BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Tema tentang jihad agaknya selalu tak terhenti menjadi topik
yang hangat. Lebih-lebih jika dihubungkan dengan interplay antar
carapandang baik dikalangan umat muslim sendiri maupun diluar muslim dalam
memahami semesta ajaran Islam. Kata jihad seolah dipahami “angker”,
sarat dengan bentuk physical dan tak rentan dari sikap insinuative.
Kata-kata jihad ini pula yang akhir-akhir ini “melambung” nama Islam di pentas
modial, walau lebih banyak sisi-sisi peyoratifnya dibandingkan positifnya. Hal
semacam ini disebabkan karena kerancauan dalam menafsirkan serta memahami kata
jihad, misalnya dengan hanya menfokuskan pada balas dendam dan kekerasan.
Banyak dari berbagai kalangan memahami kata jihad tersebut terjadi
kerancauan sehingga mengalami pendistorsian makna, dengan demikian banyak pihak
orientalis maupun pembela islam sendiri telah salah mengartikannya, dimana
orientalis membelokkannya dengan tujuan mengganggu Islam sementara pembelokkan
yang dilakukan muslim sendiri adalah ditujukan membela Islam.
Faktor yang utama kesalah pahaman tersebut adalah disebabkan oleh
rancunya pemahaman antara “jihad” dan “qital” yang diletakkan
dalam satu bingkai pemahaman.Bahkkan tak jarang mengedepankan makna “qital”
bahkan juga menganggap jihad adalah qital.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai berkut:
a.
Apakah
jihad selalu identik dengan peperangan?
b.
Apakah
ada keterkaitan antara jihad dengan peperangan?
c.
Bagaimana
pandangan para Ulama mengenai jihad?
SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Sistematika penulisan makalah ini mencoba mendekati permasalahan
tentang jihad melalui pendekatan deduktif.
Dalam metode ini pemakalah mencoba menggambarkan apa itu jihad secara umum
kemudian menyempit kepada pandangan Muhammad Amin Asy-Stinqithi.
Pada BAB I pemakalah menyajikannya dalam pendahuluan yang meliputi;
latar belakang masalah, rumusan masalah, dan sistematika pembahasan.
- Pada BAB II
pemakalah membahas seputar tentang jihad, ayat-ayat tentang jihad, hadits
tentang jihad, maca-macam jihad, hukum melakukan jihad serta pandangan para
ulama tentang jihad.
Pada BAB III pemakalah menyajikan Pandangan Muhammad Amin
Asy-Syinqithi yang meliputi Biografi pengarang, mazhab akidah yang dianut, Profil
kitab, Pandangan beliau terkait jihad.
Pada BAB IV
pemakalah menyajikan penutup yang berisi
kesimpulan dan daftar pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI JIHAD
Dalam
Al-Qur’an kata jihad setidaknya memiliki tiga makna. Seperti yang dikatakan
oleh Abul Fadhl Hubaisy bin Ibrahim Tiflisi dalam bukunya kamus kecil Al-Qur’an yang
diterjemahkan oleh Musa Muzauir ke dalam bahasa Indonesia[1].
Yaitu;
1.
Jihad
dengan menggunakan tutur kata. Sebagaimana yang disebutkan dalam dua ayat pada
dua surat. Adalah;
a.
Surat
At-Taubah[9]:73
“Hai Nabi,
berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang –orang munafik itu”. Yakni, berjihadlah dengan menggunakan tutur kata.
b.
Surat
Al-Furqan[25]:25
“Dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang
besar”.yakni, berjihadlah dengan Al-Qur’an
dan tutur kata
2.
Jihad
dengan perilaku
Seperti yang dinyatakan dalam tiga ayat dan pada dua surat yang
berbeda. Yaitu;
a.
Surat
Al-Hajj[22]:78
“Dan bejihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya”. Yaitu, dan
berbuatlah di jalan Allah dengan sebenar-benar perbuatan.
b.
Surat
Al-Ankabut[29]:6, 69
“Dan barang siapa yang berjihad maka sesungguhnya jihad itu untuk
dirinya sendiri”. Maksudnya
adalah barang siapa yang berbuat baik maka perbuatan dan manfaatnya akan
kembali kepada dirinya sendiri.
“Dan orang-orang yang bejihad untuk (mencari keridhaan) kami.
3.
Jihad
dengan berperang
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat
An-Nisaa’l[4]:95. Yaitu;
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang)
yang tidak mempunyai udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan
harta dan jiwanya”. Pada ayat yang
sama juga disebutkan, “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang
yang duduk dengan pahala yang besar”.
Jihad merupakan isim masdar dari kata jahada-yujahidu-jihadan-mujahadan
yang secara etimologi berarti mencurahkan segala kemampuan dan daya upaya.Dalam
sebuah ungkapan diterangakn, “seorang laki-laki dalam sebuah hal” dengan kata
lain, ia berarti bersungguh-sungguh.
paraUlama mebedakan makna jihad yang terambil dari kata al-jahd
maupun yang terambil dari kata al-juhdu. Jika terambil dari kata al-juhdu
maka mempunyai makna tujuan (al-ghayah), sedangkan jika terambil dari
kata al-juhduh maka mempunyai arti usaha (al-wus’) dan kemampuan
(al-thaqah).
Dalam mufradat al-quran, Al-Raqib Al-Isfahani menulis, “al-jahdu
dan al-juhdu berarti kemampuan dan kesulitan.Ada juga yang memaknai al-jahdu
berarti kesulitan sedangkan al-jahdu berarti kemampuan”.[2]
Jihadmenurut
terminologi para Ulama berbeda pendapat, diantaranya:Ulama mazhab Hanbali
mengartikan jihad sebagai ajakan kepada agama yang benar dan memerangi orang
yang tidak menerima ajakan tersebut, baik dengan menggunakan harta maupun
benda.Ulama Syafi’iah mengartikan jihad dengan memerangi orang-orang kafir
untuk menjayakan Islam. Menurut ketetapan syariat jihad adalah: mencurahkan
segala kemampuan dan daya upaya untuk memerangi orang-orang kafir dan
mempertahankan diri (dari serangan mereka), baik dengan jiwa, harta maupun
lisan.[3]ada
juga yang mendefinisikan jihad sebagai pengerahan usaha dan kemampuan dijalan Allah dengan nyawa, harta, pikiran,
lisan, pasukan dan lainnya.
Dengan adanya beberapa perbedaan tersebut, penulis lebih condong
tehadap pendapat yang terakhir yang juga disepakati Oleh Yusuf Al-Qordawai
yaitu jihad adalah pengerahan usaha dan kemampuan dijalan Allah dengan nyawa, harta, pikiran,
lisan, pasukan dan lainnya. Karena ia mencakup seluruh jenis jihad dan tidak
membatasi jihad hanya sebagai bentuk peperanagn terhadap orang-orang kafir dan
dengan tujuan istilah jihad tersebut bisa mencakup memerangi siapapun yang
melanggar setiap syariat Islam, seperti meninggalkan shalat, zakat, makan harta
riba, melakukan zina, minum khamer dan lain sebagainya.
Dengan demikian, jihad bisa dilakukan dengan mengajarkan
hukum-hukum Islam dan menyebarkannya kepada segenap manusia, menafkahkan
hartanya dan juga dengan cara bergabung dengan pasukan muslim untuk memerangi
musuh jika imam (pemimpin) telah menyerukan untuk berjihad. Seperi hadits yang
diriwayatkan oleh abu dawud yang bersumber dari Anas bin Mali r.a. yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “berjihadlah melawan kaum musyrik
dengan menggunakan harta, jiwa, dan lisan kalian”.
AYAT-AYAT TENTANG JIHAD
Mengutip dari Afzalurrahman dalam bukunya yang telah ditermahkan
oleh Drs. Ahsin W. Al-Hafidz ke dalam
bahasa Indonesia yang berjudul Indeks Al-Qur’an , disebutkan bahwa
ayat-ayat yang membahas tentang jihad terbagi dalam enam kategori[4].
Yaitu sebagai beriut;
1.
Perintah
jihad dengan jiwa dan harta
Adapun
ayat-ayat yang ada hubungannya dengan
perintah jihad dengan jiwa dan harta sebagai berikut;
NO
|
NAMA SURAT
|
NOMOR SURAT
|
NOMOR AYAT
|
1
|
AL-BAQARAH
|
2
|
154-156, 190-195, 214-218, 251, 261-268
|
2
|
ALI-‘IMRAN
|
3
|
139-154, 165-175
|
3
|
AN-NISA’
|
4
|
71-100, 101-104
|
4
|
AL-MAIDAH
|
5
|
154-156
|
5
|
AL-ANFAL
|
8
|
15-19, 39-58, 60-75
|
6
|
AT-TAUBAH
|
9
|
1-36, 38-42, 73-79, 111-123
|
7
|
AL-HAJJ
|
22
|
39-42
|
8
|
AL-AHZAB
|
33
|
9-27
|
9
|
AL-HUJURAAT
|
49
|
15
|
10
|
AL-MUMTAHANAH
|
60
|
8-9
|
11
|
ASH-SHAFF
|
61
|
10-11
|
2.
Tiada
paksaan dalam islam
Ayat-ayat
yang berhubungan dengan hal ini adalah sebagai berikut;
NO
|
NAMA SURAT
|
NOMOR SURAT
|
NOMOR AYAT
|
1
|
AL-BAQARAH
|
2
|
256
|
2
|
ALI-‘IMRAN
|
3
|
20,64
|
3
|
AL-ANFAAL
|
8
|
55,61
|
4
|
AT-TAUBAH
|
9
|
1-13
|
5
|
YUNUS
|
10
|
99,108
|
6
|
HUUD
|
11
|
12
|
7
|
AN-NAHL
|
16
|
125
|
8
|
AL-KAHFI
|
18
|
29
|
9
|
AN-NAML
|
27
|
91-92
|
10
|
QAAF
|
50
|
45
|
11
|
ADZ-DZAARIYAAT
|
51
|
54-55
|
12
|
AL-GHASASYIYAH
|
88
|
21-26
|
3.
Kepentigan
jihad dalam islam
Ayat-ayat yang membicarakan tentang kepentingn jihad dalam islam
antara lain, sebagai berikut;
NO
|
NAMA SURAT
|
NOMOR SURAT
|
NOMOR AYAT
|
1
|
AT-TAUBAH
|
9
|
16-22, 24-29, 120-122,
|
2
|
AL-HADIID
|
59
|
10-11
|
3
|
ASH-SHAFF
|
61
|
9-13
|
4.
Jihad
untuk menguji keimanan
Dalam
Al-Qur’an terdapat beberapa ayat jihad yang bertujuan untuk menguji keimanan
seseorang. Adalah sebagai berikut;
NO
|
NAMA SURAT
|
NOMOR SURAT
|
NOMOR AYAT
|
1
|
ALI-‘IMRAN
|
3
|
143-146, 151-160, 172-176
|
2
|
AT-TAUBAH
|
9
|
44-47, 73, 81-85, 86-96, 103-105, 111, 118
|
3
|
MUHAMMAD
|
47
|
4-9, 20-23, 31-35
|
4
|
AL-FATH
|
48
|
4-5, 11-13,15-19, 25
|
5
|
AL-HUJURAAT
|
49
|
15
|
5.
Ketinggian
jihad
Jihad
merupakan perbuatan yang sangat tinggi,dan Al-Qur’an membuktikanya dalam
beberapa ayat diantaranya sebgai berikut;
NO
|
NAMA SURAT
|
NOMOR SURAT
|
NOMOR AYAT
|
1
|
AL-BAQARAH
|
2
|
218
|
2
|
AL-MAAIDAH
|
5
|
35
|
3
|
AL-ANFAAL
|
8
|
5-12, 15-19
|
4
|
AT-TAUBAH
|
9
|
20-22, 120-122
|
5
|
AN-NAHL
|
16
|
41, 110-111
|
6
|
MUHAMMAD
|
47
|
4
|
7
|
ASH-SHAFF
|
61
|
10-13
|
8
|
AT-TAHRIM
|
66
|
9
|
6.
Umum
Secara
umum, di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang berbicara tentang hal-hal yang
berkaitan dengan jihad. Seperti;
NO
|
NAMA SURAT
|
NOMOR SURAT
|
NOMOR AYAT
|
1
|
AL-BAQARAH
|
2
|
87, 218, 253
|
2
|
ALI-‘IMRAN
|
3
|
3, 44-45, 37-58, 142
|
3
|
AN-NISAA’
|
4
|
90-95, 154-159, 163, 171, 172
|
4
|
AL-MAAIDAH
|
5
|
14, 17, 35-47, 54, 68, 72-78, 110-118
|
5
|
AL-AN’AM
|
6
|
85-86
|
6
|
AL-A’RAAF
|
7
|
157, 167
|
7
|
AL-ANFAAL
|
8
|
72-75
|
8
|
AL-ISRAA’
|
17
|
5
|
9
|
MARYAM
|
19
|
19-20, 27-36, 88-92
|
10
|
AL-HAJJ
|
22
|
78
|
11
|
AL-MU’MINUUN
|
23
|
50
|
12
|
AL-FURQAAN
|
25
|
52
|
13
|
AL-‘ANKABUUT
|
29
|
6-8, 69
|
14
|
AL-AHZAB
|
33
|
12-14, 39-43
|
15
|
YAA SIIN
|
36
|
13-14
|
16
|
ASY-SYUURA
|
42
|
13-14, 39-43
|
17
|
AZ-ZUKHRUF
|
43
|
57-65, 72-73
|
18
|
MUHAMMAD
|
47
|
29-38
|
19
|
AL-HUJURAAT
|
49
|
9-10, 15
|
20
|
AL-HADIID
|
57
|
26-27
|
21
|
AL-MUMTAHANAH
|
60
|
1, 4
|
22
|
ASH-SHAFF
|
61
|
4, 11,14
|
23
|
AT-TAHRIM
|
66
|
9
|
Berdasarkan data-data yang telah kami paparkan di atas, maka dapat
kita simpulkan bahwa ayat-ayat yang diartikan sebagai jihad terdapat dihampir
seluruh surat dalam Al-Qur’an.
HADIST-HADITS TENTANG JIHAD
Kami
(pemakalah) juga akan menghadirkan di hadapan anda hadits-hadits yang
membicarakan tentang jihad, yang nantinya akan menjadi penguat ayat-ayat yang
membicarakan tentang jihad. Yakni di antaranya sebagai berikut;
Dari
Ibnu Abbas, Ia berkata bahwasanya Nabi pernah bersabda: tidak ada lagi hijrah
setelah fathu makkah (penaklukkan kota makkah), akan tetapi hanya jihad
dan niat. Dan apabila diseru kepada kalian untuk berjihad, maka berangkatlah[5].
Dari
Abi Said Al-Khudri, bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada
Rasulullah saw, dia berkata: wahai Rasululla siapakah manusia yang paling
afdhal? Rasulullah bersabda: seorang mukmin yang berjihad dengan jiwa dan
hartanya di jalan Allah SWT[6].
Dari
‘Ubadah bin Ash-Shaamat, dia berkata: ketika kami bersam Rasulullah saw,
tiba-tiba seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Rasul, wahai Rasulullah!
Amal apakah yang paling afdhal? Rasulullah bersabda; beriman kepada Allah, dan
membenarkan kitab-Nya serta bejihad di Di jalan Allah[7].
MACAM-MACAM JIHAD DAN TINGKATANNYA
Menurut Ibn Al-Qayim jihad dibagi menjadi tiga belas tinkatan dan
secara garis besar dikelompokan menjadi empat macam, yaitu:
1.
EMPAT
TINGKATAN JIHAD TERHADAP HAWA NAFSU.
Maksud dari hal tersebut adalah mencurahkan segenap usaha dan
kemampuan untuk berkomitmen terhadap aturan Allah SWT serta meniti jalan-Nya
yang lurus. Hal ini mencakup ketaatan dan peribadatan kepada Allah SWT.,
menjauhi maksiat, serta melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan, diri, umat,
semua manusia, alam dan semua makhlup hidup lainnya.
Apabila jiwa dibiarkan menuruti hawa nafsu dan insting tanpa
dibentengi dengan iman atau dirintangi dengan akal dan hati nurani maka manusia
pasti akan menyimpang dari jalan yang lurus. Ia akan malas menunaikan kewajiban
dan mengerjakan kebaikan. Bahkan dengan cepat ia akan mengikuti syahwat dan
berbuat keburukan.
Adapun keempat tingkatan tersebut meliputi:
Pertama, Melakukan
jihad terhadap diri sendiri untuk mempelajari kebaikan, petujuk, dan agama yang
benar. Tidak ada kebahagiaan dan kemenangan bagi kehidupan diri kecuali dengan
membawa semua hal tersebut .apabiala jiwa tidak diberi asupan ilmu maka
celakalah ia didunia dan akhirat.
Kedua, berjihad
terhadap diri sendiri untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapat. Apabila
seorang tidak mengamalkannya apa yang sudah ia pelajari maka hanya sekedar ilmu
tanpa amal. Sehingga dengan ilmu tersebut maka yang terjadi anta dua pilihan
yaitu: kalo tidak membahayakannya, berarti tidak ada manfaat yang bisa dipetik.
Ketiga, berjihad
terhadap diri sendiri umtuk mendakwahkan dan mengajarkan ilmu kepada orang yang
belum mengetahuinya. Apabila tidak melakukannya, berarti termasuk orang-orang
yang menyembunyikan apa yang sudah Allah
turunkan dari petunjuk dan penjelasan. Ilmu tersebut tidak akan memberikan
manfaat dan tidak akan menyelamatkannya dari siksa Allah.
Keempat, berjihad
dengan kesabaran ketika mengalami kesulitan dan siksaan dari makhluk dalam
berdakwah dijalan Allah dan menanggung semuanya dengan hanya mengharap ridha
Allah.
Allah
SWT telah menciptakan nafsu insaniyyah, dan menitipkan sebuah kekuatan di
dalamnya. Maka dari nafsu tersebut Allah menjadikan power yang mampu memahami,
dialah yang disebut qalb (hati), kekuatan yang mampu untuk bergerak yaitu
berupa anggota badan, kekuatan yang mendorong untuk bergerak , yaitu berupa
watak, tabiat atau instinct. Kemudian Allah menganugerahkan manusia jalan yang
kebajikan untuk mengambil kekuatan yang berbeda-beda ini.
Jihad
melawan hawa nafsu adalah mendorong kekuatan-kekuatan tersebut kepada jalan
yang telah diberikan oleh Allah. Dan makni ini terdapat dalam sebuah ayat yang
mengatakan:
ونفس وما سواها، فألهمها فجورها وتقواها. قد أفلح من زكاها وقد خاب من
دساها.
“Demi
jiwa serta penyempurnaan (penciptaan)nya. Mak a Dia mengilhamkan kepadanya
(jalan) kejahatan dan ketakwaan. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya
(jiwa itu). Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya[8].
Ibnu
Abbas berkata dalam tafsir Ibnu Katsir, kata ألهمها
فجورها و تفواها maksudnya adalah Allah menerangkan jalan menuju kebenaran dan
kebathilan. Hal senada juga dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, Al-Dhahhaak, Said
bin Jubair dan Ats-Tsauri[9].
Cara
untuk mensucikan nafsu adalah dengan mendorongnya untuk selalu taat dan taqarrub
ilallah. Sedangkan mengotorinya dengan bermaksiat kepada Allah[10].
2.
DUA
TINGKATAN JIHAD MELAWAN SETAN
Setan merupakan makhluk Allah yang diberi kekuasaan untuk
mengganggu manusia, sebai ujian atas ibadah manusia kepada Tuhannya. Apabila
berhasil melewati ujian ini maka manusia akan memperoleh kemuliaan di dunia dan
siap untuk menyambut kehidupan yang abadi di akhirat kelak.
Adapun dua tingkatan tersebut yaitu: pertama, berjihad
melawan setan dengan membuang segala kebimbangan dan keraguan dalam keimanan
seorang hamba yang diberikan olehnya. Kedua, berjihad melawan setan dengan
menangkis keinginan berbuat kerusakan dan memenuhi syahwat yang diberikan
olehnya.
Jihad yang pertama bisa dilakukan dengan persiapan keyakinan,
sedangkan jihad yang kedua bisa dilakukan dengan persiapan kesabaran.Allah
berfirman “Dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
member petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar.Dan mereka meyakini
ayat-ayat kami”. (QS Al-Sajadah : 24). Ayat ini memberitahukan bahwa
kepemimpinan agama hanya dapat diraih dengan kesabarab dan keyakinan. Kesabaran
akan menangkis syahwat-syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak, sementara
keyakinan akan menangkis keraguan dan kebimbangan.
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang mukmin dalam memerangi
setan, diantaranya yaitu:
a.
Memohon
perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan. Sebagai mana dalam firman-Nya “
Ya Tuhanku, aku berlindung kepada engkau dari bisikan-bisikan setan, dan aku
berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku dari kedatangan mereka kepadaku”
(QA. Al-An’am: 97-98)
b.
Selalu
mengingat Allah (Dzikrullah), karena setan merupakan makhlukyang
tabiatnya sering bersembunyi (khannas) dan penakut. Jika disebut nama
Allah, ia akan bersembunyi, ia hanya akan menguasai golongannya (hisb
al-syaithan) dengan membuat mereka lupa akan menyebut nama Allah.
Sebagaimana dalam firmannya “setan telah menguasai mereka, lalu dijadikan
mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah bahwa
sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi”, (QS. Al-Mujadalah:
19)
c.
Merancang
permusuhan dengan setan karena dia adalah -sebagaimana firman Allah- musuh yang
nyata, yang tidak akan melepaskan permusuhannya, dan tidak menerimarekonsiliasi
perdamaian. Peperanagn antara dia dan bani adam akan terus berlansung hingga
hari kiamat.
d.
Mewaspadai
instrik dan tipu daya setan yang banyak sekali. Sebagiannya ada yang tampak
seperti minuman keras, judi, wanita. Seperti yang dikatakan, “wanita adalah
perangkap setan”. Sebagaimana firmannya ” Sesungguhnya setan itu bermaksud
menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamer,
berjudi dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat”, (QS
Al-Maidah: 91)
3.
EMPAT
TINGKATAN JIHAD MEMERANGI KAUM KAFIR DAN KAUM MUNAFIK
Jihad terhadap orang kafir dan orang munafik memiliki empat tingkatan,
yaitu dengan hati, lidah, harta, dan jiwa (nafs).vjihad melawan orang kafir
lebih dikhususkan dengan menggunakan kekuatan, sedangkan kepada orang munafik
lebih khusus dengan lidah (dakwah)
4.
TIGA
TIGKATAN JIHAD MELAWAN KEDZALIMAN DAN KEFASIKAN
Jihad terhadap pelaku kedzaliman, kefasikan dan kemungkaran ada
tiga tingkatan yaitu: pertama, dengan kekuatan jika memiliki kemampuan
untuk melakukannya. Kedua, beralih dengan menggunakan lisan (dakwah)
jika ia tidak mampu. Ketiga, berjihadlah dengan hati jika ia tidak
mampu.
Jihad ini bertujuan untuk menjaga masyarakat muslim dari kepunahan,
keruntuhan, dan disentegrasi karena masyarakat muslimmemiliki dasar, elemen,
dan karakter yang berbeda dengan masyarakat lain. Jika dasar dan elemen ini
dihilangkan, dilupakan dan diperangi, maka tidak akan ada lagi masyarakat
muslim dalam kehidupan ini.[11]
HUKUM MELAKUKAN JIHAD
Para Ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan hukum jihad,
diantaranya adalah:
Ibn Syubrumah dan Al-Tsauri
berpendapat bahwa hukum jihad adalah sunnah, bukan wajib.
Yang dimaksud jihad disini adalah jihad peperangan dan penyeranagan.Beliau
berpendapat bahwa ayat diwajibkannya atas kamu berperang (QS. Al-Baqarah :
216), tidak menunjukkan wajib.
Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Malik, dan ahli fiqih lainnya
berpendapat bahwa hukum jihad adalah wajib sampai hari qiamat.Yang dimaksud
wajib disini adalah fardu kifayah, (Jika ada sebagian orang yang
melakukannya, maka yang lain boleh meninggalkannya), meskipun ada sebagian dari
mereka yang berpendapat fardu a’in..Akan tetapi jihad ini berkaitan
dengan jihad penyerangan dan melakukan perluasan ke negeri-negeri musuh bukan
jihad perlawanan dan menghalau penyerang.
Imam al-jashshash berpendapat bahwa jihad yang berupa peperangan
maka hukumnya wajib. Seperti yang terkandung dalam surat Al-Baqarah: 216 “diwajibkan
atas kamu berperang”.
Al-Mubarak berpendaat bahwa hukum jihad adalah diwajiblan pada
zaman Nabi SAW saja.. Hal ini dilandasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam muslim dalam shahihnya, Al-imarah yaitu Rasulullah SAW pernah bersabda “barang
siapa yang meninggal tetapi belum berperang dan tidak memiliki niat untuk
berperang, ia mati dengan membawa satu cabang kemunafikan.
Ada juga yang berpendapat pemimpin dan umat Islam harus terus
memerangi musuh sehingga mereka masuk islamatau membayar jizyah. Pendapat ini
dipilih oleh beberapa imam diantaranya: Al-Miqdad Ibn al-Aswad, Abu Thalhah
serta para sahabat dan para tabiin.
Ibnu Al-Qayyim berkomentar jihad adalah fardu a’in, baik dilakukan
denga hati, lisan harta, atau tangan. Setiap muslim harus melakukannya hal
tersebut.Beliau juga menambahkan bahwa jihad dengan nyawa (al-jihad bi
al-nafs) adalah fardu kifayah, sedangkan jihad dengan harta merupakan hal
yang wajib.
Dari beberapa pendapat tersebut seolah-olah jihad adalah tema yang
sudah disepakati dan tidak menyimpan polemic, padahal makna jihad itu sendiri
terjadi banyak perbedaan dalam memahaminya.tentu saja ini bisa menipu para pembaca jika tidak jeli dan tidak memahami
makna dari sebuah jihad itu sendiri.[12]
Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa hukum jihad
terutama yang berkaitan dengan memerangi orang orang kafir dan orang-orang yang
wajib diperanginya maka hukumnya fardu kifayah dalam arti jika telah dikerjakan
kaum muslimin maka kewajiban yang lain menjadi gugur. Karena Allah SWT telah
berfirman: “tidak sepatutnya bagi orang-orang mukminin pergi semuanya
(ketempat medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan merekatentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.(at-taubah: 122).
Namun jihad tersebut biasa menjadi fardhu a’in bagi orang-orang
yang ditunjuk imam (khalifah) untuk berjihad, sebagaimana hadits Nabi SAW :واذا استنفرتم فانفروا
“jika kalian diajak berangkat jihad maka berangkatlah.” (muttafaq
alaihi)
Begitu juga jika musuh menyerang salah satu negeri, maka jihad
mengusir dan melawan mereka menjadi fardhu a’in bagi seluruh penduduknya,
bahkan bagi wanita.[13]
PANDANGAN ULAMA TENTANG
JIHAD
Gamal
Al-Ganna mengatakan bahwa jihad hari ini tidaklah mengaharuskan kita untuk mati
dijalan Allah, akan tetapi bagaimana kita bisa hidup di jalan Allah. Jihad pada
masa-masa awal islam, baik masa kenabian, khulafa ar-Rasyidin adalah
mengahadapi kisrah dan kekaisaran dengan paham kasta yang membuat rakyat
tertindas. Sehingga jihad yang urgen pada waktu adalah mengembalikan hak
kemerdekaan rakyat dalam berpolitik dengan menumbangkan penjajahan yang
dilakukan oleh kaum penindas, sementara saat ini jihad yang tepat untuk kita
perjuangkan adalah pembebasan negeri dan rakyat dari cengkeraman subordinasi
ekonomi, keterbelakangan, keterpurukan serta bagaimana menyikapi arus
globalisasi[14].
Prof.
Dr. H. Nasruddin Umar mengatakan, bahwa jihad merupakan istilah yang “debatable”
(diperdebatkan) dan “interpretable” (multi tafsir). Jihad memiliki makna
yang beragam, baik eksoterik maupun esoteric. Adapun jihad secara eksoterik,
biasanya dimaknai sebagai “perang suci” (the holy war). Sedang
secara esoteric, jihad atau lebih tepatnya “mujahadah” yaitu suatu upaya
yang sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada sang khalik yakni Allah Azza
Wajalla Jallaa Jalaaluhu.
Beliau melanjutkan, bahwa jihad jelas berbeda dengan “perang”,
sebab kalau kita mencermati konsep-konsep Al-Qur’an dan hadits Nabi saw, antara
Al-Jihaad, Al-Qitaal dan aL-Harb memiliki makna yang berbeda.
Al-Qital dan Al-Harb bermakna “perang”. Dan Al-Qur’an dalam hal perintah
Al-Qital (perang) sangat berhati-hati. Dan kalaupun ada ayat yang memerintahkan
untuk berperang, itu pasti dalam rangka mempertahankan diri dari gangguan dan
penganiayaan dari orang-orang yang ingin mengganggu dan menganiaya (orang
kafir)[15].
BAB
III
PANDANG MUHAMMAD AMIN AL SYINQIHI (TAFSIR ADDWAA’ AL-BAYAN)
BIOGRAFI
Nama aslinya adalah Muhammad Amin. Tapi dengan kebiasaan orang arab
nama itu ditambahi dengan lakob yang disandarkan kepada nama ayahnya
sehingga menjadi Muhammad al- Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jukni
asy-Syanqithi. Lebih dikenal dengan panggialan asy-Syanqithi. Ia lahir di
Mauritania pada tahun 1305 H. dari nasabnya termasuk dalam kabilah hamiir
sejak kecil orang tuanya sudah meninggal dunia. Ia diasuh oleh pamanya. Kondisi
yatim piatu tak menyurutkan untuk menuntut ilmu. Sebaliknya bahkan kondisi itu menjadi
semangat untuk beliau, Alhasil di bawah bimbingan pamanya Abdullah, ia sanggup
menuntaskan hafalan Qur’anya pada usia 10 tahun. Kemudian beliau belajar Rasm
Ustmani dari Abi Khali Sayyid Muhammad ibn Ahmad bin Muhammad Mukhtar dengan
bacaan nafii’ dengan riwayat warsy dari torik Abi Ya’kub al Azrak dan Kolun
dari riwayat abi Nasyit dan sanadnya bersambung hingga Rasulullah SAW. saat itu
umur beliau 12 tahun. Hafal Al-Qur’an dalam usia dini membuktikan bahwa beliau
berotak encer. Selama di negaranya beliau belajar ke beberapa ulama’ pada
beberapa bidang ilmu seperti fikih madzhab Maliki, sastra, balaghah, ilmu
ushul, tafsir, hadis dan lain sebagainya. Di antara guru guru beliau adalah[16]:
-
Syekh
Muhammad ibn sholih al Masyhur bi ibn ahmad al Afram
-
Syekh
Muhammad afram bin Muhammad Mukhtar
-
Syekh
‘Allaamah Ahmad bin umar
-
Syekh
Muhammad Ni’mah bin Zaidan (ahli fikih)
-
Syekh
Ahmad bin Muud (ahli fikih)
-
‘Allaamah
Ahmad Faal ibn Aduh (ahli sastra)
Perjalanan selanjutnya selalu diisi oleh beliau untuk pengembaraan
menuntut ilmu. Ia melengla buana ke berbagai daerah, termasuk ke mekah, untuk
memperluas cakrawala keilmuanya. Seraya menunaikan ibadah haji asy-Syanqithi
menimba ilmu dari beberapa ulama’ ternama. Sebenarnya sewaktu mau berangkat
haji beliau berniat akan pulang lagin ke negri asalnya setelah selesai haji.
Karena ketertarikan beliau akan ilmu maka niat itu diurungkan dan beliau
meneruskan perjalan menuntut ilmunya di Mekah, Sudan dan Madinah. Di madinah
beliau tidak hanya belajar fikih madzab Maliki. Akan tetapi madzah-madzhab yang
lain juga. Setelah beliau melenglang buana belajar di berbagi daerah dengan
berbagai ilmu, beliau menetap di tanah suci dan mengajar tafsir di Masjid
Nabawi atas permintaan Raja Abdul Aziz. Aktivitas mulia ini dilakoninyahingga
tutup usia. Ia meninggal pada kamis, 17 Zulhijah 1393 H di mekah al-Mukarramah[17]
Adapun karya-karya beliau yang terkenal diantaranya:
1.
Khalish
al-Juman Fi Dzikri Ansabi Bani Adnan
2.
Rijzun
Fi Furu’iMadzhab Maliki
3.
Alfiyah
Fi al-Manthiq
4.
Nadmun
Fi al-Faraidh
5.
Syarah
ala Sullam al-Akhdhari Fi al-Manthiq
6.
Ar-Rihlah
Ila Baitillah al-Haram
7.
Man’uJawaz
al-Majaz Fi al-Munazzal Li at-Ta’abbudWa al-I’jaz
8.
Daf’uIham
al-Idhthirab ‘An Ayat al-Kitab
9.
Mudzakkirah
Ushul al-Fiqh ‘AlaRaudhah an-Nazhir
10.
Adhwaul
Bayan Fi Idhah al-Qur’an Bi al-Qur’an
11.
Bayan
an-NasikhWa al-Mansukh Fi Ay Dzikr al-Hakim
12.
Syarah
‘Ala Maraqi as-Su’ud
13.
Fatawa
Fi Ta’lil Bi al-Hikmah
14.
Wajhatu
Nazhrin Fi Hukmi as-Sa’yi Fauqa Saqf al-Mas’a
15.
Risalah
Fi Hukmi as-Shalah Fi Thairah
16.
Risalah
Fi JawabiSual
17.
Risalah
Fi Jawabi Sualatats-Tsalatsah
18.
Manhaj
Tasyri al-Islam
19.
Mutsul
al-A’la
20.
Mashalih
al-Mursalah
21.
Al-Islam
Din al-Kamil
22.
Manhaj
Wa ad-Dirasat Li Ayat al-AsmaWa as-Shifat
MADZHAB (AQIDAH) YANG DIANUT
Beliau adalah penganut ahlusunnah wal jamaah (madzhab Maliki). Di
samping pemahamannya yang mendalam akan ahlusunnah, beliau juga memiliki
pengetahuan yang tidak kalah hebatnya mengenai madzhab-madzhab mutakallimin dan
segi-segi kebatilannya.
PROFIL TAFSIR
Tafsir yang di tulis oleh Syekh Muhammad Amin Al syinqihi (tafsir
Addwaa’ al-Bayan) ini tergolong tafsir bil ma’tsur. Beliau juga menjelasakan
tafsirnya dengan menggunakan qiro’at tuju, akan tetapi beliau sangan
menghindari penjelasan dengan qira’at yang syad.[18]
Tafsir ini sebetulnya adalah kolaborasi antara guru dan murid ya’ni Assyinqithi
dan Muhammad salim. Akan tetapi dalam tafsir ini tulisan guru lebih panjang
dari pada muridnya ini yaitu sebanyak 6 jilid dari jumlah 9 jilid. Ini
dikarenakan sang guru telah meninggal terlebih dahulu sebelum menyelesaikannya.
Maka sang muridlah yang meneruskan.[19]
Selain itu beliau juga menjelaskan hukum fikih di setiap ayat yang
mengandung hukum dengan menggunakan dalil sunnah, perkataan ulama’ yang
menyangkut hal itu. Dan dalam menentukan suatu hukum yang beliau jelaskan beliu
bersikap netral tidak cenderung kepada suatu madzab tertentu. Beliau selalu
melihat apa yang di katakana pada qaul tersebut dan bukan melihat siapa
yang ber qaul. Karena segala perkataan seseorang itu bisa diterima dan
bisa ditolak kecuali sabda Nabi SAW. beliau juga menambahkan beberapa hal dalam
penafsiran yaitu mentahkiq sisi kebahasaan baik dari segi sorof maupun i’rab
dan menukil si’ir arab dan mentahkik permasalahan ushul fikih dan ilmu kalam.
Kemudian dalam mukodimah beliau menjelaskan definisi secara umum dan
menjelaskan pula permasalahan-permasalahan dengan ringkas. Kemudian setelah itu
beliau menjelasakan tentang penafsiran sesuai tartib surat al Qur’an. Hal itu
dijelaskan dengan harapan masuk dalam masuk dalam sabda nabi secara global. Di
akhir penjelasannya, tidak ketinggalan pula beliau tuturkan pendapat yang
paling kuat menurutnya tanpa ada rasa fanatik sedikitpun terhadap
madzhab-madzhab yang ada. Di antara yang menyita perhatian Assyinqithi dalam
penafsiran adalah ulasan mengenai problem teologis. Misalnya masalah ketuhanan,
qada’ dan qadar dan lain sebagainya. Beliau mengikuti aliran teologi
asy’ariah. Tafsir ini diterbitkan oleh
‘Alam al Kutub (Beirut) pada tahun 1382 H dan Maktabah Ibnu Taimiyyah, Kairo,
pada tahun 1408 H.
PANDANGAN ASY-SYINQINTHI TERKAIT JIHAD
Annisa’ 95
لَّا يَسْتَوِى ٱلْقَٰعِدُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُو۟لِى ٱلضَّرَرِ وَٱلْمُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلْمُجَٰهِدِينَ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى ٱلْقَٰعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْحُسْنَىٰ وَفَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلْمُجَٰهِدِينَ عَلَى ٱلْقَٰعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang)
tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang
tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk
dengan pahala yang besar”.
Atas dasar ayat وَكُلًّا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْحُسْنَىٰ
Mufassir menjelaskan bahwasanya berjihad di jalan Allah dengan menggunakan
harta dan jiwanya adalah fardhu kifayah dan bukanlah fardhu ‘ain. Orang yang
hanya duduk santai dengan orang yang berjihad di jalan Allah berbeda. Kecuali orang yang benar- benar mempunyai
alasan yang benar baru di bolehkan untuk tidak melaksanakan jihad ini. Orang
yang berjihad dengan harta dan jiwa akan mendapatkan pahala yang besar. Akan
tetapi ada perbedaan pemahaman apakah orang yang tidak ikut berperang dengan
alasan yang benar akan mendapatkan pahala apa tidak.
Annisa’ 74
فَلْيُقَٰتِلْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ
يَشْرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا بِٱلْءَاخِرَةِ ۚ وَمَن يُقَٰتِلْ فِى سَبِيلِ
ٱللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Karena
itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat
berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur
atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang
besar”.
Alfurqan
52
فَلَا تُطِعِ ٱلْكَٰفِرِينَ وَجَٰهِدْهُم بِهِۦ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah
terhadap mereka dengannya (Al-Qur'an) dengan (semangat) perjuangan yang besar”.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam tafsir ini
Assyinqithi menjelaskan bahwasanya hukum jihad adalah fardhu kifayah. Dan jihad
di sini bukan hanya jihad dengan peperangan, tetapi menggunakan harta untuk di
jalan allah juga termasuk jihad. Pada intinya jihad menurut Assinqiyhi bukan
hanya jihad dalam bentuk peperangan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannaya.
Abi ‘Ashim Ibnu, 1989, terjemah kitab al-jihad, maktabah al-‘uluum
wa al-hukm, madinah munawwarah, jld 1.
Afzalurrahman,
2006, Indeks Al-Qur’an, Bumi Aksara, Jakarta, cet. 3.
Al-Hafizh Ibnu
Katsir Abi Fidaa, 2009, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhiim, Dar Al-Kutub,
Jakarta, jld 4.
Asy-Syinqithi
Muhammad Amin, 2006, Adwaa’ Al-Bayan, darul hadits, kairo, jld 2,6.
Az-Zuhaili
Wahbah, 2011, terjemah Fikih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani, Jakarta,
jld 8.
Ganna Gamal,
2006, Jihad, Mata Air, Jakarta.
Hubaisy Abul
Fadhl, 2012, kamus kecil al-qur’an, Citra, Jakarta, cet 1.
Munawwir Ahmad
Warson, 1997, AL-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka progressif,
surabaya, cet 4.
Qardhawi Yusuf,
2010, Fikih Jihad, Mizan, Jakarta, cet 1.
Yasin Muhammad
Na’im, AL-Jihaad, Maktabah Az-Zahraa’, Kairo.
[1]
Abul Fadhl hubaisy, Kamus Kecil Al-Qur’an, citra, Jakarta, hlm. 101.
[2]
Yusuf Al-Qordlowi, Fiqih Jihad hal.3, bandung: Mizan pustaka cetakan I.
2010
[3]
Wahbah Az-Zuhaili, terjemah Fiqih Islam Wa Adillatuhu, hal,26, Jakarta
: gema insani. 2011.
[5]
Gamal Ganna, Jihad, Mata Air, Jakarta, hlm. Xii.
[6]
Ibnu Abi ‘Ashim, Kitab Al-Jihad, Maktabah Al-‘Ulum Wa Al-Hukm, Madinah
Munawarah, jld 1, hlm. 191
[7]
Ibid. Hlm. 177
[8]QS.
Asy-Syams [91] :7-10.
[9]Abi
Fidaa Al-Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhiim, Dar Al-Kutub,
Jakarta, jld 4, hlm. 2035.
[10]
Muhammad Na’im Yasin, AL-Jihaad, Maktabah Az-Zahraa’, Kairo, hlm.
9.
[11]
Yusuf Al-Qardawi, fiqih jihad hal. 71-109
[12]Yusuf
al-qardhawi, fiqih jihad.13-21
[13]Abu
Bakr Jabir Al-Jaziri, Ensiklopedi Muslim Hal. 473 Jakarta: Darul Falah
cet. I 2000
[14]
Gamal Al-Banna, jihad, mata air, Jakarta, jld 1.
[15]
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar dalam pengantarnya pada kitab tentang jihad
oleh Gamal Ganna yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
[16]
Syekh Muhammad Amiin ibn Mukhtar Assyinqithi, adwa’ul Bayan, Daarul Hadis,
2006, juz. 1. Hal. 14
[17]
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir, Pustaka Insan Madani: 2008, Hal. 161
[18]
Muhammad Amin ibn Muhammad al Mukhtar
Assyinqithi, Adwa’ul Bayan, 2006, juz 1. Hal. 35
[19]
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir, Pustaka Insan Madani: 2008, Hal.
161-162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar