Senin, 09 Juni 2014

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

BAB  I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Pembahasan mengenai perempuan merupakan pembahasan yang selalu menarik dan tidak ada habisnya. Apalagi jika dikaitkan dengan kepemimpinan kaum hawa itu sendiri. Kepemimpinan wanita adalah bagian dari prinsip-prinsip kesetaraan jender[1].Hal ini menimbulkan polemik yang berkepanjangan diantara para pemikir karena ketidakadaan nash-nash yang jelas tentang bolehnya seorang wanita menjadi pemimpin.
Wacana tentang kepemimpinan wanita kian mencuat seiring dengan derasnya arus informasi yang membuka paradigm berpikir masyarakat kekinian. Ditambah lagi dengan munculnya kaum wanita pendobrak tradisi yang membatasi kiprah wanita dalam kehidupan bermasyarakat. Sebutsaja R.A Kartini.Selainitu, mayarakat telah banyak melihat kesuksesan kaum wanita memimpin sebuah organisasi, baik formal maupun non formal. Mulai dari Ratu Bilqis dengan kerajaan Saba’, Aisyah (ummul mukminin) memimpin perang jamal, Megawati Sukarno Putri yang menjadi presiden Indonesia, Gloriyal Makapagel Aroyo yang menjadi presiden Filipina, Ratu Elizabet yang memimpin kerajaan Inggris, sampai Ratu Atut Khasyiah yang menjadi gubernur Banten saat ini.
Fakta-fakta ini membuktikan bahwa kapasitas kepemimpinan tidak hanya dimiliki kaum pria, tetapi kaum wanita juga terbukti sukses menjadi seorang pemimpin. Namun perlu dipahami bahwa kepemimpinan wanita tidaklah mutlak disemua sector.Karena ada beberapa wilayah dimana kepemimpinan pria tidak bisa digantikan oleh wanita.Misalnya wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi jamaah laki-laki.
Baik yang menentang maupun yang mendukung kepemimpinan wanita sama-sama menggunakan argument aqli dan naqli yang sama kuat.
Tulisan ini mencoba memberikan kejelasan tentang masalah kepemimpinan wanita menurut Al-Qur’an dari pandangan Syekh Thahir Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya At-Tahrirwa at-Tanwir.
2.      Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut
a.       Sejauh mana wacana kepemimpinan wanita dewasa ini?
b.      Mengapa wanita tidak boleh menjadi pemimpin?
c.       Mengapa wanita boleh menjadi pemimpin
d.      Bagaimana pandangan Thahir Ibnu Asyur tentang kepemimpinan wanita?
3.      Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan makalah ini mencoba mendekati permasalahan tentang kepemimpinan wanita melalui pendekatan deduktif. Melalui metode ini pemakalah menggambarkan kepemimpinan wanita secara umum kemudian menyempit kepada pandangan Tahir Ibnu Asyur.
Pada BAB I pemakalah menyajikannya dalam pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, dan sistematika pembahasan.
            Pada BAB II pemakalah menyajikan seputar kepemimpinan, kepemimpinan wanita dalam perspektif islam yang meliputi; kepemimpinan wanita bagian dari kesetaraan gender, identifikasiayat-ayat al-Qur’an terkait kepemimpinan, kelompok yang menentang kepemimpinan wanita, kelompok yang mendukung kepemimpinan wanita.
            Pada BAB III  pemakalah menyajikan Pandangan Thahir Ibnu Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir yang meliputi Biografi pengarang, Profil kitab, Corak dan metodologi, Pandangan tafsir terhadap kepemimipinan wanita.
            Pada BAB IV pemakalah menyajikan penutup yang  berisi kesimpulan dan daftar pustaka.

BAB II
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
1.      Seputar Kepemimpinan
a.       Pengertian kepemimpinan
Dari sisi bahasa kepemimpinan adalah leadership yang berasal dari kata leader. Kata leader muncul pada tahun 1300-an. Sedangkan kata leadership muncul kemudian yaitu sekitar tahun 1700-an.[2]
Dilingkunan masyarakat, dalam organisasi formal maupun nonformal selalu ada orang yang dianggap lebih dari yang lain. Seseorang yang memiliki kemampuan lebih kemudian ditunjuk atau diangkat sebagai orang yang dipercayakan untuk mengatur orang lainnya. Biasanya orang seperti itu disebut pemimpin atau manajer. Dari kata pemimpin itulah kemudian muncul istilah kepemimpinan setelah melalui proses panjang.
Masalah kepemimpinan sama tuanya dengan sejarah manusia itu sendiri. Kepemimpinan dibutuhkan karena adanya keterbatasan dan kelebihan dari masing-masin manusia.
Defenisi tentang kepemimpinan bervariasi sebanyak orang yang mencoba mendefenisikan konsep kepemimpinan.  Beberapa defenisi yang dianggap cukup mewakili adalah;
1.      Kepemimpinan adalah perilaku dari yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal)”. (Hemhill & Coons, 1957, hal. 7)
2.      Kepemimpinan adalah “pengaruh antar pribadi, yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu atau beberapa tujuan tertentu.”(Tannenbaum, Weschler, & Massarik, 1961, hal. 24)
3.      Kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi (Stogdill, 1974, hlm. 411)
4.      Kepemimpinan adalah “peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan berada diatas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi.” ( Katz & Kahn, 1987, hal. 528)
5.      Kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas–aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi kearah pencapaian tujuan,” (Rauch & Behling, 1984, halm.  46).[3]
Kebanyakan defenisi tentang kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan menyangkut sebuah proses pengaruh social yang dalam hal ini pengaruh yang sengaja dijalankan oleh sesorang terhadap orang lain untuk menstuktur aktvitas-aktivitas serta hubungan-hubungan sebuah kelompok atau organisasi. Berbagai defenisi yang ditawarkan terlihat tidak berisi hal-hal selain itu.[4]
Veithzal Revai dalam bukunya memberikan defenisi kepemimpinan secara umum meliputi proses mempangaruhi dalam menentukan tujuan oraganisasi, memotifasi prilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budaya. Kepemimpinan terkadang dipahami sebagai kekuatan untuk menggerakkan dan mempengaruhi orang. Kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok.
Oleh karena itu, kepemimpinan pada hakekatnya adalah;
1.      Proses mempengaruhi atau memberi contoh  dari pemimpin kepada pengikut.
2.      Seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan ,kepercayaan, kehormatan, dan kerja sama.
3.      Kemampuan untuk mempengaruhi, memberi ispirasi mengarahkan tindakan sesorang atau kelompok.
2.      Fungsi Kepemimpinan
Secara operasional kepemimpinan memiliki lima fungsi pokok, yaitu:
1)      Funsi instruksi
Funsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator atau pihak yang menentukan apa, bagaimana, di mana perintah itu dikerjakan agar keputusan dapat dilaksanakan secara efektif.
2)      Fungsi konsultasi
Fungsi ini bersifat dua arah. Pemimpin kerap kali memerlukan bahan pertimbangan yang mengharuskan nya berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya.
3)      Fungsi partisipasi
Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam mengikutsertakan mengambil keputusan maupun pelaksaannya.
4)      Fungsi delegasi
Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat atau menetapkan keputusan.
5)      Fungsi pengendalian
Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses/ efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya terarah dan terkoordinir.
3.      Tipe kepemimpinan
Dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, maka akan berlansung aktifitas kepemimpinan. Apabila aktifitas itu dipilah-pilah, akan terlihat gaya kepemimpinan dengan pola masing-masing. Dari pola-pola ini terwujud tiga tipe pokok kepemimpinan yaitu;
1)      Tipe kepemimpinan otoriter
Tipe kepemimpinan ini menempatkan kepemimpinan ditangan satu orang. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan dan tugas anak buahnya hanya sebagai pelaksana keputusan, perintah dan kehendak.
2)      Tipe kepemimpinan kendali bebas
Tipe ini merupakan kebalikan dari tipe otoriter. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol. Kepemimpinan dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh kepada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan menuru kehendak dan kepentingan masing-masing.
3)      Tipe kepemimpinan demokratis
Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis dan terarah. Pemimpin memandang dan menempatkan orang yang dipimpinnya sebagai subjek yang memiliki keperibadian dengan berbagai aspeknya, seperti kemauan, kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat, kerativitas, inisiatif yang berbeda-beda dan dihargai disalurkan secara wajar. Kepemimpinan ini dalam mengambil keputusan dangat mementingkan musyawarah.[5]

Al-Qur’an adalah kitab suci agama islam yang akan selalu kompatibel dalam ruang dan waktu. Itu terbukti bahwa al-Qur’an masih dijadikan pedoman hidup manusia untuk menjalankan fungsi khalifatan fil ‘ardl dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, baik bagi ummat terdahulu, saat ini dan yang akan datang.Al-Qur’an sebgaai pedoman harus mampu dipahami setiap kandungan-kandungan ayat-ayatnya dan tentunya harus selaras dan serasi dengan konteks yang ada. Oleh karena itu diperlukan kontekstualisasi penafsiran-penafsiran tentang ayat-ayat yang berhubungan langsung dengan kehidupan umat manusia, baik dari segi social, agama dan Negara.
Berkaitan dengan aspek kenegaraan – termasuk di dalamnya kepeimpinan- , penafsiran al-Qur’an yang timpang dalam menafsirkan kepemimpinan menimbulkan konsep dan pandangan social tradisional masyarakat akan hal tersebut bahwa kaum laki-laki lebih diungulkan (superior) daripada perempuan (inferior). Perempuan dianggap lemah kemampuannya (subordinat), sehingga tidak layak untuk mengisi ruang public. Di wilayah public, terutama dalam politik, perempuan mengalami diskriminasi ruang lingkup bergerak, mereka hanya terkekang dalam wilayah domistik (rumah tangga) dengan berbagai tugasnya yang tradisional.[6] Mbah Sahal Mahfudz mengatakan bahwa kesejajaran laki-laki dan perempuan sangat lemah. Penilaian bisa terhadap perempuan ini pada dasarnya berasal dari tiga asumsi kuat dalam beragama. Pertama, asumsi dogmatis dan eksplisit yang menempatkan perempuan sebagai pelengkap kehidupan laki-laki. Kedua, dogma bahwa bakat moral etik perempuan lebih rendah dari laki-laki. Ketiga, pandangan materialistic, idiologi masyarakat Mekkah pra-Islam yang memandang rendah peran perempuan dalam proses produksi.[7]
Superioritas laki-laki dalam hal kepemimpinan berdasarkan atas penafsiran al-Qur’an surat an-nisa ayat 34 yang redaksinya “الرجال قوامون على النساء”. Banyak pendapat atau bahkan penafsir yang mengartikan lafaz ‘Qawwamun’ sebagai pemimpin. Kepemimpinan tersebut menurut Muhamad Abduh yaitu kepemipinan untuk memimpin yang dipimpin sesuai dengan kehendak dan kemauan sang pemimpin, namun yang dipimpin tidak serta merta menerima perlakuakn pemimpin secara paksa tanpa ada kemauan selain kehendak sang pemimpin.[8] Seorang mufassir terkenal Indonesia, Quraisy Shihab, mengungkapkan bahwa orang yang melaksanakan tugas atau apa yang diharapkan darinya disebut dengan qa’im. Kalau ia melaksanakan tugas tersebut dengan sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang maka ia dinamai qawwam.[9] Perlu digarisbawahi bahwa ayat ini dalam konteks keluarga. Keistimewaan qawwamah/kepemimpinan suami atas istri tidak menjadikan suami bertindak sewenang-wenang dalam menentukan segala sesuatu. Bukanlah musyawarah juga merupakan ajaran al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalah termasuk juga didalamnya keluarga?. jadi bisa disimpulkan kepemimpinan suami atas istri disebabkan; Pertama, suami memiliki keistimewaan dalam kepemimpinan yang lebih sesuai untuk menjalankan tugasnya. Kedua, karena suami telah menafkahkan sebagian harta mereka. Jika alasan kedua di atas tidak ada dalam diri suami artinya kemampuan melakukan kepimpinan dan memberi nafkah, bisa saja kepemimpinan keluarga beralih kepada istri.
Islam telah menerangkan akan kebebasan hak bagi setiap hambanya. Baik laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan hak dan keadilan. Ini sesuai dengan firman allah;
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الذاريات: 56)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
من عمل صالحا من ذكر أوأنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون (النحل : 97)
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
Dari dua ayat diatas, Nampak bahwa tidak ada pengkhususan terhadap laki-laki dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Tujuan hidup dari keduanya tidak lain adalah beribadah kepada allah. Baik laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi untuk tampil baik di depan Allah dengan segala amal ibadahnya, sehingga akan mendapatkan perhargaan atas pencapaian diri sebagai hamba yang ideal (muttaqin).[10]
Kalau melihat sejarah kepemimpinan perempuan bukan hanya terjadi pada zaman rasul saja. Melainkan sejak zaman nabi sulaiman sudah ada pemimpin perempuan yang dianggap berhasil dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala Negara Saba’, yaitu ratu bilqis atau ratu sheba.[11] Ia berhasil memimpin Negara yang terletak di Negara Yaman tersebut dengan kekuasaan yang tinggi dan singgasana yang megah, sampai-sampai al-Qur’an mengabadikan kisahnya dalam surat al-Naml ayat 23
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”
Ketika masa khalifah, istri nabi, Aisyah RA. pernah menjadi pimpinan rombongan saat terjadinya pertikaian dengan sayyidina Ali bin Abi Thalib, permaisuri al-Malik al-Shalih al-Ayyubi (1206-1249 M) menjadi ratu Mesir setelah suaminya meninggal dan anaknya terbunuh. Kemudian menikah dengan perdana menterinya dan pendiri dinasti Mamalik dan menyerahkan kekuasaan kepada suaminya.[12] Dan banyak lagi pemimpin perempuan yang berkecimpung dalam kepemimpinan dan politik.
2.      Kepemimpinan Adalah Bagian Konsep Dari Gender
Kepemipinan perempuan tidak bisa dipisahkan dengan urusan gender.gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat tuhan. Kepemimpinan tidak didasarkan pada jenis kelamin dan kodrat Allah.Setiap manusia berhak menjadi pemipin selagi dia mampu menjalankan tugas dengan adil dan bijaksana, karena perbedaan gender merupakan perbedaan laki-laki dan perempauan berdasarkan atas konstruksi social bukan pada jenis kelamin.[13] Jadi, siapapun dan apapun jenis kelaminnya berhak mendapatkan tempat untuk merasakan kepemimpinan selagi bisa membawa kemaslahatan.[14] Allah berfriman dalam al-Qur’an surat taubah ayat 71;
والمؤمنون والمؤمنت بعضهم أولياء بعض, يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagaian mereka menjadi penolong bagi sebagiann yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar”
Ayat ini menjelaskan pentingnya kerja sama antara laki-laki dan perempuan , untuk saling tolong menolong baik dalam rangka kepentingan pekerjaan maupun untuk kepentingan ibadah. Di samping itu dari ayat ini juga dapat dipahami bahwa untuk mencapai kebikkan dan prestasi yang diharapkan  diperlukan rasa berbagi tanggung jawab. Dalam konteks laki-laki dan perempuan, maka keberhasilan perempuan (istri) baik dalam bekerja maupun beribadah juga menjadi bagian dan tanggung jawab laki-laki (suami).Begitu juga sebaliknya keberhasilan laki-laki (suami) juga merupakan bagian dan tanggung jawab perempuan (istri).[15]
Terdapat juga hadis yang mendukung ayat di atas yang diriwayatkan ibnu Umar;
كلكم راع وكلكلم مسؤلون عن رعيته, الأمير راع, والرجل راع على أهل بيته, والمرأة راعيةعلى بيت زوجها وولده فكلكم وكلكم مسئول عن رعيته
“Semua kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin betanggung jawab atas kepemimpinannya.Penguasa adalah pemimpin, lelaki (suami) adalah pemimpin di rumah tangganya, perempuan (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya.Semua kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abdullah Ibnu Umar Ra.)
Dari hadis di atas tersirat sebuah tuntutan atas kaum perempuan untuk terus belajar dan mengasah diri sehingga dapat mempengaruhi lelaki dengan argumentasi yang logis dan ilmiah.Jika kedua hal itu bisa diraih, maka perempuan telah memiliki “dua senjata” yang sangat ampuh.Pertama, perasaan halus yang dapat menyentuh kalbu, dan kedua argumentasi yang menyentuh nalar.Oleh karena itu perempuan mampu memimpin bukan hanya dalam keluarga tapi juga dalam masyarakat luas.[16]
Pada perinsipnya islam tidak membatasi hak perempuan dalam mengurus seluruh kepentingan public. Hanya saja perlu disesuaikan dengan kemampuan (tugas pokok keluarga) dan kehormatan perempuan itu sendiri.[17] Setidaknya terdapat tiga bidang masalah yang menjadi halangan terciptanya relasi jender yang lebih adil, yaitu berkaitan dengan teologi, budaya dan politik.
Dalam menjelaskan masalah kepemimpinan wanita dalam lingkup public, perlu kiranya dikemukakan beberapa hal:
1.      Perempuan menjabat sebagai hakim, merupakan buah dari fiqh, bukan hokum syariat dari Allah. Jadi al-Qur’an dan hadits tidak mengatur hal tersebut.
2.      Ijtihad ulama fiqh klasik yang membicarakan masalah perempuan menjadi hakim sangat beragam dalam banyak madzhab. Tidak ada ijma’ ulama dalam masalah ini.
3.      Berlangsungnya adat istiadat pada masa lalu terhadap ketidakbolehan perempuan menjadi hakim, bukan berarti perempuan haram menjadi hakim.
4.      Perbedaan pendapat para ulama ahli fiqh tentang bolehnya perempuan menjadi hakim tidak didukunh oleh teks agama, oleh karena itu mereka meng-qiyas-kan kebolehan perempuan menjadi pemimpin dengan jabatan hakim, dan jabatan hakim termasuk wilayah al-imamah al-‘uzma, yaitu al-khilafah al-‘ammah bagi umat Islam.
5.      Laki-laki menjadi hakim bukan satu-satunya syarat yang masih diperselisihkan oleh para ulama fiqh. Mereka juga berselisih tentang syarat seorang hakim yang harus menguasai empat hal, al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Oleh karena tidak adanya ijma’, sebagaimana tidak adanya teks yang melarang, maka ini masuk dalam masalah ijtihadi.
6.      Jabatan hakim dan jabatan politik lainnya berubah dari kepemimpinan individu ke pemimpinan bersifat kolektif.[18]
Kepemimpinan laki-laki atas perempuan sejatinya bukan merupakan kelebihan atau keagungan laki-laki atas perempuan.Kepemimpinan tersebut harus dipahami sabagai bentuk tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan. Karena itu, kepemimpinan yang dimaksud bukanlah kepemimpinan bersifat otoriter dan semena-mena, akan tetapi untuk menegakkan agama Allah.
4.      Identifikasi Ayat dan Hadits
Terdapat beberpa term atau redaksi teks al-Qur’an yang bersinggungan dengan gender dan kepemimpinan wanita:
1)      Ayat dan Hadits Tentang Kepemimpinan Wanita
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (النساء: 43)
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, perempuan yang shaleh ialah yang taat kepada allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. Al-Nisa’: 34)
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )[19]
“Utsamah bin Haitsam menceritakan kepada kami, Auf menceritakan kepada kami dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia mengatakan: “Allah telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW., ketika aku hampir saja terlibat dalam perang Jamal (unta). Yaitu ketika disampaikan kepada Nabi Saw. bahwa bangsa Persia telah telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai penguasa (raja/ratu) mereka. (pada saat itu) nabi mengatakan: Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan”.
2)      Ayat Tentang Kesamaan sebagai Hamba
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(الذاريات: 56)
“ Dan Kami tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(الحجرات: 13)
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling beraqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(النحل: 97)
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ الْمِصْرِىُّ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنِ ابْنِ الْهَادِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ». فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ.قَالَ « تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ « أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ ».[20]
“ Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Wahai kaum perempuan ! bersedekahlah kalian dan perbanyakkanlah istighfar. Karena aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar dari mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah SAW bersabda: “Kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian”, perempuan itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?” Rasulullah Bersabda: “Maksud kekurangan akal adalah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dinamakan kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak melaksanakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan ramadhan karena haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama”
حدثنا أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الزهري قال أخبرني سالم بن عبد الله عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما
 : أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( كلكم راع ومسؤول عن رعيته فالإمام راع وهو مسؤول عن رعيته والرجل في أهله راع وهو مسؤول عن رعيته والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسؤولة عن رعيتها والخادم في مال سيده راع وهو مسؤول عن رعيته )[21]
“ Dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa rasulullah SAW bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya, seorang pria adalah pemimpin dalam keluarganya an bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seorang pelayan juga pemimpin pada harta majikannya dan ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya”. (HR. Bukhari)
3)      Ayat Tentang Manusia Sebagai Khalifah Dimuka Bumi
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ(الأنعام:165)
“ Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(البقرة: 30)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “mengapa engkau menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau  dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”.
3.      Pandangan Yang Menyetujui Kepemimpinan Perempuan
Dalam memahami surat an-NIsa’ ayat 43 tersebut Asghar Ali Engineer menyatakan untuk tidak memahami ayat ini tanpa melihat konteks social pada saat ayat ini turun. Menurutnya, struktur social pada masa NAbi Muhammad SAW tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan teologis semata dalam masalah ini, tetapi harus menggunakan sosio-teologis. Bahkan al-Qur’an sendiri terdiri dari ajaran kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang beisa efektif jika mengabaikan konteksnya sama sekali.[22]
Quraisy shihab mengatakan bahwa keistimewaan laki-laki di sini selain karena perbedaan jenis kelamin tetapi juga keistimewaan yang sepadan dengan adanya tanggung jawab yang harus dipenuhinya kepada istri, yaitu nafkah. Jika kedua aspek di atas tidak terdapat dalam suami (kekuatan dan kewajiban nafkah) maka tidak ada keistimewaan baginya dan istri bisa saja mengambil alih “kepemimpinan” dalam rumah tangganya.[23] Pendapat senada juga dikatakan oleh Amina Wadud Muhsin yang mengesahkan kepemimpinan laki-laki jika terpenuhi dua syarat: pertama jika laki-laki mampu membuktikan kelebihannya dan kedua apabila laki-laki mendukung perempuan dengan menggunakan harta bendanya.[24]
Yusuf al-Qardlawi berpendapat perempuan boleh menjadi pemimpin layaknya hakim hanya saja kebolehan itu tidak wajib dan tidak harus ditetapkan, harus dipertimbangkan kemaslahatan perempuan, keluarga, masyarakat dan agama. Karena “biasanya” perempuan tidak bisa menghadapi tanggung jawab yang besar seperti hakim dan kepala Negara.[25]
4)      Pandangan Yang Menentang Kepemimpinan Perempuan
Pandangan para ulama tentang kepemimpinan wanita bermuara pada pemahaman surat an-Nisa: 43 yang menyatakan “Laki-laki adalah qawwam atas perempuan, dikarenakan Allah telah melebihkan sebgian mereka atas sebagian yang lain dan kerena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka”
Kebanyakan mufassir menyakan bahwa qawwam berarti pemimpin, pelindung, penanggung  jawab, pendidik dan pengatur. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempun adalah karena keunggulan akal dan fisiknya.[26] Bahkan al-Thabari mengatakan kepemimpinan laki-laki atas perempuan bukan hanya pada kekuatas fisik, akan tetapi pendidikan dan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban yang ditentukan Allah yaitu kewajiban membayar mahar, nafkah dan kifayah.[27]
Senada dengan pandangan al-Thabari di atas, menurut ar-Razi kelebihan laki-laki meliputi dua hal: sifat hakiki dan hukum syariat, sifat hakiki meliputi ilmu pengetahuan (al-‘Ilm) dan kemampuan fisik (al-Qudrah), menurutnya akal dan pengetahuan laki-laki lebih sempurna daripada perempuan. Sedangkan hukum syariat adalah kewajiban membayar mahar dan memberi nafkah.[28] Penafsir dari muktazilah, az-Zamakhsyari juga berpendapat kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi: akal/pengetahuan (al-‘aql), ketegasan (al-Hazm), tekadnya yang kuat(al-‘Azm), kekuatan fisik (al-Qudrah), secara umum memiliki kemampuan menulis (al-Kitabah) dan keberanian (al-Furusiyah wa ar-Ramyu).[29]
Ketiga penafsir di atas secara umum mengatakan bahwa kata kunci dalam kepemimpian laki-laki atas perempuan adalah kelebihan fisik dan akalnya, dengan penegasan redaksi ‘bima faddlala Allahu ba’dlahum ‘ala ba’dl’ serta kewajiban member nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan rumah tangganya. Begitu juga pendapat seperti ini dapat kita temukan dalam tafsir Ibnu Katsir,[30] al-Alusi,[31] Bahrul Muhith,[32] Baidlawi,[33] Sirajul Munir,[34] Ruhul Bayan[35] dan al-Jami’ Li Ahkami al-Qur’an.[36]
















BAB III         
 PANDANGAN THAHIR IBNU ASYUR DALAM KITAB TAFSIR AT-TAHRIR WA AT-TANWIR
1.    Biografi Pengarang
Mufasir ini lahir di Tunisia di awal abad ke-14 M. Informasi yang mengulas latar belakang keluarganya memang cukup gelap.Hanya ada seberkas cahaya menyoroti bahwa dalam dirinya masih mengalir darah seorang ulama besar di Tunisia tempo dulu.Masa kecilnya disemarakkan dengan belajar ilmu-ilmu Al-Qur’an seperti tajwid, menghafal, qiraat, dan bahasa Arab.
     Baru setelah itu, Ibnu Asyur masuk lembaga Zaitunah.Sebuah lembaga pendidikan yang cukup elit, setaraf al-Azhar.Tidak sebagaimana layaknya lembaga pendidikan modern dengan bangunan megah, Zaitunah bertempat di sebuah masjid kuno.Namun, masjid ini selama berabad-abad berfungsi sebagai pusat pendidikan, informasi, dan penyebaran ilmu.
Selama belajar di Zaitunah, Ibnu Asyur sering menenggelamkan diri dalam perpustakaan.Dahaga keilmuannya bisa terpuaskan di tempat ini. Dengan sangat “rakus” ia melahap berbagai literatur, baik yang kuno maupun modern. Perpustakaan tersebut adalah warisan para cerdik-cendekia dahulu kala.Ia termasuk perpustakaan terkenal di dunia.
          Ibnu Asyur menorehkan peran besar dalam menggerakkan nasionalisme di Tunisia. Sebelum diangkat sebagai Syekh besar Islam di Tunisia, ia pernah menduduki kursi hakim dan mufti. Namun karena pergolakan politik Tunisia, ia bersitegang dengan para penguasa Tunisia seputar wacana keislaman. Akibatnya, ia dilengserkan dari kedudukannya sebagai Syekh Besar Islam di Tunisia.
               Hiruk pikuk politik Tunisia membuatnya gerah. Tak mau ia terlibat di dalamnya. Hari-hari dilewatinya dengan berdiam di rumah.Setiap waktu diisi dengan menulis dan membaca.Terbayang kembali impiannya yang sejak lama urung terwujud, yaitu menulis kitab tafsir.Ia pernah berkata, “Salah satu cita-citaku yang terpenting sejak dulu adalah menulis sebuah tafsir Al-Qur’an yang komprehensif untuk kemaslahatan dunia dan agama.”
               Untuk kepentingan tearsebut, Ibnu Asyur merujuk berbagai kitab tafsir yang ada. Al-Kasysyaf karya Zamakhsyari, al-Muharraral-Wajizkarya Ibnu Athiyah, Mafatih al-Gaib karya ar-Razi, Tafsir Baidawi yang merupakan ringkasan dari al-Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib, Tafsir Abu as-Su’ud, Tafsir al-Qurtubi, Tafsir al-Ahkam, dan Tafsir at-Tabari adalah sejumlah referensinya dalam mengungkap maksud kalam Ilahi
Maskipun Ibnu Asyur merujuk banyak kitab tafsir, namun ia tidaklah mengekor. Tafsirnya memiliki karakteristik tersendiri.Dalam buku tafsir ini, saya menuangkan poin-poin yang belum saya temukan dalam karya tafsir sebelumnya.Saya melihat ada dua karakter mufasir dalam menyingkapi tafsir-tafsir sebelumnya.Pertama, mengekor pendapat pendahulunya.Kedua, menolak dan bersikap apriori.Adapun yang saya lakukan adalah menjembatani kedua karakter itu,” paparnya.
Ibnu Asyur menitikberatkan tafsirnya pada uraian tentang sisi kemukjizatan Al-Qur’an, linguistik Arab (balagah), dan gaya bahasa (badi’).Setiap surah Al-Qur’an dikupas tuntas olehnya dan disimpulkan garis besar isinya.Tujuannya, agar pembaca tidak mendapat tafsir Al-Qur’an yang persial, terbatas hanya pada penjelasan makna perkata atau perkalimat dari sebuah ayat.
Ibnu Asyur prihatin kalau muncul paemahaman yang kurang utuh terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.Seakan-akan ayat per ayat tercerai berai, tanpa ada pengikat.Muaranya, keserasian dan keindahan Al-Qur’an sirna tidak terwujud.Padahal antara satu ayat dengan ayat lainnya laksana satu untaian mutiara.Tak terpisahkan dan saling bertautan. Maka dari itu, ia menitiktekankan uraiannya pada makna-makna mufradat (kosa kata) untuk selanjutnya menelusuri makna global sebuah surat.
Untuk nama tafsirnya, Ibnu Asyur mengatakan, “saya namai tafsir saya dengan Tahrir al=Ma’na wa at-Tanwir al-Aqli al-Jadid min Tafsir al-Kitab al-Majid, diringkas menjadi at-Tahrir wa at-Tanwir min at- Tafsir.


2.      Profil Kitab
Keistimewaan kitab tafsir ini terletak pada pengantarnya yang memaparkan kepada pembaca tentang dasar-dasar penafsiran dan bagaimana seorang penafsir berinteraksi dengan kosa kata, makna, strukur dan system al-Qur’an. Pengantar kitab ini terdiri dari sepuluh pengantar, yaitu berbicara masalah; 1) tafsir dan takwil, 2) referensi atau alat bantu ilmu tafsir, 3) keabsahan tafsir tanpa riwayat dan makna tafsir bir rayi dan contohnya, 4) maksud penafsiran, 5) Asbabunnzul, 6) Qiraat, 7) kisah-kisah al-Qur’an, 8) nama al-Qur’an, 9) makna-makna yang dikandung oleh Al-Qur’an, 10) kemukjizatan Al-Qur’an[37].
1)      Tafsir dan takwil
Pengantar pertama ini berbicara tentang tafsir dan takwil sebagai ilmu dengan berbagai bentuk toleransi.Ia menegaskan bahwa tafsir merupakan ilmu islam yang pertama. Disini ia berbicara tentang orang pertama yang melakukan kodifikasi tafsir yaitu Abdul Malik bin Juraij (80-149 H). Ia menjelaskan bahwa kebanyakan riwayat ibnu jaraij berasal dari Ibnu Abbas. Ibnu Asyur juga tidak lupa menggaris bawahi bahwa periwayatan dari Ibnu Abbas juga telah diklaim oleh beberapa pemalsu riwayat – walaupun beberapa diantara mereka ada yang jujur – guna mengabsahkan apa yang diriwayatkan oleh mereka.
2)      Refrensi atau alat bantu (istimdad) ilmu tafsir
Pengantar ini berbicara berbicara tentang alat bantu ilmu tafsir, yaitu sejumlah perangkat ilmu pengetahuan yang telah ada sebelum ilm itu ada. Perangkat materi yang sangat penting daam hal ini adalah bahasa arab yang terdiri dari ilmu sharf (morfologi), ilmu Nahwu (gramatika, ilmu maani, ilmu badi’ dan lain-lain. Ia  menjelaskan besarnya peran majaz (metamor) dalam tafsir. Disamping itu ia mengikuti kebiasaan ulama masa lalu yang menggunakan syair-syair arab untuk menangkap makna beberapa kosakata Al-Qur’an. Ia juga menggunakan pendekatan salaf yang mementingan sisi penukilan. Dia tidak menganggap fikih dan dasar-dasarnya menjadi  suatu hal yang penting bagi mufassir  karena ilmu fikih sendiri merupakan cabang dari tafsir yang mana sangat bergantung pada sebuah tafsir . namun demikian, alat-alat bantu tersebut  yang diguakan tafsir tidak mengurangi posisi tafsir sebagai induk ilmu-ilmu islam.
3)      Keabsahan tafsir tanpa perwayatan dan makna tafsir birra’yi
Pengantar ini berbicara tentang keabsahan tafsir tanpa periwayatan (penukilan) dan makna tafsir berdasarkan nalar.Ibnu Asyur menghindari penafsiran dengan akal yang dilarang oleh nabi Saw dan tafsir yang mereka-reka makna Al-Qur’an yang pernah dilarang oleh abu bakar. Disini ia juga memaparkan ungkapan al-Gazali dan Qurtubi yang mengatakan “ tidak dibenarkan bahwa semua yang dikatakan sahabat bersumber dari pendengaran langsung atas ungkapan nabi”.
Selain itu, ia juga mengomentari pendapat yang menganggap tafsir hanya bisa berjalan dengan bahan-bahan nukilan (periwayatan) saja. Ia menganggap  jika nukiln itu dibatasi pada apa yang pernah disinggung oleh nabi saja, maka itu akan mempersempit makna dan sumber penafsiran al-Qur’an. Kalaupun yang masuk katagori nukilan itu mencakup para sahabat, maka tetap saja hal itu tidak memperkaya penafsiran.
4)      Maksud penafsiran
Disini Ibnu Asyur menjelaskan apa-apa yang harus dihadapi oleh seorang mufassir. Allah menurunkan Al-Qur’an untuk kemaslahatan manusia secara universal, baik pada level individu maupun sosial. Maka mufassir harus mengerti tentang unsure-unsur perubahan yang meliputi reformasi keyakinan, reformasi etika, reformasi legislasi hukum dan reformasi politik penyelenggara.
Setelah itu ia beralih pada tata cara seorang penafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang membatasi diri pada hal-hal lahiriah teks, sementara yang lain mencari kesimpulan dari balik teks. Ia juga menerangkan hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
5)      Asbabunnuzul
Dalam pengantar kelima ini, Ibnu Asyur mengkritk kegandrungan sebagian mufassir akan bahasan tentang konteks turunnya ayat. Disini ia mengungkapkan lima konteks turunnya ayat; 1) maksud dari ayat itu sendiri, 2) peristiwa-peristiwa yang menyebabkan disyriatkanna suatu hukum, 3) peristiwa-peristiwa yang dikhususkan kepada seseorang, 4) peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengannya, 5) satu bagian yang menjelaskan keumuman ayat.[38]Ia juga menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah kitab petunjuk, dan petunjuklah yang diinginkan Al-Qur’an, bukan yang lain.
6)      Qiraat
Permasalahan qiraat (bacaa) menjadi bahasan pengantar keenam. Disini ia menerangkan bahwa qiraat mengandung dua implikasi. Pertama, bacaan yang sama sekali tidak terkait dengan pemaknaan al-Qur’an. Kedua, bacaan yang terkait dengan pemaknaan.Bacaan pada katagori pertama meliputi perbedaan dalam pelafalan huruf, harakat, ukuran bacaan mad, pelembutan (takhfif), penekanan (jahr), dan lain sebagainya.Semua itu tidak terkait dengan persoalan tafsir, karena tidak bersentuhan langsung dengan makna.
Sementara model bacaan kedua mencakup perbedaan dalam mebaca huruf dalam satu kalimat, seperti kalimat “مالك يوم الدين” (dengan memanjangkan kalmiat مالك ) dan “ ملك يوم الدين”(dengan tanpa memanjangkan kalimat ملك). Juga dalam kalimat yang lain ننشرها  (memakai “ ر”) dengan ننشزها (dengan memakai ز"”). Disini ia tidak memberikan jalan penyelesain terhadap perbedaan makna, kecuali menekankan bahwa semua itu merupakan kehendak Allah agar tercipta kekayaan makna.
Ia menegemukakan kasus dimana Umar bin khattab pernah mendengar hisyam bin hakim bin hazm membaca surat al-furqan dalam shalat berlainan dengan bacaan umar. Ketika usai shalat, mereka berdua hampir bertengkar dan akhirnya mengadukan hal itu kepada Nabi. Nabi kemudian menyuruh hisyam untuk membaca, dan hisyam membaca dengan bacaannya sebagaimana ia membaca diawal. Nabi kemudian mengomentari;” seperti itulah ia diturunkan “.Setelah itu Nabi mempersilahkan Umar untuk membaca, dan Nabi pun membenarkan bacaan umar.Nabi berkata;” sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf[39], maka bacalah mana yang kalian anggap mudah.
Tapi disini juga terjadi perdebatan ; apakah hadis tersebut sudah dinasakh atau belum? Yang mengatakan sudah dinasakh berpendapat bahwa itu merupakan bagian dari rukhsah (dispensasi) bacaan pada masa nabi saja, kemudian dinasakh melalui standarisasi dialek Quraisy, karena dengan dialek itulah al-Qur’an diturunkan. Adapun yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak dianulir berpendapat bahwa yang dimaksud denga ahruf adalah dialek arab ketika itu dalam melafalkan huruf-huruf, baik yang dipanjangkan atau yang dipendekkan, sambil tetap menjaga keutuhan kalimat al-Qur’an. 
7)      Kisah-kisah dalam Al-Qur’an
Pada pengantar ini Ibnu Asyur menerangkan bahwasanya Al-Qur’an tidak memuat kisah-kisah tersebut untuk menambah pengetahuan, sebab tujuan kisah itu bukan untuk verifikasi ilmu, tetapi sebagai bahan ajaran dan petunjuk.Namun, disitu ditunjukkan tema-tema yang penting. Oleh karena itu, ia tidak membatasi diri dalam mendalami detail kisah, hanya mengambil inti, pelajaran, petuah dan perumpamaan yang terdapat pada kisah itu. Menurutnya, itu semua berfungsi bagi kaum muslimin untuk menguasai wawasan global tentang dunia, dan memotifasi mereka untuk menjadi penguasa.Kisah-kisah itu juga mengandung pengertian bahwa kekuatan Allah diatas segalanya.
8)      Nama, jumlah ayat dan surat, susunan dan nama-nama Al-Qur’an
Pengantar kedelapan Asyur berbicara tentang nama, jumlah ayat dan surat, susunan, dan nama-nama al-Qur’an. Di sini dia berbicara tentang makna al-Qur’an, al-furqan, al-Kitab,adz-dzikr, dan al-wahy.  Kemudian berbicara tentang ayat-ayat dan pembatasnya, dan bagaimana paembatas ayat itu mengindikasikan sebagai akhir dari sebuah ayat.
Di sini juga dinyatakan bahwa, ayat terpanjang dalam al-Qur’an adalah surat al-Fath ayat 25 dan surah al-Baqarah ayat 102, ini agak aneh, karena yang popular sebagai ayat terpanjang adalah ayat mengenai hutang-piutang yang tertulis dalam surah al-Baqarah ayat 281. Sementara tentang jumlah ayat al-Qur’an, Abu Amr ad-Dani dalam bukunya al-Adad telah mengatakan bahwa jumlah ayat al-Qur’an adalah 6000 ayat. Itupun masih terjadi perbedaan pendapat.
Tapi poin penting yang paling penting dari pengantar ini adalah soal susunan atau runtutan ayat.Penulis mengatakan bahwa itu semua sudah ditentukan oleh Nabi lansung, sesuai dengan turunnya wahyu yaitu ayat per-ayat, atau lansung beberapa ayat dan satu surah lengkap.Maka dari itu, susunan ayat dalam satu surah, sebagaimana yang sampai pada kita saat ini, sebenarnya sudah ditentukan di masa Nabi. Sehingga, sekiranya dia diubah ke dalam susunan lain, maka kadar kemukjizatannya akan menurun. Bacaan Rasul terhadap susunan-susunan ayat tidak berbeda dengan apa yang sekarang tertera di dalam mushaf yang ada bersama kita. Kesemua itu merupakan apa-apa yang sudah ditetapkan dari riwayat para sahabat penghafal ketika didemonstrasikan di hadapan Nabi menjelang wafatnya. Indikasi kesesuaian itu dapat juga kita cermati dari tulisan Zaid bin Tsabit ketika dia menuliskan mushaf untuk Abu Bakar. Ini juga sesuai dengan bacaan Rasulullah dalam shalat-shalat yang dilantangkan dan dalam berbagai kesempatan.
Ketika al-Qur’an dikumpulkan pada masa Abu Bakar, kita juga tidak mendengar adanya kasus keraguan atas susunan ayat-ayat al-Qur’an. Kita juga tidak mendengar penyangkalan dan perbedaan atas apa-apa yang merekan kumpulkan. Ibnu Wahab mengatakan suatu kali mengatakan, “Saya mendengar Malik mengatakan bahwa al-Qur’an ditulis sebagaimana yang sahabat dengarkan dari Rasululla”. Selanjutnya, Ibnu al-Anbari juga mengatakan, “Ayat-ayat itu turun sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul, lalu Jibaril member tahu Nabi di mana penempatannya”.Maka dari itu, urutan huruf, ayat dan surah, semuanya bersumber dari Nabi sendiri.
9)      Makna-makna yang terkandung oleh kalimat-kalimat al-Qur’an
Pengantar kesembilan, Asyur berbicara tentang makna-makna yang dikandung oleh kalimat-kalimat al-Qur’an. Di sini dia menegaskan bahwa itu semua menyangkut sebagian hubungan antara struktur kalimat, makna dan beberapa persoalan bahasa.
10)   Kemukjizatan Al-Qur’an
Pengantar kesepuluh terkait dengan persoalan kemukjizatan al-Qur’an. Kemukjizatan al-Qur’an meamang telah merebut perhatian pembaca, bukan seperti betikan saja, ataupun bangunan gundukan sebagai pelindung di kala panas, tapi seperti kilatan yang memungkinkan manusia melihat bagaimana Tuhan betul-betul berkuasa (mu’jiz).
Kemukjizatan ini merupakan dasar universal bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat islam yang menantang para penentangnya. Inilah konsep yang banyak dilupakan oleh ahli tafsir yang dibuat sibuk oleh detail-detail mukjizat sembari melupakan pangkal dan akarnya.Ini pula yang menyebabkan mereka berbeda-beda dalam menunjukkan sisi kemukjizatan al-Qur’an.
3.      Corak dan Metodologi
Ibnu Asyur menitik beratkan tafsirnya pada uraian tentang sisi kemukjizatan Al-Qur’an, linguistik Arab (balagah), dan gaya bahasa (badi’). Setiap surah Al-Qur’an dikupas tuntas olehnya dan disimpulkan garis besar isinya. Tujuannya, agar pembaca tidak mendapat tafsir al-Qur’an yang parsial, terbatas hanya pada penjelasan makna perkata atau perkalimat dari sebuah ayat. Dapat disimpulkan bahwa corak tafsir Ibnu Asyur ini bercorak adabi (kebahasaan).
Dalam hal metodologi Ibnu Asyur menggunakan pendekatan tahlili (analitik) dengan mengupas ayat dari segala segi. Ia berupaya menjembatani penafsiran bil ma’tsur yang terbatas pada riwayat dari nabi, sahabat dan tabiin, dengan tafsir bir-ra’yi yang cendrung tanpa dilandasi oleh argumen bahasa arab yang valid, ataupun hanya bersifat kecenderungan mazhab saja.

4.      Pandangan Tafsir Terhadap Kepemimipinan Perempuan
Terkait masalah kepemimpinan, kita dapat melihat komentar Ibnu Asyur dalam tafsiran surat An-Nur ayat ayat 62:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Ayat ini pada merupakan dasar aturan-aturan berkenaan dengan kemasyarakatan karena dalam sunnah seharusnya memiliki pemimpin yang mengatur urusan-urusan masyarakat tersebut. Jangan sampai ada sebuah perkumpulan yang tidak memiliki pemimpin. Pemimpin berperan sebagai waliyyul amri al-muslimin (yang mengatur urusan kaum muslimin). Kedudukan pemimpin menempati posisi nabi saw, sehingga penghormatan terhadap pemimpin sama halnya dengan penghormatan terhadap nabi. Tidak boleh ada seorang pun yang meninggalkan majelis tanpa seiizin nabi.
Berkenaan dengan kepemimpinan wanita, Ibnu Asyur memberikan komentar yang tercantum dalam tafsiran surat Al-Baqarah ayat 124;
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Ayat ini berkenaan dengan kehendak Allah yang menjadikan Ibrahim sebagai pemimpin (imam). Pemimpin disini berarti rasul, karena jabatan rasul adalah sesempurna kekuasaan. Selanjutnya nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar keturunannya juga dijadikan sebagai pemimpin  dengan berbagai risalah, kekuasaan , dan keteladanan. Selanjutnya Ibnu Asyur memberikan komentar bahwa syarat mendasar dari seorang pemimpin adalah harus laki-laki yang memiliki sifat kesempurnaan yang menjadi contoh dan panutan bagi kaumnya dan keluarganya. Dari sini terlihat jelas bahwa Ibnu Asyur tidak memberi ruang untuk kaum wanita menjadi pemimpin.













DAFTAR PUSTAKA
Al-Alusi. Ruh al-Ma’ani fi Tafsiri al-Qur’an al-‘Adhim wa as-Sab’I al-Matsani. Maktabah Syamilah. Juz IV
Al-Baidlawi. Tafsir Al-Baidlawi. Maktabah Syamilah. Juz I
Al-Banna, Gamal,  Tafsirul Quran Baina Qidaamiy Wal Muhditsin, Darul Fikr Al-Islami, Kairo, 2003
Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. Maktabah Syamilah. Juz 2
Al-Burusawi, Ismail al-Haqqi. Ruh al-Bayan fi Tafsiri al-Qur’an. Maktabah Syamilah. Juz II
Al-Muslim. Shahih Muslim. Maktabah Syamilah. Juz 1
Al-Qurthubi. Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. Maktabah Syamilah. Juz III
Al-Syarbini, Muhammad bin Ahmad. Tafsir as-Siraju al-Munir. Maktabah Syamilah. Juz I
Al-Thabari. Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Maktabah Syamilah. Juz 8
Az-Zamakhsyari. Al-Kassyaf ‘an Haqaiqi at-Tanzil wa ‘Uyunu al-Aqawil fi Wujuhi at-Ta’wil. Maktabah Syamilah. Juz I
Fatoni, Ahmad,  Kaidah Qiraat Tujuh, Darul Ulum Press, Jakarta, 2007
Hayyan, Abi. Al-Bahru al-Muhith. Maktabah Syamilah. Juz III
Hidayatullah, Kholid. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar. 2012. El-Kahfi: Jakarta
Ibnu Asyur, At-Thahir,  At-tahrir  Wa At-Tanwir, Dar Suhnun, Tunis, Juz 1
Jumu’ah, Ali. Fatawa al-Baiti al-Muslim.2009. Daar al-Imam as-Syatibi: Qahirah
Katsir, Ibnu. Tafsirul Quranil ‘Adhim. Maktabah Syamilah. Juz II
Mahmud, Abdul Halim. Fatawa al-Imam ‘Abdul Halim Mahmud. 2002. Daar al-Ma’arif: Qahirah. Cet. ke-5
Muhammad bin Umar bin Husain ar-Razi asy-Syafii. Mafatihul Ghaib min al-Qur’an al-‘Adhim. Maktabah Syamilah. Juz I
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. 2012. LKiS: Yogyakarta.
Muri’ah, Siti. Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir. 2011. RaSAIL: Semarang.
Muqaddas, Djazimah. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di Negara-negara Muslim. 2011. LKiS: Yogyakarta
Revai, Veithzal,   Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Edisi Kedua), Rajagrafindo Persada, Jakarta ,2007
Shihab, Quraisy. Perempuan. 2009. Lentera Hati: Jakarta
Umar, Nasarudin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. 2001. Paramadina: Jakarta
Yukl ,Gari, Leadership In Organization (alih Bahasa Oleh Jusuf Udaya, Kepemimpinan Dalam Organisasi), Prenhallindo, Jakarta






[1]Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. 2001. Paramadina: Jakarta
[2][2] Veithzal Revai, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Edisi Kedua), Rajagrafindo Persada, Jakarta 2007, Hal.9
[3] Gari Yukl , Leadership In Organization (alih Bahasa Oleh Jusuf Udaya, Kepemimpinan Dalam Organisasi), Prenhallindo, Jakarta, Hal. 2

[5]  Veithzal Revai, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Edisi Kedua), Hal 53-57
[6] Djazimah Muqaddas. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam DI Negara-negara Muslim. 2011. LKiS: Yogyakarta. Hlm. v
[7] Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.2012. LKiS: Yogyakarta. Hlm.xiii
[8] Djazimah Muqaddas. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam DI Negara-negara Muslim.hlm. 203
[9] Quraisy Shihab. Perempuan. 2009. Lentera Hati: Jakarta. Hlm. 367
[10] Nasarudin Umar. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. 2001. Paramadina: Jakarta. Hlm. 248-249
[11] Tafsir UIN Syarif Hidayatullah
[12] Quraisy Shihab. Perempuan.hlm.384
[13] Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.hlm. xi
[14] Ali Jumu’ah. Fatawa al-Baiti al-Muslim.2009. Daar al-Imam as-Syatibi: Qahirah. Hlm. 399
[15] Siti Muri’ah. Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir.2011. RaSAIL: Semarang. Hlm. 201
[16] Quraisy Shihab. Perempuan. Hlm. 372
[17] Ali Jumu’ah. Fatawa al-Baiti al-Muslim.2009. Daar al-Imam as-Syatibi: Qahirah. Hlm. 399; Abdul Halim Mahmud. Fatawa al-Imam ‘Abdul Halim Mahmud. 2002. Daar al-Ma’arif: Qahirah. Cet. ke-5. Juz 2. Hlm. 189
[18] Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar.2012. El-Kahfi: Jakarta. Hlm. 110
[19] Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari….. Juz IV. Hlm. 1610 no. 4163
[20] Muslim. Shahih Muslim. MS. Juz 1 hl.61
[21] Bukhari. Shahih al-BUkhari. MS. Juz 2 hlm 848
[22] Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar. Hlm. 108
[23] Quraisy Shihab. Perempuan. Hlm 369
[24] Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar. Hlm. 108
[25] Djazimah Muqaddas. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di Negara-negara Muslim. Hlm.68
[26] Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Hlm. 196
[27] Al-Thabari. Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. MS. Juz 8. Hlm 290
[28] Muhammad bin Umar bin Husain ar-Razi asy-Syafii. Mafatihul Ghaib min al-Qur’an al-‘Adhim. MS. Juz I. hlm. 1441
[29] Az-Zamakhsyari. Al-Kassyaf ‘an Haqaiqi at-Tanzil wa ‘Uyunu al-Aqawil fi Wujuhi at-Ta’wil. MS. Juz I. hlm. 537
[30] Ibnu Katsir. Tafsirul Quranil ‘Adhim. MS. Juz II. Hlm. 292
[31] Al-Alusi. Ruh al-Ma’ani fi Tafsiri al-Qur’an al-‘Adhim wa as-Sab’I al-Matsani. MS. Juz IV. Hlm. 41
[32] Abi Hayyan. Al-Bahru al-Muhith. MS. Juz III. Hlm. 249
[33] Al-Baidlawi. Tafsir Al-Baidlawi. MS. Juz I. hlm. 184
[34] Muhammad bin Ahmad as-Syarbini. Tafsir as-Siraju al-Munir. MS. Juz I. hlm. 241
[35] Ismail al-Haqqi al-Burusawi. Ruh al-Bayan fi Tafsiri al-Qur’an. MS. Juz II. Hlm. 160
[36] Al-Qurthubi. Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. MS. Juz III. Hlm. 168
[37] Jamal Al-Banna, Tafsirul Quran Baina Qidaamiy Wal Muhditsin, Darul Fikr Al-Islami, Kairo, 2003
[38] At-Thahir Ibnu Asyur, Attahrir Wa At-Tanwir,  Juz  1, Hal 47-49
[39] Ahmad Fatoni, Kaidah Qiraat Tujuh,Hal. 3, Darul Ulum Press, Jakarta, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar