Senin, 09 Juni 2014

HAK ASASI MANUSIA (HAM) PERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Di era globalisasi ini telah banyak sekali hal baru yang muncul dan selalu menjadi perbincangan panjang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi seiring semakin longgarnya aturan sebuah Negara dalam menyikapi suatu masalah baru yang ada pada rakyatnya. Ada satu hal yang sejak dulu sampai sekarang selalu menjadi topik hangat yang patut diperbincangkan oleh siapa saja. Jika kita berbicara tentang masalah hak dan kewajiban pasti takkan ketinggalan tentang persoalan yang disebut sebagai HAM (Hak Asasi Manusia). Dari dulu sampai sekarang seakan menjadi satu hal yang patut diteliti lebih jauh seiring perkembangan pemikiran manusia.
Manusia mempunyai kedudukan tertinggi dalam kehidupan ini jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Dia menjadi makhluk paling sempurna dari segi penciptaan dan tentunya memiliki kedudukan tertinggi dibandingkan semua makhluk lainnya di muka bumi ini. Ini dikarenakan Allah menciptakannya atas dasar fitrah. Jika dalam perjalanan hidupnya ia mempertahankan fitrah tersebut, ia akan tetap pada jalan lurus yang mengantarkannya pada kebenaran. Sebaliknya jika ia menyalahi fitrah yang ada pada dirinya, ia akan tersesat lantaran apa yang telah diperbuat. Itulah mengapa keseimbangan antara hak dan kewajiban itu harus dimiliki setiap individu dalam koridor hukum Tuhan. Karena itulah pelaksanaannya yang bersifat universal itu akan mewajibkan seluruh individu maupun lembaga masyarakat untuk senantiasa menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak masing-masing.[1]
Perlu diketahui bahwa HAM itu mempunyai penekanan pada prinsip kebebasan dan perlindungan terhadap hak hidup seseorang. Ini akan mengarah pada satu kedudukannya yang sangat vital dalam mencegah terjadinya pembunuhan antar saudara sendiri dan mengembangkan kreatifitas manusia. Sehingga, ketika semua itu dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan tentu demokratisasi pun akan lebih mudah diwujudkan. Selain itu, adanya konsep HAM juga akan berfungsi sebagai salah satu tindakan preventif untuk mencegah dan mengakhiri perang yang ada di belahan bumi ini.[2]
Jadi, jika pelaksanaan HAM ini terwujud di semua belahan dunia bukan tidak mungkin perdamaian dunia ini akan selalu terjaga. Akan tetapi, jika sebaliknya yang terjadi penyelewengan HAM yang terus menerus tak pernah berhenti akan menjadikan keresahan setiap individu di dunia. Mereka tentu menganggap bahwa adanya konsep HAM itu hanya sebatas jargon yang semata-mata menjadi simbol saja. Namun, pelaksanaannya masih jauh dari dari harapan dan realita yang ada.
B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat kami rumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Definisi HAM serta ruang lingkupnya
2.      Bagaimana kronologi kelahiran HAM
3.      HAM di Indonesia
4.      Pandangan Islam terhadap Hak Asasi Manusia
5.      Pendapat Muhammad Al-Ghazali tentang Hak Asasi Manusia di dalam kitab Nahwa Tafsir Maudlu’i Li Suwar Al-Qur’an Al-Karim
C.     Tujuan penulisan makalah
Dengan adanya makalah ini, diharapkan akan menjadi sebuah kontribusi wacana bagi para pembaca. Dan juga dapat menambah wawasan keilmuan khususnya bagi penulis. Di samping itu, kami berharap tulisan ini akan menjadi suatu kajian lanjutan bagi kita semua.



BAB II
HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
TINJAUAN TAFSIR MUHAMMAD AL-GHAZALI
(Nahwa Tafsir Maudlu’i Li Suwar al-Qur’an al-Karim)
A.    Definisi HAM
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak asasi diartikan sebagai hak – kekuasaan untuk berbuat atau menuntut sesuatu – yang paling mendasar atau pokok, seperti hak hidup dan mendapat perlindungan.[3] Dalam pandangan Barat Hak asasi manusia sering juga disebut sebagai Human Rights. Adapun cakupannya bersifat universal – berlaku bagi siapa saja. Setiap individu manusia tentu memiliki hak-hak asasi tertentu yang tidak mungkin dapat dihilangkan. Oleh karena itu, HAM yang dalam pelaksanaannya mewajibkan semua orang atau lembaga apapun untuk menghormati hak-hak tersebut.[4] Setiap orang yang terlahir ke dunia pasti mempunyai hak asasi yang sama tanpa terkecuali. Ada beberapa pendapat yang mencoba mendefinisikan HAM oleh para tokoh sebagai berikut:
a)      John Locke (Two Treaties on Civil Government)
Menurutnya, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir oleh manusia dan secara kodrati melekat pada setiap individu yang tidak dapat diganggu gugat (bersifat mutlak). Dari itulah, maka hak asasi harus dikorbankan untuk kepentingan masyarakat sehingga lahirlah kewajiban.
b)      Koentjoro Poerbapranoto (1976)
Hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
c)      UU No. 39 Tahun 1999 (tentang Hak Asasi Manusia)
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[5]
Dari sekian pengertian yang diberikan oleh para tokoh di atas, kami dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa HAM adalah hak asasi yang dimiliki setiap manusia sejak ia lahir sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat suci. Atau dalam kata lain, hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki setiap manusia menurut kodratnya yang pada hakikatnya bersifat suci.
B.     Ruang Lingkup HAM
Pada dasarnya, HAM merupakan suatu konsep yang bersifat moral yang secara umum ruang lingkupnya hanya menyangkut hak yang bersifat individual saja. Adapun hak-hak yang harus diakui oleh semua orang terhadap setiap manusia adalah hak hidup dan hak mendapat perlindungan. Sebagai penduduk sipil, tentu setiap individu berhak mendapatkan kedua hak tersebut.  Namun, seiring perkembangan pemikiran manusia dan fenomena yang berkembang di masyarakat tentu HAM ini menjadi bersifat kolektif. Perkembangan pemaknaan mengenai HAM itu terjadi juga seiring tingkat kemajuan peradaban.[6] Sehingga, hak-hak yang tercakup dalam HAM tidak hanya hak yang melekat pada diri manusia saja. Namun juga merambah sampai pada hak-hak bidang politik, hukum, ekonomi, bahkan bidang sosial dan budaya.[7]
Secara eksplisit, Hak Asasi Manusia dapat diperinci sebagai berikut:
a.       Hak asasi pribadi (Personal Right)
1.      Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat
2.      Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
3.      Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
4.      Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
b.      Hak asasi politik (Political Right)
1.      Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
2.      Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
3.      Hak membuat dan mendirikan partai politik dan organisasi politik lainnya
4.      Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
c.       Hak asasi hukum (Legal Equality Right)
1.      Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
2.      Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS)
3.      Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
d.      Hak asasi ekonomi (Property Right)
1.      Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
2.      Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
3.      Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dan lain-lain
4.      Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu
5.      Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
e.       Hak Asasi Peradilan (Procedural Right)
1.      Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
2.      Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
f.       Hak asasi sosial budaya (Social Culture Right)
1.      Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
2.      Hak mendapatkan pengajaran
3.      Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat[8]
Dari sekian hak yang disebutkan di atas, paling tidak ada beberapa poin penting terkait hak-hak tersebut jika dipandang menurut  acuan pemikiran diskursus keislaman. Tidak menutup kemungkinan hak-hak yang tertulis dalam undang-undang Negara kita ini – UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM – tentu berkaitan erat dengan pandangan Islam Tentang HAM itu sendiri. Adapun poin-poin tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Hak hidup
Perlu diketahui jika hidup manusia itu bersifat suci yang tak seorang pun berhak untuk melanggarnya. Sebab jika ada seseorang yang melakukannya, itu sama halnya melanggar hak seluruh manusia yang ada di dunia. Jika ia membunuh satu orang saja, itu sama dengan memusnahkan seluruh manusia yang hidup di dunia ini. Sehingga, tak akan ada yang sanggup untuk merampas kesucian tersebut kecuali kekuasaan syari’at yang telah ditetapkan.[9] Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 179:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan di dalam Qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu bertakwa.” (QS. 2/179)
Al-Maraghi berpendapat dalam tafsirnya bahwa: “Di balik hukum qisas yang kejam itu, terdapat jaminan kehidupan yang nyaman dan tentram. Jika seseorang diketahui membunuh seseorang, maka balasannya adalah dibunuh sebagai hukum qisas. Sebab dari itu, orang akan merasa terlindungi dari adanya penyerangan brutal yang dilakukan oleh siapa saja.”[10]
2.      Hak berkeluarga
Membina keluarga merupakan salah satu sifat naluriah manusia. Pernikahan merupakan cara yang disyari’atkan Islam untuk mendapatkan keturunan. Aturan yang ditetapkan tersebut tidak hanya membahas hal-hal yang terkait dengan urusan pasca nikah, tetapi urusan pra nikah juga tak lepas dari pembahasan syari’at Islam. Di samping itu, menikah merupakan salah satu sunnah Nabi. Dan jika ada seorang muslim yang tidak mengikuti sunnah beliau ia tidak dikategorikan sebagai umat beliau. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى. الحديث
“Barang siapa yang membenci sunnahku maka dia tidak termasuk golongan umatku.” HR. Muslim
 Sehingga, sangat lazim jika pernikahan merupakan salah satu urusan yang patut diperhatikan oleh setiap individu dan harus mendapatkan perlindungan hukum. Ini dalam upaya menegakkan hak asasi manusia dalam urusan memelihara keturunan.[11]
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hubungan pernikahan di dalam Islam meliputi hal-hal sebagai berikut:
-          Menjaga ras manusia
-          Menjaga keturunan
-          Menyelamatkan masyarakat dari kelemahan tabi’at
-          Menyelamatkan masyarakat dari berbagai penyakit
-          Ketenangan jiwa dan raga
-          Menjalin kerjasama antara suami istri dalam membangun rumah tangga dan mendidik anak[12]
3.      Hak memelihara agama
Kebebasan dalam berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki manusia. Jika ada orang yang melanggar hak tersebut itu sama saja merampas hak yang telah dimiliki oleh seseorang. Islam merupakan agama yang meninggikan keberadaan dan hidup seseorang. Selain itu, Islam mempunyai cara paling benar dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama di dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam Islam tidak pernah mengajarkan adanya paksaan dalam beragama. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada setiap individu untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Jika hal ini dilanggar, itu berarti telah melanggar hak asasi seseorang.[13] Allah berfirman di dalam surah Al-Baqarah ayat 256
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh pada bubul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: 2/256)
Pakar tafsir Imam As-Showi berpendapat bahwa: “Seseorang tidak boleh dipaksa atau memaksa untuk memeluk agama Islam. Karena setiap individu tentu memiliki sisi benar maupun salah. Dan itu akan tampak jelas ada pada setiap manusia. Untuk itu, adanya pemaksaan tersebut sangatlah tidak ada gunanya.”[14] Sehingga tak perlulah sampai menggunakan kekerasan atau pemaksaan yang kejam untuk mengajak orang lain masuk pada agama yang kita yakini. Karena itu sangat bertentangan dengan keberadaan hak asasi yang dimiliki setiap manusia.
4.      Hak kepemilikan harta
Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan cara yang benar. Dari cara tersebut seorang muslim diperbolehkan untuk mendapatkan harta yang halal dan menikmatinya. Selain itu. Ia juga dapat mengembangkannya dalam urusan kebaikan. Sebab itulah, maka ia berhak mempertahankan harta tersebut dari rampasan pihak lain.[15]
Akan tetapi, Islam akan melarang keras jika dalam upaya seseorang berekonomi itu bertujuan untuk menumpuk harta secara berlebihan. Begitu juga pembelanjaan harta secara berlebihan sangatlah dilarang. Sebab, berlebih-lebihan ini akan mengakibatkan banyak kerugian baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dari itulah Islam melarangnya. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 31
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِين
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS: 7/31)
 Sehingga, satu hal yang sangat dianjurkan oleh Islam dalam urusan harta adalah penggunaan dalam belanja yang cukup dan tidak bakhil ketika mempunyai harta lebih. Dalam kata lain, jangan sampai besar pasak daripada tiang dalam urusan harta. Membelanjakan harta sesuai dengan kemampuan dan tidak bakhil dalam urusan bersedekah.
5.      Hak memelihara akal sebagai media berpikir dan berekspresi
Manusia dibekali akal pasti untuk berpikir sebagaimana mata untuk melihat. Islam meletakkan dasar kebenaran dalam berkeyakinan yang merupakan hasil dari pemikiran yang benar.[16] Dalam Islam, berpikir adalah sebuah kewajiban. Islam tidak pernah membelenggu gerak pikiran sehat untuk berusaha menggapai hakikat serta menggelitik keraguan untuk sampai pada sebuah keyakinan. Islam memberikan kebebasan berpikir dan berekspresi. Hal itu dilakukan dalam upaya untuk memperoleh ilmu tingkat tinggi yang bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.[17] Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim harus mau berpikir untuk kemudian memanfaatkan hasil pemikiran yang dia miliki bagi kemaslahatan umat Islam secara umum.
Kelima hak dasar tersebut dijelaskan dengan detail oleh Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul dan Imam Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat. Akan tetapi, penjelasan yang cukup jelas itu tentu saja masih membutuhkan kajian yang lebih jauh agar dapat dengan mudah dimengerti oleh semua orang. Sehingga, ketika pelaksanaan hak-hak tersebut dapat terpenuhi secara seimbang dipastikan kesejahteraan seseorang akan dengan mudah diraih baik di dunia maupun di akhirat.[18]
C.     Sejarah Lahirnya HAM
Secara historis, bisa dibenarkan jika kemunculan Hak Asasi Manusia itu secara tidak langsung merupakan akibat dari penjajahan, perbudakan, ketidakadilan dan kedzaliman (tirani) yang sangat banyak terjadi di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Bahkan ada satu pendapat yang menyatakan bahwa kemunculan HAM itu disebabkan oleh terbentuknya sebuah Negara. Karena, pada umumnya setelah suatu Negara itu terbentuk akan ada aturan bagi rakyatnya. Dari sinilah, sangat dimungkinkan adanya tindakan semena-mena (tirani)[19] dilakukan oleh suatu pemerintahan saat itu.
Pada dasarnya, perjuangan untuk mengangkat hak asasi manusia ke permukaan telah dimulai sejak masa nabi Musa AS yang saat itu selalu mencoba untuk melawan tirani yang dilakukan oleh raja Fir’aun. Akan tetapi, peristiwa itu seakan tidak menjadi suatu pembahasan penting karena tidak termuat dalam buku-buku bacaan yang beredar sekarang. Sehingga, kebanyakan tulisan yang membahas sejarah tentang HAM itu biasanya hanya berawal sejak masa Yunani kuno.[20] Saat itu, filosof Yunani kenamaan, sepeti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar-dasar perlindungan dan jaminan diakuinya HAM. Konsep yang mereka ciptakan saat itu adalah sebuah anjuran bagi masyarakat untuk melakukan control sosial kepada penguasa yang dzalim, dan tidak mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Setelah beberapa tahun berlalu, Aristoteles (348-322 SM) akhirnya mengajarkan pemerintah untuk mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak rakyatnya.
Setelah beberapa abad berlalu, kelahiran HAM ditandai dengan adanya piagam-piagam yang dikumandangkan sebagai konvensi HAM pada masa yang berbeda. Berawal dari abad ke-11 yang lalu, paling tidak ada beberapa piagam yang berhasil disusun dan dikukuhkan sebagai konvensi HAM di beberapa Negara Barat sebagai berikut:
a)      Inggris
Kemunculan HAM di Negara ini ditandai dengan munculnya empat piagam yang berhasil disusun dan dikampanyekan oleh masyarakat di sana pada masa yang berbeda. Pertama, pada tanggal 15 Juni 1215 lahir piagam Magna Charta. Ini merupakan konvensi antara rakyat dengan raja John yang saat itu memerintah dengan sewenang-wenang terhadap kaum rakyat kecil maupun bangsawan. Padahal, raja Richard yang sebelumnya memerintah di Negara tersebut sangat terkenal akan keadilan dan bijaksananya terhadap siapapun. Tentu saja ini mengundang kegeraman rakyat untuk mengadakan protes yang ditandai dengan membentuk piagam tersebut sebagai kesepakatan antara raja dan rakyat di sana. Di dalam piagam ini termuat adanya prinsip pembatasan bagi kekuasaan raja yang selalu bertindak semena-mena saat itu. Sampai-sampai kekebalan hukum yang sebelumnya dimiliki oleh raja ditiadakan. Sehingga, jika raja melakukan kesalahan atau pelanggaran ia harus dihukum selayaknya rakyat jelata. Kedua, pada tahun 1628 lahir piagam Petition of Rights yang berisi pertanyaan-pertanyaan atau tuntutan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Ketiga, pada tahun 1679 Hobeas Corpus Act muncul sebagai undang-undang yang mengatur tentang penahanan seseorang. Keempat, kemunculan Bill of Rights sebagai undang-undang yang diterima parlemen Inggris pada tahun 1689. Adapun isinya memuat aturan sebagai berikut:
-          Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen
-          Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat
-          Kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing
-          Hak parlemen untuk mengubah keputusan raja
-          Hak parlemen untuk memberikan izin atau tidak urusan pajak, undang-undang dan pembentukan tentara.
b)      Amerika Serikat
Pada tanggal 4 Juli 1776, Declaration of Independence (deklarasi kemerdekaan) berhasil diumumkan setelah sekian lama melakukan aksi pemberontakan terhadap penguasa Inggris yang saat itu menjajah Amerika Serikat. Pemberontakan tersebut tak lepas dari sebuah pemikiran filosof ternama John Locke (1632-1704) yang mengilhami rakyat di sana untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Adapun rumusan pemikiran tersebut memuat beberapa hak-hak alami yang terdapat pada diri manusia. Ada tiga hak asasi tersebut isinya meliputi, yaitu life (hak hidup), liberty (hak kebebasan) dan property (hak kepemilikan). Jadi, hak-hak dasar seorang manusia baik secara individual maupun sosial – sebagai warga Negara – haruslah dilindungi oleh Negara.
Puncak deklarasi HAM di Amerika ini terjadi ketika sang presiden Franklin D. Rosevelt mengumandangkan empat kebebasan di depan konggres Amerika tanggal 6 Januari 1941. Adapun isinya memuat beberapa kebebasan sebagai berikut:
-          Kebebasan untuk berbicara dan berpikir (freedom of speech and expression)
-          Kebebasan untuk memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing (freedom of religion)
-          Kebebasan dari rasa takut (freedom of fear)
-          Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want)
Empat kebebasan tersebut disinyalir menjadi tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan mendasar. Sedangkan tujuannya saat itu adalah sebagai upaya protes terhadap kekejaman dan penindasan yang dilakukan oleh fasisme yang berada di bawah totalitarisme Hitler (Jerman), Jepang dan Italia. Selain itu, dari empat kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk meraih perdamaian dan kemerdekaan yang abadi dalam hidup mereka.
c)      Perancis
Pada tahun 1789 menjadi awal perjuangan HAM di Negara Perancis. Ditandai dengan revolusi Perancis sebagai upaya melawan kesewang-wenangan penguasa saat itu. Pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga Negara tersebut dikenal dengan Declaration Des De L’homme Et Du Citoyen. Di dalam piagam tersebut termuat tiga kebebasan yang meliputi hak atas kebebasan (liberte), kesamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite).
d)     PBB
Setelah Perang Dunia II usai, tepatnya pada tahun 1946 mulailah disusun rancangan piagam hak asasi manusia oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Baru setelah dua tahun kemudian, pada tanggal 10 Desember 1948 sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris akhirnya berhasil merumuskan piagam hak asasi manusia. Piagam tersebut dikenal sebagai Universal Declaration of Human Rights yang merupakan ‘pernyataan hak asasi manusia dari masyarakat sedunia’.[21] Sehingga, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Adapun deklarasi HAM tersebut memuat 30 pasal yang secara global menekankan akan hak-hak seseorang baik secara individual maupun sebagai masyarakat sipil di suatu Negara maupun dunia internasional.[22]
D.    Hak Asasi Manusia di Indonesia
Kemunculan Hak Asasi Manusia tidak sama dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara-negara Barat. Jika di negara Barat HAM itu muncul karena adanya tindakan semena-mena yang dilakukan oleh golongan pemerintah terhadap rakyat, lain halnya di Indonesia yang menjadi faktor utama kemunculan HAM disebabkan karena kekejaman kaum penjajah yang telah lama menduduki nusantara saat itu. Inilah yang membuat rakyat Indonesia terbangun untuk mengadakan perlawanan dalam upaya mengusir kaum penjajah untuk mencapai kemerdekaan sebuah negara. Sehingga dalam proses yang begitu panjang itu, bangsa Indonesia mengalami gejolak perkembangan pemikiran HAM yang signifikan. Ada beberapa periode yang dialami bangsa ini dalam usaha mereka memunculkan HAM ke muka publik. Secara garis besar Prof. Bagir Manan membagi perkembangan dan pemikiran HAM di Indonesia ke dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang).
Pada masa sebelum kemerdekaan perkembangan pemikiran HAM masih bersifat tradisional. Upaya dalam memperjuangkan HAM saat itu masih dilakukan dengan cara yang sederhana. Dengan dipimpin oleh tokoh masyarakat, agama maupun bangsawan mereka masih berjuang untuk mewujudkan HAM di negeri ini. Saat itu, keberadaannya masih belum bisa terorganisir dengan baik. Kenyataan itu bisa kita lihat dari perjuangan kemerdekaan yang masih bersifat kedaerahan dan mengandalkan kekuatan fisik persenjataan.[23]
Hal itu berbeda, ketika Indonesia telah merdeka pada tahun 1945. Seiring perkembangan pemikiran yang terjadi saat itu, pemikiran tentang HAM berkembang pada hak untuk berserikat dan berkumpul menyampaikan pendapat yang dimiliki seseorang. Beberapa tahun kemudian pemerintah berhasil meratifikasi hak berpolitik bagi kaum hawa. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan pemerintahan ada satu saat di mana HAM harus mengalami kemundurannya. Penyalahan kekuasaan serta ambisi seorang pemimpin menjadikan hak sipil dan hak politik menjadi terpasung tanpa arti. Kemunduran HAM terus berlanjut hingga pada saat itu terjadi berbagai peristiwa yang melanggar HAM di berbagai daerah di nusantara. Sehingga, para masyarakat tergerak untuk mendirikan sebuah lembaga yang bisa menjadikan HAM dapat ditegakkan kembali. Selain itu, lembaga swadaya masyarakat itu didirikan atas tujuan untuk membentuk jaringan internasional terkait kasus-kasus pelanggaran yang terjadi. Puncaknya ditandai dengan pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusi (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau serta menyelidiki pelaksanaan HAM di Indonesia. Lembaga ini juga berfungsi untuk memberikan pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah dalam urusan pelaksanaan HAM.[24]
Adapun landasan pelaksanaan dan penegakan HAM di Indonesia itu didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
1.      Pancasila
2.      UUD 1945
3.      Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
E.     HAM Dalam Perspektif Islam
Adanya ajaran tentang HAM dalam Islam menunjukan bahwa Islam telah menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan ajaran itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia tanpa terkecuali. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal dan abadi serta tidak boleh dirubah atau dimodifikasi.[25]
Islam menempatkan prinsip kebebasan, keadilan dan persamaan pada setiap manusia. Ini sebagai upaya untuk memuliakannya kapanpun dan di manapun mereka berada. Tujuan dasar syari’at Islam adalah untuk memberikan kebebasan kepada manusia dan meninggikan martabatnya tanpa memandang ras maupun sukunya. Atau dalam kata lain tujuan syari’at Islam itu semata-mata untuk memuliakan kedudukan manusia dan memberikan kebebasan kepadanya. Selain itu juga untuk mewujudkan terciptanya keadilan serta kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat nantinya.[26] Bagi Islam, menghormati serta memelihara hak-hak asasi manusia adalah sebuah keniscayaan. Semua orang berperan dalam urusan HAM tanpa terkecuali.
Islam membangun hak asasi manusia atas dua prinsip utama, yaitu prinsip persamaan (kesetaraan) dan prinsip kebebasan setiap individu. Prinsip pertama bertumpu pada dua pilar ajaran Islam, yaitu kesatuan asal muasal manusia dan kehormatan kemanusiaan secara universal.
Berkenaan dengan dua hal itu, Allah berfirman di dalam surah An-Nisa’ ayat 1 dan surah Al-Isra’ ayat 70
يا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS: 4/1)
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS: 17/70)
Dengan kemuliaan dan kehormatan yang manusia miliki, Allah menjadikannya sebagai khalifah di bumi. Allah telah mempersiapkan bumi seisinya sebagai bekal baginya dalam menjalankan amanah yang dilimpahkan Allah kepadanya. Adapun prinsip kedua merupakan prinsip kebebasan yang membangun hak-hak asasi manusia dalam Islam. Dalam perspektif Islam, manusia merupakan makhluk yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk memakmurkan bumi dan membangun peradaban yang manusiawi. Adanya tanggung jawab yang sangat berat itu lahir akibat adanya konsekuensi manusia dalam menentukan pilihan menurut apa yang dikehendaki.[27]
Pada dasarnya, relasi antara Islam dan HAM itu tidak ada masalah sedikit pun. Karena keduanya mempunyai dasar-dasar konsep yang saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, situasi ini berubah ketika Islam dipaksa untuk mengakui universalisasi deklarasi HAM PBB yang tentunya berasal dari Barat. Paling tidak, perubahan itu disebabkan oleh kultur dan tradisi yang sangat berbeda jauh antara Islam dan Barat itu sendiri. Jika dalam Islam, secara penuh apapun hukum yang ada harus berlandaskan pada kitab suci. Sehingga, tidak menutup kemungkinan jikalau kitab sucilah yang menjadi pedoman pokok dalam menentukan konsep HAM tersebut. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di dunia Barat. Mereka cenderung bersandar pada sekularisme dan humanisme ketika mengartikulasikan HAM itu sendiri. Tentu hal ini bisa menjadikan adanya kontradiksi antara agama dengan budaya mereka. Sehingga, ini bisa saja menimbulkan adanya keyakinan bahwa HAM Barat itu tidak bersandar kepada kekuasaan Tuhan yang seharusnya menempatkan kebenaran berdasarkan apa yang terdapat kitab suci. Bahkan, situasi itu semakin parah ketika stigma negative ditambahkan dalam pandangan mereka terhadap Islam. Misalnya, kasus ekspansi Islam ke Eropa dan perang salib pada masa silam. Tentu itu semua menciptakan kebencian yang luar biasa bagi mereka terhadap Islam.[28]
Oleh karena itu, sampai sekarang Islam tetap saja dicap oleh mereka (kaum Barat) sebagai agama yang suka menggunakan kekerasan dalam dakwahnya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Islam merupakan agama pedang yang seakan-akan Islam selalu menimbulkan peperangan di mana-mana. Padahal, jika melihat kenyataan yang ada sekarang justru kaum Barat-lah yang cenderung bertindak semena-mena di berbagai belahan dunia. Bahkan tindakan mereka sangat membabi buta tanpa pandang bulu. Sedangkan Islam malah selalu berusaha menjunjung tinggi HAM di manapun keberadaannya. Akan tetapi, karena fanatik buta yang telah mengakar pada kaum Barat tentu saja tetap membuat mereka menafikan hal itu.
F.      Upaya Penegakan dan Sanksi Terhadap Pelanggaran HAM
Sejak PBB memproklamirkan Deklarasi HAM secara universal pada 10 Desember 1948, tentu berdampak pada upaya penegakan HAM di seluruh dunia. Bahkan setelah deklarasi itu, tetap saja masih ada kekerasan terhadap orang lain di dunia. Padahal, tujuan utama pembentukan berbagai macam bentuk konvensi tersebut adalah untuk menegakkan keadilan sebagai bagian dari penegakan HAM dan pembelaannya. Sehingga, dari sanalah manusia diharapkan akan memperoleh ketenangan dalam kehidupan yang saling berdampingan, saling menghormati dan memelihara peradaban serta kebudayaan dunia dalam segala aspek bentuknya.[29]
Bila kita dapat meneliti secara jeli dan teliti terhadap nilai-nilai yang terdapat pada konvensi HAM, pada hakikatnya semua itu dapat dirujuk pada al-Qur’an maupun sunnah Rasul. Sehingga, bisa dipastikan jika deklarasi HAM yang dimotori oleh Barat maupun Islam mempunyai nilai-nilai yang sama. Oleh karena itu, dalam penerapan atau penegakannya tentu tidak berbeda jauh antara keduanya. Hanya saja landasan yang digunakan dalam menetapkan hukum kemungkinan berbeda. Jika di dalam Islam mengacu pada al-Qur’an dan Hadis, maka di dunia Barat mereka berlandaskan pada humanisme dan sekularisme yang cenderung mengabaikan aturan yang bersumber dari Tuhan. Adapun penegakan HAM yang dilakukan di Indonesia haruslah berlandaskan dengan konstitusi negara. Pancasila dan UUD 1945 menjadi rujukan utama dalam memelihara kelangsungan HAM di Indonesia.
Akan tetapi, dalam penegakan HAM tentu mengacu pada prinsip-prinsip yang bisa menjadikan HAM itu tetap terpelihara dan terjaga dalam kehidupan bermasyarakat. Maka penetapan prinsip itu perlu lantaran di setiap negara berbeda dalam penggunaan landasan untuk menerapkan HAM. Adapun prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai landasan penerapan HAM meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Prinsip kesetaraan
-          Kesetaraan dalam berkeyakinan
-          Kesetaraan secara yuridis (di depan hukum)
-          Kesamaan secara ekonomi
-          Kesetaraan dalam politik atau kekuasaan
2.      Prinsip kepercayaan (amanah)
Sedangkan prinsip-prinsip perlindungan HAM itu meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Perlindungan terhadap kehormatan
2.      Perlindungan jiwa
3.      Perlindungan harta benda
4.      Perlindungan jenazah
5.      Perlindungan terhadap sentimen-sentimen keagamaan
6.      Perlindungan bagi orang yang tidak bersalah[30]
Semua prinsip yang disebutkan di atas sebenarnya bermuara pada satu tujuan, yaitu terciptanya keadilan di segala aspek kehidupan. Dengan mengacu pada prinsip-prinsip tersebut bisa dipastikan bahwa semua aspek yang berhubungan dengan HAM dapat terpenuhi secara menyeluruh. Namun, semua itu kembali pada masing-masing individu yang mempunyai HAM itu sendiri.
Sementara jika dalam penegakan maupun pemeliharaan HAM terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan kebebasan, maka sanksi bisa saja diberikan kepada siapa saja yang melakukan pelanggaran. Adapun sanksi itu harus sesuai dengan sistem hukum yang dipakai dalam negara itu. Dan bila dikaitkan dengan hukum Islam, tentu sanksi atau hukuman yang diberikan kepada para pelanggar hukum haruslah sesuai dengan hukum syari’at Islam. Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera bagi pelakunya agar tidak mengulanginya lagi. Bukan untuk membinasakan keberadaan pelaku kejahatan itu sendiri.








BAB III
PENDAPAT MUHAMMAD AL-GHAZALI TENTANG HAM
A.    Biografi Muhammad Al-Ghazali
Syekh Muhammad Al-Ghazali lahir pada 5 Dzulhijjah 1335 H yang bertepatan pada tanggal 22 september 1917 M di desa “Naklal Inab” yang ikut pada propinsi “Buhairah” di Mesir. Ayahnya memberi nama “Muhammad Al-Ghazali” sebagai bentuk penghormatan dengan mengikuti seorang ulama’ besar yang bernama Abu Hamid Al-Ghazali (w. Jumadil Akhir 505 H).
Dalam perjalanan hidupnya, beliau tumbuh besar dalam keluarga yang beriman dan mulia, beliau punya lima saudara. Beliau hafal al-Qur’an ketika berusia 10 tahun, pada waktu itu imam Muhammad Al-Ghazali berkata pada dirinya sendiri: “Dulu aku berlatih untuk memperbarui hafalan dan bacaan siang dan malam, dan aku mengkhatamkan al-Quran dalam setiap shalatku, sebelum tidurku, dan ketika sendiri. Dan aku mengingat bahwa aku mengkhatamkannya di tengah-tengah penangkapan, sungguh al-Quran bagiku sebagai teman yang menemani kesendirianku yang suram.”
Kemudian beliau masuk di Institut Iskandariah dan menetap di sana sampai beliau mendapatkan ijazah kecakapan kemudian ijazah Tsanawiyyah Azhar, setelah itu beliau pindah ke Kairo tahun 1356 H yang bertepatan 1937 M. Dan masuk di fakultas ushuluddin di Al-Azhar as-Syarif. Beliau memulai tulisan-tulisannya di majalah Ikhwanul Muslimin saat belajar di tahun ketiga di fakultas tersebut. Setelah perkenalannya dengan Imam Hasan Al-Banna yang mendirikan jamaah tersebut, Syekh Al-Ghazali memberanikan untuk menulis sampai lulus setelah 4 tahun (1360 H=1941 M). Setelah itu, beliau takhassus di fakultas Dakwah wal Irsyad sampai beliau mendapat prestasi internasional (1362 H=1943M.) ketika berusia 26 tahun. Setelah itu  beliau memulai perjalanan dakwahnya di sekitar masjid-masjid di Kairo, dan belajar langsung pada Syekh Abdul Adhim Az-Zarqani, Syekh Mahmud Syalthut, Syekh Muhammad Abu Zahrah dan Dr. Muhammad Yusuf Musa dan ulama Al-Azhar as-Syarif lainnya.


Bersama Imam Al-Banna
Syekh Al-Ghazali berbincang-bincang pada pertemuan pertamanya dengan Imam Syekh Al-Banna, beliau berkata: “Suatu hari di tengah-tengah belajarku di tingkat tsanawiyyah di Institut Iskadariyyah, termasuk kebiasaanku adalah mengunjungi masjid Abdurrahman bin Hurmuz sebagaimana biasa diskusi pelajaranku, suatu saat di sore hari ada seorang pemuda yang bangkit yang tidak aku kenal, dan ia menyampaikan pada manusia khutbah pendek yang menjelaskan hadis mulia: “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, dan iringilah suatu kejelekan dengan kebaikan, karena bisa menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” Hadis tersebut sangat merasuk ke dalam hati. Dan sejak saat itu hubunganku dengannya semakin erat, dan aku melanjutkan aktifitasku di medan perjuangan Islam bersama lelaki tersebut sampai ia mati syahid pada tahun 1949 M.[31]
B.     Profil dan Metodologi penulisan tafsirnya
Ada keunikan tersendiri dari metode yang digunakan Al-Ghazali dalam kitab ini. Berbeda dengan tafsir Maudlu’i lainnya, tafsir ini memiliki karakteristik tersendiri yang membawa ciri khas beliau dalam menganalisis suatu permasalahan. Ada beberapa hal yang dijadikan landasan metode beliau dalam menulis kitab tersebut, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
-          Menuangkan contoh-contoh sastra yang tinggi dalam membantu pemikiran Islam
-          Memilih susunan kalimat sastra yang indah dalam ungkapan maupun karangannya
Jadi, karakteristik utama dalam tafsir ini lebih menonjolkan pada sisi nilai sastranya. Selain itu, tafsir ini tergolong tafsir tematik yang berupa analisis langsung tanpa membahas istilah (term) permasalahan secara panjang lebar. Karena, pembahasannya bersifat langsung berdasarkan urutan surah dalam al-Qur’an. Menurut beliau, Tafsir maudlu’i itu bukan Tafsir Maudli’i yang pada akhirnya memuat sekelompok ayat yang kemudian dijelaskan lafadh, tarkib dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, Tafsir Maudlu’i itu memuat satu surah secara keseluruhan. Misalnya melakukan pembahasan yang begitu tajam pada gambaran matahari yang antara pembahasan awal dan akhirnya harus saling berkaitan. Di dalamnya terdapat keterangan yang saling terikat satu sama lain yang menjadikan keutuhan argumentasi yang kuat. Atau dalam kata lain, pembahasan awal merupakan pendahuluan terhadap pembahasan akhir yang menjadi bukti berupa pernyataan-pernyataan yang mendukung pembahasan awal.[32]
C.     Pendapat Muhammad Al-Ghazali Tentang HAM
Menurut pandangan Islam sesungguhnya kedudukan manusia itu sangatlah tinggi. Kedudukan tersebut menjadikannya sebagai pemimpin baik di langit maupun bumi. Itu disebabkan karena di balik tubuhnya itu terdapat tiupan ruh ilahi dan secercah cahaya suci-Nya (Shad: 71-72). Sehingga, di dalam kehidupan ini setiap manusia memiliki kesamaan dalam hak dan kedudukan. Syekh Al-Ghazali berpendapat berkaitan dengan HAM yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Hak-hak politik dan hak-hak warga negara
Manusia yang tersebar di lima benua adalah satu keluarga yang muncul dari satu nenek moyang, kemudian mereka berkembang menjadi seorang ayah dan seorang ibu. Tidak ada posisi apapun antara mereka untuk saling mengungguli satu sama lain atas dasar penciptaan dan permulaaan kehidupan.
Taklif Tuhan mengarah untuk mereka semua atas dasar kesamaan dengan ciri-ciri mereka saling mewarisi keistimewaan-keistimewaan jiwa dan akal yang sesuai dengan jenis mereka. Selain itu, mereka adalah orang yang sudah berhak dapat taklif (tuntutan) dari Allah untuk melaksanakan tugas kemanusiaan dan melaksanakan kewajiban. Sebagaimana firman Allah:
ياأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا
 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1)
يبني أدم إما يأتينكم رسل منكم يقصون عليكم أياتي فمن اتقى وأصلح فلا خوف عليهم ولاهم يحزنون
 “Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka Barangsiapa yang bertakwa dan Mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-A’raf: 35)
Dari dua ayat tersebut terdapat beberapa contoh yang menjelaskan bahwa manusia mempunyai hak yang sama sebagai penduduk bumi. Tidak ada perbedaan antara penduduk daerah panas dengan daerah dingin, tidak ada perbedaan antara mereka sekarang dengan nenek moyang mereka pada masa-masa sebelumnya atau anak cucu mereka setelah masa-masa mendatang.
Tidak boleh membedakan antara manusia dikarenakan perbedaan penciptaan
Terkadang manusia dikucilkan karena berkulit hitam, dalam kondisi miskin, berasal dari keluarga yang lemah dan lain sebagainya. Maka ketika syari’at Islam datang, akhirnya menunjukkan dan menuntun manusia menuju jalan yang lurus, tanpa dipengaruhi peninggalan-peninggalan jahiliyyah.
Orang-orang Arab dulu ketika masa jahiliyah selalu melecehkan orang kulit hitam dan membanggakan tempat tinggal mereka. Akan tetapi ketika Islam muncul, orang yang pertama kali adzan justru seorang budak yang berkulit hitam, yang bernama Bilal, dia adzan lima kali setiap hari. Ketika setelah Fathu Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk syi’ar Islam: “Allahu akbar Allahu Akbar, Asyhadu an Laa Ilaha Illallah.” Dengan serta merta shahabat yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari berkata pada bilal denga penuh marah: “Hai anak orang kulit hitam”, ketika Nabi mendengan perkataan tersebut, beliau sangat marah dengan berkata “Engkau telah melecehkannya dengan ibunya! Sesungguhnya kamu adalah orang yang masih punya sifat jahiliyyah”. Akhirnya Abu Dzar menyesal  atas perbuatannya, dan perkataan Nabi masih membekas di hatinya, kemudian ia menempelkan pipinya di atas bumi.
2.      Hak-hak hukum
Sesungguhnya di antara yang terpenting dari  faktor keamanan, ketenangan yang stabil, perasaan jiwa yang puas adalah harapan setiap manusia untuk dapat merasakan perlindungan yang sempurna terhadap undang-undang yang berlaku sewenang-wenang.
3.      Hak hidup, keselamatan dan keamanan
Allah telah memberi nikmat kehidupan pada manusia, melindunginya baik secara materi maupun non materi dalam tinjauan tujuan yang telah dijelaskan agama. Bahkan tidak heran, ketika membuat seekor hewan celaka dan kehilangan ruh karena dianiaya, maka Allah telah menyiapkannya keadilan sebagai bentuk tindak pidana. Sehingga, di akhirat nanti Allah akan memasukkan manusia tersebut ke dalam api neraka sebagai balasan atas perbuatannya tersebut. Seperti sabda Nabi Saw: “Seorang wanita telah masuk ke dalam neraka sebab seekor kucing, karena ia menahan dan tidak memberinya makan.”
4.      Kebebasan
Ketika Allah memberi manusia sebuah akal, maka hal itu supaya ia dapat berpikir dan mencari petunjuk karena hal itu merupakan tugas akal. Ada beberapa kebebasan yang merupakan akibat dari hasil pemikiran seseorang, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
§  Kebebasan bepolitik, yang meliputi dua hak: pertama, hak setiap manusia menjadi penguasa daerah baik yang kecil atau yang luas, selama ia berkompeten untuk menjadi penguasa. Kedua, hak setiap manusia untuk menyampaikan pendapatnya.
§  Kebebasan berpikir, yaitu tugas akal adalah untuk berpikir sebagaimana tugas mata untuk melihat.
Sebenarnya Islam tidak mencela kebebasan berpikir, tapi mencela terhadap kelalaian dan kecerobohan. Hal itu juga tidak menjadikan sebuah kebebasan dari perkara yang diperbolehkan untuk bisa dilakukan dan ditinggalkan seseorang sekehendak dia, tapi menjadikannya sebagai hak bagi Allah atas manusia. Maka orang yang malas berpikir dan menganggurkan akalnya termasuk orang yang durhaka dalam pandangan Islam.[33]
§  Kebebasan beragama
Iman yang shahih dan bisa diterima itu haruslah datang dari kesadaran akal dan adanya penerimaan hati. Sesungguhnya hal itu memberikan kejelasan pada manusia yang berakal untuk mencari kebenaran, kemudian ia memeluknya dengan rasa suka cita dan keinginan sendiri (tanpa paksaan). Jadi, orang yang menghendaki masuk Islam, mereka akan masuk dengan petunjuk, dan jika tidak menghendaki boleh saja meninggalkannya. Karena tidak ada paksaan dalam beragama apapun. Seperti dalam firman Allah:
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا أحاط بهم سرادقها وإن يستغيثوا يغاثوا بماء كالمهل يشوي الوجوه بئس الشراب وسائت مرتفقا
 “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi: 29)[34]
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Dari uraian makalah yang telah kami paparkan dari awal pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Semua hal yang berkaitan dengan HAM harus mengacu pada Deklarasi Universal HAM oleh PBB tahun 1948
2.      Konsep HAM yang berasal dari Islam maupun Barat sebenarnya memiliki kesamaan yang cukup luas. Hanya saja yang membedakan adalah dari segi pelaksanaan yang berbeda pada landasan yang digunakan
3.      Prinsip dasar HAM mengacu pada prinsip kesetaraan dan perlindungan baik secara individu maupun sosial (warga negara)
4.      Pelaksanaan penegakan HAM di belahan dunia disesuaikan pada hukum yang berlaku pada negara tersebut
5.      Islam merupakan agama yang paling depan menjunjung tinggi keberadaan HAM
6.      Ada tiga landasan hukum HAM di Indonesia, yaitu:
a.       Pancasila
b.      UUD 1945
c.       Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
7.      Adapun pelaksanaan HAM dalam Islam harus didasarkan pada Maqasid al-Syari’ah
B.     Saran
Tentu saja makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari sisi penulisan maupun isinya. Kami sangat berterimakasih kepada para pembaca yang telah menyempatkan wantunya untuk membaca tulisan ini. Kami sangat menanti kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Oleh karena itu, jika diperkenankan kami dapat memberikan saran apabila suatu saat nanti ada penulis lain yang melakukan kajian terhadap tema yang sama agar dapat melengkapi data-data penelitiannya. Dan jika memungkinkan, untuk bisa ditambah dengan data-data akurat terbaru. Lebih-lebih yang memuat contoh-contoh yang sering terjadi di masyarakat. 






[1] Depag RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; ‘Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia’, 2010, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, hal: 277-278
[2] Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis, 2004, Jakarta: PT. Kompas  Media Nusantara, hal: 110
[3] KBBI Offline V. 1.4
[4] Tafsir Al-Qur’an Tematik, hal: 278
[5] Fatma Susanti, Pemajuan Penghormatan dan Perlindungan HAM, Diakses dari: http://civiceducation.blogspot.com/pemajuan-penghormatan-dan-perlindungan-hak-asasi-manusia-(HAM).html, Waktu: Tanggal 22/4/2013, jam 23.42 WIB
[6] Fatma Susanti, Pemajuan Penghormatan dan Perlindungan HAM, Diakses dari: http://civiceducation.blogspot.com/pemajuan-penghormatan-dan-perlindungan-hak-asasi-manusia-(HAM).html, Waktu: Tanggal 22/4/2013, jam 23.42 WIB
[7] Tafsir Al-Qur’an Tematik, hal: 278
[8] Dani Iskandar, Pengertian dan Macam-macam Hak Asasi Manusia, Diakses dari: http://daniiskandarmanajemen.blogspot.com/pengertian-hak-asasi-manusia-dan-macam.html, Waktu:  tanggal 10/4/2013,  jam: 13.29 WIB
[9] Muhammad Al-Ghazali, Huquq al-Insan, hal: 212
[10] Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Cet. I, 1941, Mesir: Mustafa al-Bab al-Halaby, hal: 63
[11] Tafsir Al-Qur’an Tematik, hal: 283-284
[12] Dr. Muhammad Sayyid Yusuf, Manhaj al-Qur’an al-Karim fi Ishlah al-Mujtama’, Cet. II, 2004, Kairo: Dar al-Salam, hal: 353
[13] Sayyid Qutub, Tafsir fi Dhilalil Qur’an, J. 2, tt., Mesir: Minbar al-Tauhid wa al-Jihad, hal: 355
[14] Hasyiyah as-Shawi
[15] Tafsir Al-Qur’an Tematik, hal: 286
[16] Muhammad Al-Ghazali, Huquq al-Insan baina Ta’alim al-Islam Wa I’lan al-Umam al-Muttahidah, Cet. V, 2005, Mesir: Syirkah Nahdah, hal: 64
[17] Tafsir Al-Qur’an Tematik, hal: 290-291
[18] Tafsir Al-Qur’an Tematik, hal: 294
[19] Kekuasaan yang digunakan secara sewenang-wenang
[20] Fatma Susanti, Pemajuan Penghormatan dan Perlindungan HAM, Diakses dari: http://civiceducation.blogspot.com/pemajuan-penghormatan-dan-perlindungan-hak-asasi-manusia-(HAM).html, Waktu: Tanggal 22/4/2013, jam 23.42 WIB

[21] Dr. Zakariya Al-Barri, Huquq al-Insan Fi al-Islam, 1981, Mesir, hal: 5
[22] Ni Wayan Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia, Diakses dari: http://unhicommunity.blogspot.com/ /Emperordeva's-Weblog/Sejarah-Hak-Asasi-Manusia.html, Waktu: Tanggal 10/4/2013 Jam 13.40 WIB
[23] Dina, Perkembangan HAM di Indonesia, Diakses dari:  http://dinablogpribadi.blogspot.com/perkembangan-HAM-di-negara-indonesia.html, Waktu: Tanggal 22/4/2013 Jam 23.43 WIB
[24] Dina, Perkembangan HAM di Indonesia, Diakses dari:  http://dinablogpribadi.blogspot.com/perkembangan-HAM-di-negara-indonesia.html, Waktu: Tanggal 22/4/2013 Jam 23.43 WIB
[25] Abu A’la Al-Maududi, Human Rights in Islam, 1980, Leicester: The Islamic Foundation, hal: 17
[26] Dr. Zakariya Al-Barri, Huquq al-Insan fi al-Islam, hal: 7-8
[27] Tafsir Al-Qur’an Tematik, hal: 12-14
[28] Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis, hal: 113

[30] Tafsir Al-Qur’an Tematik, hal: 301-341
[31] Majalah al-Adab al-Islami, edisi: 18/08/2003
[32] Muhammad Al-Ghazali, Nahwa Tafsir Maudlu’i Li Suwar Al-Qur’an, 1995, Mesir: Dar al-Syuruq, hal: 5
[33] Muhammad Al-Ghazali, Huquq al-Insan baina Ta’alim al-Islam Wa I’lan al-Umam al-Muttahidah, hal: 64-65
[34] Muhammad Al-Ghazali, Huquq al-Insan baina Ta’alim al-Islam Wa I’lan al-Umam al-Muttahidah, hal: 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar