BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam tata
pergaulan, baik berbentuk masyarakat maupun negara, barangkali tidak ada
prinsip dasar dalam sejarah kehidupan manusia yang begitu didambakan seperti
keadilan. Setiap manusia pada strata manapun dan latar belakang apa pun akan
senantiasa ingin diperlakukan secara adil serta sejajar dengan manusia lainnya.
Keinginan semacam ini adalah sesuatu yang bersifat fitri. Karena itu, saran
untuk berlaku adil akan dikumandangkan oleh setiap orang sebagai seruan kebaikan
yang universal. Hal ini, bukan saja mengindikasikan urgensi keadilan itu
sendiri dalam konteks hubungan antar sesama, tetapi juga sebagai realisasi dari
keinginan yang bersifat fitri tersebut demi terbangunnya sebuah kehidupan yang
harmonis diantara warga masyarakat.
Namun, dewasa ini seolah keadilan sedang dalam masa kelesuannya karena
dihantam oleh beberapa gejolak dan perangai manusia yang memiliki kecendrungan bersiat
dzalim, seperti ketidakjujuran, pengkhianatan, penghasutan, adu domba, kedengkian,
korupsi dll. Korupsi dewasa ini menjadi semacam
penyakit, jika meminjam istilah Peter Sloterdijk yang menggerogoti nurani
manusia dan itu adalah semacam bestialisasi atau pembinatangan manusia. Korupsi
sebagai bestialisasi juga mengancam sendi-sendi humanisme. Dana pendidikan
disunat sehingga terganggu pula cita-cita pencerdasan dan pembangunan karakter
bangsa yang diharapkan untuk membuat bangsa ini
semakin human. Dana kaum miskin dikorup sehingga makin menderitalah kaum
tak berada yang sebenarnya berhak mendapatkan bantuan Negara. Pengadilan kasus
korupsikelihatan menginjak-injak rasa keadilan masyarakat sehingga semakin tak
acuhlah masyarakat terhadap kewibawaan hukum, yang sebenarnya amat diperlukan
untuk membangun humanisme masyarakat.[1]
Dari uaraian di
atas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan seputar korupsi, karena
hingga dewasa ini masih menjadi musuh bersamaterutama masyarakat Indonesia.
Penulisan ini akan mencoba dalam bingkai keindonesian, dan dengan pandangan
beberapa pemikir Islam kontemporer timur tengah seperti Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Sayyid Qutub yang tertuang dalam kitab tafsir mereka, serta
pemikir-pemikir Indonesia.
B.
Rumusan
masalah
Menindaklanjuti problem korupsi yang menggejala di semua lapisan
masyarakat, penulis dalam makalah ini akan membatasi beberapa permasalahan yang
terkait dengan korupsi, agar tulisan ini lebih terstruktur.
a.
Definisi,
bentuk, dan ciri korupsi.
b.
Latar
belakang korupsi.
c.
Pandangan
beberapa pemikir reformis timur tengah mengenai korupsi dalam beberapa kitab
tafsir mereka.
d.
Akibat
korupsi.
e.
Cara
pencegahan korupsi.
f.
Kesimpulan
dan saran
C. Tujuan penulisan
Penulisan makalah ini, tentunya akan memeberikan beberapa sumbangan
pemikiran dan memiliki beberapa tujuan antara lain;
a.
Mengetahui
korupsi serta beberapa bentuk dan ciri-cirinya.
b.
Memahami
faktor-faktor dalam suatu lingkungan atau seseorang yang melakukan tindak
pidana korupsi.
c.
Mengemukakan
biografi Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Sayyid Qutub serta beberapa
gagasannya.
d.
Mencermati
secara mendalam ekses-ekses yang ditimbulkan korupsi.
e.
Memberikan
upaya alternatif sebagai cara untuk mencegah agar korupsi tidak menjangkit.
BAB II
ISI
A.
Asal
kata serta pengertian korupsi
Menurut fokema andrea sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah kata
korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus(Webster
student dictionary: 1960). Selanjutnya disbutkan bahwa corruption
itu berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua.
Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa eropa seperti
Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan
belanda, yaitu corruptive (korruptie). Kita dapat memberanikan diri
bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu
“korupsi”.[2] Dalam bahasa melayu Malaysia dikenal dengan
resuah atau (kerakusan) yang terambil dari bahasa Arab.[3]
Sementara dalam bahasa Arab kata korupsi
dikenal dengan kata risywahالرشوة yang artinya الوصلة إلى الحاجة بالمصانعة yang artinya
sampai kepada kebutuhan dengan jalan bekerja sama. Pelaku korupsi disebut
dengan ar-rasyi من يعطى الّذى يعينه على الباطلartinya memberi kepada seseorang yang
menolongnya dalam perbuatan jahat. Orang yang disuap disebut al-murtasyi.[4]Dalam
pengertian lain yang dikemukakan oleh Ibnu Fasris kata yang terdiri dari huruf ra,
syin dan huruf illat (waw atau
ya) berarti تسبب لشيء برفق وملاينة artinya menyebabkan sesuatu dengan
halus dan samar.[5]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia karangan
Poerwadarmintokata “korupsi” diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebgainya.[6] Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu
dapatlah di ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu
istilah yang sangat luas artinya. Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsiitumerupakansuatu
yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan
bangsa.[7]
Korupsi terjadi di mana-mana. Tidak hanya di Indonesia melainkan
terjadi pula di berbagai Negara. Dari korupsi yang telah membudaya muncul
istilah yang berbau korupsi yang mewakili simbol-simbol menuju pada pembenaran
perilaku tersebut. Di Indonesia kita mengenal uang pelicin. Tidak hanya itu,
dalam bahasa daerah pun mengenal istilah yang berkaitan dengan korupsi,
seperti:
a.
Orang
Medan mengenal istilah hepengparsigaret .
b.
Di Bandung
terdapat istilah artosrokok.
c.
Orang
Padang menyebutnya uang takuik.
d.
Di
Surabaya dikenal duit rokok.
e.
Orang
Makasar menyebut pamalli’ kaluru.
f.
Dan
sebagainya;
Istilah
Angpau atau amplop merah untuk Negara
RRC, Taiwan, Hongkong, Singapura dan Macau.
Istilah
fakelaki di Finlandia.
Istilah
post de Vin untuk Negara Prancis.
Istilah
Schmiergledbdi Jerman.
Istilah
c-word untuk IMF dan Bank Dunia.
Istilah
baksis untuk Negara Arab.
Istilah
Payola iuntuk Negara Filipina.
Istilah
Metabiche dikenal di Afrika Tengah.
Istilah Propina
untuk Negara di Amerika Latin.[8]
Sekarang di
Indonesia jika orang berbicara menegnai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya
perbuatan jahatmenyangkut keuangan Negara dan suap. Padahal secara esensinya
korupsi tidak hanya itu saja, itu merupakan pengertian korupsi sebatas ciri
finansial-ekonomistik dan ini biasanya tanda masyarakat yang begitu rusak oleh
pembusukan pada tingkat yang ganas. Justru karena snagat ganas, langkah kalap
koreksi terpaksa hanya berkutat pada aspek material, finansial dan tolak ukur
uang. Korupsi bukan hanya soal mencuri uang negara. Seorang akademikusyang
melakukan plagiat atau siswa yang mencontek tidak mencuri uang Negara, tetapi
plagiat dan pencontek adalah perilaku korupsi. Pendekatan yang dapat dilakukan
terhadap maslah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun
kita mendekatinya dari berbagai aspek. Pendekatan sosiologi misalnya, seperti
yang dilakukan oleh Syeid Husen Alatas dalam bukunya TheSosiologyofCorruption,
akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan
politik atau ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan “nepotisme” dalam
kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada
posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentunya hal
itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.[9]
Sementara menurut
Kitab undang-undang Hukum Pidana di Indonesia, tindak pidana korupsi diartikan
dengan berbagai macam definisi diantaranya adalah :
a.
Barangsiapa
dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
negaraatau perekonomian negaraatau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbutan
tersebut merugikan keuangan negaraatau perekonomian negara.
b.
Barangsiapa
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara.[10]
B.
Bentuk-bentuk
korupsi
Korupsi mempunyai bentuk sangat banyak, mulai dari korupsi
kecil-kecilan sampai korupsi kelas tinggi. Sebagaimana yang dikutip oleh
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah bahwa Gerald E Caiden dalam Toward a General
Theory of Official Corruption. Menyebutkan beberapa bentuk korupsi yang
secara umum telah dikenal masyarakat dunia, yakni:
· Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri yang illegal dan penyelundupan.
· Menggelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran
pemerintah, menipu dan mencuri.
· Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen, menggelapkan
uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, dan
menyalahgunakan dana.
· Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiasati, menganiaya,
memberi ampunan dan grasi yang tidak pada tempatnya.
· Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi,
memperdaya dan memeras.
· Mengabaikan keadilan melanggar hukum, memberi kesaksian palsu,
menahan secara tidak sah, dan menjebak.
· Tidak menjalankan tugas, desersi dan menjadi benalu.
· Penyuapan, penyogokan, memeras, mengutip pungutan, dan meminta
komisi.
· Menjegal pemilihan umum, memalsukan kertas suara, dan membagi-bagi
wilayah pemilu-pemilu agar bisa unggul.
· Memakai informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan
pribadi dan membuat laporan palsu.
· Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik negara, dan
surat izin Negara.
· Memanipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan
pinjaman unag.
· Menghindari pajak dan meraih laba secara berlebihan.
· Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, dan konflik
kepentingan.
· Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin, dan hiburan serta
perjalanan yang tidak pada tempatnya.
· Berhubungan dengan organisasi kejahatan, seperti operasi pasar
gelap.
· Perkoncoan dan menutupi kejahatan.
· Memata-matai secara tidak sah, seperti menyalah gunakan
telekomunikasi dan pos.
· Menyalahgunakan stempel, kertas surat kantor, rumah jabatan, dan
menyalahgunakan hak istimewa jabatan.[11]
C.
Ciri-ciri
korupsi
Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Evi Hartanti sebagaiman yang
dikutip bahwa Syed Husein Alatas dalam bukuya SosiologiKorupsi
memberikan ciri sebagai berikut.
a.
Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
b.
Korupsi
biasanya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi tersebut telah merajalela
dan begitu dalam sehingga individu yang yang berkuasa dan mereka yang berada di
dalam lingkungannya tidak tergoda untuk mnyembunyikan perbuatannya, walaupun
demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.
c.
Korupsi
melibatkan elemen kewajiban dan keuntugan timbal balik yang tidak selalu berupa
uang.
d.
Mereka
yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e.
Setiap
perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau
masyarakat (umum).
f.
Setiap
bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan keprcayaan.[12]
D.
Latar
belakang korupsi
Seperti diketahui bahwa perkara tindak pidana korupsi merupakan
perkara ynag dapat digolongkan ke dalam apa yang disebut “White Collar
Crime”yaitu kejahataan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan
tinggi dalam masyarakat dan dilakukan sehubungan dengan tugas atau
pekerjaannya. Jadi perbedaan antara kejahatan korupsi dengan kejahatan lainnya,
hanyalah terletak pada tingkat sosial ekonomi atau pendidikan pribadi
pelaku-pelakkunya.[13]
Menurut pendapat Edwin H. Sutherland dalam bukunya “PrinciplesofCriminology”
yang dikutip oleh Momon Martasaputra, S. H. dalam bukunya “ Asas-AsasKriminologi”.
Dikatakan : “ bahwa kejahatan itu bersumber dari masyarakat, masyarakat memberi
kesempatan untuk melakukan kejahatan dan masyarakat sendiri yang akan
menanggung akibat dari kejahatan itu, walaupun secara tidak langsung, oleh
karena itu untuk mencari sebab-sebab kejahatan adalah di masyarakat. Untuk
melihat apa sebabnya orang menjadi jahat adalah, haruslah dilihat pertama-tama
keadaan masa lampaunya, bagaimana pengaruh masa lampau terhadap orang itu,
tetapi seseorang yang pada masa lampaunyatelah melakukan kejahatan kenakalan
anak-anak belum tentu setelah dewasanya menjadi jahat, mungkin juga ia menjadi
seorang yang baik.[14]
Menurut pendapat DR. Andi Hamzah, S. H muda
pati adhyaksa sebagaimana yang dikutip Djoko Prakoso dkk, dalam kuliahnya di
hadapan peserta Pendidikan Bidang Operasi Angkatan ke-V tahun 1983 di PUSDIKLAT
Kejaksaan RI di Jakarta, tentang kuasa atau sebab orang melakukan perbuatan
korupsi di Indonesia, antara lain disebabkan karena faktor-faktor:
1.
Kurangnya
gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin
hari makin meningkat. Faktor ini merupakan faktor yang paling menonjol, dalam
arti merata dan meluasnya korupsi, seperti di Indonesia.
2.
Latar
belakang kebudayaan atau kultur.
3.
Manajemen
yang kurang baik dan kontrol yang kurang efetif dan kurang efisien sering dipandang
pula sebagai penyebab korupsi, khususnya dalam arti bahwa hal demikian itu akan
memberi peluang untuk melakukan korupsi.
4.
Modernisasi
mengembangbiakan korupsi karena membawa perubahan nilai dasar atas masyarakat,
membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, membawa perubahan-perubahan
yang dilibatkannya dalam bidang kegiatan
sistem politik, memeperbesar kekuasaan pemerintah dan melegalakan
kegiatan-kegiatan yang diatur oleh pemerintah.[15]
Evi Hartati menambahka bahwa faktor-faktor korupsi antara lain:
5.
Lemahnya
pendidikan agama dan etika.
6.
Kolonialisme.
7.
Kemiskinan.
8.
Tidak
adanya sangsi yang keras.
9.
Struktur
pemerintahan.[16]
E.
Biografi
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan sayyid Qutub
Muhammad Abduh dilahirkan di Mahallat Nashr
pada tahun 1266 H atau 1849 M. Abduh dilahirkan dari keturunan seorang ayah
yang bernama Abduh Khairullah, konon nasabnya bersambung sampai Umar bin Khatab.
ayahnya memilki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, hal tersebut salah
satunya terwujud dengan sikap sedikit bicara dan banyak melakukan tindakan yang
riil. Menurut Abduh orang tuanya juga menjaga jarak terhadap orang-orang yang hina. Abduh menyaksikan bahwa penduduk di desanya memuliakan
ayahnya, bahkan karena sangat mengagungkan wibawanya, mereka mengistimewakan
ayahnya ketika menjamu makan. Sifat-sifat lain yang terdapat dalam diri orang
tua Muhammad Abduh adalah menghormati, melayani para tamu dan orang-orang yang
mengembara (musafir). Dia sangat bangga karena dapat menghormati tamu. Bahkan
karena kedermawanan dan rasa supel Abduh Khairullah beberapa pejabat ada yang
tinggal bersamanya, meskipun sebenarnya mereka memiliki harta yang banyak
dan rumah dinas. Menurut Abduh
kewibawaan tidak terkait dengan kekayaan harta.[17]
Sementara ibunya Abduh, juga memiliki
kedudukanyang sama dengan ayahnya diantara perempuan-perempuan di Mahallat Nashr.
Dia sangat menyayangi orang-orang miskin dan mengasihi terhadap kaum lemah. Dan sampai saat ini saya
(Abduh) masih menemui pengaruh yang dibawanya dan wibawa tersebut.[18]
Kehidupan keluarga Muhammad Abduh awalnya
menyedihkan, pertama kakeknya dibunuh dalam penjara karena difitnah oleh
penduduk dan pejabat. Setelah itu ayahnya pindah ke desa kecil bernama ”kanisah
urain”Syibrakhit pusat. Tetapi dia tidak nyaman di sana, karena takut
penyiksaan dan intimidasi. Waktu itu banyak musibah (kejahatan) dilakukan oleh
kaum despotik dan pemfitnah dari kalangan elit birokrat. Ayahku secara
sembunyi-sembunyi pergi ke propinsi barat dan menetap di sytra’. Ayahku memilki
beberapa uang yang digunakan untuk menyewa lahan penduduk setempat guna
bercocock tanam. Ayahku juga memiliki
kecakapan dalam bidang berburu.[19] Desa yang ditempati Abduh pun mengalami tindak despotik yang
dilakukan oleh orang semena-mena dan para penguasa. Hingga orang tuanya dan
masyarakat sekitar di penjara dan tempat tinggal mereka dihancurkan.
Abduh tumbuh seperti layaknya anak-anak di
desanya yang tidak masuk sekolah atau maktab yang biasanya diikuti oleh murid
setelah berumur 10 tahun. Abduh belajar
membaca dan dan menulis di bawah bimbingan orang tuanya. Lalu pindah ke Dar
hafidz al-Quran (semacam pesantren tahfidz) dan menyelesaikan hafalan
al-Quran selama 2 tahun. Setelah itu Abduh dibawa oleh bapaknya ke Thanta
(rumah paman dari pihak ibu) syeikh Mujahid untuk belajar tajwid di masjid
Ahmadi.[20]
Pada tahun 1281 H, Abduh duduk di bangku sekolah dan mulai mempelajari syarahkafrawi
(syarah jurumiyah) di masjid Ahmadi. Dia menghabiskan waktu selama 1,5 tahun di
sana. Namun menurutnya dia tidak memahami apapun karena buruknya metode
pengajaran. Para guru secara tiba-tiba langsung
menggunakan istilah nahwu atau fiqh yang belum dimengerti oleh murid.
Para guru tidak memberikan pemahaman makna atau kandungan terhadap kalimat yang
belum dipahami. Maka dari itu saya (Abduh) putus asa untuk meraih kesuksesan
dalam belajar. Lalu saya lari atau membolos dari pelajaran dan bersembunyi
di rumah pamanku selama 3 bulan. Akhirnya saudaraku menemukanku dan membawaku
ke masjid Ahmadi dan dia memaksaku untuk belajar. Namun, saya menolak dan
berkata kepadanya bahwa saya tidak akan sukses dalam belajar. Abduh ingin
pulang ke desa untuk bertani layaknya yang dilakukan mayoritas orang dan
kerabat. Akhir perdebatan, aku langsung mengambil pakaian dan barang berharga,
lalu pulang ke Mahallat Nashr. Dengan niat tidak akan pernah belajar lagi. Saya
menikah ketika berumur 16 tahun atau tepatnya pada tahun 1282 H atau 1869 M.[21]
Ini adalah pertama kalinya Abduh mengetahui tenang metode
pengajaran di Thanta yang 95% sama
dengan al-Azhar. Metode ini tidak akan membantu para pendidik untuk bersahabat
dan berkomunikasi dengan murid, terutama yang tidak akrab dengan metode
pengajaran seperti ini. Metode ceramah (guru menyampaikan apa yang diketahui
dan tidak diketahuinya, tanpa mempertimbangkan mahasiswa dan tingkat kesiapan
mereka). Bahkan mayoritas siswa tidak paham dengan beberapa pelajaran, namun
mereka menutupinya dan menginginkan untuk melanjutkan pelajaran ke tahap yang
lebih tinggi (dewasa,) padahal mereka masih berumur kanak-kanak.[22]
Selang 40 hari setelah Abduh menikah, orang tuanya datang dan
berdiskusi agar dia pergi ke Thanta guna
menuntut ilmu. Setelah berdiskusi, maka
Abduh tidak merasa keberatan untuk menaati perintah tersebut. lalu dia dan
kerabatnya memacu kuda ke Thanta, namun di tengah perjalanan badai gurun yang
panas menerjang. Saudaraku berhenti kaena tidak kuat, sementara saya
melanjutkan perjalana ke Kanisah Urain, tempat bibik ayahku selama 15 hari.[23]
Suatu hari pamanku (Abduh), syeikh Darwis
pengikut tarikat Syadziliah dan seorang ulama yang hafal al-Quran, muwattha’
dll, menghampiriku. Dia membawa kitab yang berisi surat-surat gurunya dan
menyuruhku membaca kitab tersebut,karena penglihatannya sudah lemah. Aku
(Abduh) sangat tidak suka terhadap membaca buku, ketika dia menyodorkannya di
depanku,buku tersebut langsung kubuang jauh. Namun,
syeikh Darwis tersenyum dan menampakkan jiwa kesabaran dan kelembutan. Dia tak
henti-hentinya menemaniku hingga aku mengambil kitab tersebut dan membacanya
beberapa baris. SyeikhDarwis mulai menafsirkan kandungan makna yang telah saya
baca dengan ungkapan yang sangat jelas. Di hari lain dengan peristiwa yang sama
setelah aku membaca buku tersebut,syeikh Darwis menjelaskan keterangan hingga
tiga jam dan saya tidak bosan dengan penjelasan tersebut. Oleh karena itu saya
meminta kepada syeikh untuk meninggalkan buku tersebut agar aku bisa
membacanya. Syeikh sangat senang dengan hal tersebut. Kandungan surat-surat
tersebut adalah definisi zuhud, sufi, adab, etika jiwa, riyadhah, akhlak
karimah dan penyuciannya dari kotoran dan kehinaan.[24]
Di bulan syawal saya pergi ke Al-Azhar untuk belajar kepada para
syeikh. Ketika belajar aku melakukan uzlah dengan tidak terlalu banyak bergaul
dengan teman-teman. Setiap akhir tahun saya pulang ke Mahallat Nashr. Ketika
itu saya (Abduh) ditanya oleh syeikh Darwis, apa saja yang telah kamu baca. Saya
menjawabnya dengan beberapa buku yang telah kupelajari. Syeikh Darwis menimpali
lagi apakah kamu tidak belajar manthiq, hisab, dan dasar teknik. Saya
mengatakan bahwa di Azhar ilmu-ilmu ini tidak populer. Dia menambahkan lagi,
seorang yang mencari ilmu tidak akan merasa lemah (putus asa) untuk mendapatkannya
meskipun ilmu tersebut berasal dari manapun.[25]
Pada tahun 1870 M atau 1286 H Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir.
Abduh serta teman-temannya berdiskusi danbelajar tentang filsafat, matematika,
etika dan politik kepada tokoh pemimpim pembaruan itu.[26]
Semenjak saat itu Abduh lebih banyak bersinggungan dengan dunia luar dan
memiliki bergam aktivitas, mulai mengajar di al-Azhar, Dar al-Ulum, menulis
artikel di surat kabar al-Ahram dan menjadi pemimpin redaksi waqiiyahMishriyah
hingga terlibat dalam kegiatan politik praktis.[27]
Bahkan dengan gerakan tersebut, ia termasuk salah seorang yang ditangkap dan
dipenjarakan selama tiga bulan lebih. Lalu ia dibawa ke depan pengadilan dan
dijatuhi hukuman buang ke luar Mesir. Abduh juga pernah ke Paris bergabung
dengan Jamaludin Afghani untuk membentuk gerakan yang bernama Jamaat al-Urwat
al-Wutsqa.[28]
Penulisan tafsir al-Manar sendiri bermula ketika ia diminta oleh
teman sekaligus muridnya Rasyid Ridha untuk mengajar tafsir di al-Azhar. Dia
menyanggupi hal tersebut. Namun,awalnya peminat kajian tafsir ini sedikit,
hingga ia menyampaikan kepada kepada mrid-muridnya. Selang beberapa waktu,
pelajaran yang awalnya tidak mendapat tempat dikhalayak umum, menjadi sebuah
kajian yang sangat menarik dan mendapat sambutan antusias dari berbagai lapisan
masyarakat. Rasyid Ridha menjadi murid kesayangan sekaligus penulis terhadap
ceramahnya, dan tulisan ini dimuatnya di majalah al-Manar setelah Abduh
melakukan beberapa koreksi. Namun, Abduh menyampaikan tafsir hanya sampai surat
an-Nisa’ ayat : 125, selanjutnya diteruskan oleh muridnya Rasyid Ridha.[29]Maka
dari itu tafsir al-Manar adalah tafsir yang ditulis oleh dua ulama pembaruan.
Pemikiran Abduh sendiri sebenarnya adalah seorang pemikir yang
bebas tanpa terbelunggu oleh taklid. Namun dalam masalah teologi Abduh sedikit
banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Mu’tazilah. Hal ini sebagaimana
yang dikutip oleh Rif’at Syauqi dari hasil penelitian Harun Nasution. Sementara
dalam maslah syari’ah dan berijtihad Muhammad Abduh menjadikan al-Quran dan
sunnah sebagai sumber pokok, sedangkan mashlahat mursalah merupakan salah
satu metode yang dipergunakan dalam berijtihad. Dalam memahami al-Quran sebagai
sumber pokok, Muhammad Abduh tidak selamanya berpegang kepada dalalah
(petunjuk) lahir nash. Untuk itu ia berpatokan kepada suatu kaidah yang populer
sebagai berikut.
إنّ
العبرة بالمقاصد والمعنى لابالألفاظ والمباني
Sesungguhnya yang perlu diperhatikan dari formula nash adalahtujuan dan pengertiannya, bukan lafal dan tulisan yang tertera.
Dengan demikian, tidaklah mengherankam apabila
ia tidak memahami ayat al-Quran secara literal, tetapi menakwil dan mengambil
pengertian atau pemahaman dari ruh yang terkandung dalam suatu ayat atau nash.[30]Karangan-karangan
Muhammad Abduh antara lain; 1. Risalat at-Tauhid. 2. Syarh Nahj
al-Balghah. 3. Al-Islam wa an-Nashraniyyah. 4. Syarh Maqamat Badi’ az-Zaman
al-Hamdzani. 5. ar-Raddu ‘ala hanutu dll.
Sementara Rasyid Ridha nama aslinya adalah Muhamad Rasyid bin Ali bin Ridha bin Muhammad Syamsudin. Nasabnya
bersambung sampai ke sayyidina Husein. Dia dilahirkan di Qalmun, Syampada tahun
1287 H. Rasyid Ridha adalah seorang reformis dan pemilik majalah
al-Manar. Alim dalam bidang hadits dan sastra. Ia berkunjung ke Mesir menjadi
murid Abduh pada tahun 1315 H. Ridha menyebarluaskan ide-idenya tentang
pembaruan di majalah mesir. Dia mengkompromikan antara Islam dan kehidupan
kekinian. Ridha juga pernah mengikuti aktivis kebangsaan di era penjajahan
Prancis, ketika pemimpin Syiria mengajaknya untuk membebaskan bangsa Syiria
agar meredeka. Namun, di tengah-tengah perjuangannya karena ada suatu masalah dengan salah satu pejuang lain, ia memutuskan untuk kembali ke Mesir dan meninggal
pada tahun 1354 H.[31]
Karangan rasyid Ridha antara lain; 1. Al-hikmah
as-syar’iyah. 2. Majallah al-Manar. 3. Tarikh al-Ustadz al-Imam
Muhammad Abduh. 4. Al-Wahyu al-Muhammadi. 5. As-Sunah wa
as-Syi’ah dll.
Adapun jejak mufassir ketiga yaitu Sayyid
Quthub. Nama aslinya Sayyid bin Qutub bin Ibrahim bin Husain bin Syadzili.
Lahir pada tahun 1906 di kampung Musya, daerah sebelah selatan kota Usyut dari
keluarga keturunan Hindia yang berada (kaya raya)[32].
Seperti halnya
anak-anak sebayanya, dia habiskan masa kanak-kanak di kampung halamannya dan
menuntut ilmu di Kutabdan madrasah ibtidaiyyah di tempat kelahirannnya.
Usia 13 tahun dia melanjutkan pendidikannya di Kairo. Lalu tahun 1925 dia masuk
sekolah perguruan dan tahun 1928-1933 mengikuti pengajaran di Dar Al-Ulum
(Kairo) untuk memperoleh gelar sarjana[33].
Di awal
permulaannya dalam menulis, Qutub memiliki corak, motif, dan gaya tulisan
sebagaimana penulis Mesir lainnya, yakni nasionalis, liberal, dan sekuler. Bahkan
dia begitu membenci produk-produk barat yang mulai berkembang di negerinya,
baik dari sektor ekonomi, politik, sosial, pendidikan, maupun budaya. Terbukti
pernyataan yang ia tulis dalam suratnya yang dikirim kepada temannya, Abbas
Khadr bahwa, “Amerika cocok menjadi pabrik dunia, sehingga ia akan melakukan
pekerjaan yang terbaik. Tetapi jika semua dunia adalah Amerika, tidak diragukan
lagi itu merupakan bencana bagi dunia” dari pernyataannya itu tampak jelas
penolakan budaya barat masuk ke negerinya, Mesir. Meskipun Qutub sendiri pernah
belajar di Amerika dan menyenangi sistem pemerintahan Amerika[34].
Tahun 1945
Sayyid menerbitkan bukunya yang pertama dengan judul Al-Tashawwur Al-Fanni
Fi Al-Qur’an. Dan pada tahun 1948 beliau menerbitkan lagi buku yang berjudul
Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Islam. Kitab kedua ini berpengaruh pada
para perwira negara dan mendahului aliran salafiah.
Dalam kitab itu
terdapat konsep pemikiran Qutub mengenai pandangannya terhadap dunia barat,
yaitu bahwa barat tidak memiliki nilai tambahan untuk memberikan kontribusi
pada umat manusia sedunia. Beliau pun memandang bahwa nilai-nilai kemanusiaan
berada di ujung/tepi jurang, dikarenakan mengalami kemerosotan nilai seperti
zaman jahiliyyah, yaitu dunia sedang dikelilingi budaya thagut Yunani maupun
Persia[35].
Sifat Qutub
yang radikal terpengaruh oleh Abu Al-A’la Al-Maududi (salah satu penggerak
partai Ikhwanul-Muslimin yang berasal dari Pakistan) pada tahun 1940-an[36].
Karena sama-sama penggerak partai persatuan umat muslimin Mesir ini, Sayyid dan
Al-Maududi memiliki kesamaan pandangan bahwa islam merupakan suatu agama yang
sempurna dan lengkap sehingga tidak perlu bahkan jangan meniru pola atau sistem
yang dimiliki barat.[37]Pandangan
radikalnya terhadap dunia barat tentu mempengaruhi corak, motif, dan gaya
penulisannya
Jika kita urai
dalam buku Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Islami itu, reformis islam
ini memiliki pandangan filsafat radikal
sebagai berikut.[38]
1.
Dua
konsepsi berada dalam pertentangan mutlak. Beliau selalu membandingkan islam
dengan jahiliyyah, iman dan murtad, pemerintahan kerajaan surga dan kerajaan
manusia, serta tuhan dan setan.
2.
Seluruh
dunia itu dalam keadaan murtad (masih mengalami zaman Jahiliyyah) termasuk negara
dan kerajaan islam
3.
Hanya
Islam yang benar dan menafikan agama lain baik dalam hal filsafat, teori,
maupun ideologi.
4.
Kredo
penjaminan, yakni dua kalimat syahadah sebagai bentuk implementasi iman
5.
Perubahan
bisa terjadi dengan adanya harakah (pergerakan)
6.
Revolusi
akan terjadi melalui keimanan dari luar masyarakat masa kini
7.
Perubahan
merupakan tindakan pembebasan individu seseorang dari perbudakan
8.
Jihad
itu perintah yang dituntut terus-menerus untuk membebaskan dunia sehingga hanya
islamlah yang tampil (berperan)
9.
Yahudi
dan Kristen adalah kafir
10.
Sains-sains
yang ditemukan dan dikembangkan oleh umat nonmuslim bisa diterima dan digunakan
jika tidak ada penemuan dari kalangan muslim sendiri
11.
Islam
tidak memandang rendah terhadap materi
Karena tindakan
radikalnya dianggap membahayakan pemerintahan Nashir saat itu, maka dia dihukum
penjara selama 10 tahun bersama teman-teman Ikhwan Al-Muslimin.
Baru satu tahun
ia dapat menghirup udara luar, pada tahun 1965 ia dijebloskan lagi ke sel
tahanan dan pada hari Senin, 29 Agustus 1966 ia dieksekusi bersama
teman-temannya.
Metodologi
Tafsir al-Manar
Muhammad Abduh
adalah seorang reformis diantara ulama Azhar. Ia melepaskan diri dari taklid
dan menggunakan akal secara
umum bebas. Dalam
menjelaskan al-Quran ia tidak jumud dan terpaku kepada para pemikir salaf atau
ulama terdahulu. Di samping itu, ia memiliki pemikiran yang berbeda dengan para
pendahulunya, sebab itu mayoritas ulama merasa sentimen terhadap Abduh.Namun,
disekelilingnya para mahasiswa dan murid-muridnya menjadi pengagumnya.
Kebebasan berfikir dan revolusi terhadap pemikiran yang telah lampau memiliki
pengaruh yang kuat terhadap metodologi yang ditempuh oleh Abduh. Dia berbeda
dengan beberapa mufassir terdahulu., karena syeikh memahami Kitabullah sebagai petunjuk kebahagian manusia di dunia dan
akhirat. Inilah yang menjadi tujuan tertinngi al-Quran, selain itu hanyalah sebagai komplementer.[39]
Abduh
mengkritik para mufassir yang melupakan tujuan al-Quran, sebagai petunjuk dan
hidayah. Mereka secara umum mengelaborasi al-Quran dari sisi bentuk makna,
nahwu dan perbedaan fiqh. Hal-hal tersebut dapat melalaikan tujuan Kitabullah
dan menghilangkannya.[40]
Tidak hanya itu, sang reformis ini juga menggunkan metode educationumat
Islam agar mereka mampu bangkit. Abduh juga mengemukakan etika-etika al-Quran
seperti keberanian, keluhuran dll.[41]
Meskipun
demikian, dalam sistematikanya Abduh tetap menempu cara yang sama dengan
mayoritas mufassir lain. Dia menjelaskan kandungan al-Quran sesuai dengan
urutan surat (tartib suwar) bukan tartibnuzul serta tidak lupa
memeberikan keteranagn berupa munasabah (korelasi) baik antar surat atau
antar ayat. Abduh dalam sumber tafsirnya
juga merujuk ayat-ayat lain yang masih satu tema, sunnah rasul dan pendapat
sahabat dan tabiin. Namun keistimewaannya dia tidak tidak menyantumkan israiliyyat,
tidak menspesifikasikan yang samar (mubham), tidak membahas seni atau
istilah-istilah ilmiyah dan tidak berlandaskan hadits yang palsu. Dia
menjelaskan ayat secara indah dan menyingkap makna-makna dengan ungkapan yag
mudah.[42]Yang
paling istimewa dari tafsir ini adalah perahatian terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam pada waktu itu, dan memberikan
arahan untuk menanggulangi sebab-sebab kemunduran masyarkat Islam, kemungkinan
membangun masyarakat yang kuat menuju umat yang berlandaskan al-Quran.[43]
Sementara metodologi yang digunakan penerusnya Rasyid Ridha, secara garis besar
dalam melanjutkan magnum opus gurunya sama. Namun, dia lebih menekankan
elaborasi terhadap beberapa permasalahan, terutama yang berkaitan dengan
problem sosial kemasyarakatan.[44]
Sehingga
kesimpulannya menurut Abdul Hayy Farmawi, bahwa tafsir al-Manar merupakan
tafsir dengan corak adab ijtima’i. tafsir adab ijtima’i berupaya
meningkap keindahan bahasa al-Quran dan mukjizat-mukjizatnya; menjelaskan makna
dan maksudnya; memperlihatkan aturan-aturan al-Quran tentang kemasyarakatan;
dan mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan
permaslahan umat lainnya secara umum. Semua itu diuraikan dengan memperhatikan
petunjuk al-Quran yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.[45]
Metode
yag dipakai dalam tafsir Fi Dhilalil-Qur’an ialah menggunaka corak tafsir
bil-ma’tur.
Beliau mentafsirkan ayat al-Qur’an itu dengan memberikan kontribusi
melalui Al-Qur’an, hadits.
A.
Al-Qur’an
B.
Al-Hadits
Ketika
memberikan kontribusi tafsir dengan hadits beliau memiliki metode sebagai
berikut.
1.
Mengambil
hadits-hadits yang berbentuk umum, kecuali hokum-hukum syariat yang pokok.
Beliau tampaknya lebih menyelidiki hadits yang dating kepada kita149
2.
Menafsirkan
di sebagian tempat dengan makna yang terkandung dalam hadits 162
3.
Menggunakan
metode yang dipakai ulama terdahulu yakni menyebutkan sumber-sumber keterangan
yang dia ambil tanpa batas dengan menyertakan nomor juz, halaman, pembahasan,
maupun babnya163
4.
Tetkala
mengeluarkan dua hadits ataupun lebih yang satu makna namun berbeda lafal, maka
beliau tidak menisbatkan lafalnya kepada sahabat, tetapi ditakhrij secara harfi
berdasarkan matan haditsnya165
5.
Tidak
menyebutkan sanad hadits secara lengkap kecuali di segelitir tempat saja166.
Bahkan terkadang tanpa mencantumkan sanad dan tidak mentakhrij haditsnya
C.
Qaul
AL-Shahabat 176
D.
Memperhatikan asbabunnuzul, mengawali
awal surat dengan pemikiran tentang tema yang ada dalam surat tersebut. Setelha
itu beliau membagi dalam waqaf-waqaf dalam satu juz. Lalu mentafsirkannya
perayat. Tidak lupa beliaupun menyebutkan asbabunnusul di awal surat yang ada kaitanya
ataupun sebelum awal surat.
Pandangan
Muhammad Abduh, rasyid Ridha dan Sayyid Qutub terhadap korupsi
Di
dalam al-Quran, redaksi yang secara literer menyebut kata risywah
(korupsi) tidak dijumpai. Meskipun demikian, bukan berarti Islam melegalkan
praktik tersebut dan semisalnya seperti gratifikasi. Hal ini terbukti dengan adanya hadits
nabi yang diriwayatkan olehTirmidzidari Abi
Hurairah yang isinya secara tegas
melarang perilaku tersebut.
عن ابي هريرة قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم لعن الله الراشي
والمرتشي في الحكم
وفي رواية أخرى عن ابن عمر بلا الحكم.
Artinya:
dari Abi Huarirah, Nabi Muhammad Saw bersabda Allah melaknat orang yang
melakuakn tindakan suap atau korupsi dalam hukum. Dalam riwayat Ibn Umar tidak
ada kata tambahan dalam hukum.
Dalam syarah misykah, korupsi dalam hadits tersebut adalah sesuatu yang
diberikan untuk membatalkan yang hak (benar) dan membenarkan yang bathal
(salah).[46]
Sebenarnya al-Quran secara implisit melarang tindakan korupsi jika kita benar
mencermati redaksinya. Hal ini terbukti adanya unsur kesamaan antara korupsi
dengan tema-tema yang mengacu terhadap itu. Seperti kata اكل الباطل yang terdapat dalam beberapa
ayat al-Quran, kata ini memiliki arti memakan harta secara bathal atau
tidak sah. Redaksi ini tentunya lebih umum daripada korupsi. Namun beberapa
penafsir kontemporer masih tetap menyinggunnya dalam karya mereka karena hal
itu masih sangat relevan. Seperti penfsiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh
terhadap surat al-Baqarah : 188.
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا
فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)
Artinya : janganlahkalian memakan harta kalian
secara bathal (tidak sah) dan memebrikan harta tersebut kepada para hakim agar
suatu kelompok memakan harta secara berdosa sedangkan kamu mengetahui.
Muhammad
Abduh mengomentari ayat ini dengan penjelasan “ ayatinikhitabnya secara umum
terhadap semua orang mukalaf dan yang dimaksud janganlah diantara kalian
memakan harta sebagian yang lain” pemilihan lafadz amwalikum
(tentunya harta diri sendiri) mengindikasikan kesatuan umat dan
pertanggungjawabannya, ayat ini juga mengisaratkan sebuah warning (peringatan)
bahwa menghargai harta orang lain dan memeliharanya, itu berarti menghormati
dan menjaga hartanya sendiri. Sementara dhamir kum (kalian) yang
terdapat dalam amwal merupakanillatlarangan dan penjelasan hikmah suatu
hukum. Seolah-olah bermakna seseorang tidak boleh memakan harta orang lain,
karena hal itu merupakan jinayat (tindak pidana) terhadap diri sendiri. Karena
dia sebenarnya termasuk salah satu bagian dari umat.Dan tentunya akan terkena
imbas dari setiap tindak pidana. Dengan menghalalkan harta orang lain berarti
dia telah menggerakkan orang lain untuk mengambil hartanya sendiri ketika
ia mampu. Dan menurut Abduh ini merupakan sesuatu yang ijaz (pendek)
namun memiliki karakter i’jaz.[47]
Sementara
kaitannya dengan korupsi adalah ketika membahas lafadz وَتُدْلُوا
بِهَاdhamirha dikatakankembali kepda harta benda. Maknanya janganlah kalian memberikan
harta kepada para hakim sebagai bentuk (korupsi) dan orang-orang akan berkata
bahwa korupsi adalah suap dalam masalah hukum.Ada yang menjelaskan redaksi itu
dengan “dan janganlah kalian menyerahkan
putusan harta benda kalian kepada hakim.”Abduh dalam ayat ini juga menyebutkan
sabab nuzul ayat ini yang berkenanan denga perselisihan yang terjadi antara
Abdullah ibn Asma’ al-Hadhrami dan Imri al-Qais yang dihakimi oleh nabi.[48]
Sementara
penafsiran Qutub sendiri awalnya hanya menukil terhadap penafsiran yang
dilakukan oleh Ibnu Katsir (ma’tsur) ini pub sebenarnya berupa sababnuzul.
Dari Umi Salamah bahwa Rasul berkata ”saya hanyalah manusia, jika datang kepadaku
sebuah perslisihan, mungkin saja salah satu pihak telah mengubah bukti-bukti
yang lain. Kemudian saya memberi putusan dan ternyata putusan tersebut adalah hak orang lain. Maka putusan tadi sebenarnya percikan api neraka.” Maka bawalah (ambillah)
atau tinggalkanlah.[49]
Antara
dua penafsiran ini, tampaknya Abduh lebih memberikan penafsiran yang lebih
komprehensif dengan memberikan stressing (penekanan) dalam penggunaan
bahasa dalam ayat awal. Sementara dari sisi tema meskipun Abduh tidak mengeluarkan pendapat orisinilnya, apakah ayat ini berakaitan dengan korupsi. Namun
dia mengutip pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat ini larangan korupsi.
Janganlah kalian menyogok para hakim dalam urusan perkara. Sementara Qutub sendiri tidak meyinggung terhadap ayat ini secara spesifisik. Malahan dia
menjelaskan bahwa hal-hal perkara dalam peradilan (hukum) adalah terkait dengan
ketakwaan kepada Allah, sebagaiman yang tertera dalam beberapa tema-tema lain seperti
Qisas, wasiat, puasa dan pasan Allah bagi yang mengimani sebgian kitab Allah
dan kafir terhadap yang lain. Berarti telah kafir. Dan pendapat ini tentunya lebih didasari
terhadap konsep membangun hukum Islamiyah. Namun sebenarnya kedua
penafsiran tersebut telah tercantum dalam tafsir al-Kasyaf dan tidak perlu ada
kontra diksi.[50]
Ayat yang kedua adalah surat an-Nisa’ ayat :
28.
يا ايّها الّلذي أمنوا لا تأكلوا اموالكم بينكم
بالباطل الاّ ان تكون تجارة عن تراض منكم ولاتقتلوا انفسكم انّا الله كان بكم
رحيما.
Artinya : hai oran-orang yang beriman
janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan bathal, kecuali dengan cara
perdaganagan yang saling merelakan. Dan janganlah kalian membunuh diri
kalian sendiri sesungguhnya Allah terhadap kalian sangat sayang.
Mengidzafahkan
lafadz amwalterhadap dhamir kum dan tidak diucapakan la
ya’kulu ba’dhukum untuk mengingatkan beberapa hal yang sering diutarakan oleh muhammad Abduh
tentang tanggung jawab umat dalam hak-hak dan kemaslahatan. Seolah-olah Allah
berfirman sesungguhnya harta seseoraang diantara kalian adalah harta umat
kalian, jika kalian membolehkan memakan harta orang lain secara bathal, seolah-olah dia telah membolehkan orang lain memakan harta dan
menyerang hak-haknya karena orang lain juga mempunyai dua tangan.
Abduh
juga menambahkan bahwa dalam ayat ini terdapattanbih tentang maslah lain,
yaitu bahwa orang yang menguasai dan memiliki harta harus memberi sumbangan
kepada orang yang membutuhkan. Begitu
pila orang yang
membutuhkan tidak boleh mengambil sesuatu harta orang lain dengan cara yang
salah. Seperti mencuri, ghasab dll. Juga
tidak boleh bagi pemilik harta untuk kikir terhadap yang membutuhkan. Sementara
penjelasan bathil sendiri
sebagaimana yang kami katakan bahwa selama tidak menukar
dan mengganti sesuatu secara benar (hak). Syariat telah mengharamkan mengambil
harta tanpa ada imbalan atau ganti yang benar menurut adat. Dan orang yang
mengambilnya pun harus merasa ridha.[51]
Penafsiran
Qutub terhadap ayat ini adalah berupa fungsi ayat yang diturunkan untuk
aplikasi penyucian terhadap kehidupan jahiliyyah dalam masyarakat Islam. Permintaan
bantuan hatinya orang-orang Islam dengan panggilan يا ايّها الّلذي أمنو untuk tidak memakan harta dengan
cara yang bathal mencakup setiap cara atau langkah perputaran uang yang
tidak diridhai oleh Allah. Seperti menipu, korupsi, berjudi, menimbun
bahan-bahan kebutuhan pokok agar harganya melambung dan semua jenis transaksi
yang diharamkan termasuk riba. Kami tidak bisa memastikan apakah ayat ini turun
setelah pengharaman riba atau sebelumnya. Jika turun sebelum riba
berartiakan menjadi jembatan untuk
melarang riba, karena riba merupakan sarana yang hebat untuk memakan harta
secara bathal. Jika turun setelahnya maka riba
termuta dalam ayat ini karens merupakan macam-macam transaksi yang
diharamkan kecuali perdagangan.[52]
Dari
penjelasan diatas meskipun Abduh secara terang-terangan tidak menyinggung
tentang problem korupsi sebagai contoh dalam redaksi bathal, bukan
berarti Abduh lupa akan masalah yang dihadapi di masyarakat Mesir dll. Terutama
tentang kejahatan suap menyuap, dalam ayat ini dia menggagubungkan antara pandangan syara’ dan
pandangan budaya (adat). Dan ini menurut penulis masih sejalan dengan metodenya yang ditempuh yaitu pendekatan yang berbasis kemasyarakatan
dan mengutamakan mashlahah.
Sementara sayyid
Qutub, meskipun ia memasukan korupsi dalam contoh harta yang bathal.
Namun ia lebih mengetengahkan tentang pembahasan riba, padahal. Jika dilihat
dari dzahirnya ayat, munasabah mauupun sababnuzul ayat ini
tidak terlalu menspesifikasikan tentang riba. Karena ayat-ayat riba pun sudah
ada porsinya tersendiri.
Surat an-Nisa’ayat : 161.
وَأَخْذِهِمُ
الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
Rasyid Ridha
langsung menafsirkan ayat tersebut berupa “ karena mereka (kaum yahudi)
mengambil riba yang telah diharamkan melalui lisan-lisan nabi mereka. Tetapi
taurat yang mereka miliki sekarang hanya menjelaskah keharaman mengambil riba
dari pihak yang sama-sama satu bangsa yaitu yahudi dan saudara-saudara mereka
bukan yang lain. Dalam kitab perjanjian yang lain pun mengatakan bahwa janganlah
kalian memberikan pinjaman kepada saudara-saudaramu”. Rasyid Ridha
mengomentarai tulisan yang berada dalam kitab perjanjian ini, dengan kalimat “
kita tidak menerima bahwa ayat ini adalah taurat yang ditulis Musa. Karena
salinannya telah disepakatioleh orang Yahudi dan Nashrani untuk dihilangkan.
Tulisan ini ditulis setelah mereka terasing dan telah mengalami tahrif
dengan bukti yang banyak.[53]
Dalam kata وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِRidha
menafsirkannya seperti korupsi, khianat dll. Karena orangyang mengambil harta
orang lain, tanpa ada ganti (muqabil) adalah termasuk orang yang memakan
harta bathal.[54]
Sayyid Qutub
menafsirkan ayat itu dengan bahasan bahwa ayat ini masih menjadi bagian-bagian
terhadap bagian sebelumnya tentang kemungkaran yahudi, kedzaliman mereka dan
banyak melakukan penyelewengan dari jalan Allah, mereka terus menerus dalam hal
ini –mereka tidak bodoh dalam mengambil riba juga bukan tidak adanya perintah
mereka dilarang-namun,- mempraktikan memamakan harta orang secara bathal baik
dengan riba atau perantara lain.[55]
Rasyid Ridha dalam ayat ini lebih banyak
memberikan kritik terhadap kitab-kitab perjanjian lama atau baru. Yang telah
mengalami tahrif salah satu temanya adalahriba (berkaitan dengan sejarah
yahudi). Namun tidak hanya sebatas itu saja,Ridha juga memberikan penafsiran
terhadap aklul bathil yang dilakukan oleh orang-orang yahudi dengan
korupsi, khianat dll. Dan ridha dalam closing statmennya bahwa ayat ini
berlaku general atau dengan al-‘Ibrah bi umum al-lafdz la bikhusus
as-sabab.Qutubdalam ayat ini lebih menekankan tentang tindakan despotik dan
penyelewengn yang dilakukan orang-orang Yahudi baik dari era sejarah sebelum Nabi
Muhammad hingga generasi sekarang. Dia tidak mengulas dari kitab perjanjian
lama sebagaimana yang dilakukan Abduh. dan Qutub tidak menjelaskan Ibrah bi
umumal-Lafds la bi khusus as-Sabab. Pendapat Rasyid Ridha sama dengan yang dikemukakan oleh
ar-Razi bahwa ketika Allah menggambarkan sifat orang-orang yahud atau Bani
Israil itu berarti beberapa orang mu’min termasuk di dalamnya.[56]
Surat al-Maidah ayat 42.
سَمَّاعُونَ
لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ
أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ
حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
(42)
Artinya : mereka orang-orang yahudi lebih senanjg mendengar berita
bohong dan memakan harta yang haram jika mereka datang kepadamu.Maka putuskanlah
diantara mereka atau berpaling dari mereka, jika kalian berpaling dari mereka
maka itu tidak mngapa, jika kalian menghukumi diantara mereka putuskalah dengan
adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.
Dalam pembahasan kali ini penulis
megangkat tema yang memiliki unsur kesamaan dan korelasi dengan korupsi yaitu اللسُّحْتartinya setiap sesuatu keharaman yang penyebutanya buruk atau
jelek. Ada yang mengatakan bahwa kata ini berarti pekerjaan yang buruk, jelek
dan haram. Pelakunyapasti tercela dan mendapat aib. Namun dari kata as-Suht
ini terdapat derivatnya yang menunjukan makna korupsi (ar-risywah)
sebagaiman drai hadits ibnu Rawhah dia berkata bahwa Nabi Muhamamad mengatakan
kepada Yahudi Khaibar “ pakah kamu memeberiku keharaman (as-suht)
ketika mereka hendak menyuap nabi dalam masalah kebun kurma.[57]
Meskipun menurut
al-Fara’ kata ini bermakna (asyaddul ju’) sangat lapar. Rasyid Ridha
dalam ayat ini memberikan keterangan bahwa rahib-rahib Yahudi dan pemimpinnya
ketika ayat ini turun, banyak melakukan dusta dan memakan harta-harta hina.,
seperti korupsi dll. Sebagaimana perilaku umat-umat lain ketika telah mengalami
penurunan, yahudi sekarang dalam kondisi orang-orang yang bangsanya sekarang
lebih baik daripada orang yang mencela dan menghina mereka. Ridha juga menambahkan
dengan melakukan kritik terhadap orang-orang yang lupa dengan keadaan mereka
yang selalu menghina nenek moyang orang-orang Yahudi yang pernah melakukan
kesalahan dan kekuranagan. Padahal mereka yang menghina orang-orang tersebut
adalah para cendikiawan dan pemimpin Islam para hakim agung dan politikus yang
sering melakukan kebohongan dan memakan harta haram bahkan mereka menerima suap
dari para mahasiswa (pelajar) agar memberikan syahadah license palsu
bahwa mereka menjadi ulama.[58]
Beberapa mahasiswa
Azhar ada yang pernah menemui Abduh dan memberinya 30 junaih, untuk membantunya
dalam ujian (imtihan)license karena Abduh mengetahui bahwa mahasiswa
tersebut tidak memepersiapakan ujian dan tidak pantas mendapatkan license, maka Abduh tidak bisa mngendalikan
diri sehingga memukul mahasiswa tersebut. Abduh berkata : kamu meminta saya
yang sudah berusia seperti ini untuk menipu kaum muslim ! kamu akan merusak
agama mereka karena kebodohanmu, dengan beberapa junaih yang hina ini. Saya
tidak akan mengotori umur saya. Jika aku termasuk orang-orang yang memudahkan
dalam urusan ini pastilah aku termasuk orang yang hartanya yang paling banyak.[59]
Rasyid Ridha menafsirkan as-suht lebih umum daripada korupsi
menurut riwayat umar yang menerjemahkan as-Suht dengan tarif dalam
prostitusi, harta korupsi dll. Meskipun sahabat-sahabat yang lain seprti Ibnu Mas’ud
menafsirkannya dalam korupsi Beragama, Ibnu Abbas dalam hal korupsi hukum,
sementara menurut Ali korupsi secara umum.[60]
Semenatra qutub dalam redaksi ini menafsirkan dengan
harta yang haram seperti riba, korupsi, dan harga jual beli fatwa yang
disampaikan oleh beberapa orang dalam masyarakat yang telah melakukan
penyimpangan terhadap manhaj Allah. Qutub menambahkan bahwa hal-hal yang
haram disebut as-Suht, karena memutus dan menghilangkan berkah.[61]
Dari penjelasan di atas lengkaplah
bahwa Abduh ternyata telah mengenyam banyak pengalaman kehidupan, sehingga
dalam penafsirannya ia memamg benar-benar berangkat untuk melakukan suatu
restorasi dan perubahan menuju yang lebih baik dalam masyarakat. Seperti
pemberantasan korupsi meskipun belum terumuskan secara spesifik bagaimana
langkahnya. Namun ia tetap menekankan kesatuan umat untuk melakukan perubahan
tersebut tanpa mengabaikan kearifan budaya Islam. Sementara Qutub, ia
sebenarnya juga memiliki arah yang sama dengan Abduh, namun ia lebih mengutamakan
perubhan tersebut dimulai dari sistem pemerinthan yang Islam.
Tidak mungkin seorang Nabi
berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat
dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa
apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak
dianiaya.(Ali Imran : 161)
Rasyid Ridha berkata bahwa sebuah
kata يغلّ
diartikan dengan makna aslinya ialah proses terjadinya perembesan air di
sela-sela akar pepohonan. Secara tekstual saja, kata يغلّ
dimaknai dengan mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi atau sejenis mencuri.
Namun kata يغلّ mengalami penyempitan
makna sehingga bermakna pengambilan harta ghanimah secara sembunyi-sembunyi.
Tentu hal ini ada kesamaan sifat antara korupsi dan kata يغلّ ini, yakni sama-sama perbuatan yang dilakukan sembunyi-sembunyi.[62]
Namun berdasarkan konteksual ayat
ini turun, kata يغلّ Ridha jelaskan dengan perbuatan yang mengkhianati amanat. Ayat ini
turunkan berkenaan dengan terjadinya perang Uhud. Di kala umat Islam mendapat
tanda-tanda kemenangannya saat perang terjadi, pasukan pemanah menyangka dan
merasa khawatir jika rasul tidak membagi harta ghanimah secara merata. Mereka
takut rasul berkata sebagaimana yang beliau katakan saat perang Badar bahwa
orang yang mengambil harta ghanimah, maka orang itu pemiliknya. Lalu rasul
menjawab kekhawatiran itu dengan sabdanya, “Apakah kalian menyangka bahwa aku
akan berlaku ghulul (khianat) dan tidak akan membagikannya pada kalian?”
Sayyid Qutub dalam tafsirnya Fi
Dhilalil-Qur’an menggambarkan
asbab Al-Nuzul ini. Dari uraiannya ini bisa difahami bahwa ghulul
itu menyembunyikan harta ghanimah tanpa membagikan pada yang berhak menerimanya[63].
Dari konteks ayat di atas bisa
diuraikan bahwa kata ghulul jika dikaitkan dengan kasus korupsi itu masuk pada makna yang tekandung dalam surat
ini.
Dalam ayat ini, ancaman yang
diberikan bagi orang yang melakukan tindakan ghulul, maka orang itu akan
datang menghadap Allah dengan membawa apa yang ia lakukan di hari kiamat kelak
untuk menyingkap kejelekan yang ia perbuat dan menambah siksaan yang akan ia
terima.
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui. dan ketahuilah, bahwa hartamu dan
anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar.(Al-Anfal :
27-28)
Kedua ayat ini berkenaan dengan
pelarangan berkhianat yang mencakup seluruh pengkhianatan yang dilakukan,
sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas bahwa khianat itu ialah
meninggalkan kewajiban-Nya dan melakukan larangan-Nya. Rasyid memandang
bahwa perbuatan risywah (korupsi) merupakan bentuk pengkhianatan kepada
Allah dan Rasul-Nya dengan mengkhianati
warganya agar memperoleh upah sedikit maupun banyak dan mengalahkan
musuh-musuhnya dalam berpolitik.
Sehingga dapat menghancurkan negara
besar yang kuat sekalipun disebabkan oleh tindakan korupsi tersebut[64].
Pengkhianatan
terhadap Allah dan Rasulnya itu merupakan pengkhianatan terhadap qadhiyah
utama dalam ajaran islam, yaitu dua kalimat syahadat (Syahadatain) yang perlu
diimplementasikan, tidak hanya sekadar perkataan
lisan namun harus diwujudkan dengaan beberapa ketentuan sebagai berikut.[65]
1.
tetap
beribadah kepada Allah sebenar-benarnya
2.
mematuhi
syari’at dan hukum-hukum yang telah ditentukan-Nya
3.
menolak
penyembahan orang-orang yang melampaui batas (orang musyrik)
4.
menegakan
keadilan terhadap seluruh umat manusia dengan timbangan (hukum) yang tetap
5.
memakmurkan
alam dunia dan mengambangkannya sebagai khalifah di muka bumi dengan manhaj
(sistem) yang telah ditentukan Allah.
Bila seseorang tidak bisa mengemban
sebagai seorang khalifah yang telah ditugaskan-Nya dan melakukan penyelewengan
dari ketentuan di atas, tentunya dia telah melakukan pengkhianatan atas qadiyah
yang telah dia ikrarkan.
Qadhiyah yang diikrarkan seseorang
tidak lepas begitu saja, tetapi Allah akan uji dengan berbagai cobaan (fitnah).
Dan Allah tidak hanya menguji hambanya itu dengan cobaan yang buruk tetapi jug
dengan cobaan yang baik. Cobaan baik inilah di antaranya nikmat dikaruniakan
harta dan keturunan. Allah sebut dua hal ini karena Allah mengetahui kelemahan
manusia yang begitu mencintai dua hal ini dibandingkan yang lainnya. Cobaan ini
diberikan untuk diketahui apakah dia itu bersyukur dan melaksanakan nikmat yang
dilimpahkan dengan sebaik-baiknya ataukah dia akan disibukan bahkan sampai lupa
dengan tugas melaksanakan hak-haknya Allah. Jika dia bersyukur maka Allah akan
tambahkan kenikmatan itu. Akan tetapi jika dia kufur, tentu ia tergolong orang
yang berkhianat atas apa yang telah ia ikrarkan.
Jika
kita telusuri lebih jauh, tindakan korupsi merupakan bentuk pengkhianatan yang
telah dijabarkan Sayyid Quthub di atas. Yakni ketidakmampuan seseorang dalam
mengemban amanat berupa harta yang melimpah. Sehingga ia terlupakan dengan
kenikmatan itu atas tugas-tugas yang dibebaninya.
Konklusi
pandangan tafsir al-Manar tentang korupsi adalah bahwa di era penulisnya,
tindakan tersebut terjadi sudah sangat multi komplek. Kedua penulis sering
mengungkapkan realita yang berada di masyarakat. Meskipun konteks ayat tersebut
kadang-kadang berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang Yahudi (bani
israil). Di mesir tempat penulis tinggal, korupsi terjadi paling tidak di bidang
kepemimpinan baik, agama, negara (resmi) atau tidak resmi, mahasiwa (kampus)
dan di medan peperangan. Harata yang dijadikan korupsi tidak hanya uang namun
sudah merambah ke materi yang lain. Peristiwa korupsi tersebut biasanya
berkaitan dengan hukum, membantu membatalkan yang benar atau membenarkan yang
batal seperti membeli fatwa. Menurut Abduh, oknum yang melakukan korupsi di
eranya berarti telah menjadi musuh Allah melakukan pengkhianatan terhadap Sang
pencipta, Rasul dan negara.. Mereka melakukan korupsi karena merupakan tindakan
yang pragmatis dalam memperoleh kekayaan. Dan melalaikan ajaran-ajaran yang
dibawa oleh Islam. Namun, korupsi yang mereka lakukan akan mengakibatkan Negara
yang asalnya kuat menjadi lemah dan bobrok. Mereka merusak kehormatan agama
rusaknya kehormatan (umum), sumber daya,
melumpuhkan transaksi perekonomian dan emneggantikan sifat iffah
(menjaga kehormatan) menjadi sifat tamak dan rakus. Cara penanggulangan yang
ditawarkan oleh Tafsir al-Manar adalah mengubah dan menghilangkan mindset
(pola pikir) yang telah tertanam dalam jiwa bahwa korupsi adalah cara untuk
mendapatkan mashlahah. Den kembali kepada ajaran dan etika yang
dibimbing oleh al-Quran.
Ekses korupsi
Akibat korupsi sebenarnya ada dua pendapat 1. Mengatakan bahwa korupsi itu
tidak selalu berakibat negatif,kadang-kadang positif manakala korupsi itu
sebagai uang pelicin bagaikan fungsi minyak pelumas pada mesin.Pendapat ini
lebih banyak dianut oleh peneliti barat. Namun
pendapat kedua mengatakan bahwa korupsi itu tidak pernah membawa kaibat
positif. Dan secara garis besar dapat dirumsukan dari beberapa perspektif sebagai
berikut;
a.
Akibat
korupsi ditinjau dari segi politik
a.1. kurangnya kepercayaan
terhadap pemerintah.
a.2. kurangnya kewibawaan pemerintah.
b. akibat korupsi ditinjau dari segi ekonomi
b.1 . pengaruh terhadap pendapatan Negara.
b.2. kebijaksanaan bidang perkreditan.
c. akibat korupsi ditinjau
dari Segi HANKAMNAS
perasaan
nasionaloisme akan berkurang yang menimbulkan peluang-peluang bagi Subversi komunis
atau pun
Subversi lain di Indonesia.
d.
Akibat
korupsi ditinjau dari segi mental
Suatu hal yang sangat berbahaya adalah jika sampai generasi muda kita ini
mencontoh sifat korupsi yang berjangkit dalam masyarakat kita sekarang. Jika
hal ini bisa terjadi maka cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
kita cita-citakan semakin jauh dan tipis harapannya
untuk tercapainya.[66]
e.
Akibat
korupsi ditinjau dari segi Hukum
Dengan memberi suap, warga
masyarakat bisa berbuat sekehendak hati, melanggar peraturan keselamatan kerja,
peraturan kesehatan atau peraturan lainnya sehingga menimbulkan bahaya bagi
anggota masyarakat selebihnya.[67]
Cara penanggualangan korupsi
Korupsi merupakan
suatu bentuk kejahatan yang harus dihilangkan, meskipun tidak bisa secara
menyeluruh paling tidak berikut ini beberapa faktor yang dapat menjinakkan
korupsi;
1.
Keterikatan
positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasional
dan public maupun birokrasi;
2.
Administrasi
yang efisien serta penyesuain struktural yang layak dari mesin dan aturan
pemerintah sehingga menghindari penciptaan-penciptaan sumber-sumber korupsi;
3.
Kondisi
sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;
4.
Berfungsinya
suatu sistem yang anti korupsi;
5.
Kepemimpinan
kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi;[68]
Andi Hamzah menambahkan sebagaimana yang diikuti
dari Gunner Myrdal bahwa jalan untuk memberantas korupsi di Negara-negara
berkembang adalah;
1.
Meniakkan
gaji pegawai rendah dan menengah;
2.
Menaikkan
moral pegawai tinggi;
3.
Administrasi
data kekayaan sebelum menjadi pejabat, sehingga mudah untuk memeriksa pertambahan kekayaannya di
bandingkan dengan pendapatannya yang resmi.
4.
Pembalikan
beban pembuktian terbalik terbatas bidang perdata.[69]
Baharudin Lopa menembahan bahwa mencegah korupsi dan kolusi tidak
begitu sulit, kalau kita menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat
banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Baharudin menekankan di
sini, sebab betapa pun sempurnya peraturan, kalau niat untuk korup tetap ada di
hati yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak puji tersebut,
korupsi akan terjadi. Faktor mentallah yang menentukan. Faktor lain yang juga
berpengaruh adalah sistem.[70]
Masih menurutnya yang penting sekarang adalah bagaimana mendorong orang agar takut
kepada Allah, karena hanya ketakutan akan pembalasan Allahlah seseorang akan
berpikir berkali-kali untuk melakukan maksiat. Selain itu, kondisi sosial yang
memperkecil peluang terjadinya suap-menyuap perlu diciptakan juga. Artinya
hendaklah dalam setiap kegiatan pelayanan umum, pemerintah tidak memperbanyak
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh rakyat atau pengusaha. Mencegah suap
menyuap disamping perlu melalui proses peningkatan iman, juga perbaikan sistem.
Namun, diantara keduanya ini mempertebal keimanan (ketakwaan) yang paling utama
sesuai firman Allah. Al-baqarah 197.[71]
Kesimpulan dan Saran
Dari berbagai
pemikir yang telah menyumbangkan beberapa ide-idenya tentang korupsi,
dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi
merupakan kejahatan sosial yang berbahaya dan bisa menghancurkan kehidupan
masyarakat. Namun, korupsi sendiri timbul dalam lingkungan yang memang mudah
unutk melakukannya. Maka dari itu restrukturisasi dan perbaikan lingkungan atau
sistem adalah kunci yang penting selain perbaikan moral dan keimanan.
Daftar Pustaka
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein. At-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo : Dar al-Hadits
jil. 2. 2005.
Al-Mubarakfuri, Muhammad Abdurrahman bin
Abdurrahim. Tuhfat al-Ahwadz syarah jami’ at-Tirmidzi. Kairo : dar
al-Hadsits. Cet. 1. 2001.
Ar-Razi, Abi al-husain ahmad bin faris zakariyya. Mu’jam Maqayis Al-Lughah.
Mesir : Mustofa al-Babi al-halabi.
Ar-Razi, Fakhruddin. Tafsir al-Kabir.
Kairo : Maktabah at-Taufiqiyah.
Anwar, Rosihon. Metode Tafsir Maudhu’i. bandung : Pustaka Setia. Cet. 1. 2002.
Az-Zamakhsyari. Al-Kasyaf an Haqaiq
at-Tanzil. Mesir : dar al-Fujlah.
Brown, L.
Carl. Wajah Islam
Politik (Terjemah), Serambi : Jakarta, 2003
Chairil A Adjis & Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. Jakarta
: AMBooks. Cet. 1. 2007.
Djoko Prakoso dkk. Kejahatan-kejaata yang merugikan dan
membahayakan Negara. Jakarta : bina aksara. 1987.
Hamzah, Andi.
Pemberanatasan Korupsi Melalui Hukum Nasional Dan Internasional. Jakarta
: Raja Grafindo.2007.
Hartanti, Evi.
TindakPidana Korupsi. Jakarta : sinar grafika. Cet. 1. Edisi 2 2007.
Hasan, Asma
binti Umar. Manhaj
Sayyid Qutub Fi Dzilal al-Qur’an. Ummul-Qura :
Makkah, 1416 H.
Lopa, Baharudin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta :
Kompas 2001.
Ma’rifah, Muhammad Hadi. At-Taisir fi
at-Tafsir wa al-Mufassirin. Iran : sl-munadzamah al-Alamiyah lil hawazati.
2007.
Mandzur, Ibnu. Lisan al-Arab. Kairo : Dar al-Hadits.
2003.
Nawawi, Rif’at
Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh. Jakarta : Paramadina cet. 1.
2002.
Poerwadarminto, W.S. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Edisi 6. 2007.
Rais, Amin. Islam Otentisitas Liberalisme.
Lkis : Yogyakarta, 1997.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tarikh al-Ustadz
al-Imam al-Syeikh Muhammad Abduh. Kairo : Dar la-Fadhilah. Cet. 1. 2003.
_______________________. Tafsir al-Manar.
Beirut : Dar al-Fikr. 2007.
Robet Klitgaard dkk. Penuntun Pemberantasan
Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah. Penj.
Masri Maris. Jakarta : Obor. Edisi 3. 2005.
Qutub, Muhammad. Fi Dzilal al-Quran. Mesir
: Dar asy-Syuruq. 2008.
Sjadzali, Munawir. Islam Dan Tata Negara. UI-Press :
Jakarta, 1993.
Shindunata.Kompas. senin, 5 desember 2011.
Wiyono, R.. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Bandung : Penerbit
Alumni. 1975.
[1]. Shindunata.Kompas.
senin, 5 desember 2011. Hlm. 6.
[2]. Andi Hamzah. Pemberanatasan
Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasionai. Jakarta : Raja
Grafindo.2007. hlm.4.
[3]. Djoko Prakoso
dkk. Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara.
Jakarta : bina aksara. 1987. Hlm.389
[4]. Ibnu Mandzur. Lisan al-Arab. Kairo
: Dar al-Hadits jil. 4. 2003. Hlm. 152.
[5]. Abi al-husain ahmad bin faris zakariyya ar-Razi. Mu’jamMaqayis al-Lughah.
Mesir : Mustofa al-Babi al-halabi. Jil. 2. Hlm. 396.
[7]. Andi Hamzah.
Op. cit. hlm. 6.
[8]. Chairil A Adjis & Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. Jakarta
: AMBooks. Cet. 1. 2007. Hlm. 167-168
[9]. Andi Hamzah. Op.
cit. hlm. 6.
[11]. Chairil A
Adjis & Dudi Akasyah. Op. cit. hlm. 168-169.
[12]. Evi Hartanti.
TindakPidana Korupsi. Jakarta : sinar grafika. Cet. 1. Edisi 2 2007.
Hlm. 10-11.
[13]. Djoko Prakoso
dkk. Op. cit. hlm. 392.
[14]. Djoko Prakoso
dkk. Op.cit. hlm. 393.
[15]. Djoko
Prakoso. Op.cit. hlm. 394
[16]. Evi Hartanti.
Op. cit. hln.11.
[17]. Muhammad Rasyid Ridha. Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syeikh Muhammad
Abduh. Kairo : Dar al-Fadhilah. Cet. 1. 2003. Hlm. 13.
[18]. ibid., hlm. 14.
[19]. Ibid., hlm. 15.
[20]. Ibid., hlm.
20.
[21]. Ibid., hlm.
20.
[22]. Ibid., hlm
20-21.
[23]. Ibid., hlm.
21.
[24]. Ibid., hlm.
22.
[25]. Ibid., hlm.
24.
[26]. Rif’at Syauqi
Nawawi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh. Jakarta : Paramadina cet. 1.
2002. Hlm. 24-25.
[27]. Ibid., hlm.
26-27.
[31]. Muhammad Husein Dzahabi. At-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo : Dar
al-Hadits jil. 2. 2005. Hlm. 505.
[32]. Asma binti
Umar Hasan, Manhaj Sayyid Qutub Fi Dzilal al-Qur’an, Ummul-Qura : Makkah, 1416
H, hal. 70
[35] Sayyid Qutub, Al-Adalah
Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Islam, Bairut, 1982, hal. 5, 20-29
[36] L. Carl Brown,
Wajah Islam Politik (Terjemah), Serambi : Jakarta, 2003
[37] Munawir
Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, UI-Press : Jakarta, 1993, hal. 148
[39]. Ibid., Hlm. 486.
[40]. Ibid., hlm. 486.
[41]. Muhammad Hadi Ma’rifah. At-Taisir fi at-Tafsir wa al-Mufassirin.
Iran : sl-munadzamah al-Alamiyah lil hawazati. 2007. 151.
[43]. Muhammad Hadi
Ma’rifah. Op. cit. hlm. 151.
[44]. Muhammad
Husein adz-Dzahabi. Op.cit. hlm. 509.
[45]. Rosihon
Anwar. Metodetafsirmaudhu’i. bandung : Pustaka Setia. Cet. 1. 2002. Hlm.
37.
[46]. Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri. Tuhfat al-Ahwadz
syarah jami’ at-Tirmidzi. Kairo : dar al-Hadsits jil. 4. Cet. 1. 2001. Hlm.
234.
[50]. Az-Zamkasyari. Al-Kasyaf. Kairo :Dar al-fujlah. Jil. 1. Hlm. 212.
[52]. Muhammad Qutub. Op. Cit,juz2. Hlm. 639.
[57]. Ibnu Mandzur.
Op. cit. juz4hlm. 507.
[59]. Muhammad
Rasyid Ridha. Op. cit. hlm. 291.
[60]. Muhammad
Rasyid Ridha. Op. cit. hlm. 90.
[61]. Muhammad
Qutub. Op. cit. juz . hlm. 893.
[66]. Djoko Prakoso. Op. cit. hlm.
399-405.
[67]. Robet Klitgaard dkk. Penuntun
Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah. Penj. Masri
Maris. Jakarta : obor. Edisi 3. 2005. Hlm. 2.
[68]. Evi hartanti.
Op. cit. hlm. 11-12.
[69]. Andi hamzah. Op.
cit. hlm. 259-260.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar