BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Pembahasan mengenai perempuan merupakan
pembahasan yang selalu menarik dan tidak ada habisnya. Apalagi jika dikaitkan dengan
kepemimpinan kaum hawa itu sendiri. Kepemimpinan wanita adalah bagian dari prinsip-prinsip
kesetaraan jender[1].Hal
ini menimbulkan polemik yang berkepanjangan diantara para pemikir karena ketidakadaan
nash-nash yang jelas tentang bolehnya seorang wanita menjadi pemimpin.
Wacana tentang kepemimpinan wanita kian
mencuat seiring dengan derasnya arus informasi yang membuka paradigm berpikir masyarakat
kekinian. Ditambah lagi dengan munculnya kaum wanita pendobrak tradisi yang
membatasi kiprah wanita dalam kehidupan bermasyarakat. Sebutsaja R.A
Kartini.Selainitu, mayarakat telah banyak melihat kesuksesan kaum wanita memimpin
sebuah organisasi, baik formal maupun non formal. Mulai dari Ratu Bilqis dengan
kerajaan Saba’, Aisyah (ummul mukminin) memimpin perang jamal, Megawati Sukarno
Putri yang menjadi presiden Indonesia, Gloriyal Makapagel Aroyo yang menjadi presiden
Filipina, Ratu Elizabet yang memimpin kerajaan Inggris, sampai Ratu Atut Khasyiah
yang menjadi gubernur Banten saat ini.
Fakta-fakta ini membuktikan bahwa kapasitas kepemimpinan tidak hanya
dimiliki kaum pria, tetapi kaum wanita juga terbukti sukses menjadi seorang pemimpin.
Namun perlu dipahami bahwa kepemimpinan wanita tidaklah mutlak disemua
sector.Karena ada beberapa wilayah dimana kepemimpinan pria tidak bisa digantikan
oleh wanita.Misalnya wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi jamaah laki-laki.
Baik yang menentang maupun yang
mendukung kepemimpinan wanita sama-sama menggunakan argument aqli dan naqli
yang sama kuat.
Tulisan ini mencoba memberikan kejelasan
tentang masalah kepemimpinan wanita menurut Al-Qur’an dari pandangan Syekh Thahir
Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya At-Tahrirwa at-Tanwir.
2.
Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut
a.
Sejauh
mana wacana kepemimpinan wanita dewasa ini?
b.
Mengapa
wanita tidak boleh menjadi pemimpin?
c.
Mengapa
wanita boleh menjadi pemimpin
d.
Bagaimana
pandangan Thahir Ibnu Asyur tentang kepemimpinan wanita?
3.
Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan makalah ini mencoba mendekati permasalahan tentang
kepemimpinan wanita melalui pendekatan deduktif. Melalui metode ini pemakalah menggambarkan
kepemimpinan wanita secara umum kemudian menyempit kepada pandangan Tahir Ibnu
Asyur.
Pada BAB I pemakalah menyajikannya dalam pendahuluan yang meliputi;
latar belakang masalah, rumusan masalah, dan sistematika pembahasan.
Pada BAB II
pemakalah menyajikan seputar kepemimpinan, kepemimpinan wanita dalam perspektif
islam yang meliputi; kepemimpinan wanita bagian dari kesetaraan gender,
identifikasiayat-ayat al-Qur’an terkait kepemimpinan, kelompok yang menentang kepemimpinan
wanita, kelompok yang mendukung kepemimpinan wanita.
Pada BAB III pemakalah menyajikan Pandangan Thahir Ibnu
Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir yang meliputi Biografi pengarang,
Profil kitab, Corak dan metodologi, Pandangan tafsir terhadap kepemimipinan wanita.
Pada BAB IV
pemakalah menyajikan penutup yang berisi
kesimpulan dan daftar pustaka.
BAB II
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
1.
Seputar Kepemimpinan
a.
Pengertian
kepemimpinan
Dari
sisi bahasa kepemimpinan adalah leadership yang berasal dari kata leader.
Kata leader muncul pada tahun 1300-an. Sedangkan kata leadership
muncul kemudian yaitu sekitar tahun 1700-an.[2]
Dilingkunan
masyarakat, dalam organisasi formal maupun nonformal selalu ada orang yang
dianggap lebih dari yang lain. Seseorang yang memiliki kemampuan lebih kemudian
ditunjuk atau diangkat sebagai orang yang dipercayakan untuk mengatur orang
lainnya. Biasanya orang seperti itu disebut pemimpin atau manajer. Dari kata pemimpin
itulah kemudian muncul istilah kepemimpinan setelah melalui proses panjang.
Masalah
kepemimpinan sama tuanya dengan sejarah manusia itu sendiri. Kepemimpinan
dibutuhkan karena adanya keterbatasan dan kelebihan dari masing-masin manusia.
Defenisi
tentang kepemimpinan bervariasi sebanyak orang yang mencoba mendefenisikan
konsep kepemimpinan. Beberapa defenisi
yang dianggap cukup mewakili adalah;
1.
Kepemimpinan
adalah perilaku dari yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu
tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal)”. (Hemhill & Coons,
1957, hal. 7)
2.
Kepemimpinan
adalah “pengaruh antar pribadi, yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu,
serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu atau beberapa
tujuan tertentu.”(Tannenbaum, Weschler, & Massarik, 1961, hal. 24)
3.
Kepemimpinan
adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi
(Stogdill, 1974, hlm. 411)
4.
Kepemimpinan
adalah “peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan berada diatas
kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi.” ( Katz
& Kahn, 1987, hal. 528)
5.
Kepemimpinan
adalah “proses mempengaruhi aktivitas–aktivitas sebuah kelompok yang
diorganisasi kearah pencapaian tujuan,” (Rauch & Behling, 1984, halm. 46).[3]
Kebanyakan defenisi tentang kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa
kepemimpinan menyangkut sebuah proses pengaruh social yang dalam hal ini
pengaruh yang sengaja dijalankan oleh sesorang terhadap orang lain untuk
menstuktur aktvitas-aktivitas serta hubungan-hubungan sebuah kelompok atau
organisasi. Berbagai defenisi yang ditawarkan terlihat tidak berisi hal-hal
selain itu.[4]
Veithzal Revai dalam bukunya memberikan
defenisi kepemimpinan secara umum meliputi proses mempangaruhi dalam menentukan
tujuan oraganisasi, memotifasi prilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budaya. Kepemimpinan terkadang
dipahami sebagai kekuatan untuk menggerakkan dan mempengaruhi orang.
Kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi
aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota
kelompok.
Oleh karena itu, kepemimpinan pada hakekatnya adalah;
1. Proses mempengaruhi atau memberi contoh
dari pemimpin kepada pengikut.
2. Seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan ,kepercayaan, kehormatan, dan kerja sama.
3. Kemampuan untuk mempengaruhi, memberi ispirasi mengarahkan tindakan
sesorang atau kelompok.
2. Fungsi Kepemimpinan
Secara operasional kepemimpinan memiliki lima
fungsi pokok, yaitu:
1) Funsi instruksi
Funsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai
komunikator atau pihak yang menentukan apa, bagaimana, di mana perintah itu
dikerjakan agar keputusan dapat dilaksanakan secara efektif.
2) Fungsi konsultasi
Fungsi ini bersifat dua arah. Pemimpin kerap kali
memerlukan bahan pertimbangan yang mengharuskan nya berkonsultasi dengan
orang-orang yang dipimpinnya.
3) Fungsi partisipasi
Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha
mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam mengikutsertakan
mengambil keputusan maupun pelaksaannya.
4) Fungsi delegasi
Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Fungsi
ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat atau menetapkan
keputusan.
5) Fungsi pengendalian
Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang
sukses/ efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya terarah dan terkoordinir.
3. Tipe kepemimpinan
Dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, maka akan berlansung
aktifitas kepemimpinan. Apabila aktifitas itu dipilah-pilah, akan terlihat gaya
kepemimpinan dengan pola masing-masing. Dari pola-pola ini terwujud tiga tipe
pokok kepemimpinan yaitu;
1) Tipe kepemimpinan otoriter
Tipe kepemimpinan ini menempatkan kepemimpinan ditangan satu orang.
Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan dan tugas anak buahnya
hanya sebagai pelaksana keputusan, perintah dan kehendak.
2) Tipe kepemimpinan kendali bebas
Tipe ini merupakan kebalikan dari tipe otoriter. Pemimpin berkedudukan
sebagai simbol. Kepemimpinan dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh
kepada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan menuru kehendak dan
kepentingan masing-masing.
3) Tipe kepemimpinan demokratis
Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis dan
terarah. Pemimpin memandang dan menempatkan orang yang dipimpinnya sebagai
subjek yang memiliki keperibadian dengan berbagai aspeknya, seperti kemauan,
kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat, kerativitas, inisiatif yang
berbeda-beda dan dihargai disalurkan secara wajar. Kepemimpinan ini dalam
mengambil keputusan dangat mementingkan musyawarah.[5]
Al-Qur’an adalah kitab suci agama islam yang akan selalu kompatibel
dalam ruang dan waktu. Itu terbukti bahwa al-Qur’an masih dijadikan pedoman
hidup manusia untuk menjalankan fungsi khalifatan fil ‘ardl dengan penuh
kesadaran dan keikhlasan, baik bagi ummat terdahulu, saat ini dan yang akan
datang.Al-Qur’an sebgaai pedoman harus mampu dipahami setiap
kandungan-kandungan ayat-ayatnya dan tentunya harus selaras dan serasi dengan
konteks yang ada. Oleh karena itu diperlukan kontekstualisasi
penafsiran-penafsiran tentang ayat-ayat yang berhubungan langsung dengan
kehidupan umat manusia, baik dari segi social, agama dan Negara.
Berkaitan dengan aspek kenegaraan – termasuk di dalamnya kepeimpinan- , penafsiran al-Qur’an yang timpang dalam menafsirkan kepemimpinan
menimbulkan konsep dan pandangan social tradisional masyarakat akan hal
tersebut bahwa kaum laki-laki lebih diungulkan (superior) daripada perempuan
(inferior). Perempuan dianggap lemah kemampuannya (subordinat), sehingga tidak
layak untuk mengisi ruang public. Di wilayah public, terutama dalam politik,
perempuan mengalami diskriminasi ruang lingkup bergerak, mereka hanya terkekang
dalam wilayah domistik (rumah tangga) dengan berbagai tugasnya yang
tradisional.[6]
Mbah Sahal Mahfudz mengatakan bahwa kesejajaran laki-laki dan perempuan
sangat lemah. Penilaian bisa terhadap perempuan ini pada dasarnya berasal dari
tiga asumsi kuat dalam beragama. Pertama, asumsi dogmatis dan eksplisit yang
menempatkan perempuan sebagai pelengkap kehidupan laki-laki. Kedua, dogma bahwa
bakat moral etik perempuan lebih rendah dari laki-laki. Ketiga, pandangan
materialistic, idiologi masyarakat Mekkah pra-Islam yang memandang rendah peran
perempuan dalam proses produksi.[7]
Superioritas laki-laki dalam hal kepemimpinan berdasarkan atas
penafsiran al-Qur’an surat an-nisa ayat 34 yang redaksinya “الرجال قوامون على النساء”. Banyak pendapat atau bahkan penafsir
yang mengartikan lafaz ‘Qawwamun’ sebagai pemimpin. Kepemimpinan
tersebut menurut Muhamad Abduh yaitu kepemipinan untuk memimpin yang dipimpin
sesuai dengan kehendak dan kemauan sang pemimpin, namun yang dipimpin tidak
serta merta menerima perlakuakn pemimpin secara paksa tanpa ada kemauan selain
kehendak sang pemimpin.[8] Seorang
mufassir terkenal Indonesia, Quraisy Shihab, mengungkapkan bahwa orang yang
melaksanakan tugas atau apa yang diharapkan darinya disebut dengan qa’im. Kalau
ia melaksanakan tugas tersebut dengan sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan
berulang-ulang maka ia dinamai qawwam.[9]
Perlu digarisbawahi bahwa ayat ini dalam konteks keluarga. Keistimewaan
qawwamah/kepemimpinan suami atas istri tidak menjadikan suami bertindak
sewenang-wenang dalam menentukan segala sesuatu. Bukanlah musyawarah juga
merupakan ajaran al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalah termasuk juga
didalamnya keluarga?. jadi bisa disimpulkan kepemimpinan suami atas istri
disebabkan; Pertama, suami memiliki keistimewaan dalam kepemimpinan yang lebih
sesuai untuk menjalankan tugasnya. Kedua, karena suami telah menafkahkan
sebagian harta mereka. Jika alasan kedua di atas tidak ada dalam diri suami
artinya kemampuan melakukan kepimpinan dan memberi nafkah, bisa saja
kepemimpinan keluarga beralih kepada istri.
Islam telah menerangkan akan kebebasan hak bagi setiap hambanya.
Baik laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan hak dan keadilan. Ini sesuai
dengan firman allah;
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الذاريات: 56)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”
من عمل صالحا من ذكر أوأنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم
أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون (النحل : 97)
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
Dari dua ayat diatas, Nampak bahwa tidak ada pengkhususan terhadap
laki-laki dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Tujuan hidup dari keduanya
tidak lain adalah beribadah kepada allah. Baik laki-laki dan perempuan
sama-sama memiliki potensi untuk tampil baik di depan Allah dengan segala amal
ibadahnya, sehingga akan mendapatkan perhargaan atas pencapaian diri sebagai
hamba yang ideal (muttaqin).[10]
Kalau melihat sejarah kepemimpinan perempuan bukan hanya terjadi
pada zaman rasul saja. Melainkan sejak zaman nabi sulaiman sudah ada pemimpin
perempuan yang dianggap berhasil dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala
Negara Saba’, yaitu ratu bilqis atau ratu sheba.[11] Ia
berhasil memimpin Negara yang terletak di Negara Yaman tersebut dengan
kekuasaan yang tinggi dan singgasana yang megah, sampai-sampai al-Qur’an
mengabadikan kisahnya dalam surat al-Naml ayat 23
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ
شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya aku
menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala
sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”
Ketika masa khalifah,
istri nabi, Aisyah RA. pernah menjadi pimpinan rombongan saat terjadinya
pertikaian dengan sayyidina Ali bin Abi Thalib, permaisuri al-Malik al-Shalih
al-Ayyubi (1206-1249 M) menjadi ratu Mesir setelah suaminya meninggal dan
anaknya terbunuh. Kemudian menikah dengan perdana menterinya dan pendiri
dinasti Mamalik dan menyerahkan kekuasaan kepada suaminya.[12] Dan
banyak lagi pemimpin perempuan yang berkecimpung dalam kepemimpinan dan
politik.
2.
Kepemimpinan Adalah Bagian Konsep Dari Gender
Kepemipinan
perempuan tidak bisa dipisahkan dengan urusan gender.gender adalah perbedaan
antara laki-laki dan perempuan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat tuhan.
Kepemimpinan tidak didasarkan pada jenis kelamin dan kodrat Allah.Setiap
manusia berhak menjadi pemipin selagi dia mampu menjalankan tugas dengan adil
dan bijaksana, karena perbedaan gender merupakan perbedaan laki-laki dan
perempauan berdasarkan atas konstruksi social bukan pada jenis kelamin.[13] Jadi,
siapapun dan apapun jenis kelaminnya berhak mendapatkan tempat untuk merasakan
kepemimpinan selagi bisa membawa kemaslahatan.[14] Allah
berfriman dalam al-Qur’an surat taubah ayat 71;
والمؤمنون والمؤمنت بعضهم أولياء بعض, يأمرون بالمعروف وينهون عن
المنكر
“Dan orang-orang yang
beriman, laki-laki dan perempuan, sebagaian mereka menjadi penolong bagi
sebagiann yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari
yang mungkar”
Ayat ini menjelaskan pentingnya kerja sama antara laki-laki dan
perempuan , untuk saling tolong menolong baik dalam rangka kepentingan
pekerjaan maupun untuk kepentingan ibadah. Di samping itu dari ayat ini juga
dapat dipahami bahwa untuk mencapai kebikkan dan prestasi yang diharapkan diperlukan rasa berbagi tanggung jawab. Dalam
konteks laki-laki dan perempuan, maka keberhasilan perempuan (istri) baik dalam
bekerja maupun beribadah juga menjadi bagian dan tanggung jawab laki-laki
(suami).Begitu juga sebaliknya keberhasilan laki-laki (suami) juga merupakan
bagian dan tanggung jawab perempuan (istri).[15]
Terdapat juga
hadis yang mendukung ayat di atas yang diriwayatkan ibnu Umar;
كلكم راع وكلكلم مسؤلون عن رعيته, الأمير راع, والرجل راع على أهل
بيته, والمرأة راعيةعلى بيت زوجها وولده فكلكم وكلكم مسئول عن رعيته
“Semua kamu adalah
pemimpin dan setiap pemimpin betanggung jawab atas kepemimpinannya.Penguasa
adalah pemimpin, lelaki (suami) adalah pemimpin di rumah tangganya, perempuan
(istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya.Semua kamu
adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya”
(HR. Bukhari dan Muslim melalui Abdullah Ibnu Umar Ra.)
Dari hadis di atas tersirat sebuah tuntutan atas kaum perempuan
untuk terus belajar dan mengasah diri sehingga dapat mempengaruhi lelaki dengan
argumentasi yang logis dan ilmiah.Jika kedua hal itu bisa diraih, maka
perempuan telah memiliki “dua senjata” yang sangat ampuh.Pertama, perasaan
halus yang dapat menyentuh kalbu, dan kedua argumentasi yang menyentuh
nalar.Oleh karena itu perempuan mampu memimpin bukan hanya dalam keluarga tapi
juga dalam masyarakat luas.[16]
Pada perinsipnya islam tidak membatasi hak perempuan dalam mengurus
seluruh kepentingan public. Hanya saja perlu disesuaikan dengan kemampuan
(tugas pokok keluarga) dan kehormatan perempuan itu sendiri.[17] Setidaknya
terdapat tiga bidang masalah yang menjadi halangan terciptanya relasi jender
yang lebih adil, yaitu berkaitan dengan teologi, budaya dan politik.
Dalam menjelaskan masalah kepemimpinan wanita dalam lingkup public,
perlu kiranya dikemukakan beberapa hal:
1.
Perempuan
menjabat sebagai hakim, merupakan buah dari fiqh, bukan hokum syariat dari
Allah. Jadi al-Qur’an dan hadits tidak mengatur hal tersebut.
2.
Ijtihad
ulama fiqh klasik yang membicarakan masalah perempuan menjadi hakim sangat
beragam dalam banyak madzhab. Tidak ada ijma’ ulama dalam masalah ini.
3.
Berlangsungnya
adat istiadat pada masa lalu terhadap ketidakbolehan perempuan menjadi hakim,
bukan berarti perempuan haram menjadi hakim.
4.
Perbedaan
pendapat para ulama ahli fiqh tentang bolehnya perempuan menjadi hakim tidak
didukunh oleh teks agama, oleh karena itu mereka meng-qiyas-kan
kebolehan perempuan menjadi pemimpin dengan jabatan hakim, dan jabatan hakim
termasuk wilayah al-imamah al-‘uzma, yaitu al-khilafah al-‘ammah
bagi umat Islam.
5.
Laki-laki
menjadi hakim bukan satu-satunya syarat yang masih diperselisihkan oleh para
ulama fiqh. Mereka juga berselisih tentang syarat seorang hakim yang harus
menguasai empat hal, al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Oleh karena tidak
adanya ijma’, sebagaimana tidak adanya teks yang melarang, maka ini masuk dalam
masalah ijtihadi.
6.
Jabatan
hakim dan jabatan politik lainnya berubah dari kepemimpinan individu ke
pemimpinan bersifat kolektif.[18]
Kepemimpinan
laki-laki atas perempuan sejatinya bukan merupakan kelebihan atau keagungan
laki-laki atas perempuan.Kepemimpinan tersebut harus dipahami sabagai bentuk
tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan. Karena itu, kepemimpinan yang
dimaksud bukanlah kepemimpinan bersifat otoriter dan semena-mena, akan tetapi
untuk menegakkan agama Allah.
4.
Identifikasi Ayat dan Hadits
Terdapat
beberpa term atau redaksi teks al-Qur’an yang bersinggungan dengan gender dan
kepemimpinan wanita:
1)
Ayat
dan Hadits Tentang Kepemimpinan Wanita
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيرًا (النساء: 43)
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena
allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),
dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab
itu, perempuan yang shaleh ialah yang taat kepada allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasihatilah mereka
dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. Al-Nisa’:
34)
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: لقد نفعني
الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن
ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس
قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )[19]
“Utsamah
bin Haitsam menceritakan kepada kami, Auf menceritakan kepada kami dari
al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia mengatakan: “Allah telah menyadarkan
aku, melalui kalimat-kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW., ketika aku
hampir saja terlibat dalam perang Jamal (unta). Yaitu ketika disampaikan kepada
Nabi Saw. bahwa bangsa Persia telah telah mengangkat anak perempuan Kisra
sebagai penguasa (raja/ratu) mereka. (pada saat itu) nabi mengatakan: Tidak
akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan”.
2)
Ayat
Tentang Kesamaan sebagai Hamba
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(الذاريات: 56)
“ Dan Kami tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(الحجرات: 13)
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan dan
menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
ialah orang yang paling beraqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ(النحل: 97)
“Barang siapa yang
mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan balasan yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ الْمِصْرِىُّ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنِ
ابْنِ الْهَادِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « يَا مَعْشَرَ
النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ
أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ». فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ.قَالَ « تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ
وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ
لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ
وَالدِّينِ قَالَ « أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ
تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ
مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ ».[20]
“
Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai kaum perempuan ! bersedekahlah kalian dan perbanyakkanlah istighfar.
Karena aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang
perempuan yang cukup pintar dari mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa
kami kaum perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah SAW
bersabda: “Kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang
kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan
kalian”, perempuan itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah! Apakah maksud
kekurangan akal dan agama itu?” Rasulullah Bersabda: “Maksud kekurangan akal
adalah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki.
Inilah yang dinamakan kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak melaksanakan
sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan
ramadhan karena haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama”
حدثنا
أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الزهري قال أخبرني سالم بن عبد الله عن عبد الله بن عمر
رضي الله عنهما
: أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول (
كلكم راع ومسؤول عن رعيته فالإمام راع وهو مسؤول عن رعيته والرجل في أهله راع وهو
مسؤول عن رعيته والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسؤولة عن رعيتها والخادم في مال
سيده راع وهو مسؤول عن رعيته )[21]
“
Dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa rasulullah SAW bersabda, “Setiap kamu adalah
pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang imam adalah
pemimpin, ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya, seorang pria adalah
pemimpin dalam keluarganya an bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.
Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab
terhadap kepemimpinannya. Seorang pelayan juga pemimpin pada harta majikannya
dan ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya”. (HR. Bukhari)
3)
Ayat
Tentang Manusia Sebagai Khalifah Dimuka Bumi
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ
فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ
الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ(الأنعام:165)
“ Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan
Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya
Tuhan kalian amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”
وَإِذْ قَالَ
رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(البقرة:
30)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi”. Mereka berkata: “mengapa engkau menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang
tidak kalian ketahui”.
3.
Pandangan Yang Menyetujui Kepemimpinan Perempuan
Dalam memahami surat an-NIsa’ ayat 43 tersebut Asghar Ali Engineer
menyatakan untuk tidak memahami ayat ini tanpa melihat konteks social pada saat
ayat ini turun. Menurutnya, struktur social pada masa NAbi Muhammad SAW
tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak
dapat mengambil pandangan teologis semata dalam masalah ini, tetapi harus
menggunakan sosio-teologis. Bahkan al-Qur’an sendiri terdiri dari ajaran
kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang beisa efektif
jika mengabaikan konteksnya sama sekali.[22]
Quraisy shihab mengatakan bahwa keistimewaan laki-laki di sini
selain karena perbedaan jenis kelamin tetapi juga keistimewaan yang sepadan
dengan adanya tanggung jawab yang harus dipenuhinya kepada istri, yaitu nafkah.
Jika kedua aspek di atas tidak terdapat dalam suami (kekuatan dan kewajiban
nafkah) maka tidak ada keistimewaan baginya dan istri bisa saja mengambil alih
“kepemimpinan” dalam rumah tangganya.[23]
Pendapat senada juga dikatakan oleh Amina Wadud Muhsin yang mengesahkan
kepemimpinan laki-laki jika terpenuhi dua syarat: pertama jika laki-laki mampu
membuktikan kelebihannya dan kedua apabila laki-laki mendukung perempuan dengan
menggunakan harta bendanya.[24]
Yusuf al-Qardlawi berpendapat perempuan boleh menjadi pemimpin
layaknya hakim hanya saja kebolehan itu tidak wajib dan tidak harus ditetapkan,
harus dipertimbangkan kemaslahatan perempuan, keluarga, masyarakat dan agama.
Karena “biasanya” perempuan tidak bisa menghadapi tanggung jawab yang besar
seperti hakim dan kepala Negara.[25]
4)
Pandangan Yang Menentang Kepemimpinan Perempuan
Pandangan para ulama tentang kepemimpinan wanita bermuara pada
pemahaman surat an-Nisa: 43 yang menyatakan “Laki-laki adalah qawwam
atas perempuan, dikarenakan Allah telah melebihkan sebgian mereka atas sebagian
yang lain dan kerena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka”
Kebanyakan mufassir menyakan bahwa qawwam berarti pemimpin,
pelindung, penanggung jawab, pendidik
dan pengatur. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki
laki-laki atas perempun adalah karena keunggulan akal dan fisiknya.[26]
Bahkan al-Thabari mengatakan kepemimpinan laki-laki atas perempuan bukan hanya
pada kekuatas fisik, akan tetapi pendidikan dan tanggung jawab dalam memenuhi
kewajiban yang ditentukan Allah yaitu kewajiban membayar mahar, nafkah dan
kifayah.[27]
Senada dengan pandangan al-Thabari di
atas, menurut ar-Razi kelebihan laki-laki meliputi dua hal: sifat hakiki dan
hukum syariat, sifat hakiki meliputi ilmu pengetahuan (al-‘Ilm) dan kemampuan
fisik (al-Qudrah), menurutnya akal dan pengetahuan laki-laki lebih sempurna
daripada perempuan. Sedangkan hukum syariat adalah kewajiban membayar mahar dan
memberi nafkah.[28]
Penafsir dari muktazilah, az-Zamakhsyari juga berpendapat kelebihan laki-laki
atas perempuan meliputi: akal/pengetahuan (al-‘aql), ketegasan (al-Hazm),
tekadnya yang kuat(al-‘Azm), kekuatan fisik (al-Qudrah), secara umum memiliki
kemampuan menulis (al-Kitabah) dan keberanian (al-Furusiyah wa ar-Ramyu).[29]
Ketiga penafsir di atas secara umum
mengatakan bahwa kata kunci dalam kepemimpian laki-laki atas perempuan adalah
kelebihan fisik dan akalnya, dengan penegasan redaksi ‘bima faddlala
Allahu ba’dlahum ‘ala ba’dl’ serta kewajiban member nafkah untuk memenuhi
kebutuhan istri dan rumah tangganya. Begitu juga pendapat seperti ini dapat
kita temukan dalam tafsir Ibnu Katsir,[30]
al-Alusi,[31]
Bahrul Muhith,[32]
Baidlawi,[33]
Sirajul Munir,[34]
Ruhul Bayan[35] dan
al-Jami’ Li Ahkami al-Qur’an.[36]
BAB III
PANDANGAN THAHIR IBNU ASYUR
DALAM KITAB TAFSIR AT-TAHRIR WA AT-TANWIR
1.
Biografi Pengarang
Mufasir ini lahir di Tunisia di awal abad ke-14 M. Informasi yang
mengulas latar belakang keluarganya memang cukup gelap.Hanya ada seberkas
cahaya menyoroti bahwa dalam dirinya masih mengalir darah seorang ulama besar
di Tunisia tempo dulu.Masa kecilnya disemarakkan dengan belajar ilmu-ilmu
Al-Qur’an seperti tajwid, menghafal, qiraat, dan bahasa Arab.
Baru setelah itu, Ibnu
Asyur masuk lembaga Zaitunah.Sebuah lembaga pendidikan yang cukup elit, setaraf
al-Azhar.Tidak sebagaimana layaknya lembaga pendidikan modern dengan bangunan
megah, Zaitunah bertempat di sebuah masjid kuno.Namun, masjid ini selama
berabad-abad berfungsi sebagai pusat pendidikan, informasi, dan penyebaran
ilmu.
Selama belajar di Zaitunah, Ibnu Asyur sering menenggelamkan diri
dalam perpustakaan.Dahaga keilmuannya bisa terpuaskan di tempat ini. Dengan
sangat “rakus” ia melahap berbagai literatur, baik yang kuno maupun modern.
Perpustakaan tersebut adalah warisan para cerdik-cendekia dahulu kala.Ia termasuk
perpustakaan terkenal di dunia.
Ibnu Asyur
menorehkan peran besar dalam menggerakkan nasionalisme di Tunisia. Sebelum
diangkat sebagai Syekh besar Islam di Tunisia, ia pernah menduduki kursi hakim
dan mufti. Namun karena pergolakan politik Tunisia, ia bersitegang dengan para
penguasa Tunisia seputar wacana keislaman. Akibatnya, ia dilengserkan dari
kedudukannya sebagai Syekh Besar Islam di Tunisia.
Hiruk
pikuk politik Tunisia membuatnya gerah. Tak mau ia terlibat di dalamnya.
Hari-hari dilewatinya dengan berdiam di rumah.Setiap waktu diisi dengan menulis
dan membaca.Terbayang kembali impiannya yang sejak lama urung terwujud, yaitu
menulis kitab tafsir.Ia pernah berkata, “Salah satu cita-citaku yang terpenting
sejak dulu adalah menulis sebuah tafsir Al-Qur’an yang komprehensif untuk
kemaslahatan dunia dan agama.”
Untuk
kepentingan tearsebut, Ibnu Asyur merujuk berbagai kitab tafsir yang ada.
Al-Kasysyaf karya Zamakhsyari, al-Muharraral-Wajizkarya Ibnu
Athiyah, Mafatih al-Gaib karya ar-Razi, Tafsir Baidawi yang
merupakan ringkasan dari al-Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib, Tafsir Abu
as-Su’ud, Tafsir al-Qurtubi, Tafsir al-Ahkam, dan Tafsir at-Tabari
adalah sejumlah referensinya dalam mengungkap maksud kalam Ilahi
Maskipun Ibnu Asyur merujuk banyak kitab tafsir, namun ia tidaklah
mengekor. Tafsirnya memiliki karakteristik tersendiri.Dalam buku tafsir ini,
saya menuangkan poin-poin yang belum saya temukan dalam karya tafsir
sebelumnya.Saya melihat ada dua karakter mufasir dalam menyingkapi
tafsir-tafsir sebelumnya.Pertama, mengekor pendapat pendahulunya.Kedua, menolak
dan bersikap apriori.Adapun yang saya lakukan adalah menjembatani kedua
karakter itu,” paparnya.
Ibnu Asyur menitikberatkan tafsirnya pada uraian tentang sisi
kemukjizatan Al-Qur’an, linguistik Arab (balagah), dan gaya bahasa (badi’).Setiap
surah Al-Qur’an dikupas tuntas olehnya dan disimpulkan garis besar
isinya.Tujuannya, agar pembaca tidak mendapat tafsir Al-Qur’an yang persial,
terbatas hanya pada penjelasan makna perkata atau perkalimat dari sebuah ayat.
Ibnu Asyur prihatin kalau muncul paemahaman yang kurang utuh
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.Seakan-akan ayat per ayat tercerai berai, tanpa
ada pengikat.Muaranya, keserasian dan keindahan Al-Qur’an sirna tidak
terwujud.Padahal antara satu ayat dengan ayat lainnya laksana satu untaian
mutiara.Tak terpisahkan dan saling bertautan. Maka dari itu, ia menitiktekankan
uraiannya pada makna-makna mufradat (kosa kata) untuk selanjutnya menelusuri
makna global sebuah surat.
Untuk nama tafsirnya, Ibnu Asyur mengatakan, “saya namai tafsir
saya dengan Tahrir al=Ma’na wa at-Tanwir al-Aqli al-Jadid min Tafsir
al-Kitab al-Majid, diringkas menjadi at-Tahrir wa at-Tanwir min at-
Tafsir.
2.
Profil Kitab
Keistimewaan kitab tafsir ini terletak pada pengantarnya yang
memaparkan kepada pembaca tentang dasar-dasar penafsiran dan bagaimana seorang
penafsir berinteraksi dengan kosa kata, makna, strukur dan system al-Qur’an.
Pengantar kitab ini terdiri dari sepuluh pengantar, yaitu berbicara masalah; 1)
tafsir dan takwil, 2) referensi atau alat bantu ilmu tafsir, 3) keabsahan
tafsir tanpa riwayat dan makna tafsir bir rayi dan contohnya, 4) maksud
penafsiran, 5) Asbabunnzul, 6) Qiraat, 7) kisah-kisah al-Qur’an, 8) nama al-Qur’an,
9) makna-makna yang dikandung oleh Al-Qur’an, 10) kemukjizatan Al-Qur’an[37].
1)
Tafsir
dan takwil
Pengantar pertama ini berbicara tentang tafsir dan takwil sebagai
ilmu dengan berbagai bentuk toleransi.Ia menegaskan bahwa tafsir merupakan ilmu
islam yang pertama. Disini ia berbicara tentang orang pertama yang melakukan
kodifikasi tafsir yaitu Abdul Malik bin Juraij (80-149 H). Ia menjelaskan bahwa
kebanyakan riwayat ibnu jaraij berasal dari Ibnu Abbas. Ibnu Asyur juga tidak
lupa menggaris bawahi bahwa periwayatan dari Ibnu Abbas juga telah diklaim oleh
beberapa pemalsu riwayat – walaupun beberapa diantara mereka ada yang jujur –
guna mengabsahkan apa yang diriwayatkan oleh mereka.
2)
Refrensi
atau alat bantu (istimdad) ilmu tafsir
Pengantar ini berbicara berbicara tentang alat bantu ilmu tafsir,
yaitu sejumlah perangkat ilmu pengetahuan yang telah ada sebelum ilm itu ada.
Perangkat materi yang sangat penting daam hal ini adalah bahasa arab yang
terdiri dari ilmu sharf (morfologi), ilmu Nahwu (gramatika, ilmu maani, ilmu
badi’ dan lain-lain. Ia menjelaskan
besarnya peran majaz (metamor) dalam tafsir. Disamping itu ia mengikuti
kebiasaan ulama masa lalu yang menggunakan syair-syair arab untuk menangkap
makna beberapa kosakata Al-Qur’an. Ia juga menggunakan pendekatan salaf yang
mementingan sisi penukilan. Dia tidak menganggap fikih dan dasar-dasarnya menjadi suatu hal yang penting bagi mufassir karena ilmu fikih sendiri merupakan cabang
dari tafsir yang mana sangat bergantung pada sebuah tafsir . namun demikian,
alat-alat bantu tersebut yang diguakan
tafsir tidak mengurangi posisi tafsir sebagai induk ilmu-ilmu islam.
3)
Keabsahan
tafsir tanpa perwayatan dan makna tafsir birra’yi
Pengantar ini berbicara tentang keabsahan tafsir tanpa periwayatan
(penukilan) dan makna tafsir berdasarkan nalar.Ibnu Asyur menghindari
penafsiran dengan akal yang dilarang oleh nabi Saw dan tafsir yang mereka-reka
makna Al-Qur’an yang pernah dilarang oleh abu bakar. Disini ia juga memaparkan
ungkapan al-Gazali dan Qurtubi yang mengatakan “ tidak dibenarkan bahwa semua
yang dikatakan sahabat bersumber dari pendengaran langsung atas ungkapan nabi”.
Selain itu, ia juga mengomentari pendapat yang menganggap tafsir
hanya bisa berjalan dengan bahan-bahan nukilan (periwayatan) saja. Ia
menganggap jika nukiln itu dibatasi pada
apa yang pernah disinggung oleh nabi saja, maka itu akan mempersempit makna dan
sumber penafsiran al-Qur’an. Kalaupun yang masuk katagori nukilan itu mencakup
para sahabat, maka tetap saja hal itu tidak memperkaya penafsiran.
4)
Maksud
penafsiran
Disini Ibnu Asyur menjelaskan apa-apa yang harus dihadapi oleh
seorang mufassir. Allah menurunkan Al-Qur’an untuk kemaslahatan manusia secara
universal, baik pada level individu maupun sosial. Maka mufassir harus mengerti
tentang unsure-unsur perubahan yang meliputi reformasi keyakinan, reformasi
etika, reformasi legislasi hukum dan reformasi politik penyelenggara.
Setelah itu ia beralih pada tata cara seorang penafsir dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang membatasi diri pada hal-hal
lahiriah teks, sementara yang lain mencari kesimpulan dari balik teks. Ia juga
menerangkan hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
5)
Asbabunnuzul
Dalam pengantar
kelima ini, Ibnu Asyur mengkritk kegandrungan sebagian mufassir akan bahasan
tentang konteks turunnya ayat. Disini ia mengungkapkan lima konteks turunnya
ayat; 1) maksud dari ayat itu sendiri, 2) peristiwa-peristiwa yang menyebabkan
disyriatkanna suatu hukum, 3) peristiwa-peristiwa yang dikhususkan kepada
seseorang, 4) peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan ayat-ayat al-Qur’an
sesuai dengannya, 5) satu bagian yang menjelaskan keumuman ayat.[38]Ia
juga menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah kitab petunjuk, dan petunjuklah yang
diinginkan Al-Qur’an, bukan yang lain.
6)
Qiraat
Permasalahan
qiraat (bacaa) menjadi bahasan pengantar keenam. Disini ia menerangkan bahwa
qiraat mengandung dua implikasi. Pertama, bacaan yang sama sekali tidak terkait
dengan pemaknaan al-Qur’an. Kedua, bacaan yang terkait dengan pemaknaan.Bacaan
pada katagori pertama meliputi perbedaan dalam pelafalan huruf, harakat, ukuran
bacaan mad, pelembutan (takhfif), penekanan (jahr), dan lain sebagainya.Semua
itu tidak terkait dengan persoalan tafsir, karena tidak bersentuhan langsung
dengan makna.
Sementara model
bacaan kedua mencakup perbedaan dalam mebaca huruf dalam satu kalimat, seperti
kalimat “مالك يوم الدين” (dengan memanjangkan
kalmiat مالك ) dan “ ملك يوم الدين”(dengan tanpa memanjangkan kalimat ملك). Juga dalam kalimat yang lain ننشرها (memakai “ ر”)
dengan ننشزها (dengan memakai ز"”). Disini ia tidak memberikan jalan
penyelesain terhadap perbedaan makna, kecuali menekankan bahwa semua itu
merupakan kehendak Allah agar tercipta kekayaan makna.
Ia
menegemukakan kasus dimana Umar bin khattab pernah mendengar hisyam bin hakim
bin hazm membaca surat al-furqan dalam shalat berlainan dengan bacaan umar.
Ketika usai shalat, mereka berdua hampir bertengkar dan akhirnya mengadukan hal
itu kepada Nabi. Nabi kemudian menyuruh hisyam untuk membaca, dan hisyam
membaca dengan bacaannya sebagaimana ia membaca diawal. Nabi kemudian
mengomentari;” seperti itulah ia diturunkan “.Setelah itu Nabi mempersilahkan
Umar untuk membaca, dan Nabi pun membenarkan bacaan umar.Nabi berkata;”
sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf[39],
maka bacalah mana yang kalian anggap mudah.
Tapi disini
juga terjadi perdebatan ; apakah hadis tersebut sudah dinasakh atau belum? Yang
mengatakan sudah dinasakh berpendapat bahwa itu merupakan bagian dari rukhsah
(dispensasi) bacaan pada masa nabi saja, kemudian dinasakh melalui standarisasi
dialek Quraisy, karena dengan dialek itulah al-Qur’an diturunkan. Adapun yang
mengatakan bahwa hadis tersebut tidak dianulir berpendapat bahwa yang dimaksud
denga ahruf adalah dialek arab ketika itu dalam melafalkan huruf-huruf, baik
yang dipanjangkan atau yang dipendekkan, sambil tetap menjaga keutuhan kalimat al-Qur’an.
7)
Kisah-kisah
dalam Al-Qur’an
Pada pengantar ini Ibnu Asyur menerangkan bahwasanya Al-Qur’an
tidak memuat kisah-kisah tersebut untuk menambah pengetahuan, sebab tujuan
kisah itu bukan untuk verifikasi ilmu, tetapi sebagai bahan ajaran dan
petunjuk.Namun, disitu ditunjukkan tema-tema yang penting. Oleh karena itu, ia
tidak membatasi diri dalam mendalami detail kisah, hanya mengambil inti,
pelajaran, petuah dan perumpamaan yang terdapat pada kisah itu. Menurutnya, itu
semua berfungsi bagi kaum muslimin untuk menguasai wawasan global tentang
dunia, dan memotifasi mereka untuk menjadi penguasa.Kisah-kisah itu juga
mengandung pengertian bahwa kekuatan Allah diatas segalanya.
8)
Nama,
jumlah ayat dan surat, susunan dan nama-nama Al-Qur’an
Pengantar kedelapan Asyur berbicara tentang nama, jumlah ayat dan
surat, susunan, dan nama-nama al-Qur’an. Di sini dia berbicara tentang makna al-Qur’an,
al-furqan, al-Kitab,adz-dzikr, dan al-wahy.
Kemudian berbicara tentang ayat-ayat dan pembatasnya, dan bagaimana
paembatas ayat itu mengindikasikan sebagai akhir dari sebuah ayat.
Di sini juga dinyatakan
bahwa, ayat terpanjang dalam al-Qur’an adalah surat al-Fath ayat 25 dan surah
al-Baqarah ayat 102, ini agak aneh, karena yang popular sebagai ayat terpanjang
adalah ayat mengenai hutang-piutang yang tertulis dalam surah al-Baqarah ayat
281. Sementara tentang jumlah ayat al-Qur’an, Abu Amr ad-Dani dalam bukunya
al-Adad telah mengatakan bahwa jumlah ayat al-Qur’an adalah 6000 ayat. Itupun
masih terjadi perbedaan pendapat.
Tapi poin penting yang paling
penting dari pengantar ini adalah soal susunan atau runtutan ayat.Penulis
mengatakan bahwa itu semua sudah ditentukan oleh Nabi lansung, sesuai dengan
turunnya wahyu yaitu ayat per-ayat, atau lansung beberapa ayat dan satu surah
lengkap.Maka dari itu, susunan ayat dalam satu surah, sebagaimana yang sampai
pada kita saat ini, sebenarnya sudah ditentukan di masa Nabi. Sehingga,
sekiranya dia diubah ke dalam susunan lain, maka kadar kemukjizatannya akan
menurun. Bacaan Rasul terhadap susunan-susunan ayat tidak berbeda dengan apa
yang sekarang tertera di dalam mushaf yang ada bersama kita. Kesemua itu
merupakan apa-apa yang sudah ditetapkan dari riwayat para sahabat penghafal
ketika didemonstrasikan di hadapan Nabi menjelang wafatnya. Indikasi kesesuaian
itu dapat juga kita cermati dari tulisan Zaid bin Tsabit ketika dia menuliskan
mushaf untuk Abu Bakar. Ini juga sesuai dengan bacaan Rasulullah dalam
shalat-shalat yang dilantangkan dan dalam berbagai kesempatan.
Ketika al-Qur’an dikumpulkan
pada masa Abu Bakar, kita juga tidak mendengar adanya kasus keraguan atas
susunan ayat-ayat al-Qur’an. Kita juga tidak mendengar penyangkalan dan
perbedaan atas apa-apa yang merekan kumpulkan. Ibnu Wahab mengatakan suatu kali
mengatakan, “Saya mendengar Malik mengatakan bahwa al-Qur’an ditulis
sebagaimana yang sahabat dengarkan dari Rasululla”. Selanjutnya, Ibnu al-Anbari
juga mengatakan, “Ayat-ayat itu turun sebagai jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang muncul, lalu Jibaril member tahu Nabi di mana
penempatannya”.Maka dari itu, urutan huruf, ayat dan surah, semuanya bersumber
dari Nabi sendiri.
9)
Makna-makna
yang terkandung oleh kalimat-kalimat al-Qur’an
Pengantar kesembilan, Asyur berbicara tentang makna-makna yang
dikandung oleh kalimat-kalimat al-Qur’an. Di sini dia menegaskan bahwa itu
semua menyangkut sebagian hubungan antara struktur kalimat, makna dan beberapa
persoalan bahasa.
10)
Kemukjizatan Al-Qur’an
Pengantar kesepuluh terkait dengan persoalan kemukjizatan al-Qur’an.
Kemukjizatan al-Qur’an meamang telah merebut perhatian pembaca, bukan seperti
betikan saja, ataupun bangunan gundukan sebagai pelindung di kala panas, tapi
seperti kilatan yang memungkinkan manusia melihat bagaimana Tuhan betul-betul
berkuasa (mu’jiz).
Kemukjizatan ini merupakan dasar universal bahwa al-Qur’an
merupakan mukjizat islam yang menantang para penentangnya. Inilah konsep yang
banyak dilupakan oleh ahli tafsir yang dibuat sibuk oleh detail-detail mukjizat
sembari melupakan pangkal dan akarnya.Ini pula yang menyebabkan mereka
berbeda-beda dalam menunjukkan sisi kemukjizatan al-Qur’an.
3.
Corak dan Metodologi
Ibnu Asyur menitik beratkan tafsirnya pada uraian tentang sisi
kemukjizatan Al-Qur’an, linguistik Arab (balagah), dan gaya bahasa (badi’).
Setiap surah Al-Qur’an dikupas tuntas olehnya dan disimpulkan garis besar
isinya. Tujuannya, agar pembaca tidak mendapat tafsir al-Qur’an yang parsial,
terbatas hanya pada penjelasan makna perkata atau perkalimat dari sebuah ayat. Dapat
disimpulkan bahwa corak tafsir Ibnu Asyur ini bercorak adabi
(kebahasaan).
Dalam hal metodologi Ibnu Asyur menggunakan pendekatan tahlili
(analitik) dengan mengupas ayat dari segala segi. Ia berupaya menjembatani
penafsiran bil ma’tsur yang terbatas pada riwayat dari nabi, sahabat dan tabiin,
dengan tafsir bir-ra’yi yang cendrung tanpa dilandasi oleh argumen bahasa arab
yang valid, ataupun hanya bersifat kecenderungan mazhab saja.
4.
Pandangan Tafsir Terhadap Kepemimipinan Perempuan
Terkait masalah kepemimpinan, kita dapat melihat komentar Ibnu
Asyur dalam tafsiran surat An-Nur ayat ayat 62:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ
عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا
اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Ayat ini pada merupakan dasar aturan-aturan berkenaan dengan
kemasyarakatan karena dalam sunnah seharusnya memiliki pemimpin yang mengatur
urusan-urusan masyarakat tersebut. Jangan sampai ada sebuah perkumpulan yang
tidak memiliki pemimpin. Pemimpin berperan sebagai waliyyul amri al-muslimin (yang
mengatur urusan kaum muslimin). Kedudukan pemimpin menempati posisi nabi saw,
sehingga penghormatan terhadap pemimpin sama halnya dengan penghormatan
terhadap nabi. Tidak boleh ada seorang pun yang meninggalkan majelis tanpa
seiizin nabi.
Berkenaan dengan kepemimpinan wanita, Ibnu Asyur memberikan
komentar yang tercantum dalam tafsiran surat Al-Baqarah ayat 124;
وَإِذِ
ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي
الظَّالِمِينَ
Ayat ini berkenaan dengan kehendak Allah yang menjadikan Ibrahim
sebagai pemimpin (imam). Pemimpin disini berarti rasul, karena jabatan rasul
adalah sesempurna kekuasaan. Selanjutnya nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar
keturunannya juga dijadikan sebagai pemimpin
dengan berbagai risalah, kekuasaan , dan keteladanan. Selanjutnya Ibnu
Asyur memberikan komentar bahwa syarat mendasar dari seorang pemimpin adalah
harus laki-laki yang memiliki sifat kesempurnaan yang menjadi contoh dan
panutan bagi kaumnya dan keluarganya. Dari sini terlihat jelas bahwa Ibnu Asyur
tidak memberi ruang untuk kaum wanita menjadi pemimpin.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Alusi. Ruh
al-Ma’ani fi Tafsiri al-Qur’an al-‘Adhim wa as-Sab’I al-Matsani. Maktabah
Syamilah. Juz IV
Al-Baidlawi. Tafsir Al-Baidlawi. Maktabah Syamilah. Juz I
Al-Banna, Gamal, Tafsirul
Quran Baina Qidaamiy Wal Muhditsin, Darul Fikr Al-Islami, Kairo, 2003
Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. Maktabah Syamilah. Juz 2
Al-Burusawi,
Ismail al-Haqqi. Ruh al-Bayan fi Tafsiri al-Qur’an. Maktabah Syamilah.
Juz II
Al-Muslim. Shahih Muslim. Maktabah Syamilah. Juz 1
Al-Qurthubi. Al-Jami’
Li Ahkam al-Qur’an. Maktabah Syamilah. Juz III
Al-Syarbini,
Muhammad bin Ahmad. Tafsir as-Siraju al-Munir. Maktabah Syamilah. Juz I
Al-Thabari. Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Maktabah
Syamilah. Juz 8
Az-Zamakhsyari.
Al-Kassyaf ‘an Haqaiqi at-Tanzil wa ‘Uyunu al-Aqawil fi Wujuhi at-Ta’wil. Maktabah
Syamilah. Juz I
Fatoni,
Ahmad, Kaidah Qiraat Tujuh, Darul
Ulum Press, Jakarta, 2007
Hayyan, Abi. Al-Bahru al-Muhith. Maktabah Syamilah. Juz III
Hidayatullah, Kholid. Kontekstualisasi
Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar. 2012. El-Kahfi: Jakarta
Ibnu Asyur, At-Thahir,
At-tahrir Wa At-Tanwir, Dar
Suhnun, Tunis, Juz 1
Jumu’ah, Ali. Fatawa
al-Baiti al-Muslim.2009. Daar al-Imam as-Syatibi: Qahirah
Katsir, Ibnu. Tafsirul Quranil ‘Adhim. Maktabah Syamilah.
Juz II
Mahmud, Abdul
Halim. Fatawa al-Imam ‘Abdul Halim Mahmud. 2002. Daar al-Ma’arif:
Qahirah. Cet. ke-5
Muhammad bin
Umar bin Husain ar-Razi asy-Syafii. Mafatihul Ghaib min al-Qur’an al-‘Adhim.
Maktabah Syamilah. Juz I
Muhammad,
Husein. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. 2012.
LKiS: Yogyakarta.
Muri’ah, Siti. Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir. 2011.
RaSAIL: Semarang.
Muqaddas,
Djazimah. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di Negara-negara
Muslim. 2011. LKiS: Yogyakarta
Revai, Veithzal, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi
(Edisi Kedua), Rajagrafindo Persada, Jakarta ,2007
Shihab, Quraisy. Perempuan. 2009. Lentera Hati: Jakarta
Umar,
Nasarudin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. 2001.
Paramadina: Jakarta
Yukl
,Gari, Leadership In Organization (alih Bahasa Oleh Jusuf Udaya, Kepemimpinan
Dalam Organisasi), Prenhallindo, Jakarta
[1]Nasarudin
Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. 2001. Paramadina:
Jakarta
[2][2]
Veithzal Revai, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Edisi Kedua),
Rajagrafindo Persada, Jakarta 2007, Hal.9
[3]
Gari Yukl , Leadership In Organization (alih Bahasa Oleh Jusuf Udaya, Kepemimpinan
Dalam Organisasi), Prenhallindo, Jakarta, Hal. 2
[5] Veithzal Revai, Kepemimpinan Dan Perilaku
Organisasi (Edisi Kedua), Hal
53-57
[6]
Djazimah Muqaddas. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam DI
Negara-negara Muslim. 2011. LKiS: Yogyakarta. Hlm. v
[7]
Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.2012.
LKiS: Yogyakarta. Hlm.xiii
[8]
Djazimah Muqaddas. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam DI
Negara-negara Muslim.hlm. 203
[9]
Quraisy Shihab. Perempuan. 2009. Lentera Hati: Jakarta. Hlm. 367
[10]
Nasarudin Umar. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. 2001.
Paramadina: Jakarta. Hlm. 248-249
[11]
Tafsir UIN Syarif Hidayatullah
[12]
Quraisy Shihab. Perempuan.hlm.384
[13]
Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.hlm.
xi
[14]
Ali Jumu’ah. Fatawa al-Baiti al-Muslim.2009. Daar al-Imam as-Syatibi:
Qahirah. Hlm. 399
[15]
Siti Muri’ah. Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir.2011.
RaSAIL: Semarang. Hlm. 201
[16]
Quraisy Shihab. Perempuan. Hlm. 372
[17]
Ali Jumu’ah. Fatawa al-Baiti al-Muslim.2009. Daar al-Imam as-Syatibi:
Qahirah. Hlm. 399; Abdul Halim Mahmud. Fatawa al-Imam ‘Abdul Halim Mahmud. 2002.
Daar al-Ma’arif: Qahirah. Cet. ke-5. Juz 2. Hlm. 189
[18]
Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar.2012.
El-Kahfi: Jakarta. Hlm. 110
[19]
Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari….. Juz IV. Hlm. 1610 no. 4163
[20]
Muslim. Shahih Muslim. MS. Juz 1 hl.61
[21]
Bukhari. Shahih al-BUkhari. MS. Juz 2 hlm 848
[22]
Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar.
Hlm. 108
[23]
Quraisy Shihab. Perempuan. Hlm 369
[24]
Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar.
Hlm. 108
[25]
Djazimah Muqaddas. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di
Negara-negara Muslim. Hlm.68
[26]
Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.
Hlm. 196
[27]
Al-Thabari. Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. MS. Juz 8. Hlm 290
[28]
Muhammad bin Umar bin Husain ar-Razi asy-Syafii. Mafatihul Ghaib min al-Qur’an
al-‘Adhim. MS. Juz I. hlm. 1441
[29]
Az-Zamakhsyari. Al-Kassyaf ‘an Haqaiqi at-Tanzil wa ‘Uyunu al-Aqawil fi
Wujuhi at-Ta’wil. MS. Juz I. hlm. 537
[30]
Ibnu Katsir. Tafsirul Quranil ‘Adhim. MS. Juz II. Hlm. 292
[31]
Al-Alusi. Ruh al-Ma’ani fi Tafsiri al-Qur’an al-‘Adhim wa as-Sab’I
al-Matsani. MS. Juz IV. Hlm. 41
[32]
Abi Hayyan. Al-Bahru al-Muhith. MS. Juz III. Hlm. 249
[33]
Al-Baidlawi. Tafsir Al-Baidlawi. MS. Juz I. hlm. 184
[34]
Muhammad bin Ahmad as-Syarbini. Tafsir as-Siraju al-Munir. MS. Juz I.
hlm. 241
[35]
Ismail al-Haqqi al-Burusawi. Ruh al-Bayan fi Tafsiri al-Qur’an. MS. Juz
II. Hlm. 160
[36]
Al-Qurthubi. Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. MS. Juz III. Hlm. 168
[37]
Jamal Al-Banna, Tafsirul Quran Baina Qidaamiy Wal Muhditsin, Darul Fikr
Al-Islami, Kairo, 2003
[38]
At-Thahir Ibnu Asyur, Attahrir Wa At-Tanwir,
Juz 1, Hal 47-49
[39]
Ahmad Fatoni, Kaidah Qiraat Tujuh,Hal. 3, Darul Ulum Press, Jakarta, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar