-Ghifari berkata pada bilal denga penuh marah: “Hai anak
orang kulit hitam”, ketika Nabi mendengan perkataan tersebut, beliau sangat
marah dengan berkata “Engkau telah melecehkannya dengan ibunya! Sesungguhnya kamu
adalah orang yang masih punya sifat jahiliyyah”. Akhirnya Abu Dzar
menyesal atas perbuatannya, dan
perkataan Nabi masih membekas di hatinya, kemudian ia menempelkan pipinya di
atas bumi.
2.
Hak-hak
hukum
Sesungguhnya di antara yang terpenting dari faktor keamanan, ketenangan yang stabil,
perasaan jiwa yang puas adalah harapan setiap manusia untuk dapat merasakan
perlindungan yang sempurna terhadap undang-undang yang berlaku sewenang-wenang.
3.
Hak
hidup, keselamatan dan keamanan
Allah telah memberi nikmat kehidupan pada manusia, melindunginya
baik secara materi maupun non materi dalam tinjauan tujuan yang telah
dijelaskan agama. Bahkan tidak heran, ketika membuat seekor hewan celaka dan
kehilangan ruh karena dianiaya, maka Allah telah menyiapkannya keadilan sebagai
bentuk tindak pidana. Sehingga, di akhirat nanti Allah akan memasukkan manusia
tersebut ke dalam api neraka sebagai balasan atas perbuatannya tersebut.
Seperti sabda Nabi Saw: “Seorang wanita telah masuk ke dalam neraka sebab
seekor kucing, karena ia menahan dan tidak memberinya makan.”
4.
Kebebasan
Ketika Allah memberi manusia sebuah akal, maka hal itu supaya ia
dapat berpikir dan mencari petunjuk karena hal itu merupakan tugas akal. Ada
beberapa kebebasan yang merupakan akibat dari hasil pemikiran seseorang, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut:
§ Kebebasan bepolitik, yang meliputi dua hak: pertama, hak
setiap manusia menjadi penguasa daerah baik yang kecil atau yang luas, selama
ia berkompeten untuk menjadi penguasa. Kedua, hak setiap manusia untuk
menyampaikan pendapatnya.
§ Kebebasan berpikir, yaitu tugas akal adalah untuk berpikir
sebagaimana tugas mata untuk melihat.
Sebenarnya Islam tidak mencela kebebasan berpikir, tapi mencela
terhadap kelalaian dan kecerobohan. Hal itu juga tidak menjadikan sebuah
kebebasan dari perkara yang diperbolehkan untuk bisa dilakukan dan ditinggalkan
seseorang sekehendak dia, tapi menjadikannya sebagai hak bagi Allah atas
manusia. Maka orang yang malas berpikir dan menganggurkan akalnya termasuk
orang yang durhaka dalam pandangan Islam.[33]
§ Kebebasan beragama
Iman yang shahih dan bisa diterima itu haruslah datang dari
kesadaran akal dan adanya penerimaan hati. Sesungguhnya hal itu memberikan
kejelasan pada manusia yang berakal untuk mencari kebenaran, kemudian ia
memeluknya dengan rasa suka cita dan keinginan sendiri (tanpa paksaan). Jadi,
orang yang menghendaki masuk Islam, mereka akan masuk dengan petunjuk, dan jika
tidak menghendaki boleh saja meninggalkannya. Karena tidak ada paksaan dalam
beragama apapun. Seperti dalam firman Allah:
وقل
الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا أحاط بهم
سرادقها وإن يستغيثوا يغاثوا بماء كالمهل يشوي الوجوه بئس الشراب وسائت مرتفقا
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang
ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek.” (QS.
Al-Kahfi: 29)[34]
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari uraian makalah yang telah kami paparkan dari awal pembahasan,
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Semua
hal yang berkaitan dengan HAM harus mengacu pada Deklarasi Universal HAM oleh
PBB tahun 1948
2.
Konsep
HAM yang berasal dari Islam maupun Barat sebenarnya memiliki kesamaan yang
cukup luas. Hanya saja yang membedakan adalah dari segi pelaksanaan yang berbeda
pada landasan yang digunakan
3.
Prinsip
dasar HAM mengacu pada prinsip kesetaraan dan perlindungan baik secara individu
maupun sosial (warga negara)
4.
Pelaksanaan
penegakan HAM di belahan dunia disesuaikan pada hukum yang berlaku pada negara
tersebut
5.
Islam
merupakan agama yang paling depan menjunjung tinggi keberadaan HAM
6.
Ada
tiga landasan hukum HAM di Indonesia, yaitu:
a.
Pancasila
b.
UUD
1945
c.
Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
7.
Adapun
pelaksanaan HAM dalam Islam harus didasarkan pada Maqasid al-Syari’ah
B.
Saran
Tentu saja makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari sisi
penulisan maupun isinya. Kami sangat berterimakasih kepada para pembaca yang
telah menyempatkan wantunya untuk membaca tulisan ini. Kami sangat menanti
kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Oleh karena itu, jika diperkenankan kami dapat memberikan saran
apabila suatu saat nanti ada penulis lain yang melakukan kajian terhadap tema
yang sama agar dapat melengkapi data-data penelitiannya. Dan jika memungkinkan,
untuk bisa ditambah dengan data-data akurat terbaru. Lebih-lebih yang memuat
contoh-contoh yang sering terjadi di masyarakat.
[1] Depag RI, Tafsir
Al-Qur’an Tematik; ‘Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia’, 2010, Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, hal: 277-278
[2] Ahmad Fuad
Fanani, Islam Mazhab Kritis, 2004, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, hal: 110
[3] KBBI Offline
V. 1.4
[4] Tafsir
Al-Qur’an Tematik, hal: 278
[5] Fatma Susanti,
Pemajuan Penghormatan dan Perlindungan HAM, Diakses dari: http://civiceducation.blogspot.com/pemajuan-penghormatan-dan-perlindungan-hak-asasi-manusia-(HAM).html, Waktu: Tanggal
22/4/2013, jam 23.42 WIB
[6] Fatma Susanti, Pemajuan
Penghormatan dan Perlindungan HAM, Diakses dari: http://civiceducation.blogspot.com/pemajuan-penghormatan-dan-perlindungan-hak-asasi-manusia-(HAM).html, Waktu: Tanggal
22/4/2013, jam 23.42 WIB
[7] Tafsir
Al-Qur’an Tematik, hal: 278
[8] Dani Iskandar,
Pengertian dan Macam-macam Hak Asasi Manusia, Diakses dari: http://daniiskandarmanajemen.blogspot.com/pengertian-hak-asasi-manusia-dan-macam.html, Waktu: tanggal 10/4/2013, jam: 13.29 WIB
[9] Muhammad
Al-Ghazali, Huquq al-Insan, hal: 212
[10] Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Cet. I, 1941, Mesir: Mustafa al-Bab
al-Halaby, hal: 63
[11] Tafsir
Al-Qur’an Tematik, hal: 283-284
[12] Dr. Muhammad
Sayyid Yusuf, Manhaj al-Qur’an al-Karim fi Ishlah al-Mujtama’, Cet. II,
2004, Kairo: Dar al-Salam, hal: 353
[13] Sayyid Qutub, Tafsir
fi Dhilalil Qur’an, J. 2, tt., Mesir: Minbar al-Tauhid wa al-Jihad, hal:
355
[14] Hasyiyah
as-Shawi
[15] Tafsir
Al-Qur’an Tematik, hal: 286
[16] Muhammad
Al-Ghazali, Huquq al-Insan baina Ta’alim al-Islam Wa I’lan al-Umam
al-Muttahidah, Cet. V, 2005, Mesir: Syirkah Nahdah, hal: 64
[17] Tafsir
Al-Qur’an Tematik, hal: 290-291
[18] Tafsir
Al-Qur’an Tematik, hal: 294
[19]
Kekuasaan yang digunakan
secara sewenang-wenang
[20] Fatma Susanti, Pemajuan
Penghormatan dan Perlindungan HAM, Diakses dari: http://civiceducation.blogspot.com/pemajuan-penghormatan-dan-perlindungan-hak-asasi-manusia-(HAM).html, Waktu: Tanggal
22/4/2013, jam 23.42 WIB
[21] Dr. Zakariya
Al-Barri, Huquq al-Insan Fi al-Islam, 1981, Mesir, hal: 5
[22]
Ni Wayan
Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia, Diakses dari: http://unhicommunity.blogspot.com/
/Emperordeva's-Weblog/Sejarah-Hak-Asasi-Manusia.html, Waktu: Tanggal
10/4/2013 Jam 13.40 WIB
[23] Dina, Perkembangan
HAM di Indonesia, Diakses dari: http://dinablogpribadi.blogspot.com/perkembangan-HAM-di-negara-indonesia.html, Waktu: Tanggal
22/4/2013 Jam 23.43 WIB
[24] Dina, Perkembangan
HAM di Indonesia, Diakses dari: http://dinablogpribadi.blogspot.com/perkembangan-HAM-di-negara-indonesia.html, Waktu: Tanggal
22/4/2013 Jam 23.43 WIB
[25] Abu A’la
Al-Maududi, Human Rights in Islam, 1980, Leicester: The Islamic
Foundation, hal: 17
[26] Dr. Zakariya
Al-Barri, Huquq al-Insan fi al-Islam, hal: 7-8
[27] Tafsir
Al-Qur’an Tematik, hal: 12-14
[28] Ahmad Fuad
Fanani, Islam Mazhab Kritis, hal: 113
[30] Tafsir
Al-Qur’an Tematik, hal: 301-341
[31] Majalah
al-Adab al-Islami, edisi: 18/08/2003
[32] Muhammad
Al-Ghazali, Nahwa Tafsir Maudlu’i Li Suwar Al-Qur’an, 1995, Mesir: Dar
al-Syuruq, hal: 5
[33] Muhammad
Al-Ghazali, Huquq al-Insan baina Ta’alim al-Islam Wa I’lan al-Umam
al-Muttahidah, hal: 64-65
[34] Muhammad
Al-Ghazali, Huquq al-Insan baina Ta’alim al-Islam Wa I’lan al-Umam
al-Muttahidah, hal: 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar