Pendahuluan
Dunia
pemikiran Islam, dan khususnya Arab, mengalami shock modernitas, setelah Barat
hadir dengan peradaban moderennya di awal abad 19. Wabah inferioritas
menghinggapi para sarjana muslim ketika berhadapan dengan Barat. Salah satu
respon yang muncul dari persinggungan intelektual tersebut adalah gagasan
reformasi agama yang dipelopori Jamaludin Afghani (1838 – 1897) dan muridnya,
Muhammad Abduh (1849 -1905). Mereka menyerukan pembaruan, kembali kepada Qur’an
dan Sunnah serta membongkar tradisi intelektual lama yang dianggap stagnan.
Tak dapat disangkal bahwa gerakan pembaruan yang
digemakan Afghani dan Abduh merupakan tonggak perubahan kajian tafsir di abad
Moderen, sebagaimana Ibnu Jarir yang menjadi trend setterkajian
tafsir di abad 3 Hijriyah. Tema kebangkitan umat, pemurnian agama, rasionalitas
dan anti stagnasi yang diusung Abduh telah membuka jalan bagi kemunculan
model-model baru dalam kajian tafsir. Keberaniannya melawan arus dan mendobrak
kemapanan, mengilhami banyak pengkaji tafsir setelahnya untuk melakukan
kajian-kajian kritis bahkan radikal. Dapat dikatakan, secara genealogis kajian
tafsir kontemporer merupakan anak ideologis Abduh.
Diantara penulis Arab yang pertama
mengangkat tema kritik pemikiran ini Sadiq Jalal Azam, seorang pemikir Muslim
kontemporer beraliran Marxist berasal dari Syiria. Pada tahun 1972, beliau
menerbitkan buku yang berjudul Naqd al-Aql al-Dini. Buku ini
pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1969, yaitu dua tahun setelah peristiwa
yang sangat memalukan bagi sejarah modern bangsa Arab, Kekalahan pada perang
enam hari pada bulan Juni 1967. Buku mengkritik pola pikir keagamaan yang yang
berkembang dikalangan bangsa Arab, sebuah pemikiran yang dalam pandangannya
sangat bersifat metaphysical-oriented.
Disini ‘Azam mempertanyakan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan alam
ghaib seperti mengenai pean Tuhan dalam sejarah, malaikat, dst. Buku ini telah
melahirkan reaksi keras dari beberapa kalangan. Akhirnya,diapun di dihadapkan
kedepan pengadilan.
Lebih sepuluh tahun kemudian, yaitu
tahun 1984, Mohammad Arkoun, pemikir kelahiran asal al-Jazair dan menetap di
Paris ini, juga tampil degan tema yang sama dengan bukunya Pour une Critique de la Raison Islamique. Secara umum buku ini adalah
sebuah upaya untuk mendekonstruksi
epsitemologi dan metodologi pemikiran Islam yang dianggapnya sebagai faktor
utama kemunduran Islam dan stagnansi pemikirannya. Dengan menggunakan berbagai
metode yang dicatutnya dari berbagai disiplin ilmu humaniora dan filsafat
postmodernsme yang sedang berkembang di Barat, Arkoun mempertanyakan
otentisitas al-Qur’an, otoritas sunnah dan juga ulama silam. Seperti halnya
al-Qur’an mushaf ‘utmani yang dikatakannya sebagai produk konfigurasi politik
penguasa ketika itu, Arkoun juga berpandangan bahwa karya-karya ulama Islam
dahulu tidak terlepas dari pengaruh ideology yang dominan saat itu. Buku ini
diterjemahkan Hashim Salih, murid dan juga teman baik Arkoun, kedalam bahasa
Arab dan dia beri judul Tarikhiyyah
al-Fikr al-Arabi.
Pada periode yang hampir bersamaan,
Muhammad Abid al-Jabiri, tokoh intelektual dan filsuf Maroko kontemporer, juga
sedang menggagas projek intelektualnya, yang dinamainya dengan Naqd al-’Aql al-’Arabi. Jabiri
kemudian menuangkan ide kritiknya itu dalam dua karya tulisnya yang berketebalan
lebih kurang 600, yaitu Takwin
al-Aql al-Arabi (Formasi
Akal Arab) dan Bunyah
al-Aql al-Arabi (Struktur
Akal Arab). Dalam kedua buku ini Jabiri mencoba untuk menulusuri formasi awal
terbentuknya pemikiran Islam, dan kemudian mekonstruksinya sedemikian rupa
sehingga menghasilkan sebuah struktur baru dalam epistemologi Arab Islam. Teori yang dikembangkannya dalam kedua
buku ini kemudian dia aplikasikan untuk membaca pola pikir politik dan etik
bangsa Arab dalam bukunya al-Aql
al-Siyasi al-‘Arabi dan al-Aql al-Akhlaqi al-Siyasi.
Mengkuti jejak intelektual diatas,
Nasr Hamid Abu Zayd tahun 1990 juga menerbitkan karya yang bernuansa kritis
pemikiran dan dia beri judul Naqd
al-Khitab al-Dini. Buku
ini sebenarnya merupakan kritik sekaligus jawaban terhadap para pengkritisinya
yang melemparkan tuduhan dan kritikan atas karya intelektualnyanya berjudul Mafhum al-Nass dan al-Imam
al-Shafi’I wa Ta’sis al-aydulujiyyah al-Wasatiyyah. Di buku ini,
Nasr mencoba menulusuri apa yang disebutnya aliyat
al-fikr pemikiran
Islam kontemporer. Dia mngkritisi model pikiran yang dikembangkan kelompok
salaf yang menurutnya telah gagal untuk membuat disgtingsi jelas antara agama
dan pemikiran agama, tapi dia juga tidak bersetuju dengan pola pikir yang
dikembangkan oleh Islam Kirinya Hasan Hanafi yang menurutunya sangat penuh
dengan muatan ideologis. Apa yang menarik dari buku ini adalah pengarang
bmencoba untuk menkonseptualisasi kembali makna wahyu dalam hubungannya dengan
realitas sosial dan kemasyarakatan.
Selain keempat tokoh diatas,
sesungguhnya masih banyak lagi pemikir, tokoh intelektual, dan filsuf Arab
Muslim kontemporer yang tampil dengan ide-ide kritik pemikiran keagamaan.
Sekedar contoh sebut saja misalnya Halim Barakat dengan al-Mujtama’ al-’Arabi al-Mu’asir,
Hisham Sharabi dengan teori Neopatriarchy-nya, Hasan Hanafi dengan projek al-Turath wa al-Tadid-nya,yang
keduanya merupakan sebuah kritik atas struktur masyrakat Arab dan pola
pikirnya, Adonis dengan karyanya al-Thabit
wa al-Mutahawwil, Tayib Tizini dengan Min al-Turath ila al-Thawrah,
Mahmud Amin, Abdullah Laroui, Fazlur Rahman dan lain sebagainya. Intinya para
pemikir ini merasa perlu untuk menilai kembali tradisi keilmuan Islam yang
telah kita warisi dari generasai Muslim abad pertegahan sebagai usaha untuk merespon
tantangan zaman dan menjawab persoalan yang sedang berlaku. Dalam konteks
inilah saya melihat para pemikir Islam menempuh berbagai cara. Ada yang masuk
dari jalur metodologi sementara yang lain dari jalur epistemologi. Kelompok
yang menjadikan metodologi sebagai fokus pembaharuan, juga terbagi kepada dua
kategori; ada yang menjadikan usul fiqh sebagai lahan pembaharuan, sementara
yang lain memfokuskan diri pada pembaharuan metodologi tafsir. Meskipun
berangkat dari sudut pandang yang berbeda, pada prinsipnya mereka mempunyai
pandangan yang sama yaitu metodologi usul fiqh dan tafsir al-Qur’an klasik
sudah tidak sanggup menjawab tantangan zaman. Metode qiyas, dan tafsir yang
berputar-putar sekita pemahaman terhadap nas tanpa melihat setting sosial, kultur
dan politik yang sedang berkembang hanya akan menjadikan ajaran Islam tersebut
kaku dan sebagai akibatnya akan gagal merespon kebutuhan umat. Dalam konteks
inilah para pemikir Muslim seperti Arkoun, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Nasr
Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, Fetim,a Mernisi, dan lain-lain mencoba
menawarkan metodologi yang variatif, dari metode hermenetik, ke historical
critiism, ke metode dekonstruksi ala derrida.
Namun demikian keberaniannya mendobrak kemapanan,
bahkan bersentuhan dengan wilayah sensitif, menimbulkan kejengahan dan
membalikkan arah perubahan di sebagian kalangan penafsir kontemporer. Di sisi
lain, keberanian abduh dapat menjadi pembuka jalan bagi kajian tafsir yang
lebih berani. Ibarat pepatah, “guru kencing berdiri murid kencing berlari”.
Makalah ini akan menelaah perkembangan tafsir
kontemporer.
I.
Nasr Hamid Abu Zayd
A.
Biografi dan karya Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di desa Qohafah di dekat kota Thanta’
mesir pada 10 juli 1943. Ayah Nasr adalah seorang ikhwanul muslimin dan
pernah di penjara menyusul di eksekusinya Sayyid Quthub.[1]Abu
Zayd belajar menulis dan mulai menghafal al-Quran pada umur empat tahun di Kuttab,
karena kecerdasanya pada umur delapan tahun Nasr sudah khatam menghafal
al-Quran, sehingga dia dijuluki dan dipanggil oleh teman-temanya “Syaikh Nasr”[2] .
pada tahun 1954 ketika ikhwanul muslimin menjadi gerakan yang kuat dan memiliki
cabang hampir diseluruh desa Mesir, Nasr yang masih berusia sebelas tahun
menyatakan ingin bergabung dengan gerakan ihkwanul muslimin, karena di usianya
yang masih belia sebenarnya dia tidak diperkenankan tetapi Nasr selalu mendesak
kepada ketua cabang di desanya agar dapat bergabung dengan gerakan yang di
pimpin oleh Sayyid Quthub. Meski gagal masuk di
Al-Azhar, semangat Abu Zaid untuk mempelajari pemikiran Islam tidak surut. Di
sela-sela aktifitasnya berse-kolah, ia menyempatkan untuk membaca buku-buku
pemikiran Islam. Antara lain karya-karya Al-Manfaluthy, Yusuf Al-Syiba’iy,
Taufiq Al-Hakim, Al-‘Aqqad, Najib Mahfud dan Taha Husein. Bahkan dia sering
mengadakan diskusi dengan pemikir Islam lainnya, semisal Jabir Ushfur, Sayyid
al-Hulwu, Mohammad Mansi Qindil, Farid Abu Sa’dah, M. Shaleh dan Said Kafrawi.[3]
Aktivitasnya ini sempat dicurigai aparat setempat. Karena namanya tercantum
sebagai anggota ikhwanul muslimin Nasr sempat di jebloskan dipenjara, berhubung
masih belia dan masih di bawah umur Nasr hanya di kurung selama satu hari.
Nasr Hamid Abu Zayd di usianya yang masih belia sudah mendapat
kepercayaan dari masyarakat, seperti dalam masalah adzan dan terkadang juga
menjadi Imam shalat yang biasanya di mesir hanya dilakukan oleh orang dewasa.
Abu Zayd sangat tertarik dengan pemikiran Sayyid Quthub terutama pemikiranya
dalam buku Al-Islam Wa-al ‘adalah al-ijtimaiyyah (Islam dan Keadilan
Sosial), khususnya di penekanan Sayyid Quthub dalam menafsirkan keadilan
manusiawi dalam islam.
Sa’at berusia empat belas tahun Nasr sudah di tingal oleh ayahnya
dan sa’at itu dia harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Setelah
menyelesaikan sekolahnya di Thanta’ 1960 Nasr mulai bekerja sebagai seorang
teknisi elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo hingga tahun 1972
sekitar dua belas tahun[4].
Pada usia dua puluh satu tahun Nasr sudah mulai menulis tentang
kritik sastra, sehingga tulisanya yang berjudul “Hawl Adab A’l Ummal wa
Alfallahin” (Tentang Sastra Buruh dan Petani) dan “Aghniyyah Al-Mishriyyah”
(Krisis Lagu Mesir) mampu menarik jurnal al-adab yaitu jurnal pimpinan
dari Al-Khulli untuk di publikasikan pada tahun 1964. Sehingga kedekatan Nasr
dengan Al-Khulli menjadi semakin dekat satu sama lain.
Pada tahun 1968Nasr meneruskan pendidikanya di Universitas Kairo
dan menganmbil jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Disamping kuliah Nasr juga
bekerja, pada malam hari Nasr kuliah dan siangnya bekerja, pada tahun 1972 Nasr
dapat menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cum laude.
Kemudian Nasr diangkat menjadi asisten dosen menggantikan dari Amin
Al-Khulli. Pada tahun 1975 nasr mendapatkan beasiswa untuk melakukan studi di
American University di Kairo selam dua tahun, dua tahun berikutnya dia
mendapatkan gelar MA dengan predikat cum laude dengan tesis yang
berjudul al-ittijah al-‘aqli fi al-tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat al-Majaz fi
al-Quran’inda al-Mu’tazilah (Rasionalisme dalam Tafsir:Sebuah Studi tentang
Problem Metafor menurut Mu’tazilah). Setelah itu Nasr Hamid Abu Zayd diangkat
menjadi Dosen di Universitas Kairo. Selain itu juga dia mengajar Sastra Bahasa
Arab untuk orang-orang asing di Centre for Diplomat dan di Kementrian
Pendidikan.
Pada tahun 1978 Nasr Hamid Abu Zayd menjadi Fellow di Middle East
Studies di Universitas Pensylvania, Amerika Serikat, disana dia mempelajari
ilmu-ilmu tentang Sosial dan Humanitas terutama tentang cerita rakyat, dan
disinilah Nasr menjadi akrab dengan hermeneutika Barat, lalu dia menulis
artikel pertamanya yang menyangkut dengan hermeneutika yang berjudul “Al-Hirminiyuthiqa
wa Mu’dhilat Tafsir al-Nashsh” (Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks).
Pada tahun1992, Abu Zayd diusulkan untuk dipromosikan menjadi profesor
(al-ustadz). Akan tetapi promosinya ditolak karena dianggap telah keluar dari
nilai-nilai keimanan. Sejak itu banyak hujatan yang diterima oleh Abu Zayd
terutama dilakukan oleh Dr. Sabur Sahin, yang selalu menyuarakan ke-kafiran Abu
Zayd ke seluruh penjuru mesir sehingga pengadilan menjatuhkan vonis murtad yang
menyebabakan perceraian dengan istrinya.[5]
Karya-karya
Nasr Hamid Abu Zayd
Meskipun ruang berfikir Abu Zayd sangat dibatasi di mesir,
akantetapi tidak menyuruutkan niat seorang pemikir besar islam untuk tidak
berkarya. Nasr Hamid Abu Zayd banyak memunculkan karya-karya yang sangat
monumental diantaranya:
1. Al-Hirminiyyuthiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-Nashsh, Fushul
1:3, April 1981; diterbitkan ulang dalam Isykaliyyat.
2. (1982) Al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasat fi Qadiyyat
al-Majaz ‘Inda al-Mu’tazilat (Kecenderungan Rasional dalam Penafsiran: Studi atas Persoalan Metafor dalam Al-Qur’an Menurut Kalangan
Mu’tazilah), Beirut.
3. (1983) Falsafat al-Ta’wil: Dirasat fi Ta’wil al-Qur’an ‘Inda
Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi atas Hermeneutik
al-Qur’an Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi), Kairo.
4. (1990) Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Konsep
Teks: Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an), Kairo.
5. (1994) Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Keagamaan),
Kairo.
6. (1995) Al-Tafkir fi Zaman al-Tafkir: Didda al-Jahl wa al-Zayf
wa al-Khurafat (Pemikiran di Zaman Pengkafiran: Menentang Kebodohan,
Kekeliruan Dan Khurafat), Kairo.
7. (1995) Al-Nash, al-Sulthat, al-Haqiqat: Al-Fikr al-Dini Bayna
Iradat al-Ma’rifat (Teks, Kekuasaan, dan Esensi: Pemikiran Keagamaan antara
Kehendak Pengetahuan), Kairo.
8. (1999) Dawa’ir al-Khawf: Qiraat fi Khitab al-Mar’at
(Wilayah Ketakutan: Pembacaan Atas Wacana Perempuan)
9. (2000) Al-Khitab wa al-Ta’wil (Wacana dan Hermeneutika),
Dar al-Beida.
10. (2000) The Qur’an: God and Man in Communication
(Al-Qur’an: Tuhan dan Manusia dalam Komunikasi), Leiden.
B.
Konsep hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd
Kata “hermeneutika”, dalam istilah Yunani diidentikkan dengan tokoh
mitologis yang bernama Hermes. Ia adalah seorang utusan tuhan yang ber-tugas
menyampaikan pesan (wahyu) Jupiter kepada manusia. Hermes digam-barkan sebagai
orang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan
Mercurius (bahasa latin). Tugas Hermes sangatlah penting yakni menyampaikan
pesan dari dewa kepada manusia, maka Hermes harus mampu menterjemahkan bahasa
para dewa agar dipahami oleh manusia, berhasi atau tidaknya tugas ini
tergantung dari penyampaian Hermes tentang pesan tersebut kepada manusia.[6]
Menurut Nasr
Hamid Abu Zayd sebagaimana dikutip dari Ahmala, bahwa Hermes yang dimaksud
adalah nabi Idris AS, yang disebut dalam al-Quran, dan dikenal sebagai manusia
yang pertama kali mengenal tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi, dan
lain-lain. Sedangkan di lingkup kaum Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, dalam
mitologi tafsir dikenal sebagai nabi Musa AS.
Banyak yang beranggapan bahwa hermeneutika adalah milik orang
kristiani dan agama islam tidak mengenal istilah hermeneutika sama sekali, Abu
Zayd mengatakan bahwa: “Al-hermeneutika – idzan –
qadliyyatun qadimatun wa jadidatun fi nafs al-wakti, wa hiya fi tarkizihi ‘ala
alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasanatan bi al-fikri
al-gharbi, bal hiya qadliyyatun laha wujuduha al-mulih fi turasina al-arabi
al-qadim wa al-hadits ‘ala al-sawa.”
(Artinya: hermeneutika – kemudian – adalah diskursus
lama dan sekaligus baru. Titik bahasan dia tentang relasi penafsir dan teks itu
bukan hanya diskursus dalam pemikiran barat, akan tetapi diskursus yang
wujudnya juga ada dalam tadisi arab, baik arab lama maupun sekarang).[7]
Abu Zayd menjadi sangat akrab dengan hermeneutika ketika dia mempelajari
ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya ilmu tentang folklore (cerita
rakyat).
Pembahasan hermeneutika Abu Zaid berangkat dari problem
tekstualitas al-Qur’an. Dia mengacu kepada dua teori klasik tentang
“tekstualitas” antara asy‘ariyah dan mu’tazilah tentang kata-kata Allah (kalam
Allah). Pertentangan mengenai apakah al-Qur’an itu qadim atau jadid maupakan
problem klasik. Teori pertama, teroi mu’tazilah yang mengatakan bahwa bahasa
adalah kon-vensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial tentang
hubungan antara suara suatu kata dengan maknanya. Hubungan antara penanda
(signifier) dan petanda (signified) ditentukan oleh konvensi manusia.
Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an diciptakan, baru dan makhluk karena ia
tidak masuk dalam sifat-sifat Dzat yang azali. Al-Qur’an adalah firman Allah,
firman termasuk tindakan dan bukan termasuk sifat. Al-Qur’an masuk dalam
“sifat-sifat tindakan tuhan” (shifat al-af’al al-ilahiyyah) dan bukan katagori
“sifat-sifat Dzat” (shifat adz-dzatiyyah), dengan demikian tidak abadi.
Sifat-sifat tindakan merupakan wilayah interaksi antara tuhan dengan dunia,
sedangkan sifat-sifat dzat merupakan wilayah keunikan dan kekhususan eksistensi
tuhan dalam dzat-Nya sendiri. Sebagaimana telah dipaparkan diatas bahwa
al-Qur’an diciptakan dalam konteks tertentu, dan berhubungan dengan dunia
manusia, oleh karena itu al-Qur’an merupakan sifat tindakan tuhan. Kedua, yang
didukung asy’ariyah mengatakan bahwa bahasa adalah pemberian tuhan kepada
manusia, bahasa bukanlah temuan manusia. Hubungan antara penanda (signifier)
dan petanda (signified) ditentukan oleh tuhan. Kata-kata Allah bukanlah
ciptaan, tetapi merupakan salah satu sifat-Nya. Asy’ariyah meyakini bahwa
al-Qur’an sebagai kata-kata Allah adalah abadi sebagaimana Allah sendiri, dan
direkam dalam tablet terjaga (al-lawh al-mahfuzh). Abu Zaid, condong kepada
pendapat mu’tazilah, bahwa teks, termasuk al-Qur’an merupakan fenomena historis
dan mempunyai konteks spesifiknya sendiri.
Karakter teks, mempunyai dua sifat yang saling
berdialektika: konstanta (yang tetap) dan transforma (yang berubah). Teks
konstanta terletak pada aspek “tersurat”-nya, namun bergerak dan berkembang
dalam aspek “tersirat” nya. Dalam melakukan pembacaan terhadap teks, kaitannya
dengan mekanisme yang dikemukakan oleh Abu Zaid, yaitu menyembunyikan dan
menyingkap, dalam konteks hermeneutika sangat mungkin terjadi
menyem-bunyikan teks konstanta (yang tetap) dalam aspek tersuratnya dan mencoba
menyingkap teks transforma (yang berubah) dari aspek tersiratnya. Dalam
melakukan pencarian terhadap makna tersiratnya, sangat dibutuhkan peran akal
manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ali ra, bahwa “al-Qur’an adalah
tulisan yang diam, yang membuat bicara adalah oknum-oknum”Karena oknum yang
membuat bicara, maka seringkali pembacaan terhadap al-Qur’an terjebak dalam
nuansa kepentingan ideologis untuk kelompok tertentu.
C.
Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd tentang al-Quran
Menurut Nashr Hamid Abu Zayd hubungan antara teks (nash) dan
interpretasi (takwil) adalah merupakan suatu hal yang tidak dapat
dipisahkan seperti dua sisi mata uang. Berikut adalah pandangan Nasr tentang
al-Quran sehingga dapat melahirkan teori-teori dalam tafsirnya.
1.
Al-Quran Sebagai Teks
Nasr Hamid Abu Zayd mendefinisikan dalam bukunya Mafhum al-Nash (Konsep
Teks), apa yang dimaksud dengan teks menurutnya teks berarti dalalah
(makna) yang memerlukan pemahaman, penjelasan, dan interpretasi. Sedangkan mushaf
(buku) adalah suatu karya estetik (tastakdimu li al-zinah) atau
sesuatu untuk mendapatkan berkah Tuhan.[8]
Teks dalam bahasa arab disebut al-nass, dalam bahasa arab
klasik kata nass bisa diartikan “mengangkat”[9]
kata ini kemudian mengalami pergeseran
konotasi secara semantik dari suatu yang bersifat fisik kepada
wlayah-wilayah gagasan. Namun perlu untuk diketahuai bahwa kata nass itu
setara dengan apa yang disebut text.
Pengembangan teori tentang teks ini Nasr Hamid Abu Zayd menggunakan
pendekatan bahasa dan budaya, yaitu menghilangkan “dimensi ilahiyah teks dari
kajian” Nasr dalam analisisnya menggunakan dua tipe yaitu teks primer dan
skunder, teks primer adalah al-Quran sedangkan skunder adalah sunnah pendapat-pendapat
sahabat dan para ulama.[10]
Menurutnya proses turunya al-Quran kepada Nabi Muhammad saw melalui dua tahapan
pertama melalui tahap Tanzil (yaitu proses turunya al-Quran dari
Allah swt kepada malaikat jibril), dan teks masih berupa teks nonbahasa. Proses
penurunan ini di pahami melalui dua penurunan kepada manusia yang pertama
melalui malaikat, dan yang kedua melalui Nabi Muhammada yang berbentuk manusia.[11]
Yang kedua adalah konsep Takwil (yaitu proses dimana Nabi
Muhammad saw menyampaikan teks al-Quran dengan bahasanya yait bahasa Arab.[12]
Naasr menyebutkan bahwa proses ini menyebabkan perubahan al-Quran yang sebagai
teks ilahi menjadi teks insani atau dari tanzil menjadi takwil. Zayd
mengungkapkan bahwa “Wahyu adalah bentuk komunikasi antara Tuhan dan Manusia”
akan tetapi komunikasi ini Tuhan berada pada sebuah kategori dan manusia ada di
kategori lain. Tuhan adalah kekuatan supranatural sedangkan manusia adalah
makhluk duniawi.[13]
Metode kritik satra yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd adalah
merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika yang dikenalnya ketika berada di
Universitas Pennsylvania, Philadelphia, dia mengatakan I did a lot of
reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics.
Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand new word for
me.[14]
Setelah akrab dengan literatur hermeneutika barat, zayd kemudian
membahas masalah teks yang merupakan salah satu persoalan yang mendasar
dalam hermeneutika.
2.
Al-Quran sebagai produk budaya
Abu Zayd juga mengatakan bahwa al-Quran adalah sebuah produk
budaya, hal ini karena al-Quran terbentuk atas realitas sosial dan budaya
selama dua puluh tahun. Abu Zayd mengatakan bahwa al-Quran terbentuk melalui
dua fase, fase keterbentukan (proses
kemunculan al-Quran dan interaksinya dengan realita budaya selama dua puluh
tahun) budaya adalah ssebagai subyek sedangkan teks adalah sebagai obyek dan fase
pementukan (al-Quran membentuk suatu budaya baru sehinga al-Quran dengan
sendirinya menjadi produsen budaya)pada fse ini teks menjadi subyek yang
membentuk obyek yaitu budaya.[15]
Abu Zaid juga mengatakan bahwa al-Quran adalah merupakan teks manusia karena
saat teks yang di turunkan dan dibaca oleh Nabi Muhammad menjadi berubah dari
teks Illahi(dari tanzil menjadi takwil).
D.
Konsep hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd
Banyak yang beranggapan bahwa hermeneutika adlah milik orang
kristiani dan agama islam tidak mengenal istilah hermeneutika sama sekali, Abu
Zayd mengatakan bahwa: “Al-hermeneutika – idzan –
qadliyyatun qadimatun wa jadidatun fi nafs al-wakti, wa hiya fi tarkizihi ‘ala
alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasanatan bi al-fikri
al-gharbi, bal hiya qadliyyatun laha wujuduha al-mulih fi turasina al-arabi
al-qadim wa al-hadits ‘ala al-sawa.”
(Artinya: hermeneutika – kemudian – adalah diskursus
lama dan sekaligus baru. Titik bahasan dia tentang relasi penafsir dan teks itu
bukan hanya diskursus dalam pemikiran barat, akan tetapi diskursus yang
wujudnya juga ada dalam tadisi arab, baik arab lama maupun sekarang).[16]
Abu Zayd menjadi sangat akrab dengan hermeneutika ketika dia mempelajari
ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya ilmu tentang folklore (cerita
rakyat)
II. Hasan
Hanafi
A.
BIOGRAFI Dr.
HASAN HANAFI
Dr. Hasan
Hanafi lahir dikota Kairo tepatnya didekat benteng Salahuddin Al-Ayyubi
diperkampungan Al-Azhar pada 13 Februari 1935. Pada saat itu Kairo merupakan
tempat pertemuan para mahasiswa muslim yang ingin belajar di Universitas
Al-Azhar, di kota tesebut tradisi keilmuan telah berkembang sejak lama, karena
memang secara historis dan kultural, kota mesir memang dipengaruhi
peradaban-peradaban besar sejakk masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk
dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern.[17]
Dimasa kecil Hasan Hanafi telah berhadapan dengan kenyataan-kenyataan
hidup dibawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itulah
yang menumbuhkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran
meskipun masih berusia 13 tahun ia berani mendaftarkan diri untuk menjadi
sukarelawan Palestina pada tahun 1948 M. Tetapi ia ditolak oleh pemuda Muslimin
karena dianggap usianya masih terlalu muda.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hasan
Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di
terusan Suez. Bersama-sama para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu
revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an, hingga revolusi itu
meletus pada tahun 1952 M. Atas saran-saran anggota Pemuda Muslim, pada tahun
itu pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan
tetapi, di tubuh Ikhwanpun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi
ketika ingin mendaftarkan diri menjadi sukarelawan Palistina. Kemudian Hasan
Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi
Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua
organisasi sebelumnya. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan Hasan Hanafi atas cara
berfikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak.
Kekecewaannya tersebut menyebabkan ia memutuskan berkonsentrasi
mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi dan perubahan sosial. Hal ini
juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb
tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam.[18]
Sejak tahun 1952 M sampai dengan tahun 1956 M Hasan Hanafi belajar
di Universitas Kairo dan mendapat gelar sarjana pada Fakultas Adab (Sastra
Arab) jurusan filsafat. Pada periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk
di Mesir pada tahun 1954 M, misalnya, terjadi pertentangan keras antara
Ikhwanul Muslimin dengan revolusi. Hasan Hanafi berada pada pihak Muhammad
Najib yang berhadapan dengan Nasser. Karena baginya Najib memiliki komitmen dan
visi Islam yang jelas. Kejadian-kejadian yang dialami pada waktu itu, terutama
yang dihadapi dikampus, membuatnya ia bangkit menjadi seorang pemikir,
pembaharu dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat
Islam selalu dikalahkan dan mengapa konflik internal dalam Islam selalu
terjadi.[19]
Tahun-tahun berikutnya, Hasan Hanafi berkesempatan untuk belajar di
Universitas Sarbone (Prancis) pada tahun 1956 M sampai 1966 M. Disitu ia
memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas
persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh Negerinya dan sekaligus
merumuskan jawaban-jawabannya. Negara Prancis adalah tempat melatih dirinya
untuk berfikir secara metodelogis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan
dan karya-karya orentalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis katolik,
Jean Guitto; tentang metodologi berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia
belajar fenomenologi dari Paul Recour, analisis kesadaran dari Husser dan
bimbingan penulisan tentang pembaharuan ushul fikih dari Prof. Masnion. Tak
heran jika di kandang orentalis ia berhasil menguasai tradisi, pemikiran
dan keilmuan Barat dengan cukup baik.[20]
Semangat Hasan Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya
tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Prancis
pada tahun 1966 M. Ia kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun
kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang
perjuangnnya Hasan Hanafi mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis
yang telah diperolehnya, yaitu dengan memanfaatkan media massa sebagai jalan
perjuangnnya. Ia menulis banyak artikel untuk menanggapi masalah-masalah aktual
dan melacak faktor kelemahan umat Islam.
Setelah menyandang gelar Doctor dengan desertasi “Essai Sur La
Methode D’exegese” (esai tentang metode penafsiran) setebal 900 halaman,
pada tahun 1966 M, Hasan Hanafi pulang ke Mesir dan mengajar di Universitas
Kairo Fakultas Sastra, jurusan Filsafat hingga tahun 1971 M. Selain mengajar di
Universitas Kairo, ia juga sempat menjadi Professor tamu di Prancis dan Belgia
(1969-1970 M). Kemudian antara tahun 1971-1975 M ia mengajar di Universitas
Tample Amerika Serikat. Aktivitasnya yang baru tersebut memberinya kesempatan
untuk banyak menulis tentang dialog antar agama dengan revolusi.
Sekembalinya dari Amerika, ia mulai menulis tentang pembaruan pemikiran
Islam dengan bukunya yang berjudul al-Turauts wa al-Tajdid. Buku
tersebut berisi tentang gerakan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yaitu
teologi untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan Barat.[21]
Pada waktu itu pemerintah Anwar Sadad pro-Barat yang berkolaborasi dengan
Israel. Ia terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui
tulisan-tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 M hingga 1981 M.
Tulisan-tulisan itu kemudian dibukukan menjadi al-Din wa al-Tsaurah.
Pada tahun 1980-an M, posisinya sebagai intelektual publik Muslim
dengan pandangan internasional yang tinggi memberikan banyak kesempatan untuk
menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai intelektual internasional, setelah
bekerja di Amerika Serikat, ia mengajar di Universitas Kuwait (1979 M), Maroko
(1982-1984 M), Jepang (1984-1985 M) dan Uni Emirat Arab (1979 M).
Hasan Hanafi kembali ke Jepang sebagai seorang konsultan akademik
di Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1985-1987 M.[22]
Pada tahun 1989 M, ia ditunjuk sebagai ketua jurusan Filsafat di Fakultas
Sastra Universitaas Kairo hingga diberhentikan pada tahun 1995 M.[23]
Hasan Hanafi seringkali mengunjungi negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol,
Prancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara
tahun 1980-1987 M. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar
negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami
persolan-persoalan yang dialami oleh dunia Islam.
Dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak remaja membuat Hasan
Hanafi memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam.
Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah
pergerakan tertentu, ia-pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
pergerakan yang ada di Mesir. Sedang pengalamannya dalam bidang akademis dan
intelektual, baik secara formal maupun tidak dan pertemuannya dengan para
pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya, sehingga
mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran
baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat Islam.
B.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN dan PEMIKIRAN Dr. HASAN HANAFI
Untuk mengenal
lebih jauh pemikiran Hasan Hanafi maka ada baiknya meninjau dahulu latar
belakang pemikiran dan metodologi pemikiran Hanafi. Hal ini penting mengingat
adanya pola interaksi intelektual antara pemikiran dengan lingkungan. Karl A.
Steenbingk menjelaskan, bahwa menulis suatu kitab atau karya pemikiran
merupakan suatu proses komunikasi dan proses ekspresi penulisannya dengan
lingkungannya. Hal inilah yang mendorong Hasan Hanafi dalam memunculkan buah
pemikirannya. Dengan demikian berarti buah pemikiran (karya kalangan) tidak
mungkin muncul tanpa konteks. Untuk memahami pemikiran Hasan Hanafi dan
kaitannya dengan Negara Mesir, maka akan selalu terdapat proses komunikasi dan
ekspresi dengan lingkungannya, dan hubungannya timbal balik antara pemikiran ke
Islaman di satu pihak dengan kondisional di lain pihak.
Pemikiran
bersumber dari pengetahuan yang dibentuk secara sosiologis. Karena itu,
pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari akar sosialnya, tradisi dan keberadaan
pemikir tersebut. Dengan itu pula, pemikiran Hanafi tidak bisa di pahami tanpa
meletak-kannya dalam suatu posisi sejarah atau tradisi panjang yang
melingkarinya. Dengan demikian, akan dijelaskan latar belakang kemunculan
pemikiran Hanafi, yang mencakup dua hal.
1.
Kondisi Sosial Politik
Mesir, yang
terletak pada persimpangan jalan antara Afrika dan Asia, memiliki posisi yang
strategis. Disamping tanah yang subur, membangkitkan minat para penakluk dan
Negara-negara besar pada masa lampau. Arti strategis Mesir bertambah lagi
dengan digalinya terusan Suez pada tahun 1869. Meskipun milik swasta, terutama
maskapai Perancis, secara strategis berada dibawah kontrol Inggris yang
menyadari kepentingan terusan ini bagi kepentingan imperiumnya. Pada akhir abad
XIX situasi politik, sosial dan intelektual di Mesir sedang mengalami
perubahan, sebab pada masa itu dengan berakhirnya Perang Dunia I, Mesir
mengalami kebangkitan nasionalisme yang ditunjang oleh berbagai faktor, yaitu :
1). Kehadiran pasukan Inggris, Australia dan Selandia Baru yang
melukai rasa kebangsaan Mesir.
2). Pembiayaan besar bagi tentara berpenghasilan tetap
3). Digunakannya orang Mesir menjadi tenaga kerja Inggris yang
mengurangi persediaan buruh Mesir
Perang Dunia II
mengakibatkan kekacauan dalam struktur sosial dan ekonomi Mesir yang serupa
dengan pada masa Perang Dunia I, dan pengaruhnya pada psikologi politik Mesir
juga sebanding. Hal ini juga merangsang suatu gelombang nasionalisme anti asing
yang condong berbentuk kekerasan. Walaupun umumnya hanya persamaan antara
Perang Dunia itu, ada juga perbedaan yang nyata. Jika sesudah Perang Dunia I,
Wafd menjadi penyambung lidah nasionalisme Mesir, setelah Perang Dunia II peran
ini diambil alih oleh kelompok lain yang lebih ekstrem. Ekstrimisme ini nyata
benar, baik pada sayap kiri maupun pada sayap kanan.
a. Disayap kiri terdapat partai Komunis yang sangat bertambah
prestisenya sebagai hasil pengaruh Soviet diseluruh dunia. Kemenangan Soviet
selama perang dan dikukuhkannya perwakilan Soviet di Kairo (1942) merangsang
minat terhadap komunisme diantara mahasiswa dan para intelektual muda.
b. Sementara di sayap kanan terdapat kelompok persaudaraan Islam (al-Ikhwan
al-Muslimin), didirikan oleh Syeikh Hassan al-Banaa (1929) di Ismailia,
yang pro Islam dan anti Barat, kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut
pada akhir Perang Dunia II, bahkan pengaruhnya menembus keluar wilayah Mesir.
Sikap pemerintahan Mesir dalam usahanya mempertahankan ketertiban terlihat pada
tindakan pembersihan terhadap kaum komunis, yang terjadi pada bulan Juli 1946.
Disusul pada bulan Februari 1949 pembunuhan terhadap Hasan Al-Banna setelah
pemeritah Mesir melarang kelompok persaudaraan pada Bulan Desember 1948.
Dari penjelasan
di atas, nampak kondisi politik Mesir sejak awal abad XIX mengalami dinamika
politik dan selalu di dominasi oleh pertentangan antara golongan nasionalis
sekuler dengan golongan Islam tradisional. Pertentangan ini diwakili oleh para
penganut teori yang berbeda, yang pendukung-pendukungnya membuat perdebatan ini
berlangsung lama. Situasi politik yang
sedekimian rupa, dimana Hasan Hanafi lahir, dibesarkan dan terpengaruh dalam
pembentukan kepribadiannya. Hal ini terlihat pada keterlibatannya dalam
berbagai pergolakan politik semasa kecilnya. Diantaranya, pemberontakan melawan
Inggris di Terusan Suez pada tahun 1951. revolusi Mesir 1952 dan lain
sebagainya.
Dari uraian di
atas, memperlihatkan kuatnya perhatian Hasan Hanafi dalam memperjuangkan
kepentingan umat secara luas, juga keterliba-tannya dalam gerakan-gerakan
politik. Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh situasional kondisi
politik Mesir pada pembentukan kepribadian Hanafi. Demikian kondisi dan situasi
sosial politik yang melingkari kehidupan Hanafi, yang dalam pandangannya ketiga
gerakan tersebut diatas masih memperlihatkan kelemahan dalam efektifitas
perjuangan umat Islam secara keseluruhan, walau dalam hal-hal tertentu Hanafi
banyak di pengaruhi oleh ketiga gerakan tersebut.[24]
2.
Kondisi Gerak Intelektual
Tahun 1798,
awal masuknya penjajah Napoleon Bonaparte, dan tahun 1805, tahun diangkatnya
Muhammad Ali sebagai Gubernur Mesir, dianggap sebagai awal masuknya pengaruh
Eropa ke Mesir secara formal. Muhammad Ali Pasha adalah tokoh pertama yang
menerima kehadiran modernisasi Mesir. Usaha modernisasi ini di awali dengan
kebijakannya untuk memperbaiki Mesir di hampir segala bidang kehidupan, seperti
bidang pertanian, administrasi, pendidikan, kemili-teran, dan industri. Semua
ini, menurut dia, bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Mesir. Dengan
modernisasi disegala bidang menjadikan Mesir masuk masa Liberal (liberal
age). Paham liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah
gagasan tentang pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik.
Dengan
berkembangnya pemahaman liberal di Mesir, lahirlah apa yang disebut an-Nahdah
(renaissance). Hal ini dapat dilihat dari usaha penerjemahan dan
mengasimilasi prestasi-prestasi peradaban Eropa modern, sementara kebudayaan
klasik Arab sedang mengalami kemunduran. Secara garis besar dapat dilihat
adanya tiga kecenderungan pemikiran yang muncul ketika itu :
Pertama : The Islamic Trend (Kecenderungan pada Islam),
akhiran ini di wakili oleh Rasyid Ridha (1865 – 1935) dan Hasaan Hanafi
al-Banna (1906 – 1944)
Kedua : The Syntetic Trend (Kecenderungan mengambis
sintesa), kelompok yang berusaha memadukan antara Islam dan kebudyaaan Barat.
Kelompok ini diwakili oleh Muhammad Abduh, Qasim Amin (1865 – 1908), Ali ‘Abd,
al-Raziq (1888 –1966)
Ketiga : The Rational Scientific and Liberal Trend (Kecenderungan
rasional ilmiah dan pemikiran bebas) Fisik pangkal pemikiran ini sebenarnya
bukanlah Islami melainkan peradaban
Barat dan prestasi-prestasi ilmiahnya. Termasuk dalam kelompok ini antara lain
Luthfi as-Sayyid dan para emigran Syiria yang berlari ke Mesir.
Hanafi tidak
begitu setuju dengan gerakan pemikiran di atas, walau di masa perjalanan karis
pemikirannya sempat berpihak pada gerakan pertama yaitu Ikhwan al-Muslimin.
Tetapi pemikirannya mengalami proses dengan dipengaruhi oleh gerakan pemikiran
kedua dan ketiga, apalagi setelah ia belajar ke Perancis. Dengan demikian
pemikirannya terbangun lewat situasi gerak intelektual di Mesir dan gerak
intelektul di Perancis, yang menjadikan pemikirannya khas dan unik.[25]
Didalam bukunya
Hermeneutika pembebasan karya Ilham Baharudin Saenong, mengungkap kembali
gagasan tentang herme-neutika Hassan Hanafi yang berusaha menggugat tafsir agar
mau berbicara tentang kemanusian dan melakukan perlawanan terhadap penindasan,
ketidakadilan, dan kezaliman, dengan menawarkan separangkat metodologi
penafsiran atau hermeneutika al-Qur'an, yang berpihak pada masalah-masalah
kritis dalam kehidupan manusia. Al-Qur'an sebagai teks, dalam hal ini,
berhadap-hadapan dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh persoalan
sosial dan kemanusiaan. untuk itu diperlukan hermeneutika yang melampaui
penafsiran-penafsiran klasik, tidak saja karena tafsir semacam itu telah
kehilangan konteks eksistensialnya, tetapi juga perkembangan metodologis dalam
teori-teori penafsiran kontemporer (diyakini) lebih mampu menyajikan dimensi
humanistik al-Qur'an, yang selama ini tidak jarang bersembunyi di balik
kekakuan teks-teks yang bernuansa teologis.
Jika kita
menelusuri hermeneutika Hassan Hanafi bercorak transformatif humanistik
tersebut segera akan ditemukan bahwa ada satu hal yang selama ini terabaikan
atau sengaja diabaikan oleh mufasir klasik yaitu fungsi performatif audiens
yang menjadi tujuan penafsiran metode yang selama ini hanya memperhatikan
hubungan antara penafsir dan teks tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan
audiens terhadap teks, hal ini mungkin dapat di maklumi sebab mufassir klasik
lebih menganggap penafsiran sebagai hasil kerja-kerja kesalehan, sehingga harus
bersih dari kepentingan mufassirnya, atau barangkali trauma pada
penafsiranpenafsiran
teologis yang pernah melahirkan pertarungan maha dahsyat pada masal
awal Islam.[26]
Di dalam bukunya Dialog dan Revolusi I, Hassan Hanafi
menjelaskan tentang Hermeneutika sebagai askiomatia sebuah kasus Islam di sini
dijelaskan lebih lanjut bahwasannya Hermeneutika bukan hanya berarti “Ilmu
Interpretasi”, yakni suatu teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang
menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ketingkat
dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai
praxis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan
manusia. Proses pemahaman hanya
menduduki tempat kedua, yang :
a. Pertama : Adalah kritik kesejarahan, yang menjamin keaslian
kitab suci dalam sejarah, tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada
kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara
historis asli, sebab jika tidak, pemahaman terhadap sebauh teks
yang tidak asli akan menjerumuskan orang pada kesalahan, bahkan walaupun
pemahamannya benar. Disinilah hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam
artinya yang paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan
kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci. Dalam bahasa fenomenologis dapat
kita katakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan
antara kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab-kitab suci.
b. Kedua : Kita memiliki “Kesadaran eidetik”, yang menjelaskan
makna teks dan menjadikannya rasional.
c. Ketiga : Adalah “Kesadaran praktis” yang menggunakan makna
tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada
tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan di dunia ini sebagai strukur ideal
yang mewujudkan kesempurnaan hidup. Ini merupakan bagian dari hermeneutika
mencari jalannya diantara dua kutub umum : Penafsiran praktis dan hermeneutika
filosofi sebagai aksiomatika menghilangkan perbedaan antara hermeneutika dan
penafsiran
(yang satu bersangkutan dengan teori dan yang lain dengan praktek)
atas dasar perbedaan yang murni bersifat didaktis.[27]
Pemikiran-pemikiran
Hassan Hanafi mengenai Hermeneutika al-Qur'an pada dasarnya tidak dapat dikaji
terlepas dari realitas dunia Arab, terutama Mesir Kontemporer Kiri Islam sebagai
salah satu momentum dalam perjalanan intelektualnya, misalnya merupakan respon
sadar Hassan Hanafi terhadap situasi Arab Kontemporer dengan segala pertarungan
ideologis di dalamnya. Geraka pemikiran semacam itu dimaksudkan Hanafi sebagai
usaha melepaskan diri dari segala macam kooptasi agama dan kekuasaan, sembari
melakukan kritik terhadap pelbagai corak ideologis yang berkembang di Mesir.
Keseluruhan
pandangan Hassan Hanafi mengenai ideologi-ideologi pembangunan yang
dipraktikkan di Mesir pada dasarnya, mencerminkan kritisisme akan kuatnya
hegemoni Barat dalam merancang kesadaran politik pemerintahan umat Islam dan
Justifikasi agama pada aktivisme politik partisan. Semua ideologi tersebut
dipraktikkan tanpa terlebih dahulu ada upaya-upaya rekonstruksi sehingga dapat
memberi konstribusi bagi tradisi pemikiran Islam. Dalam konteks semacam inilah
pemikiran Hassan Hanafi, pada umumnya, dan Hermeneutika al-Qur'an nya, pada
khususnya, harus diletakkan.
Cukup jelas
dari pemberitahuan di atas bahwa latar belakang intelektual pemikiran-pemikiran
Hassan Hanafi adalah kegagalan eksperimentasi berbagai ideologi pembangunan di
Mesir. Menurut Wahid (1994) di antara cendekiawan muslim, dalam arti pemikir
yang memiliki
komitmen cukup kepada Islam, maupun pengetahuan akan ilmu-ilmu
ke-Islaman, Hassan Hanafi merupakan salah seorang pemikir muda yang mencoba
menemukan kerangka paradigmatis baru dalam pemikiran pembangunan dan Islam.
Hanafi berbicara mengenai keharusan bagi Islam
untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, yang
berdimensi pembebasan (Taharrur, Liberation). Sementara keinginan
tersebut hanya dapat ditegakkan melalui gagasan keadilan sosial dan gerakan
ideologis yang terorganisasi, mengakar dalam tradisi pemikiran
Islam dan kesadaran rakyat sekaligus.
Dengan
orientasi intelektual semacam kiri Islam tersebut, tidak mengherankan jika
kemudian Hassan Hanafi seringkali di identifikasi, atau bahkan, mengidentifikasi dirinya sebagai
bagian dari “Fundamen-talisme Islam” (al-Ushuliyyah al-Islamiyya), sebuah
istilah yang cukup problematis terutama akhir-akhir ini.[28]
C.
KARYA-KARYA Dr. HASAN HANAFI
Karya-karya
besar Hasan Hanafi sampai sekarang baik berupa buku ataupun artikel telah
banyak beredar dan mewarnai khazanah pemikiran umat Islam dan dunia pada
umunya. Di antara karya besar Hanafi adalah sebagai berikut:
1. Min al-Aqidah
ila ats –Tsawrah : Muhawalah li I’adah Ilmu Ushul ad-Din
2. Muqaddimah
fi’Ilma al-Istighrab,
tahun 1991
3. Les Metodesd
‘Exegese, essai sur la science des fondaments dela comprehension, ilm ushul
al-fiqh, (Seri
Desertasi,1965);
4. L’Exeqese de la
Phenomenologie L’etat actual de la methode Phenomenologique et son application
au Ph’enomene religiux (Seri
Desertasi, 1965);
5.
La Phenomenologie d L’Wxwgese ; Essa d’Une Hermeneutique
existentielle a Parti du Nouvea testan ment (Seri Desertasi, 1966)
6.
Religious Dialog and Revolution (1977)
7.
Al-Turats wa al-Tajdid (1980)
8.
Al-Yasar Al-Islami; Khitabah
fi An-Nahdhah al-Islamiyyah (1981),
9.
Falsafiyyah: Min Al-Aqidah Ila Ats –Tsawrah (1988)
10.
Ad-Din wa Ats-Tsawrah di Mishr 1956 – 1981, (1989)
11.
Hiwar Al-Masyriq al-Maghrib (1990)
12.
Humum Al-Fikr Wal-Wathan (1997)
13. Hiwar al-Aiya’ (1998), yang merupakan kumpulan komentar atau tanggapan Hanafi
terhadap pemikiran sejumlah intelektual terkemuka di zamannya, termasuk
muridnya yang sangat brilian Nashr Hamid Abu Zayd.
14. Namadzi min
al-Falsafah al-Mashiyah fi al-‘As al-Wasith : al-Mu’alli li Aghustin, al-Iman
Bahits ‘an al-‘Aql Latashim, al-Wujud wa al-Lathut Wa al-Siyasah (1973)
15. Lessing :
Tarbiyah fi al-Jins al-Basy Ari’ wa A’mal Ukhra (1977)
16. Jean Paul Sarte
; Ta’ali al-Ana al-Mawjud (1978)
D.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang cukup panjang tentang pemikiran Hasan Hanafi,
yang mengungkap tentang rekonstruksi masyarakat Islam, maka dapat dikemukakan
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Masyarakat Islam menurut Hasan Hanfi adalah masyarakat Islam yang
harus bisa mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif. Dengan dimensi
pembebasan bagi manusia di dalamnya, gagasan akan keadilan sosial yang harus
ditegakkan sebagai tiang pendukung, karenannya, bisa terwujud dengan adanya
para pelaku pembebas. Pemikiran Hasan Hanafi diorientasikan pada pembuatan
paradigma baru, yaitu dengan mengajukan masyarakat Islam sebagai alternatif
pembebasan bagi rakyat tertindas dihadapan kekuasaan kaum feodal. Dengan banyak
menggunakan analisis sosial seperti teologi pembebasan yang muncul di Amerika
Latin, ia berusaha memperbaiki kehidupan masyarakat Islam di Arab yang hancur,
dengan mengembalikan identitas mereka dari alienasi, membersihkan dari segala
yang menghambat perkembangan, pencapaian standar hidup yang lebih baik, dan
penentuan nasib mereka sambil mengembangkan teologi Islam baru bagi masyarakat
muslim.
2.
Hasan Hanafi menegaskan rekonstruksi masyarakat Islam dimaksudkan
untuk mengkonstruksikan ancaman-ancaman baru yang datang kedunia dengan
menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang
terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam
realitas duniawi yang sekarang, rekonstruksi masyarakat Islam dilakukan lebih
awal sebagai landasan yang jauh lebih penting sebelm kemudian melakukan
reformasi terhadap yang lain yaitu respons terhadap barat dan realitas. Secara
historis gagasan rekonstruksi masyaraat Islam tidak lepas dari gagasan keilmuan
Islam tentang diri Islam, yang sejak kelahirannya merupakan sebuah gerakan
intelektual bagi sebuah pembaharuan masyarakat Islam daripada sebuah praxis
pembebasan, sebagaimana sejarah teologi pembebasan sebelum terumuskan secara
konseptual. Hanafi memilih dimensi revolusioner dari khazanah keilmuan Islam.
Pilihan itu dilakukan melalui rekonstruksi masyarakat Islam. Adapun keterkaitan
antara gagasan rekonstruksi masyarakat Islam dan serta metodologi yang dibangunnya,
nampak jelas pada rekonstruksi teologi dan hermeutik Al-Qur'an. Hanafi mencoba
menerapkan metodologinya dalam kerangka membangun kembali rekonstruksi
masyarakat Islam, dimana rekonstruksi ini berlaku sepanjang sejarah dan
merupakan bagian dari realitas itu serta merupakan suatu yang mungkin bagi
perubahan sosial. Gagasan rekonstruksi masyarakat Islam yang ditawarkan Hanafi
tampak sangat obsesif dan intelektualistik dengan gaya bertutur terkesan
bombastis terhadap pandangan yang tidak sepaham dengannya, sebagaimana
pandangannya pada teologi. Ia cederung menggunakan interpretasi teks-teks untuk
kepentingan agenda sosial, yaitu memperlakukan agama secara praktis dan
fungsional. Di sisi lain rekonstruski masyarakat Islam ini muncul dengan
membawa misi pembebasan dan respons terhadap modernisme yang desktruktif.
Karena itu, gagasan ini dipersiapkan untuk menghadapi puncak problematika zaman
kontemporer ini, dan membebasakan dunia Islam dari imperialisme, zionisme, dan
kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan
dan keterbelakangan yang merupakan ancaman internal.
III.
Muhammad Arkoun
A.
Biografi Muhammad Arkoun
Mohammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 M di
Taourirt-Mimoun, di Kabilia, suatu daerah pegunungan yang berpenduduk Berber di
sebelah timur Aljir. Kedaan itulah yang menghadapakannya pada tiga bahasa:
bahasa kabilia, salah satu bahasa barber yang diwarisi Afrika Utara dari zaman
pra-Islam dan pra-romawi, bahasa arab yang dibawa ekspansi Islam sejak abad pertama
hijriyah dan bahasa prancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair
antara tahun 1830 M dan 1962 M.[29]
Sejak kecil ia bergaul secara intensif dengan ketiga bahasa
tersebut. Bahasa kabilia dalam kehidupan sehari-hari, bahasa prancis di sekolah
dan dalam urusan administratif, dan akhirnya bahasa arab baru yang mulai di
dalaminya ketika ia masuk sekolah menengah atas di Oran, kota utama Aljazair
bagian barat.
Pendidikan Mohammad Arkoun dimulai pada sekolah dasar di desa
asalnya, kemudian sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, dari tahun 1950 M
sampai 1954 M, ia belajar bahasa dan sastra arab di Universitas Aljir.
Kemudian, di tengah pembebasan Aljazair dari Prancis (yang berlangsung antara
tahun 1954 M sampai dengan 1962 M) ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di
Paris. Sejak saat itu ia menetap di Paris. Namun bidang utama dari studi dan
penelitiannya (area of concern) tidak berubah, yaitu tetap meneliti
bahasa dan sastra arab serta pemikiran Islam.[30]
Pada tahun 1961 M Mohammad Arkoun diangkat menjadi dosen
Universitas Sarbone di Paris, tempat ia memperoleh gelar Doktor sastra pada
tahun 1969 M dengan desertasi mengenai Humanisme dalam Pemikiran Etis
Miskawaih.[31]
Hasil penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Traite d’ethique,
Damaskus, 1969 dan Contribbution a l’etude de l’humanisme Arabe IVe/Xe sicle,
edisi kedua, Paris, 1982.[32]
Sejak Mohammad Arkoun menetap di Prancis, pengaruh berbagai
perkembangan mutakhir dalam bidang islamologi, filsafat, ilmu bahasa, dan ilmu
sosial di dunia Barat, terutama Prancis, tampak sangat jelas dalam karyanya.[33]
Tahun 1970 M sampai tahun 1972 M Mohammad Arkoun mengajar di Universitas Lyon
dan selanjutnya kembali ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran islam.
Selain itu Mohammad Arkoun seringkali memberikan ceramah di luar termasuk di
Aljazair atau menjadi dosen tamu di universitas luar negri.
Jenjang pendidikan formal yang dilalui Mohammad Arkoun ini
selanjutnya semakin mempererat pergaulannya dengan tiga bahasa (kabilia, arab,
prancis) dan tradisi pemikiran terutama tradisi islam, yang sebagian besar
diungkapkan dalam bahsa arab serta tradisi barat, terutama yang berkembang
dalam bahasa dan di negri Prancis. Selanjutnya dapat diketahui bahwa Mohammad
Arkoun menjalani kehidupannya diantara berbagai tradisi dan kebudayaan.
Keterlibatannya dalam ketiga bahasa di atas, kelak menjadi faktor penting yang
mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Faktor inilah, barangkali yang
menyebabkan perhatiannya pada peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat
manusia demikian besar.
B.
Latar Belakang Sosial Politik dan Keilmuan Muhammad Arkoun
Sebagai seorang intelektual yang bergulat secara intens dalam dunia
pemikiran (islam) Mohammad Arkoun tentunya memiliki latar belakang sosial
politik dan keilmuan serta memiliki berbagai kegiatan yang berhubungan dengan
dunia akademis. Ketika menjadi mahasiswa di Paris, Mohammad Arkoun sempat
bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusastraan arab di Paris. Dia juga
pernah menjadi guru SMA (lycee) di Strasbourg, suatu daerah yang terletak di
timur laut Prancis, disamping itu ia juga diminta memberi kuliah di fakultas
sastra Universitas Strasbourg (1956-1959).
Pada tahun 1961 Mohammad Arkoun diangkat menjadi dosen di
Universitas Sorbonne di Paris, tempat ia memperoleh gelar doktor sastra. Dari
tahun 1970 sampai 1972 Mohammad Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan
kemudian kembali ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam. selain
itu, Mohammad Arkoun seringkali diundang sebagai penceramah di luar Prancis. Ia
bahkan menjadi dosen tamu di berbagai Universitas ternama di luar negri seperti
Universitas of California di Los Angeles, lembaga kepausan untuk studi Arab dan
Islam di Roma, Universitaas Katolik Louvain la Neuve di Belgia dan Princeton
Universitas di Philadelphia. Akhirnya pada tahun 1993 Mohammad Arkoun diangkat
menjadi guru besar tamu di Universitas Amsterdam. Sejak keterbukaan politis di
Aljazair pada akhir tahun 1988 M yang dihentikan kembali pada bulan Januari
1992 M, Mohammad Arkoun sering juga diundang sebagai penceramah oleh berbagai
partai politik Aljazair atau diwawancarai media cetak dan televisi Aljazair.
Namun, ia tidak pernah melibatkan diri dengan partai politik tertentu.[34]
Selain sebagai pengajar, Mohammad Arkoun menduduki sejumlah jabatan
penting lain. Ia adalah direktur ilmiah majalah Islam terkemuka Arabica.
Ia juga pernah diangkat menjadi chevalier de la Legion d’honneur (anggota
Legiun Kehormatan Prancis) dan meduduki sejumlah jabatan resmi seperti
kedudukan anggota panitia nasional Prancis untuk etika dalam ilmu pengetahuan
kehidupan dan kedokteran serta kenaggotaan Majlis Nasional untuk AIDS serta Officier
de Palmes Academiques, yaitu suatu gelar kehormatan Prancis untuk tokoh
terkemuka di dunia akademik.[35]
Mohammad Arkoun sempat mengunjungi Indonesia pada kesempatan
seminar tentang Contemporary Expressions of Islam in Building di Yogyakarta
pada bulan Oktober 1990 M, Internasional Confrence on Cultural Taurism di
Yogyakarta pada bulan November 1992 dan dalam rangka pemberian penghargaan Aga
Khan untuk Arsitektur di Yogyakarta dan Solo pada bulan November 1995. Ia juga
sempat berceramah di UIN Yogyakarta dan Jakarta di depan forum LKIS dan
beberapa lembaga lain.[36]
Mohammad Arkoun juga berperan aktif dalam dialog antar agama,
khususnya dialog Islam-Kristen, selama lebih dari 20 tahun. Selama waktu
tersebut Mohammad Arkoun telah menghadiri berbagai pertemuan, konfrensi dan
seminar, memberikan beberapa kuliah dan ceramah dan menulis buku-buku dan
artikel yang berhubungan dengan kondisi ilmiah dan kultural dari dunia modern,
berupa pandangan kritis mengenai warisan keagamaan dari komunitas tiga agama
monoteistik.
C.
Karya-karya Muhammad Arkoun
Di antara karya-karyanya adalah Rethinking Islam
Today, Mapping Islamic Studies, Genealogy, and Change, The Untought in
Contemporary Islamic Thought, al-Turath: Muhtawahu wa Huwiyyatuhu
–sijjabiyatuhu wa salbiyatuhu, Min al-Ijtihad ilal al-Naqd al-‘Aql
al-Islami, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil: Nahwa Tarikhin
Akhbar li al-Fikr al-Islami, al-Quran min al-Tafsir bil Mauruth, Lectures
de Coran, Min Faysal al-Tafriqah ila Fasl al-Maqail: Aina huwa al-Fikr
al-Islami al-Mu’ashir, The Concept of Authorithy in Islamic
Thought,dan Religion and Society.
Kebanyakan karya Mohammad Arkoun ditulis dalam bahasa Prancis. Ia
memang tidak banyak menulis dalam bahasa Inggris. Satu-satunya karya Mohammad
Arkoun dalam bentuk buku yang ditulis dalam bahasa Inggris adalah Rethingkling
Islam Today, 1987, buku kecil (hanya 27 halaman) yang semula merupakan
bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab Studies, Universitas
Georgetown, Amerika Serikat. Sedangkan dalam bahasa-bahasa lain,
karya-karya
Mohammad Arkoun tersebar melalui usaha-usaha terjemahan.[37]
Muhammad Arkoun adalah penerus dari usaha Arthur
Jeffery dalam mendekontruksi al-Quran. Arkoun dalam melakukan kritik terhadap
otentitas al-Quran menggunakan dua konsep yaitu konsep dekonstruksi dan
konsep historitas.
1. Konsep
Dekonstruksi
Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia
tawarkan sebagai sebuah strategi terbaik karena strategi ini akan
membongkar dan menggerogoti sumber-sumber Muslim tradisional yang
mensucikan “kitab suci”. Strategi ini berawal dari pendapatnya bahwa
sejarah al-Quran sehingga bisa menjadi kitab suci dan otentik perlu
dilacak kembali. Dan ia mengklaim bahwa strateginya itu merupakan sebuah
ijtihad.
Dengan Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa
pendekatannya ini akan menantang segala bentuk penafsiran ulama terdahulu,
namun ia justru percaya bahwa pendekatan tersebut akan memberikan akibat
yang baik terhadap al-Quran. Dan menurutnya juga, pendekatan ini akan
memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik
tentang al-Quran, dengan alasan karena metode ini akan membongkar konsep
al-Quran yang selama ini telah ada.
Berdasarkan pendekatan tersebut Arkoun membagi sejarah
al-Quran menjadi dua peringkat: peringkat pertama disebut sebagai Ummul
Kitab, dan peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible dan
al-Quran. Pada peringkat pertama wahyu bersifat abadi, namun kebenarannya
di luar jangkauan manusia, karena wahyu ini tersimpan dalam Lauh
al-Mahfudz. Wahyu (Preserved Tablet) dan berada di sisi Tuhan, dan yang
bisa diketahui manusia hanya pada peringkat kedua yang diistilahkan oleh
Arkoun sebagai “al-Quran edisi dunia” (editions terrestres) namun menurutnya
al-Quran pada peringkat ini telah mengalami modifikasi dan revisi dan
subsitusi.[38]
2. Konsep
Historitas
Dan tentang konsep historitas, Arkoun mengatakan
“bahwa pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari Barat, namun tidak
hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Pendekatan tersebut dapat diterapkan
pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam
menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis.”
Arkoun juga menyatakan bahwa strategi terbaik untuk
memahami historisitas keberadaan umat manusia ialah dengan melepaskan
pengaruh idiologis. Sehingga menurutnya, metodologi multidisiplin dari
ilmu sejarah, sosiologi, antropologis, psikologis, bahasa, semiotik harus
digunakan untuk mempelajari sejarah dan budaya Islam. Jika strategi ini
digunakan, maka umat Islam bukan saja akan memahami secara lebih jelas
masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa yang
akan datang, namun juga akan menyumbang kepada ilmu pengetahuan modern.
Mohammed Arkoun adalah orang yang secara tuntas
mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan
analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan
memperkenalkan tiga level tingkatan wahyu.
Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas
dan tidak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm
al-Kitab.
Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah.
Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah
sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang
lebih dua puluh tahun.
Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan
huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada
al-Mushaf al-Usmani yang dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.
Mohammed Arkoun membedakan antara periode pertama dan
periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Quran
lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika
dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-Quran terbuka untuk semua arti ketika
dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat
status al-Quran dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang
diwahyukan menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa Mushaf itu
tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks
meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.
Dua konsep pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal di
atas yaitu dekonstruksi dan historitas telah membuat paradigma baru tentang
hakikat teks al-Quran. Pendekatan historisitas Mohammed Arkoun justru
menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran
wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Mohammed Arkoun
mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga
mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan AI-Quran, tetapi bentuk
itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Dan
bisa kita simpulkan bahwa pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun
justru menggiringnya kepada sesuatu yang tidak historis. Sesuatu yang
tidak mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum Muslimin. Padahal, sepanjang
zaman fakta historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak dulu, sekarang
dan akan datang, meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf Usmani.
Pendapat Arkoun bahwa al-Quran yang asli itu tersimpan
di Lauh al-Mahfudz diikuti oleh Dawam Raharjo yang merupakan salah satu
perintis liberalisasi Islam di Indonesia pada tahun 1960-an, ia
menyatakan: “Ketika turun kepada Nabi, wahyu itu bekerja dalam pemikiran
Muhammad sehingga mengalami transformasi dari bahasa Tuhan ke bahasa
manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa sahabat
mentransformasikannya pula dalam bentuk transkip yang tunduk kepada
hukum-hukum bahasa yang berlaku.
Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi, komisi yang
dibentuk oleh Khalifah Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan
pembagian wahyu ke dalam surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun
disitu terdapat peranan dan campur tangan manusia dalam pembentukan teks
al-Quran seperti kita lihat sekarang. Karena adanya campur tangan manusia,
wajar jika terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistrosi wahyu yang
semula tersimpan di Lauh al-Mahfudz itu. Hal itu bisa dipahami melihat
kasus kodifikasi hadis yang itu, Apalagi dalam penetapan Mushaf Utsmani,
Khalifah memerintahkan untuk membakar sumber-sumber yang menimbulkan
masalah yang kontroversial. Namun demikian, siapa tahu di antara berbagai
masalah yang sangat kontroversial yang dibakar itu justru sesungguhnya
terdapat teks yang benar? Dan sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian
dari kodifikasi itu terdapat teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah
sendiri mengakui kemungkinan terjadinya kecerobohan pada penulisan teks
al-Quran.”[39]
Begitulah pemikiran Arkoun yang banyak diikuti oleh
kalangan liberal. Tentu saja pemikiran tersebut perlu dikritisi karena tidak
dikenal dalam tradisi keilmuan para ulama Islam.
IV. Muhammad ‘Abed
Al-Jabiri
A.
Biografi Muhammad ‘Abed
Al-Jabiri
a.
Profilnya
Sosok Muhammad ‘Abed al-Jabiri yang terkenal sebagai pakar
hermenetisme dan filsafat Islam pada abad modern, menyibak sejuta penasaran
akan produk-produk pemikirannya yang tertuang dalam karya-karyanya. Muhammad
‘Abed al-Jabiri dilahirkan di Figiug (Feji), bagian tenggara Maroko pada tahun
1936. Dia tumbuh dalam keluarga yang terpandang, ayahnya sebagai pendukung
perjuangan partai Istiqlal dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan di bawah
penjajahan Prancis dan Spanyol.[40]
Pada masa kanak-kanak, al-Jabiri sudah mengenyam masa pendidikan
yang bernuansa agama (madrasah ad-dīniyah) sebelum ia disekolahkan di
sekolah swasta yang nasionalis (madrasah hurrah al-waţāniyah). Setelah
mengenyam sekolah tingkat dasar, al-Jabiri melanjutkan studinya ke jenjang
menengah yakni setingkat SMA di Casablanca. Barulah setelah Maroko merdeka,
al-Jabiri mendapatkan gelar diploma tingkat Arab dalam bidang ilmu pengetahuan
(science). Kemudian dalam rangka mengembangkan keilmuannya, al-Jabiri
memilih untuk masuk dalam bidang penerbitan. Penerbitan yang ia masuki adalah
penerbitan Jurnal al-‘Ālam sebagai penerbitan resminya partai Istiqlal
yang terkenal dengan nama “The Union Nasionale de Forces Populaires”
(UNFP) sebelum direposisi menjadi “Union Sosilieste des Forces Populaires”
(USFP). Dalam upaya mengembangkan keilmuan dan studinya, al-Jabiri melanjutkan
studinya pada Universitas Damaskub di Syiriā dalam bidang filsafat. Akan
tetapi, di sana ia tidak puas dan kembali lagi ke negerinya untuk melanjutkan pendidikannya pada Fakultas Adab di
Universitas Muhammad V Rabat Maroko dalam bidang filsafat yang lagi mencapai
puncak kejayaan dalam sektor kualitas pendidikan dan keilmuannya. Akhirnya ia
mencapai gelar doktoralnya dalam bidang filsafat pada tahun 1970 dan mulai
mengajar dalam bidang filsafat di sana pula.[41]
Maka tidak heran, ketika al-Jabiri dijuluki filsuf kontemporer di wilayah
Barat, karena salah satu indikatornya adalah disertasi yang ia tulis berbicara
tentang pemikiran Ibnu Khaldūn di bawah bimbingan Najīb Baladi.
Prototipe al-Jabari tidak hanya dipandang sebagai seorang pemikir (mufakkir)
dan ilmuwan (muśaqqaf) an sich. Sebagai seorang muśaqqaf ia
banyak terjun dalam bidang penerbitan, bidang evaluasi dan perencanaan (explaining
and staffing) maju mundurnya sebuah pendidikan. Banyak artikel yang ia
terbitkan dan buku-buku yang berbicara tentang epistemologi baik tentang
matematika, rasionalitas dan perkembangan ilmu (science) ilmiah.
Akan tetapi di lain sisi, sosok al-Jabiri juga mempunyai prototipe
sebagai seorang politisi ulung. Aktifitasnya pada kegiatan-kegiatan yang
bernuansa politik dan pengangkatan terhadap harkat manusia (humaniora)
sangat tinggi. Gerakan partai Istiqlal yang terwadahi dalam UNFP adalah suatu
gerakan yang ia dirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap para penjajah, kaum
imperium, kaum borjuis, dan para penguasa yang tidak memihak kepentingan
rakyat. Negara adalah pesta demokrasi, negara tidak hanya ajang komoditas
kepentingan kaum elit dan legitimasi kekuasaan (power) semata, negara
adalah kadaulatan rakyat, negara harus menyuarakan dan mementingkan aspirasi
rakyat. Suatu ketika, karena kegigihannya dalam menyuarakan prinsip-prinsip
agama untuk kemanusiaan (religion of human right), ia harus rela
mendekam dalam sel penjara. Gerakan transformasi sosial tentunya harus memihak
pada kepentingan rakyat dalam kaidah fiqhiyah disebutkan “taşarruful al-imām
‘alā al-ra’iyyah manuţūn bi al-maşlahah” (kebijakan pemimpin itu harus
didasari atas pertimbangan kemashlahatan umatnya. Jadi dapat dikatakan bahwa
al-Jabiri memiliki prototipe sebagai penegak demokrasi, penegak supremasi hukum
dan hak asasi manusia. [42]
Konsepsi pemikiran ini terkait erat dengan kondisi sosial, politik,
budaya, agenda demokratisasi dan hak asasi manusia yang sedang berkembang di
Arab. Dia banyak terlibat langsung dengan berbagai problematika dan isu sentral
dalam pergolakan pemikiran Arab modern dan kontemporer.
b.
Karya-Karya Muhammad ‘Abed al-Jabiri
Al-Jabiri sebagai seorang ilmuwan, agamawan, politisi, dan
Intelektual serta filosof banyak menuangkan dan meninggalkan karya-karyanya.
Adapun karya-karyanya itu sebagian besar ditulis sendiri baik ketika masih
dalam proses belajar maupun ketika sudah mengajar serta ketika ia terjun dalam
penelitian-penelitian. Dengan popularitasnya yang tinggi, dan namanya lagi naik
daun, terus dikaji (didiskusikan) dan multi interpretatif terutama
dalam konteks transformasi pemikiran, intellectual
discourse dan sebagai paradigma berfikir (padigm of thought) yang
dalam istilah al-Jabiri dipolarisasikan menjadi tiga grand paradigma
berfikir. Ketiga paradigma berfikir itu adalah berfikir secara nalar bayānī (tekstual),
berfikir Gaya (style) Irfānī (gnostis dan żauq) dan
berfikir dengan paradigma burhānī (demonstratif-filosofis).
Adapun Karya-karyanya yang pernah beredar dan dituangkan dalam bentuk jurnal,
majalah, maupun buku-buku adalah sebagai berikut:
1. Durūs fi al-Falsafah. Tulisan ini merupakan karya yang
perrtama kali sebelum ia memperoleh gelar dalam program doktoral di Universitas
Muhammad V Rabat Maroko.
2. Fikr Ibn Khaldūn al-Asābiyyah wa Daulah: Ma’ālim Nazāriyyah
Khaldūniyah fi at Tārih al-Islāmi (Pemikiran Ibn Khaldun, Asabiyah dan
negara: Rambu-Rambu Paradigma Pemikiran Ibn Khaldūn dalam Sejarah Islam.
3. Al-Khitāb al-‘Arabī al-Mu’aśīr (Wacana Arab
Kontemporer: Studi Kritik Analitik).
4. Isykāliyah al-Fikr al-‘Arabī al-Mu’śīr (Beberapa
Problematika Pemikiran Arab Kontemporer).
5. Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Formasi Nalar Arab: Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreleligius). Buku seri
pertama ini ditulis pada tahun 1982, yang diterjemahkan oleh Imām Khairi.
6. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī: Dirāsah Tahlīliyah Naqdiyah li
Nūzum al- Ma’rifah fi al-Tsāqāfah al-’Arābīyah (Struktur Nalar Arab: Studi
Kritik Analitik atas Sistem-Sistem Pemikiran dalam Kebudayaan Arab).
7. Al-‘Aql asy-Syiyāsī ‘Aql-‘Arabī: Muhaddidah wa Tajalliyatuh (Nalar
Politik Arab: Faktor-Faktor Penentu dan Manivestasinya).
8. At-Turāś wa al-Hadāśah: Dirāsah wa Munāqasyah (Tradisi
dan Modernitas: Suatu Kajian dan Perdebatan).
9. Wijhah Nazr Nahw I’ādah Binā Qadāyā al- Fikr al-‘Arabī
al-Mu’aśīr (Satu Sudut Pandang Menuju Rekonstruksi
Persoalan-Persoalan Pemikiran Arab Kontemporer).
10. Al-Masalah aś-Śaqāfiyyah (Problem Kultur).
11. Al-Mu’as’alā al Huwiyyah (Persoalan-Persoalan Identitas)
12. Al-Muśaqqafūn al-‘Arab fi al-Hadārah al-Islāmiyyah (Kebudayaan
Bangsa Arab dalam Peradaban Islam).
13. Hiwār al-Masyriq wa al-Magrib (Dialog antara Dunia Timur
Islam dan Dunia Barat Islam).
14. Adwā ‘alā Musykil at-Ta’līm.
15. Madkhāl ilā Falsafatul-‘Ulūm.
16. Min Ajl Ru’yah Taqaddumiyah li ba’d Musykilātiyah
al-Fikriyyah wa at- Tarbāwiyah.[43]
B.
Sebab-sebab Penulisan
Adapun latar
belakang yang membuat Al-Jâbirî menulis diantaranya adalah berangkat dari
keresahannya menghadapi fakta yang mengenaskan. Ketika membaca
diskursus Arab kontemporer dalam masa seratus tahun yang lampau, mereka (baca:
Arab) tidak mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun
untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang mereka gembar-gemborkan.
Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas dan
orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense of difference
(baca: jurang pemisah) antara Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan
Barat modern. Akibatnya, tegas Al-Jâbirî, sampai saat ini diskursus kebangkitan
Arab tidak berhasil mencapai kemajuan dalam merumuskan “blue print
(cetak biru) kebangkitan peradaban” baik dalam tataran utopia proporsional,
maupun dalam perencanaan ilmiah.[44]
Sebagaimana yang diungkapkannya dengan al-Khithab al-‘Arabi
al-Mu’ashir (wacana Arab kontemporer), bahwa Arab mengalami problem
tematik. Tema-tema yang dibahas berkisar masalah haidl, nifas, shalat, ulum
al-Qur’an, dsb. Telah usang dan tidak relevan lagi di era kontemporer.
Tema-tema seperti ini telah ada pada abad II dan III H, masa kodifikasi (‘ashr
al-tadwin). Saat ini, menurutnya, pembaruan pemikiran Arab kontemporer,
wajib membangun era kodifikasi baru (‘ashr tadwin jadid). Masyarakat
Arab perlu merubah tema-tema lama kepada tema-tema baru, seperti kebangkitan
dan pembaruan (al-nahdhah wa tajdid); otentisitas dan modernitas (al-ashalah
wa al-mu’ashirah); agama dan negara (al-din wa al-daulah);
demokrasi (aldimuqrathiyyah); cita-cita komunitas, persatuan dan
kerjasama; pembebasan Palestina (tahrir Falasthin); membangun filsafat
Arab kontemporer dst.
Maka
untuk menuju ke arah wacana Arab kontemporer, menurutnya, harus dilakukan
melalui kritik epistemologi[45] (naqd
ibistimulujiya) . Di dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia
menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya.
Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain.[46]
Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam
konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Pandangan dunia manusia akan
terpengaruh bahkan dibentuk oleh konsepsinya tentang epistemologi.[47]
Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang
bermuatan spiritualitas dan moralitas. Sehingga diharapkan epistemologi Islami
akan lahir dan memberi jawab atas kegelisahan umat dewasa ini.[48]
Kritik
epistemologi ini harus dikuatkan dengan dua hal; tradisi (turats) dan
modernitas (al-mu’ashir/al-hadatsah)¸ suatu peradaban Barat. Tradisi (al-turats)
dan modernitas (al-hadatsah) menjadi sesuatu yang penting. Karena
modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam
tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru
tentang tradisi.[49]
C.
Corak dan Metode Pemikiran ‘Abed
Al-Jabiri
Corak pemikiran al-Jabiri adalah model rekontruksi “semangat kritis
dan rasionalisme”[50]
sebagai hasil dari penelitiannya dengan menunjukkan kelemahan episteme
bayani dan ‘irfani. Al-Jabiri termasuk kelompok tipologi pemikiran “reformistik”,
yang menggunakan metode dekontruksi terhadap turast (tradisi), yang
dipengaruhi oleh gerakan post-strukturalis Perancis dan tokoh-tokoh post-modernis,
seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthess, Foucalt, Deridda dan Gadamer. Pemikir
lai yang menggunakan atau tergollong dalam kelompok inni adalah M. Arkoun, M.
Bennis, Abdul Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh dan Hasyim Saleh.[51]
Sedangkan kerangka pemikiran Al-Jabiri tergabung dalam tetraloginya,
yaitu; 1) Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Formasi Nalar Arab); 2) Bunyah
al-‘Aql al-‘Arabi (Struktur Nalar Arab); 3) Al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi
(Nalar Politik Arab); 4) Al-‘Aql al-‘Akhlaqi al-‘Arabi (Nalar Etika
Arab). Dalam kerangka tetralogi tersebut
proyek metodologis pemikiran Al-Jabiri yang terkenal dengan istilah “Naqd
al-A’ql al-‘Arabi” (Kritik Nalar Arab), terbagi atas dua model. Pertama,
kritik nalar epistemologis yang tertulis dalam dua kitab pertama, dan yang kedua
kritik nalar praktisnya yang tertuang di dalam dua kitab terakhirnya.[52]
Oleh karena di bab ini penulis akan
berkonsentrasi pada kajian metodenya maka fokus pembahasan mengarah pada kritik
nalar epistemologis. Yakni kritik nalar epistemologis yang terbagi atas dua seri,
seri pertama yang berjudul Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, dan seri keduanya
adalah Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. Di dalam Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Muhammad Abid al-Jabiri
mengkonsentrasikan analisisnya pada proses-proses histories, baik
epistemologis, maupun ideologis, yang memungkinkan terbentuknya nalar-nalar bayani,
‘irfani, dan burhani, termasuk interaksi diantara ketiga nalar
tersebut beserta kritis-kritis yang menyertainya.[53]
Sementara pada Bunyah al-‘Alq al-Arabi,
ia berupaya menyingkap struktur internal masing-masing ketiga nalar ini,
lengkap dengan segenap basis epistemologinya. Kelebihan seri kedua ini terletak
pada konklusi yang diberikan al-Jabiri pada bagian akhir, yang diantaranya
menyatakan bahwa nalar (dalam pengertian yang dikemukakan diatas) yang kita
terima saat ini yang kita pakai untuk menafsirkan, menilai, dan memproduksi
pengetahuan adalah nalar yang tidak pernah berubah sejak awal diresmikan dari
masa tadwin, sehingga dari sini ia menegaskan perlunya membangun satu babak
tadwin baru agar kita bisa melampaui konservatisme jenis nalar tersebut yang
tidak berubah sejak dua belas abad lalu hingga kini. Tentu banyak argument yang
dikerahkan oleh al-Jabiri untuk menunjukkan asal-usul dan faktor-faktor apa
saja yang mendorong konservatisme tersebut.[54]
1.
Akal Arab dan Titik Awalnya
Akal Arab yang
dimaksud dalam pemikiran
Al-Jabiri yang terkenal dengan istilah “Naqd al-A’ql al-‘Arabi”, yaitu
kumpulan prinsip dan kaidah yang diberikan oleh peradaban Arab kepada para
pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan, atau aturan epistemologis,
yakni sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar
dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Al-Jâbirî melihat bahwa
kumpulan konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang
orang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itu memang ada. Berarti, orang
Arab adalah individu anak manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang
dalam dalam peradaban Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat referensi
pemikirannya yang utama, kalau bukan satu-satunya.[55]
Dalam hal ini Al-Jâbirî membagi akal menjadi dua. Pertama adalah
‘Aql al-Mukawwin (nalar pembentuk atau la raisson
constituante). Yaitu aktifitas
intelektual yang membentuk konsep dan menerapkan prinsip-prinsip dasar yang
dimiliki oleh semua manusia dan berfungsi membedakan dari makhluk lain. Sedangkan yang kedua adalah ‘Aql al-Mukawwan (nalar
terbentuk atau la raisson constitutee). Yaitu himpunan
prinsip-prinsip dasar dan aturan-aturan yang menjadikan landasan bagi proses
pemikiran (secara tidak sadar). Akal dalam pengertian
kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu suatu nalar manusia yang dibentuk
oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang tersebut hidup. Yang kedua inilah yang Al-Jâbirî maksud sebagai “Akal
Arab”.[56]
Setelah itu Al-Jâbirî
mengulas mengenai titik awal Akal Arab bermula. Sebagaimana diketahui, ada tiga
titik pijak yang biasa digunakan sebagai permulaan penulisan sejarah Arab,
yaitu masa Jahiliyah, masa Islam, dan masa kebangkitan.
Al-Jâbirî sendiri mengambil jalan berbeda, dengan memulainya dari “masa
kodifikasi” (‘Asr al-tadwin). Tanpa menafikan keberadaan masa Jahiliyah
dan produk-produknya, begitu juga pengaruh masa Islam awal dalam peradaban
Arab. Dengan pendapat bahwa sruktur akal Arab telah dibakukan pada
disistematisasikannya pada masa kodifikasi tersebut, sehingga konsekuensinya,
dunia berpikir yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi terbesar dalam
menentukan orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, di satu pihak, dan
mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada
masa sebelumnya, di pihak lain.[57]
2. Turats dan Modernitas
Bagi al-Jabiri salah
satu permasalahan krusial bagi proyek kebangkitan Islam adalah bagaimana
menyikapi turast (tradisi), yang telah diwariskan dari generasi
kegenerasi sepanjang sejarah. Ada dua hal yang penting dari definisi turast,
pertama, bahwa tardisi adalah sesuatu yang menyertai kekinian kita, yang tetap
hadir dalam kesadaran atau ketidaksadaran kita. Maka tradisi bukan hanya yang
tertulis dalam buku-buku karya para pemikir, melainkan juga realitas sosial
kekinian kaum muslim. Kedua, tardisi yang mencakup tradisi kemanusiaan yang
lebih luas seperti pemikiran filsafat dan sains hal ini yang disebut dengan al-turast
al-insan. Pada perkembangannya al-Jabiri menegaskan bahwa tradisi yang
hidup itu sebenarnnya berakar kuat pada pemikir-pemikir Islam yang dikembangkan
oleh para ulama sejak masa tadwin (kodifikasi ilmu-ilmu keislaman) abad II
Hijriyah hingga masa sebelum kemunduran Islam sekitar abad VIII Hijriyah.[58]
Dengan demikian
turast (tradisi) adalah suatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang
berasal dari masa lalu, atau bisa dikatakan segala yang secara asasi berkaitan
dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran doktrinal,
syariat, bahasa sastra, seni kalam dan tasawuf.[59]
Kemudian Al-Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tradisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Al-Jâbirî
mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”,
tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang
terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas–pertama dan
paling utama–adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern
tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi,
yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan
pandangan baru tentang tradisi. Oleh
karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau memutus masa
lalu, melainkan untuk meng-upgrade sikap serta pendirian dengan
mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan
“modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan
sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.[60]
Menurutnya turast harus dikaji lewat tiga pendekatan
(metodologi) yaitu: Pertama, Pendekatan Struktural (Ma’ālajah
Bunyāwiyah) yaitu bentuk kajiannya berupa pengkritisan terhadap teks-teks. Kedua,
Analisis Historis (Tahlīl Tārīkhī) yaitu melakukan pengkajian
lewat analisis sejarah dengan ruang lingkup sosial, politik dan budaya. Ketiga,
Kritik Ideologi (at-Tārh al-Idiyūlujī), yaitu dalam
rangka mengungkap fungsi ideologi baik politik dan sosial yang tersurat dalam
teks tersebut.[61]
Dari konsep di atas, tradisi dapat dianalisis lewat dua pendekatan yaitu: Pertama,
al-Faşl yaitu mengadakan pemisahan antara pembaca dengan obyek bacaannya. Kedua,
al-Waşl yaitu mencoba mensinkronkan dan mengkorelasikan antara sang pembaca
dengan obyek bacaannya.[62] Pertam-tama
harus menguasai, memaknai, dan mengkritisi secara rasional dan kritis pada
tradisi Islam tersebut, dan ini menjadi tugas al-waşl. Setelah itu, baru
dilakukan apa yang disebut taūzīf atau istitmār, yaitu menimba
relevansi dan kegunaan fungsional tradisi bagi kehidupan pada zaman sekarang.[63]
Epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu, dimana dalam filsafat ilmu
itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga cabang yaitu ontologi,[64] epistemologi
dan aksiologi.[65]
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani
yaitu: “episteme” berarti pengetahuan (knowledge), dan “logos”
berarti teori. Oleh sebab itu, epistemologi sebagai cabang dari flsafat yang
secara khusus membahas tentang teori ilmu pengetahuan.[66]
Dimana istilah epistemologi ini pertama kali muncul dan dipopulerkan oleh J.F.
Ferrier pada tahun 1854 kemudian dikembangkan oleh para filosof abad modern
seperti Rene Descartes, David Hume, John Locke, Spinoza, Immanuel Kant dan
lain-lain. Lebih jauh, The Liang Gie mengutip dari The Encyclopedia of
philosophy menguraikan “Epistemologi sebagai cabang filsafat yang
bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra-anggapan dan
dasar-dasarnya serta realibilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan”.[67]
a.
Epistemologi Bayani
Secara
etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Berdasarkan beberapa makna
yang diberikan kamus Lisan al-Arab Al-Jabiri mengartikan dalam kaitannya
dengan metodologi sebagai al-fashl wa al-infishal (memisahkan dan
terpisah) dan jika berkaitan dengan visi dari metode bayani diartikan al-dhuhur
wa al-idhar (jelas dan penjelasan).[68]
Sementara itu,
secara terminologi perumusan bayani mempunyai dua arti; (1) sebagai
prinsip-prinsip penafsiran wacana (qawanin tafsir al-khitab); (2)
sebagai syarat-syarat memproduksi wacana (syuruth intaj al-khitab). Tokoh-tokohnya
saat ittu adalah muqatil bbin sulaiman (w. 150 H), Abi Zakariya yahya Ziyad
al-Fara’ (w. 207 H) dan Abi Ubaidah Mammar bi al-Musanna (w. 215 H). Namun,
prinsip-prinsip bayani al-Qur’an baru dirumuskan oleh Asy-Syafi’i (767-820 M).[69]
Syafi’i membagi
bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh
penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam
al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya; 2) Bayan yang beberapa bagiannya
masih global sehingga butuh penjelasan sunnah; 3) Bayan yang keseluruhannya
masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayan sunnah sebagai uraian
atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an; 5) Bayan Ijtihad yang
dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun
sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’i kemudian menyatakan bahwa
yang pokok ada tiga yaitu al-Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma’.[70]
Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban
Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi
(tadwin). Menurut al-Jabiri bayani adalah metode
pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks Arab (nash), secara
langsung ataupun tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang
digali lewat inferensi (istidlal). Secara langsung artinya memahami teks
sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran;
secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga
perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini
bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi
tetap harus bersandar pada teks.[71]
Epistemologi
bayani mencakup disiplin ilmu yamg menjadikan bahasa Arab sebagai tema sentralnya,
seperti balaghah, nahwu, fiqih, ushul fiqh dan kalam. Basis-basis penalaran
masing-masing disiplin ilmu tersebut, menurut al-Jabiri, terbentuk dari faktor
bahasa. Bahasa bukan Cuma berfungsi sebagai alat komunikasi atau sarana
berpikir, tapi lebih dari itu adalah ssatu wadah yang membatasi ruang lingkup
pemikiran, “sebuah sistem bahasa” (kosa kata, sistem gramatika dan semantiknya)
punya pengaruh dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara
menafsorkan dan menguraikannya, yang akhirnya mempengaruhi cara dan metode
berpikir.[72]
b.
Epistemologi ‘Irfani
Dalam menerjemahkan kata ‘irfan, kita dihadapkan dengan dua makna
kata yang serupa tapi tak sama. Yang pertama adalah “Gnose/gnosis” yang
berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa
proses belajar. Yang kedua adalah “Gnostik” yang dikhususkan kepada
pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada “Gnostisime”.[73]
‘Irfani merupakan kelanjutan
dari bayani, akan tetapi kedua pengetahuan ini berbeda satu sama lain. Bayani
mendasari pengetahuannya kepada teks, sedangkan ‘irfani> mendasari
pengetahuannya kepada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia oleh/karena Tuhan. Oleh karena itu, ‘irfan
tidak diperoleh berdasarkan analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati
nurani yang suci, sehingga Tuhan menyingkapkan sebuah pengetahuan.[74]
Adapun cara kerja ‘irfani adalah proses pemahaman yang berangkat
makna sebuah teks menuju lafaz teks tersebut. Persoalannya bagaimana mengungkap makna atau dimensi
batin yang diperoleh dari proses kasyf tersebut?. Al-Jabiri mengemukakan bahwa makna tersebut
bisa terungkap pertama, dengan menggunakan cara apa yang disebut qiyas
‘irfani, yaitu analofi makna batin yang diungkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.[75]
c.
Epistemologi Burhani
Burhani lebih mendasari dirinya
pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan
dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika
rasional. Hal ini ditegaskan oleh al-Jabiri bahwa burhani menghasilkan
pengetahuan melalui prisnsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang
telah diyakini kebenarannya. Di samping itu, dalil-dalil logika tersebut
memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera,
yang dikenal dengan istilah tashawwur dan tashdiq. Tashawwur adalah proses
pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedangkan tasdiq adalah
proses pembuktian terhadap kebenaran atau konsep tersebut.[76]
Penjelasan tersebut kiranya “sah” apabila penulis sebut sebagai
pandangan umum dari epistemologi burhani yang dikemukakan ‘Abid
Al-Jabiri. Namun sebelum itu, baik kiranya apabila penulis menjelaskan secara
singkat proses masuknya akal dalam Islam.
Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk menjawab tantangan modernitas, Al-Jâbirî
menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang
menurut skema Al-Jâbirî, yaitu: Pertama, sistem epistemologi indikasi
serta eksplikasi[77] (‘ulum al-bayan)
merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia
menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi,
yurispudensi, fiqh (ilmu hukum) serta ‘ulum al-Quran, kalam
(teologi dialektis) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai
kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting
of discourse).[78] Sistem ini didasarkan pada
metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi
pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak
diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang
sudah tampak. Kedua, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum
al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi
empiris dan inferensiasi intelektual. Ketiga,disiplin
gnotisisme (‘ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan
dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran
Syi’i, penafsiran esoterik terhadap al-Qur’an, dan orientasi filsafat
illuminasi.
Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode burhani
adalah empirik, dan metode ‘irfani adalah intuitif, dalam epistemologi
umumnya.[79]
D.
Contoh Pemikiran Abed al-Jabiri
a.
Pemikiran tentang syari’ah
Relasi antara agama dan negara tidak terhenti pada masa
shabat, tetapi berlanjut sampai zaman sekarang. Masalah relasi ini menjadi
mendesak disebabkan oleh munculnya negara-negara bangsa (nation-states) dan
terhembusnya semangat sekularisme yang dibawaw oleh Baratt.
Al-jabiri mengatakan bahwa ungkapan “pemisahan agama
dan negara” dalam hubungannya dengan rujukan tradisi Islam tidak mengenal
adanya dualisme, sebagaimana dimaklumi dalam sejarah Islam secara umum tidak
ditemukan adanya agama yang dibedakan dan dipisahkan dari Negara, sebagaimana
juga tidak ada negara yang dipisahkan dari agama.[80]
Kemudian pola pengambilan pemerintahan dan teori-teori
pemerintahan semuanya adalah masalah ijtiha. Ijtihad yang masalahnya diserahkan
kepada kaum musliimin dapat dipastikan akan mengalami perbedaan tergantung pada
perbedaan masa dan kondisi.[81]
Namun lanjut al-Jabiri, satu-satunya yang tidak berubah dari agama bahwa dalam
Islam terdapat hukum-hukum syara’ yang pelaksanaannya memerlukan adanya
“pemegang perintah”.
b.
Pemikiran tenntang kisah dalam al-qur’an
Al-Qur’an adalah kitab keagamaaan, bukanlah kitab sastra
atau sejarah, maka al-Qur’an menggunakan kisah untuk tujuan dakwah, bukan dari
sis pengisahannya itu sendiri, jadi kisah al-Qur’an merupakan bagian dari
bentuk perumpaman (darb al-mistl), sedangkan sebuah perumpamaan tidakk dibuat
dan dilihat dari bentuknya, tetapi dari sisi penjelasan dan kandungan
pelajarannya.[82]
E.
Foto Kopi Kitab Aslinya
Ini diambil
dari kiatab Madkhal ila Qur’an al-Karim, halaman 421, terbitan Markaz
Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah Beirut, Libanon tahun 2006.
[1] Moch. Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zaid,
Jakarta: Teraju, 2003, hlm. 15-16.
[2] Moch. Nur Ichwan, Meretas Keserjanaan Al-Qur’an Teori
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, jakarta, teraju, 2003, cet 1, hlm 16.
[3] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islamdari Abu Bakar Hingga Nasr dan
Qardhawi, Ban-dung: PT Mizan Republika, hlm, 349
[4] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islamdari Abu Bakar
Hingga Nasr dan Qardhawi, Ban-dung: PT Mizan Republika, hlm 349
[5] M. Hanif A, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam Pemikiran
Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003, hlm. 356-357.
[7] pengantar redaksi Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat
al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, diterjemahkan oleh Muhammad Mansur dan
Khoiron Nahdliyyin, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan
Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Jakarta: ICIP, 2004, hlm. ix
[8] Lalu Nurul
Bayanil Huda, Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm
68
[10] Lalu Nurul
Bayanil Huda, Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm
69
[11] Lalu Nurul
Bayanil Huda, Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm
69
[12] Lalu Nurul
Bayanil Huda,Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm
69
[13] Lalu Nurul
Bayanil Huda,Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm
69-70
[14] Lalu Nurul
Bayanil Huda,Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm
72
[15] Lalu Nurul
Bayanil Huda,islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm
72
[16] pengantar redaksi Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat
al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, diterjemahkan oleh Muhammad Mansur dan
Khoiron Nahdliyyin, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan
Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Jakarta: ICIP, 2004, hlm. ix
Yogyakarta,
2001, hlm. 53
[18] ibid
Modernisme dan
Post Modernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, LKIS,
Yogyakarta,
1993, hlm. 4.
cintai dan
akhirnya aku benci, lihat Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual Islam,
Yogyakarta, Ittqo Press, 1998, hlm. 220
2001, hlm. viii
[22] Jhon
L.Esposito dan Jhon O.Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj.
Hermawan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 81
[24] Ahmad
Ridwan, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hasan Hanafi tentang Reaktulisasi
Tradisi Keilmuan Islam, ITTAQA Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 9 – 12
[29] Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan
Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu Hidayat,
INIS, Jakarta, 1994, hlm. 1
[30] Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan
Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu Hidayat,
INIS, Jakarta, 1994, hlm. 2
[31] Ibnu Miskawaih merupakan seorang
pemikir Muslim Persi dari akhir abad 10 hingga awal abad ke 11 Masehi (w. 1030
M) di dunia Islam, Ibnu Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai
bidang ilmu pengetahuan antara lain ilmu kedokteran dan filsafat serta menekuni
soal-soal persamaan dan perbedaan antara tradisi Islam dengan tradisi pemikiran
Yunani. Lihat Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi
Hidayat, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 17-22
[32] Mohammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam
dan Post Modernisme, terj. Jauhari, Ibnu Hasan, Rosdiansah, al-Fikr,
Surabaya, 1999, hlm. iv
[33] Mohammad Arkoun adalah seorang dari
sejumlah kecil ilmuwan Muslim, yang dengan penuh kesungguhannya menganjurkan
untuk mempelajari kebudayaan dan peradaban Islam dengan memanfaatkan dan
menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial yang baru muncul ke pentas
keilmuan pada abad ke 19 dan ke 20. Sebuah metodelogi keilmuan yang belum sempat
terpikirkan, apalagi sampai dirumuskan, oleh para cerdik pandai dan para ulama
Islam klasik, era skolastik, bahkan modern sekalipun. Setidaknya ada empat
pendekatan, yang menurutnya patut dipertimbangkan untuk digunakan dalam studi
kebudayaan dan peradaban Islam era sekarang khususnya dan studi agama pada
umumnya. Pendekatan tersebut adalah pendekatan sejarah, antropologi, sosiologi,
dan bahasa (linguistik). Lihat pengantar Amin Abdullah dalam Mohammad
Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme,
terj. Jauhari, Ibnu Hasan, Rosdiansah, al-Fikr, Surabaya, 1999, hlm. iv
[35] Mohammad
Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
terj. Rahayu Hidayat, INIS, Jakarta, 1994, hlm. 2
[36] Mohammad
Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
terj. Rahayu Hidayat, INIS, Jakarta, 1994, hlm. 4
[37] Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi
atas Pemikiran Mohammad Arkoun, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000,
hlm. 63
[38] Muhammad Arkoun, Metode Kritik Akal Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
nomor 6 vol. V, 1994
[39] Muhammad Arkoun. Islam Kontemporer Menuju Dialog antsr Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I Juni 2001. Alih Bahasa, Ruslani
[40] . Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Imām Khoirī, (terj.), Formasi Nalar
Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, IRCISOD,
Yogyakarta, Cet. I, 2003, hlm. 591
[41] . Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Moch. Nur Ichwan (alih bahasa), Kritik
Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam, Islamika, Yogyakarta, Cet. I, 2003,
hlm. xviii
[42] . Bandingkan Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Syura Tradisi
Partikularitas Universitas, LKIS, Yogyakarta, Cet. I, 2003, hlm. 18. Dan
Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam,
hlm. 4
[43] . A. Khudāri Sholeh, (edit.), Moh. ‘Abed al-Jabiri: Model
Epistemologi Islam, Dalam buku Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela,
Yogyakarta, Cet. I, 2003, hlm. 232
[44] . Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik
Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,”
dalam Muhammad Aunul Abied Syah, dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah
(Bandung: Mizan, 2001), h. 304
[45] . Epistemologi adalah
cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme,
yang berarti pengetahuan. Lihat: M. Amin Abdullah, Studi Agama
Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 243
[46] . Nirwan Syafrin, “Kritik
terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus
2004, h. 43
[49] . Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas
Filsafat Arab-Islam, terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika,
2003), h. 3
[50] . Rasionalisme
kritis merupakan kecenderungan filsafat Eropa dan Amerika yang
prinsip-prinsipnya dicetuskan oleh Karl Popper, yang berupaya untuk
mempertentangkan prinsip-prinsip utamanya dengan posisi filosofis tradisional.
Rasionalisme kritis merumuskan gagasan rasionalisme metodologis, yaitu
kemungkinan untukmendefinisikan, atas dasra analisis kritis, sejauh mana
beberapa hipotesis lebih baik dari pada yang lainnya. Lihat: Lorens bagus,
Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramediaa Pustaka utama, 200), h. 931
[51] . A. Lutfi
Assyaukani, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, (Jakarta:
Jurnal Paramadina, Vol. 2, No. 1, Juli-Desember, 1998), h. 64-65
[53] . Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi,
(Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991); Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Formasi
Nalar Arab Kritik Tradis Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius,
terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003)
[55] . Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik
Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,”
dalam Muhammad Aunul Abied Syah dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah
(Bandung: Mizan, 2001), h. 306-307
[56] . Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Takwīn al-‘Aql-’Arabī, Markaz Dirāsah al-Wihdah al-‘Arābīyah, Beirut, 1991, Cet. V,
hlm. 15
[57] . Muhammad Aunul Abied Syah dkk, ed.,
Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
h. 310-311; Zulfikar, Kritik Epistemologi Nalar Arab Menurut Muhamad Abid
al-Jabiri, (Yogjakarta: Skripsi IAIN Sunan Kalijaga, 2001), h. 42
[58] . Muhammad Abed Al
Jabiri, Agama, Negara
dan Penerapan Syari’ah, terj. Drs. Mujiburrahman, M.A, (Yogjakarta: Pustaka
Pelajar Baru, 2001), h. viii
[59] . Supaat Eko
Nugroho, Muhammmad ‘Abid al-Jabiri (Studi Pemikirannya Tentang Tradisi
[Turast]), Skripsi, (Yogjakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007), h. 31
[60] . Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas
Filsafat Arab-Islam, terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika,
2003), h. 3
[61] . Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Nahnu wa at-Turāś: Qirā’ah
Mu’āśirah fī Turāśina al-Falsāfī, Markaz Śāqāfi al-‘Arabī,
Beirut, Cet. VI, 1993, hlm. 8
[62] . Ahmad Baso, Post Tradisionalisme Islam Muhammad ‘Abed
al-Jabiri, LKIS, Yogyakarta, Cet. I, 2000, hlm. xxii–xxiv
[63] . Ach. Djunaidi, KRITIK NALAR BURHĀNĪ DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD
‘ABED AL-JABIRI (SUATU UPAYA REKONSTRUKSI KRITIK EPISTEMOLOGI), skripsi, (IAIN
Walisongo Semarang, 2004), h. 5
[64] . Ontologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “On”
artinya ada Sedangkan dalam konteks filsafat ontologi diartikan sebagai teori
tentang yang ada (being) sebagai obyek pengetahuan. Ada tidak adanya
secara fisikal saja (perspektif filsafat Barat), lain halnya dalam perspektif
Islam “being” dimaknai sebagai hal-hal yang bersifat fisikal dan supra
fisikal. Lihat: Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa
Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I, 1998 hlm. 76
[65] . Term aksiologi membicarakan nilai guna (values), termasuk
di dalamnya tentang tujuan memperoleh pengetahuan. Pada hakekatnya nilai itu
merupakan realitas yang objektif, sebab ia memiliki kekuatan besar (great
power) yang bisa mengesampingkan segala preferensi-preferensi subyeknya.
Lihat Riseri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, Cet. I, 2001. Max Scheler seorang fenomenologis lebih detail
mengatakan ada empat jenis nilai (values). Pertama, nilai sensual,
Kedua, nilai hidup. Ketiga, nilai kejiwaan, dan Keempat, nilai
religius. Untuk lebih jelasnya lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Rake
Sarasin, Edisi I, Cet. II, Yogyakarta, 1998, hlm. 56
[66] . Abu Bakar, “Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu dalam Perspektif
Islam”, Himmah: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol. III,
Edisi 06 Jan-April 2002, hlm. 16
[67] . Miska Muhammad Amīn, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat
Pengetahuan Islam, UI
Press, Jakarta,
1983, hlm. 3
[68] . Muhammad Abid al-Jabiri,
Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000),
h. 60
[69] . M. ‘Abid
Al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (2), Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah
Tahliliyah Naqdiyah li Nizam al-Saqafi al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz
al-Saqafi al-‘Arabi, 1993), h. 13-14
[70] . A. Khudori Soleh, M.
Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran
Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 182
[71] . Dalam hal ini, sudah menjadi pengetahuan bahwa
teks yang dimaksud dalam tradisi Arab Islam adalah al-Qur’an dan Hadis, yang
kemudia menjadi sumber-sumber produk pemikiran ulama-ulama klasik untuk ber-istinbat
hukum. Lihat: Supaat Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri: Studi
Pemikirannya Tentang Tradisi (Turast) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab,
2007), h. 84; Lihat juga: M. ‘Abid Al-Jabiri, Problem Peradaban: Penelusuran
Jejak Kebudayaan Arab Islam dan Timur, terj. Sumarwoto Dema dan Mosiri
(Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 106.
[73] . Supaat Eko Nugroho,
Muhammad ‘Abid Al-Jabiri: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turast) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 94.
Lihat juga: M. Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab:
Pendekatan Epistemologi terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri” dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam
Timur Tengah (Bandung:
Mizan, 2001), hlm. 316
[74] . A. Khudori
Sholeh (ed.), “Model Epistemologi Islam Al-Jabiri dalam Pemikiran Islam
Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 233
[75] . Supaat Eko
Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turast) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 95
[76] . Supaat Eko
Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang
Tradisi (Turas\) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 97-98
[77] . Indikasi (Lat) adalah tentang petunjuk
atau tanda-tanda. Eksplikasi (Lat) adalah tentang penjelasan, keterangan,
tafsiran. Lihat J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa
Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003), h. 81, 151
[78] . Walid Harmaneh, “Kata Pengantar,”
dalam Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam,
terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. xxvii
[79] . Happy Susanto, “Geliat Baru
Pemikiran Islam Kontemporer”
[80] . Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan
Syari’ah, terj. Mujiburrahman (Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 60
[81] . Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan
Syari’ah, terj. Mujiburrahman (Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 69
[82] . Mohamad Yahya, al-Qasash al-Qur’ani Prespektif M. Abid al-Jabiri
(Studi atas serial Diskursus al-Qur’an), (Yojakarta: UIN Sunan Kalijaga,
skripsi), h. 153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar