Senin, 09 Juni 2014

TAFSIR KONTEMPORER


Pendahuluan
Dunia pemikiran Islam, dan khususnya Arab, mengalami shock modernitas, setelah Barat hadir dengan peradaban moderennya di awal abad 19. Wabah inferioritas menghinggapi para sarjana muslim ketika berhadapan dengan Barat. Salah satu respon yang muncul dari persinggungan intelektual tersebut adalah gagasan reformasi agama yang dipelopori Jamaludin Afghani (1838 – 1897) dan muridnya, Muhammad Abduh (1849 -1905). Mereka menyerukan pembaruan, kembali kepada Qur’an dan Sunnah serta membongkar tradisi intelektual lama yang dianggap stagnan.
Tak dapat disangkal bahwa gerakan pembaruan yang digemakan Afghani dan Abduh merupakan tonggak perubahan kajian tafsir di abad Moderen, sebagaimana Ibnu Jarir yang menjadi trend setterkajian tafsir di abad 3 Hijriyah. Tema kebangkitan umat, pemurnian agama, rasionalitas dan anti stagnasi yang diusung Abduh telah membuka jalan bagi kemunculan model-model baru dalam kajian tafsir. Keberaniannya melawan arus dan mendobrak kemapanan, mengilhami banyak pengkaji tafsir setelahnya untuk melakukan kajian-kajian kritis bahkan radikal. Dapat dikatakan, secara genealogis kajian tafsir kontemporer merupakan anak ideologis Abduh.
Diantara penulis Arab yang pertama mengangkat tema kritik pemikiran ini Sadiq Jalal Azam, seorang pemikir Muslim kontemporer beraliran Marxist berasal dari Syiria. Pada tahun 1972, beliau menerbitkan buku yang berjudul Naqd al-Aql al-Dini. Buku ini pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1969, yaitu dua tahun setelah peristiwa yang sangat memalukan bagi sejarah modern bangsa Arab, Kekalahan pada perang enam hari pada bulan Juni 1967. Buku mengkritik pola pikir keagamaan yang yang berkembang dikalangan bangsa Arab, sebuah pemikiran yang dalam pandangannya sangat bersifat metaphysical-oriented. Disini ‘Azam mempertanyakan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan alam ghaib seperti mengenai pean Tuhan dalam sejarah, malaikat, dst. Buku ini telah melahirkan reaksi keras dari beberapa kalangan. Akhirnya,diapun di dihadapkan kedepan pengadilan.
Lebih sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1984, Mohammad Arkoun, pemikir kelahiran asal al-Jazair dan menetap di Paris ini, juga tampil degan tema yang sama dengan bukunya Pour une Critique de la Raison Islamique. Secara umum buku ini adalah sebuah upaya untuk mendekonstruksi epsitemologi dan metodologi pemikiran Islam yang dianggapnya sebagai faktor utama kemunduran Islam dan stagnansi pemikirannya. Dengan menggunakan berbagai metode yang dicatutnya dari berbagai disiplin ilmu humaniora dan filsafat postmodernsme yang sedang berkembang di Barat, Arkoun mempertanyakan otentisitas al-Qur’an, otoritas sunnah dan juga ulama silam. Seperti halnya al-Qur’an mushaf ‘utmani yang dikatakannya sebagai produk konfigurasi politik penguasa ketika itu, Arkoun juga berpandangan bahwa karya-karya ulama Islam dahulu tidak terlepas dari pengaruh ideology yang dominan saat itu. Buku ini diterjemahkan Hashim Salih, murid dan juga teman baik Arkoun, kedalam bahasa Arab dan dia beri judul Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi.
Pada periode yang hampir bersamaan, Muhammad Abid al-Jabiri, tokoh intelektual dan filsuf Maroko kontemporer, juga sedang menggagas projek intelektualnya, yang dinamainya dengan Naqd al-’Aql al-’Arabi. Jabiri kemudian menuangkan ide kritiknya itu dalam dua karya tulisnya yang berketebalan lebih kurang 600, yaitu Takwin al-Aql al-Arabi (Formasi Akal Arab) dan Bunyah al-Aql al-Arabi (Struktur Akal Arab). Dalam kedua buku ini Jabiri mencoba untuk menulusuri formasi awal terbentuknya pemikiran Islam, dan kemudian mekonstruksinya sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah struktur baru dalam epistemologi Arab Islam.  Teori yang dikembangkannya dalam kedua buku ini kemudian dia aplikasikan untuk membaca pola pikir politik dan etik bangsa Arab dalam bukunya al-Aql al-Siyasi al-‘Arabi dan al-Aql al-Akhlaqi al-Siyasi.
Mengkuti jejak intelektual diatas, Nasr Hamid Abu Zayd tahun 1990 juga menerbitkan karya yang bernuansa kritis pemikiran dan dia beri judul Naqd al-Khitab al-Dini. Buku ini sebenarnya merupakan kritik sekaligus jawaban terhadap para pengkritisinya yang melemparkan tuduhan dan kritikan atas karya intelektualnyanya berjudul Mafhum al-Nass dan al-Imam al-Shafi’I wa Ta’sis al-aydulujiyyah al-Wasatiyyah. Di buku ini, Nasr mencoba menulusuri apa yang disebutnya aliyat al-fikr pemikiran Islam kontemporer. Dia mngkritisi model pikiran yang dikembangkan kelompok salaf yang menurutnya telah gagal untuk membuat disgtingsi jelas antara agama dan pemikiran agama, tapi dia juga tidak bersetuju dengan pola pikir yang dikembangkan oleh Islam Kirinya Hasan Hanafi yang menurutunya sangat penuh dengan muatan ideologis. Apa yang menarik dari buku ini adalah pengarang bmencoba untuk menkonseptualisasi kembali makna wahyu dalam hubungannya dengan realitas sosial dan kemasyarakatan.
Selain keempat tokoh diatas, sesungguhnya masih banyak lagi pemikir, tokoh intelektual, dan filsuf Arab Muslim kontemporer yang tampil dengan ide-ide kritik pemikiran keagamaan. Sekedar contoh sebut saja misalnya Halim Barakat dengan al-Mujtama’ al-’Arabi al-Mu’asir, Hisham Sharabi dengan teori Neopatriarchy-nya, Hasan Hanafi dengan projek al-Turath wa al-Tadid-nya,yang keduanya merupakan sebuah kritik atas struktur masyrakat Arab dan pola pikirnya, Adonis dengan karyanya al-Thabit wa al-Mutahawwil, Tayib Tizini dengan Min al-Turath ila al-Thawrah, Mahmud Amin, Abdullah Laroui, Fazlur Rahman dan lain sebagainya. Intinya para pemikir ini merasa perlu untuk menilai kembali tradisi keilmuan Islam yang telah kita warisi dari generasai Muslim abad pertegahan sebagai usaha untuk merespon tantangan zaman dan menjawab persoalan yang sedang berlaku. Dalam konteks inilah saya melihat para pemikir Islam menempuh berbagai cara. Ada yang masuk dari jalur metodologi sementara yang lain dari jalur epistemologi. Kelompok yang menjadikan metodologi sebagai fokus pembaharuan, juga terbagi kepada dua kategori; ada yang menjadikan usul fiqh sebagai lahan pembaharuan, sementara yang lain memfokuskan diri pada pembaharuan metodologi tafsir. Meskipun berangkat dari sudut pandang yang berbeda, pada prinsipnya mereka mempunyai pandangan yang sama yaitu metodologi usul fiqh dan tafsir al-Qur’an klasik sudah tidak sanggup menjawab tantangan zaman. Metode qiyas, dan tafsir yang berputar-putar sekita pemahaman terhadap nas tanpa melihat setting sosial, kultur dan politik yang sedang berkembang hanya akan menjadikan ajaran Islam tersebut kaku dan sebagai akibatnya akan gagal merespon kebutuhan umat. Dalam konteks inilah para pemikir Muslim seperti Arkoun, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, Fetim,a Mernisi, dan lain-lain mencoba menawarkan metodologi yang variatif, dari metode hermenetik, ke historical critiism, ke metode dekonstruksi ala derrida.
Namun demikian keberaniannya mendobrak kemapanan, bahkan bersentuhan dengan wilayah sensitif, menimbulkan kejengahan dan membalikkan arah perubahan di sebagian kalangan penafsir kontemporer. Di sisi lain, keberanian abduh dapat menjadi pembuka jalan bagi kajian tafsir yang lebih berani. Ibarat pepatah, “guru kencing berdiri murid kencing berlari”.
Makalah ini akan menelaah perkembangan tafsir kontemporer.
I.                   Nasr Hamid Abu Zayd
A.    Biografi dan karya Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di desa Qohafah di dekat kota Thanta’ mesir pada 10 juli 1943. Ayah Nasr adalah seorang ikhwanul muslimin dan pernah di penjara menyusul di eksekusinya Sayyid Quthub.[1]Abu Zayd belajar menulis dan mulai menghafal al-Quran pada umur empat tahun di Kuttab, karena kecerdasanya pada umur delapan tahun Nasr sudah khatam menghafal al-Quran, sehingga dia dijuluki dan dipanggil oleh teman-temanya “Syaikh Nasr”[2] . pada tahun 1954 ketika ikhwanul muslimin menjadi gerakan yang kuat dan memiliki cabang hampir diseluruh desa Mesir, Nasr yang masih berusia sebelas tahun menyatakan ingin bergabung dengan gerakan ihkwanul muslimin, karena di usianya yang masih belia sebenarnya dia tidak diperkenankan tetapi Nasr selalu mendesak kepada ketua cabang di desanya agar dapat bergabung dengan gerakan yang di pimpin oleh Sayyid Quthub. Meski gagal masuk di Al-Azhar, semangat Abu Zaid untuk mempelajari pemikiran Islam tidak surut. Di sela-sela aktifitasnya berse-kolah, ia menyempatkan untuk membaca buku-buku pemikiran Islam. Antara lain karya-karya Al-Manfaluthy, Yusuf Al-Syiba’iy, Taufiq Al-Hakim, Al-‘Aqqad, Najib Mahfud dan Taha Husein. Bahkan dia sering mengadakan diskusi dengan pemikir Islam lainnya, semisal Jabir Ushfur, Sayyid al-Hulwu, Mohammad Mansi Qindil, Farid Abu Sa’dah, M. Shaleh dan Said Kafrawi.[3] Aktivitasnya ini sempat dicurigai aparat setempat. Karena namanya tercantum sebagai anggota ikhwanul muslimin Nasr sempat di jebloskan dipenjara, berhubung masih belia dan masih di bawah umur Nasr hanya di kurung selama satu hari.
Nasr Hamid Abu Zayd di usianya yang masih belia sudah mendapat kepercayaan dari masyarakat, seperti dalam masalah adzan dan terkadang juga menjadi Imam shalat yang biasanya di mesir hanya dilakukan oleh orang dewasa. Abu Zayd sangat tertarik dengan pemikiran Sayyid Quthub terutama pemikiranya dalam buku Al-Islam Wa-al ‘adalah al-ijtimaiyyah (Islam dan Keadilan Sosial), khususnya di penekanan Sayyid Quthub dalam menafsirkan keadilan manusiawi dalam islam.
Sa’at berusia empat belas tahun Nasr sudah di tingal oleh ayahnya dan sa’at itu dia harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Thanta’ 1960 Nasr mulai bekerja sebagai seorang teknisi elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo hingga tahun 1972 sekitar dua belas tahun[4].
Pada usia dua puluh satu tahun Nasr sudah mulai menulis tentang kritik sastra, sehingga tulisanya yang berjudul “Hawl Adab A’l Ummal wa Alfallahin” (Tentang Sastra Buruh dan Petani) dan “Aghniyyah Al-Mishriyyah” (Krisis Lagu Mesir) mampu menarik jurnal al-adab yaitu jurnal pimpinan dari Al-Khulli untuk di publikasikan pada tahun 1964. Sehingga kedekatan Nasr dengan Al-Khulli menjadi semakin dekat satu sama lain.
Pada tahun 1968Nasr meneruskan pendidikanya di Universitas Kairo dan menganmbil jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Disamping kuliah Nasr juga bekerja, pada malam hari Nasr kuliah dan siangnya bekerja, pada tahun 1972 Nasr dapat menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cum laude.
Kemudian Nasr diangkat menjadi asisten dosen menggantikan dari Amin Al-Khulli. Pada tahun 1975 nasr mendapatkan beasiswa untuk melakukan studi di American University di Kairo selam dua tahun, dua tahun berikutnya dia mendapatkan gelar MA dengan predikat cum laude dengan tesis yang berjudul al-ittijah al-‘aqli fi al-tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat al-Majaz fi al-Quran’inda al-Mu’tazilah (Rasionalisme dalam Tafsir:Sebuah Studi tentang Problem Metafor menurut Mu’tazilah). Setelah itu Nasr Hamid Abu Zayd diangkat menjadi Dosen di Universitas Kairo. Selain itu juga dia mengajar Sastra Bahasa Arab untuk orang-orang asing di Centre for Diplomat dan di Kementrian Pendidikan.
Pada tahun 1978 Nasr Hamid Abu Zayd menjadi Fellow di Middle East Studies di Universitas Pensylvania, Amerika Serikat, disana dia mempelajari ilmu-ilmu tentang Sosial dan Humanitas terutama tentang cerita rakyat, dan disinilah Nasr menjadi akrab dengan hermeneutika Barat, lalu dia menulis artikel pertamanya yang menyangkut dengan hermeneutika yang berjudul “Al-Hirminiyuthiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-Nashsh” (Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks).
Pada tahun1992, Abu Zayd diusulkan untuk dipromosikan menjadi profesor (al-ustadz). Akan tetapi promosinya ditolak karena dianggap telah keluar dari nilai-nilai keimanan. Sejak itu banyak hujatan yang diterima oleh Abu Zayd terutama dilakukan oleh Dr. Sabur Sahin, yang selalu menyuarakan ke-kafiran Abu Zayd ke seluruh penjuru mesir sehingga pengadilan menjatuhkan vonis murtad yang menyebabakan perceraian dengan istrinya.[5]
Karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd
Meskipun ruang berfikir Abu Zayd sangat dibatasi di mesir, akantetapi tidak menyuruutkan niat seorang pemikir besar islam untuk tidak berkarya. Nasr Hamid Abu Zayd banyak memunculkan karya-karya yang sangat monumental diantaranya:
1. Al-Hirminiyyuthiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-Nashsh, Fushul 1:3, April 1981; diterbitkan ulang dalam Isykaliyyat.
2. (1982) Al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasat fi Qadiyyat al-Majaz ‘Inda al-Mu’tazilat (Kecenderungan Rasional dalam Penafsiran: Studi atas Persoalan Metafor dalam Al-Qur’an Menurut Kalangan Mu’tazilah), Beirut.
3. (1983) Falsafat al-Ta’wil: Dirasat fi Ta’wil al-Qur’an ‘Inda Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi atas Hermeneutik al-Qur’an Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi), Kairo.
4. (1990) Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Konsep Teks: Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an), Kairo.
5. (1994) Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Keagamaan), Kairo.
6. (1995) Al-Tafkir fi Zaman al-Tafkir: Didda al-Jahl wa al-Zayf wa al-Khurafat (Pemikiran di Zaman Pengkafiran: Menentang Kebodohan, Kekeliruan Dan Khurafat), Kairo.
7. (1995) Al-Nash, al-Sulthat, al-Haqiqat: Al-Fikr al-Dini Bayna Iradat al-Ma’rifat (Teks, Kekuasaan, dan Esensi: Pemikiran Keagamaan antara Kehendak Pengetahuan), Kairo.
8. (1999) Dawa’ir al-Khawf: Qiraat fi Khitab al-Mar’at (Wilayah Ketakutan: Pembacaan Atas Wacana Perempuan)
9. (2000) Al-Khitab wa al-Ta’wil (Wacana dan Hermeneutika), Dar al-Beida.
10. (2000) The Qur’an: God and Man in Communication (Al-Qur’an: Tuhan dan Manusia dalam Komunikasi), Leiden.

B.     Konsep hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd
Kata “hermeneutika”, dalam istilah Yunani diidentikkan dengan tokoh mitologis yang bernama Hermes. Ia adalah seorang utusan tuhan yang ber-tugas menyampaikan pesan (wahyu) Jupiter kepada manusia. Hermes digam-barkan sebagai orang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius (bahasa latin). Tugas Hermes sangatlah penting yakni menyampaikan pesan dari dewa kepada manusia, maka Hermes harus mampu menterjemahkan bahasa para dewa agar dipahami oleh manusia, berhasi atau tidaknya tugas ini tergantung dari penyampaian Hermes tentang pesan tersebut kepada manusia.[6]
Menurut Nasr Hamid Abu Zayd sebagaimana dikutip dari Ahmala, bahwa Hermes yang dimaksud adalah nabi Idris AS, yang disebut dalam al-Quran, dan dikenal sebagai manusia yang pertama kali mengenal tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi, dan lain-lain. Sedangkan di lingkup kaum Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, dalam mitologi tafsir dikenal sebagai nabi Musa AS.
Banyak yang beranggapan bahwa hermeneutika adalah milik orang kristiani dan agama islam tidak mengenal istilah hermeneutika sama sekali, Abu Zayd mengatakan bahwa: “Al-hermeneutika – idzan – qadliyyatun qadimatun wa jadidatun fi nafs al-wakti, wa hiya fi tarkizihi ‘ala alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasanatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun laha wujuduha al-mulih fi turasina al-arabi al-qadim wa al-hadits ‘ala al-sawa.”
(Artinya: hermeneutika – kemudian – adalah diskursus lama dan sekaligus baru. Titik bahasan dia tentang relasi penafsir dan teks itu bukan hanya diskursus dalam pemikiran barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga ada dalam tadisi arab, baik arab lama maupun sekarang).[7] Abu Zayd menjadi sangat akrab dengan hermeneutika ketika dia mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya ilmu tentang folklore (cerita rakyat).
Pembahasan hermeneutika Abu Zaid berangkat dari problem tekstualitas al-Qur’an. Dia mengacu kepada dua teori klasik tentang “tekstualitas” antara asy‘ariyah dan mu’tazilah tentang kata-kata Allah (kalam Allah). Pertentangan mengenai apakah al-Qur’an itu qadim atau jadid maupakan problem klasik. Teori pertama, teroi mu’tazilah yang mengatakan bahwa bahasa adalah kon-vensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial tentang hubungan antara suara suatu kata dengan maknanya. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) ditentukan oleh konvensi manusia. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an diciptakan, baru dan makhluk karena ia tidak masuk dalam sifat-sifat Dzat yang azali. Al-Qur’an adalah firman Allah, firman termasuk tindakan dan bukan termasuk sifat. Al-Qur’an masuk dalam “sifat-sifat tindakan tuhan” (shifat al-af’al al-ilahiyyah) dan bukan katagori “sifat-sifat Dzat” (shifat adz-dzatiyyah), dengan demikian tidak abadi. Sifat-sifat tindakan merupakan wilayah interaksi antara tuhan dengan dunia, sedangkan sifat-sifat dzat merupakan wilayah keunikan dan kekhususan eksistensi tuhan dalam dzat-Nya sendiri. Sebagaimana telah dipaparkan diatas bahwa al-Qur’an diciptakan dalam konteks tertentu, dan berhubungan dengan dunia manusia, oleh karena itu al-Qur’an merupakan sifat tindakan tuhan. Kedua, yang didukung asy’ariyah mengatakan bahwa bahasa adalah pemberian tuhan kepada manusia, bahasa bukanlah temuan manusia. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) ditentukan oleh tuhan. Kata-kata Allah bukanlah ciptaan, tetapi merupakan salah satu sifat-Nya. Asy’ariyah meyakini bahwa al-Qur’an sebagai kata-kata Allah adalah abadi sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam tablet terjaga (al-lawh al-mahfuzh). Abu Zaid, condong kepada pendapat mu’tazilah, bahwa teks, termasuk al-Qur’an merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifiknya sendiri.
Karakter teks, mempunyai dua sifat yang saling berdialektika: konstanta (yang tetap) dan transforma (yang berubah). Teks konstanta terletak pada aspek “tersurat”-nya, namun bergerak dan berkembang dalam aspek “tersirat” nya. Dalam melakukan pembacaan terhadap teks, kaitannya dengan mekanisme yang dikemukakan oleh Abu Zaid, yaitu menyembunyikan dan
menyingkap, dalam konteks hermeneutika sangat mungkin terjadi menyem-bunyikan teks konstanta (yang tetap) dalam aspek tersuratnya dan mencoba menyingkap teks transforma (yang berubah) dari aspek tersiratnya. Dalam melakukan pencarian terhadap makna tersiratnya, sangat dibutuhkan peran akal manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ali ra, bahwa “al-Qur’an adalah tulisan yang diam, yang membuat bicara adalah oknum-oknum”Karena oknum yang membuat bicara, maka seringkali pembacaan terhadap al-Qur’an terjebak dalam nuansa kepentingan ideologis untuk kelompok tertentu.
C.    Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd tentang al-Quran
Menurut Nashr Hamid Abu Zayd hubungan antara teks (nash) dan interpretasi (takwil) adalah merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang. Berikut adalah pandangan Nasr tentang al-Quran sehingga dapat melahirkan teori-teori dalam tafsirnya.
1.      Al-Quran Sebagai Teks
Nasr Hamid Abu Zayd mendefinisikan dalam bukunya Mafhum al-Nash (Konsep Teks), apa yang dimaksud dengan teks menurutnya teks berarti dalalah (makna) yang memerlukan pemahaman, penjelasan, dan interpretasi. Sedangkan mushaf (buku) adalah suatu karya estetik (tastakdimu li al-zinah) atau sesuatu untuk mendapatkan berkah Tuhan.[8]
Teks dalam bahasa arab disebut al-nass, dalam bahasa arab klasik kata nass bisa diartikan “mengangkat”[9] kata ini kemudian mengalami pergeseran  konotasi secara semantik dari suatu yang bersifat fisik kepada wlayah-wilayah gagasan. Namun perlu untuk diketahuai bahwa kata nass itu setara dengan apa yang disebut text.
Pengembangan teori tentang teks ini Nasr Hamid Abu Zayd menggunakan pendekatan bahasa dan budaya, yaitu menghilangkan “dimensi ilahiyah teks dari kajian” Nasr dalam analisisnya menggunakan dua tipe yaitu teks primer dan skunder, teks primer adalah al-Quran sedangkan skunder adalah sunnah pendapat-pendapat sahabat dan para ulama.[10] Menurutnya proses turunya al-Quran kepada Nabi Muhammad saw melalui dua tahapan pertama melalui tahap Tanzil (yaitu proses turunya al-Quran dari Allah swt kepada malaikat jibril), dan teks masih berupa teks nonbahasa. Proses penurunan ini di pahami melalui dua penurunan kepada manusia yang pertama melalui malaikat, dan yang kedua melalui Nabi Muhammada yang berbentuk manusia.[11] Yang kedua adalah konsep Takwil (yaitu proses dimana Nabi Muhammad saw menyampaikan teks al-Quran dengan bahasanya yait bahasa Arab.[12] Naasr menyebutkan bahwa proses ini menyebabkan perubahan al-Quran yang sebagai teks ilahi menjadi teks insani atau dari tanzil menjadi takwil. Zayd mengungkapkan bahwa “Wahyu adalah bentuk komunikasi antara Tuhan dan Manusia” akan tetapi komunikasi ini Tuhan berada pada sebuah kategori dan manusia ada di kategori lain. Tuhan adalah kekuatan supranatural sedangkan manusia adalah makhluk duniawi.[13]
Metode kritik satra yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd adalah merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika yang dikenalnya ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia, dia mengatakan I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand new word for me.[14]
Setelah akrab dengan literatur hermeneutika barat, zayd kemudian membahas masalah teks yang merupakan salah satu persoalan yang mendasar dalam hermeneutika.
2.      Al-Quran sebagai produk budaya
Abu Zayd juga mengatakan bahwa al-Quran adalah sebuah produk budaya, hal ini karena al-Quran terbentuk atas realitas sosial dan budaya selama dua puluh tahun. Abu Zayd mengatakan bahwa al-Quran terbentuk melalui dua fase,  fase keterbentukan (proses kemunculan al-Quran dan interaksinya dengan realita budaya selama dua puluh tahun) budaya adalah ssebagai subyek sedangkan teks adalah sebagai obyek dan fase pementukan (al-Quran membentuk suatu budaya baru sehinga al-Quran dengan sendirinya menjadi produsen budaya)pada fse ini teks menjadi subyek yang membentuk obyek yaitu budaya.[15] Abu Zaid juga mengatakan bahwa al-Quran adalah merupakan teks manusia karena saat teks yang di turunkan dan dibaca oleh Nabi Muhammad menjadi berubah dari teks Illahi(dari tanzil menjadi takwil).
D.    Konsep hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd
Banyak yang beranggapan bahwa hermeneutika adlah milik orang kristiani dan agama islam tidak mengenal istilah hermeneutika sama sekali, Abu Zayd mengatakan bahwa: “Al-hermeneutika – idzan – qadliyyatun qadimatun wa jadidatun fi nafs al-wakti, wa hiya fi tarkizihi ‘ala alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasanatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun laha wujuduha al-mulih fi turasina al-arabi al-qadim wa al-hadits ‘ala al-sawa.”
(Artinya: hermeneutika – kemudian – adalah diskursus lama dan sekaligus baru. Titik bahasan dia tentang relasi penafsir dan teks itu bukan hanya diskursus dalam pemikiran barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga ada dalam tadisi arab, baik arab lama maupun sekarang).[16] Abu Zayd menjadi sangat akrab dengan hermeneutika ketika dia mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya ilmu tentang folklore (cerita rakyat)
II. Hasan Hanafi
A.    BIOGRAFI Dr. HASAN HANAFI
Dr. Hasan Hanafi lahir dikota Kairo tepatnya didekat benteng Salahuddin Al-Ayyubi diperkampungan Al-Azhar pada 13 Februari 1935. Pada saat itu Kairo merupakan tempat pertemuan para mahasiswa muslim yang ingin belajar di Universitas Al-Azhar, di kota tesebut tradisi keilmuan telah berkembang sejak lama, karena memang secara historis dan kultural, kota mesir memang dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejakk masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern.[17]
Dimasa kecil Hasan Hanafi telah berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup dibawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itulah yang menumbuhkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia berani mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan Palestina pada tahun 1948 M. Tetapi ia ditolak oleh pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hasan Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di terusan Suez. Bersama-sama para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an, hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952 M. Atas saran-saran anggota Pemuda Muslim, pada tahun itu pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwanpun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi ketika ingin mendaftarkan diri menjadi sukarelawan Palistina. Kemudian Hasan Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan Hasan Hanafi atas cara berfikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak.
Kekecewaannya tersebut menyebabkan ia memutuskan berkonsentrasi mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi dan perubahan sosial. Hal ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam.[18]
Sejak tahun 1952 M sampai dengan tahun 1956 M Hasan Hanafi belajar di Universitas Kairo dan mendapat gelar sarjana pada Fakultas Adab (Sastra Arab) jurusan filsafat. Pada periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir pada tahun 1954 M, misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwanul Muslimin dengan revolusi. Hasan Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser. Karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi Islam yang jelas. Kejadian-kejadian yang dialami pada waktu itu, terutama yang dihadapi dikampus, membuatnya ia bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dikalahkan dan mengapa konflik internal dalam Islam selalu terjadi.[19]
Tahun-tahun berikutnya, Hasan Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sarbone (Prancis) pada tahun 1956 M sampai 1966 M. Disitu ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh Negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Negara Prancis adalah tempat melatih dirinya untuk berfikir secara metodelogis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan dan karya-karya orentalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis katolik, Jean Guitto; tentang metodologi berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Recour, analisis kesadaran dari Husser dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan ushul fikih dari Prof. Masnion. Tak heran jika di kandang orentalis ia berhasil menguasai tradisi, pemikiran dan keilmuan Barat dengan cukup baik.[20]
Semangat Hasan Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Prancis pada tahun 1966 M. Ia kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangnnya Hasan Hanafi mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah diperolehnya, yaitu dengan memanfaatkan media massa sebagai jalan perjuangnnya. Ia menulis banyak artikel untuk menanggapi masalah-masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.
Setelah menyandang gelar Doctor dengan desertasi “Essai Sur La Methode D’exegese” (esai tentang metode penafsiran) setebal 900 halaman, pada tahun 1966 M, Hasan Hanafi pulang ke Mesir dan mengajar di Universitas Kairo Fakultas Sastra, jurusan Filsafat hingga tahun 1971 M. Selain mengajar di Universitas Kairo, ia juga sempat menjadi Professor tamu di Prancis dan Belgia (1969-1970 M). Kemudian antara tahun 1971-1975 M ia mengajar di Universitas Tample Amerika Serikat. Aktivitasnya yang baru tersebut memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antar agama dengan revolusi.
Sekembalinya dari Amerika, ia mulai menulis tentang pembaruan pemikiran Islam dengan bukunya yang berjudul al-Turauts wa al-Tajdid. Buku tersebut berisi tentang gerakan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yaitu teologi untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan Barat.[21] Pada waktu itu pemerintah Anwar Sadad pro-Barat yang berkolaborasi dengan Israel. Ia terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 M hingga 1981 M. Tulisan-tulisan itu kemudian dibukukan menjadi al-Din wa al-Tsaurah.
Pada tahun 1980-an M, posisinya sebagai intelektual publik Muslim dengan pandangan internasional yang tinggi memberikan banyak kesempatan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai intelektual internasional, setelah bekerja di Amerika Serikat, ia mengajar di Universitas Kuwait (1979 M), Maroko (1982-1984 M), Jepang (1984-1985 M) dan Uni Emirat Arab (1979 M).
Hasan Hanafi kembali ke Jepang sebagai seorang konsultan akademik di Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1985-1987 M.[22] Pada tahun 1989 M, ia ditunjuk sebagai ketua jurusan Filsafat di Fakultas Sastra Universitaas Kairo hingga diberhentikan pada tahun 1995 M.[23] Hasan Hanafi seringkali mengunjungi negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Prancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun 1980-1987 M. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami persolan-persoalan yang dialami oleh dunia Islam.
Dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak remaja membuat Hasan Hanafi memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia-pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan yang ada di Mesir. Sedang pengalamannya dalam bidang akademis dan intelektual, baik secara formal maupun tidak dan pertemuannya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya, sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat Islam.
B.     LATAR BELAKANG PEMIKIRAN dan PEMIKIRAN Dr. HASAN HANAFI
Untuk mengenal lebih jauh pemikiran Hasan Hanafi maka ada baiknya meninjau dahulu latar belakang pemikiran dan metodologi pemikiran Hanafi. Hal ini penting mengingat adanya pola interaksi intelektual antara pemikiran dengan lingkungan. Karl A. Steenbingk menjelaskan, bahwa menulis suatu kitab atau karya pemikiran merupakan suatu proses komunikasi dan proses ekspresi penulisannya dengan lingkungannya. Hal inilah yang mendorong Hasan Hanafi dalam memunculkan buah pemikirannya. Dengan demikian berarti buah pemikiran (karya kalangan) tidak mungkin muncul tanpa konteks. Untuk memahami pemikiran Hasan Hanafi dan kaitannya dengan Negara Mesir, maka akan selalu terdapat proses komunikasi dan ekspresi dengan lingkungannya, dan hubungannya timbal balik antara pemikiran ke Islaman di satu pihak dengan kondisional di lain pihak.
Pemikiran bersumber dari pengetahuan yang dibentuk secara sosiologis. Karena itu, pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari akar sosialnya, tradisi dan keberadaan pemikir tersebut. Dengan itu pula, pemikiran Hanafi tidak bisa di pahami tanpa meletak-kannya dalam suatu posisi sejarah atau tradisi panjang yang melingkarinya. Dengan demikian, akan dijelaskan latar belakang kemunculan pemikiran Hanafi, yang mencakup dua hal.
1.      Kondisi Sosial Politik
Mesir, yang terletak pada persimpangan jalan antara Afrika dan Asia, memiliki posisi yang strategis. Disamping tanah yang subur, membangkitkan minat para penakluk dan Negara-negara besar pada masa lampau. Arti strategis Mesir bertambah lagi dengan digalinya terusan Suez pada tahun 1869. Meskipun milik swasta, terutama maskapai Perancis, secara strategis berada dibawah kontrol Inggris yang menyadari kepentingan terusan ini bagi kepentingan imperiumnya. Pada akhir abad XIX situasi politik, sosial dan intelektual di Mesir sedang mengalami perubahan, sebab pada masa itu dengan berakhirnya Perang Dunia I, Mesir mengalami kebangkitan nasionalisme yang ditunjang oleh berbagai faktor, yaitu :
1). Kehadiran pasukan Inggris, Australia dan Selandia Baru yang melukai rasa kebangsaan Mesir.
2). Pembiayaan besar bagi tentara berpenghasilan tetap
3). Digunakannya orang Mesir menjadi tenaga kerja Inggris yang mengurangi persediaan buruh Mesir
Perang Dunia II mengakibatkan kekacauan dalam struktur sosial dan ekonomi Mesir yang serupa dengan pada masa Perang Dunia I, dan pengaruhnya pada psikologi politik Mesir juga sebanding. Hal ini juga merangsang suatu gelombang nasionalisme anti asing yang condong berbentuk kekerasan. Walaupun umumnya hanya persamaan antara Perang Dunia itu, ada juga perbedaan yang nyata. Jika sesudah Perang Dunia I, Wafd menjadi penyambung lidah nasionalisme Mesir, setelah Perang Dunia II peran ini diambil alih oleh kelompok lain yang lebih ekstrem. Ekstrimisme ini nyata benar, baik pada sayap kiri maupun pada sayap kanan.
a. Disayap kiri terdapat partai Komunis yang sangat bertambah prestisenya sebagai hasil pengaruh Soviet diseluruh dunia. Kemenangan Soviet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan Soviet di Kairo (1942) merangsang minat terhadap komunisme diantara mahasiswa dan para intelektual muda.
b. Sementara di sayap kanan terdapat kelompok persaudaraan Islam (al-Ikhwan al-Muslimin), didirikan oleh Syeikh Hassan al-Banaa (1929) di Ismailia, yang pro Islam dan anti Barat, kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut pada akhir Perang Dunia II, bahkan pengaruhnya menembus keluar wilayah Mesir. Sikap pemerintahan Mesir dalam usahanya mempertahankan ketertiban terlihat pada tindakan pembersihan terhadap kaum komunis, yang terjadi pada bulan Juli 1946. Disusul pada bulan Februari 1949 pembunuhan terhadap Hasan Al-Banna setelah pemeritah Mesir melarang kelompok persaudaraan pada Bulan Desember 1948.
Dari penjelasan di atas, nampak kondisi politik Mesir sejak awal abad XIX mengalami dinamika politik dan selalu di dominasi oleh pertentangan antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan Islam tradisional. Pertentangan ini diwakili oleh para penganut teori yang berbeda, yang pendukung-pendukungnya membuat perdebatan ini berlangsung lama.  Situasi politik yang sedekimian rupa, dimana Hasan Hanafi lahir, dibesarkan dan terpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya. Hal ini terlihat pada keterlibatannya dalam berbagai pergolakan politik semasa kecilnya. Diantaranya, pemberontakan melawan Inggris di Terusan Suez pada tahun 1951. revolusi Mesir 1952 dan lain sebagainya.
Dari uraian di atas, memperlihatkan kuatnya perhatian Hasan Hanafi dalam memperjuangkan kepentingan umat secara luas, juga keterliba-tannya dalam gerakan-gerakan politik. Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh situasional kondisi politik Mesir pada pembentukan kepribadian Hanafi. Demikian kondisi dan situasi sosial politik yang melingkari kehidupan Hanafi, yang dalam pandangannya ketiga gerakan tersebut diatas masih memperlihatkan kelemahan dalam efektifitas perjuangan umat Islam secara keseluruhan, walau dalam hal-hal tertentu Hanafi banyak di pengaruhi oleh ketiga gerakan tersebut.[24]
2.      Kondisi Gerak Intelektual
Tahun 1798, awal masuknya penjajah Napoleon Bonaparte, dan tahun 1805, tahun diangkatnya Muhammad Ali sebagai Gubernur Mesir, dianggap sebagai awal masuknya pengaruh Eropa ke Mesir secara formal. Muhammad Ali Pasha adalah tokoh pertama yang menerima kehadiran modernisasi Mesir. Usaha modernisasi ini di awali dengan kebijakannya untuk memperbaiki Mesir di hampir segala bidang kehidupan, seperti bidang pertanian, administrasi, pendidikan, kemili-teran, dan industri. Semua ini, menurut dia, bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Mesir. Dengan modernisasi disegala bidang menjadikan Mesir masuk masa Liberal (liberal age). Paham liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik.
Dengan berkembangnya pemahaman liberal di Mesir, lahirlah apa yang disebut an-Nahdah (renaissance). Hal ini dapat dilihat dari usaha penerjemahan dan mengasimilasi prestasi-prestasi peradaban Eropa modern, sementara kebudayaan klasik Arab sedang mengalami kemunduran. Secara garis besar dapat dilihat adanya tiga kecenderungan pemikiran yang muncul ketika itu :
Pertama : The Islamic Trend (Kecenderungan pada Islam), akhiran ini di wakili oleh Rasyid Ridha (1865 – 1935) dan Hasaan Hanafi al-Banna (1906 – 1944)
Kedua : The Syntetic Trend (Kecenderungan mengambis sintesa), kelompok yang berusaha memadukan antara Islam dan kebudyaaan Barat. Kelompok ini diwakili oleh Muhammad Abduh, Qasim Amin (1865 – 1908), Ali ‘Abd, al-Raziq (1888 –1966)
Ketiga : The Rational Scientific and Liberal Trend (Kecenderungan rasional ilmiah dan pemikiran bebas) Fisik pangkal pemikiran ini sebenarnya bukanlah Islami melainkan  peradaban Barat dan prestasi-prestasi ilmiahnya. Termasuk dalam kelompok ini antara lain Luthfi as-Sayyid dan para emigran Syiria yang berlari ke Mesir.
Hanafi tidak begitu setuju dengan gerakan pemikiran di atas, walau di masa perjalanan karis pemikirannya sempat berpihak pada gerakan pertama yaitu Ikhwan al-Muslimin. Tetapi pemikirannya mengalami proses dengan dipengaruhi oleh gerakan pemikiran kedua dan ketiga, apalagi setelah ia belajar ke Perancis. Dengan demikian pemikirannya terbangun lewat situasi gerak intelektual di Mesir dan gerak intelektul di Perancis, yang menjadikan pemikirannya khas dan unik.[25]
Didalam bukunya Hermeneutika pembebasan karya Ilham Baharudin Saenong, mengungkap kembali gagasan tentang herme-neutika Hassan Hanafi yang berusaha menggugat tafsir agar mau berbicara tentang kemanusian dan melakukan perlawanan terhadap penindasan, ketidakadilan, dan kezaliman, dengan menawarkan separangkat metodologi penafsiran atau hermeneutika al-Qur'an, yang berpihak pada masalah-masalah kritis dalam kehidupan manusia. Al-Qur'an sebagai teks, dalam hal ini, berhadap-hadapan dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan kemanusiaan. untuk itu diperlukan hermeneutika yang melampaui penafsiran-penafsiran klasik, tidak saja karena tafsir semacam itu telah kehilangan konteks eksistensialnya, tetapi juga perkembangan metodologis dalam teori-teori penafsiran kontemporer (diyakini) lebih mampu menyajikan dimensi humanistik al-Qur'an, yang selama ini tidak jarang bersembunyi di balik kekakuan teks-teks yang bernuansa teologis.
Jika kita menelusuri hermeneutika Hassan Hanafi bercorak transformatif humanistik tersebut segera akan ditemukan bahwa ada satu hal yang selama ini terabaikan atau sengaja diabaikan oleh mufasir klasik yaitu fungsi performatif audiens yang menjadi tujuan penafsiran metode yang selama ini hanya memperhatikan hubungan antara penafsir dan teks tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks, hal ini mungkin dapat di maklumi sebab mufassir klasik lebih menganggap penafsiran sebagai hasil kerja-kerja kesalehan, sehingga harus bersih dari kepentingan mufassirnya, atau barangkali trauma pada penafsiranpenafsiran
teologis yang pernah melahirkan pertarungan maha dahsyat pada masal awal Islam.[26]
Di dalam bukunya Dialog dan Revolusi I, Hassan Hanafi menjelaskan tentang Hermeneutika sebagai askiomatia sebuah kasus Islam di sini dijelaskan lebih lanjut bahwasannya Hermeneutika bukan hanya berarti “Ilmu Interpretasi”, yakni suatu teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ketingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praxis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Proses pemahaman hanya
menduduki tempat kedua, yang :
a. Pertama : Adalah kritik kesejarahan, yang menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah, tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara
historis asli, sebab jika tidak, pemahaman terhadap sebauh teks yang tidak asli akan menjerumuskan orang pada kesalahan, bahkan walaupun pemahamannya benar. Disinilah hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam artinya yang paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci. Dalam bahasa fenomenologis dapat kita katakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab-kitab suci.
b. Kedua : Kita memiliki “Kesadaran eidetik”, yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional.
c. Ketiga : Adalah “Kesadaran praktis” yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan di dunia ini sebagai strukur ideal yang mewujudkan kesempurnaan hidup. Ini merupakan bagian dari hermeneutika mencari jalannya diantara dua kutub umum : Penafsiran praktis dan hermeneutika filosofi sebagai aksiomatika menghilangkan perbedaan antara hermeneutika dan penafsiran
(yang satu bersangkutan dengan teori dan yang lain dengan praktek) atas dasar perbedaan yang murni bersifat didaktis.[27]
Pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi mengenai Hermeneutika al-Qur'an pada dasarnya tidak dapat dikaji terlepas dari realitas dunia Arab, terutama Mesir Kontemporer Kiri Islam sebagai salah satu momentum dalam perjalanan intelektualnya, misalnya merupakan respon sadar Hassan Hanafi terhadap situasi Arab Kontemporer dengan segala pertarungan ideologis di dalamnya. Geraka pemikiran semacam itu dimaksudkan Hanafi sebagai usaha melepaskan diri dari segala macam kooptasi agama dan kekuasaan, sembari melakukan kritik terhadap pelbagai corak ideologis yang berkembang di Mesir.
Keseluruhan pandangan Hassan Hanafi mengenai ideologi-ideologi pembangunan yang dipraktikkan di Mesir pada dasarnya, mencerminkan kritisisme akan kuatnya hegemoni Barat dalam merancang kesadaran politik pemerintahan umat Islam dan Justifikasi agama pada aktivisme politik partisan. Semua ideologi tersebut dipraktikkan tanpa terlebih dahulu ada upaya-upaya rekonstruksi sehingga dapat memberi konstribusi bagi tradisi pemikiran Islam. Dalam konteks semacam inilah pemikiran Hassan Hanafi, pada umumnya, dan Hermeneutika al-Qur'an nya, pada khususnya, harus diletakkan.
Cukup jelas dari pemberitahuan di atas bahwa latar belakang intelektual pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi adalah kegagalan eksperimentasi berbagai ideologi pembangunan di Mesir. Menurut Wahid (1994) di antara cendekiawan muslim, dalam arti pemikir yang memiliki
komitmen cukup kepada Islam, maupun pengetahuan akan ilmu-ilmu ke-Islaman, Hassan Hanafi merupakan salah seorang pemikir muda yang mencoba menemukan kerangka paradigmatis baru dalam pemikiran pembangunan dan Islam. Hanafi berbicara mengenai keharusan bagi Islam
untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, yang berdimensi pembebasan (Taharrur, Liberation). Sementara keinginan tersebut hanya dapat ditegakkan melalui gagasan keadilan sosial dan gerakan ideologis yang terorganisasi, mengakar dalam tradisi pemikiran
Islam dan kesadaran rakyat sekaligus.
Dengan orientasi intelektual semacam kiri Islam tersebut, tidak mengherankan jika kemudian Hassan Hanafi seringkali di identifikasi, atau  bahkan, mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari “Fundamen-talisme Islam” (al-Ushuliyyah al-Islamiyya), sebuah istilah yang cukup problematis terutama akhir-akhir ini.[28]

C.     KARYA-KARYA Dr. HASAN HANAFI
Karya-karya besar Hasan Hanafi sampai sekarang baik berupa buku ataupun artikel telah banyak beredar dan mewarnai khazanah pemikiran umat Islam dan dunia pada umunya. Di antara karya besar Hanafi adalah sebagai berikut:
1.      Min al-Aqidah ila ats –Tsawrah : Muhawalah li I’adah Ilmu Ushul ad-Din
2.      Muqaddimah fi’Ilma al-Istighrab, tahun 1991
3.      Les Metodesd ‘Exegese, essai sur la science des fondaments dela comprehension, ilm ushul al-fiqh, (Seri Desertasi,1965);
4.      L’Exeqese de la Phenomenologie L’etat actual de la methode Phenomenologique et son application au Ph’enomene religiux (Seri Desertasi, 1965);
5.      La Phenomenologie d L’Wxwgese ; Essa d’Une Hermeneutique existentielle a Parti du Nouvea testan ment (Seri Desertasi, 1966)
6.      Religious Dialog and Revolution (1977)
7.      Al-Turats wa al-Tajdid (1980)
8.      Al-Yasar Al-Islami; Khitabah fi An-Nahdhah al-Islamiyyah (1981),
9.      Falsafiyyah: Min Al-Aqidah Ila Ats –Tsawrah (1988)
10.  Ad-Din wa Ats-Tsawrah di Mishr 1956 – 1981, (1989)
11.  Hiwar Al-Masyriq al-Maghrib (1990)
12.  Humum Al-Fikr Wal-Wathan (1997)
13.  Hiwar al-Aiya’ (1998), yang merupakan kumpulan komentar atau tanggapan Hanafi terhadap pemikiran sejumlah intelektual terkemuka di zamannya, termasuk muridnya yang sangat brilian Nashr Hamid Abu Zayd.
14.  Namadzi min al-Falsafah al-Mashiyah fi al-‘As al-Wasith : al-Mu’alli li Aghustin, al-Iman Bahits ‘an al-‘Aql Latashim, al-Wujud wa al-Lathut Wa al-Siyasah (1973)
15.  Lessing : Tarbiyah fi al-Jins al-Basy Ari’ wa A’mal Ukhra (1977)
16.  Jean Paul Sarte ; Ta’ali al-Ana al-Mawjud (1978)

D.    KESIMPULAN
Dari pembahasan yang cukup panjang tentang pemikiran Hasan Hanafi, yang mengungkap tentang rekonstruksi masyarakat Islam, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1.      Masyarakat Islam menurut Hasan Hanfi adalah masyarakat Islam yang harus bisa mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif. Dengan dimensi pembebasan bagi manusia di dalamnya, gagasan akan keadilan sosial yang harus ditegakkan sebagai tiang pendukung, karenannya, bisa terwujud dengan adanya para pelaku pembebas. Pemikiran Hasan Hanafi diorientasikan pada pembuatan paradigma baru, yaitu dengan mengajukan masyarakat Islam sebagai alternatif pembebasan bagi rakyat tertindas dihadapan kekuasaan kaum feodal. Dengan banyak menggunakan analisis sosial seperti teologi pembebasan yang muncul di Amerika Latin, ia berusaha memperbaiki kehidupan masyarakat Islam di Arab yang hancur, dengan mengembalikan identitas mereka dari alienasi, membersihkan dari segala yang menghambat perkembangan, pencapaian standar hidup yang lebih baik, dan penentuan nasib mereka sambil mengembangkan teologi Islam baru bagi masyarakat muslim.
2.      Hasan Hanafi menegaskan rekonstruksi masyarakat Islam dimaksudkan untuk mengkonstruksikan ancaman-ancaman baru yang datang kedunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang, rekonstruksi masyarakat Islam dilakukan lebih awal sebagai landasan yang jauh lebih penting sebelm kemudian melakukan reformasi terhadap yang lain yaitu respons terhadap barat dan realitas. Secara historis gagasan rekonstruksi masyaraat Islam tidak lepas dari gagasan keilmuan Islam tentang diri Islam, yang sejak kelahirannya merupakan sebuah gerakan intelektual bagi sebuah pembaharuan masyarakat Islam daripada sebuah praxis pembebasan, sebagaimana sejarah teologi pembebasan sebelum terumuskan secara konseptual. Hanafi memilih dimensi revolusioner dari khazanah keilmuan Islam. Pilihan itu dilakukan melalui rekonstruksi masyarakat Islam. Adapun keterkaitan antara gagasan rekonstruksi masyarakat Islam dan serta metodologi yang dibangunnya, nampak jelas pada rekonstruksi teologi dan hermeutik Al-Qur'an. Hanafi mencoba menerapkan metodologinya dalam kerangka membangun kembali rekonstruksi masyarakat Islam, dimana rekonstruksi ini berlaku sepanjang sejarah dan merupakan bagian dari realitas itu serta merupakan suatu yang mungkin bagi perubahan sosial. Gagasan rekonstruksi masyarakat Islam yang ditawarkan Hanafi tampak sangat obsesif dan intelektualistik dengan gaya bertutur terkesan bombastis terhadap pandangan yang tidak sepaham dengannya, sebagaimana pandangannya pada teologi. Ia cederung menggunakan interpretasi teks-teks untuk kepentingan agenda sosial, yaitu memperlakukan agama secara praktis dan fungsional. Di sisi lain rekonstruski masyarakat Islam ini muncul dengan membawa misi pembebasan dan respons terhadap modernisme yang desktruktif. Karena itu, gagasan ini dipersiapkan untuk menghadapi puncak problematika zaman kontemporer ini, dan membebasakan dunia Islam dari imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan yang merupakan ancaman internal.


III. Muhammad Arkoun
A.    Biografi Muhammad Arkoun
Mohammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 M di Taourirt-Mimoun, di Kabilia, suatu daerah pegunungan yang berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir. Kedaan itulah yang menghadapakannya pada tiga bahasa: bahasa kabilia, salah satu bahasa barber yang diwarisi Afrika Utara dari zaman pra-Islam dan pra-romawi, bahasa arab yang dibawa ekspansi Islam sejak abad pertama hijriyah dan bahasa prancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair antara tahun 1830 M dan 1962 M.[29]
Sejak kecil ia bergaul secara intensif dengan ketiga bahasa tersebut. Bahasa kabilia dalam kehidupan sehari-hari, bahasa prancis di sekolah dan dalam urusan administratif, dan akhirnya bahasa arab baru yang mulai di dalaminya ketika ia masuk sekolah menengah atas di Oran, kota utama Aljazair bagian barat.
Pendidikan Mohammad Arkoun dimulai pada sekolah dasar di desa asalnya, kemudian sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, dari tahun 1950 M sampai 1954 M, ia belajar bahasa dan sastra arab di Universitas Aljir. Kemudian, di tengah pembebasan Aljazair dari Prancis (yang berlangsung antara tahun 1954 M sampai dengan 1962 M) ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Paris. Sejak saat itu ia menetap di Paris. Namun bidang utama dari studi dan penelitiannya (area of concern) tidak berubah, yaitu tetap meneliti bahasa dan sastra arab serta pemikiran Islam.[30]
Pada tahun 1961 M Mohammad Arkoun diangkat menjadi dosen Universitas Sarbone di Paris, tempat ia memperoleh gelar Doktor sastra pada tahun 1969 M dengan desertasi mengenai Humanisme dalam Pemikiran Etis Miskawaih.[31] Hasil penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Traite d’ethique, Damaskus, 1969 dan Contribbution a l’etude de l’humanisme Arabe IVe/Xe sicle, edisi kedua, Paris, 1982.[32]
Sejak Mohammad Arkoun menetap di Prancis, pengaruh berbagai perkembangan mutakhir dalam bidang islamologi, filsafat, ilmu bahasa, dan ilmu sosial di dunia Barat, terutama Prancis, tampak sangat jelas dalam karyanya.[33] Tahun 1970 M sampai tahun 1972 M Mohammad Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan selanjutnya kembali ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran islam. Selain itu Mohammad Arkoun seringkali memberikan ceramah di luar termasuk di Aljazair atau menjadi dosen tamu di universitas luar negri.
Jenjang pendidikan formal yang dilalui Mohammad Arkoun ini selanjutnya semakin mempererat pergaulannya dengan tiga bahasa (kabilia, arab, prancis) dan tradisi pemikiran terutama tradisi islam, yang sebagian besar diungkapkan dalam bahsa arab serta tradisi barat, terutama yang berkembang dalam bahasa dan di negri Prancis. Selanjutnya dapat diketahui bahwa Mohammad Arkoun menjalani kehidupannya diantara berbagai tradisi dan kebudayaan. Keterlibatannya dalam ketiga bahasa di atas, kelak menjadi faktor penting yang mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Faktor inilah, barangkali yang menyebabkan perhatiannya pada peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia demikian besar.
B.     Latar Belakang Sosial Politik dan Keilmuan Muhammad Arkoun
Sebagai seorang intelektual yang bergulat secara intens dalam dunia pemikiran (islam) Mohammad Arkoun tentunya memiliki latar belakang sosial politik dan keilmuan serta memiliki berbagai kegiatan yang berhubungan dengan dunia akademis. Ketika menjadi mahasiswa di Paris, Mohammad Arkoun sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusastraan arab di Paris. Dia juga pernah menjadi guru SMA (lycee) di Strasbourg, suatu daerah yang terletak di timur laut Prancis, disamping itu ia juga diminta memberi kuliah di fakultas sastra Universitas Strasbourg (1956-1959).
Pada tahun 1961 Mohammad Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne di Paris, tempat ia memperoleh gelar doktor sastra. Dari tahun 1970 sampai 1972 Mohammad Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kemudian kembali ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam. selain itu, Mohammad Arkoun seringkali diundang sebagai penceramah di luar Prancis. Ia bahkan menjadi dosen tamu di berbagai Universitas ternama di luar negri seperti Universitas of California di Los Angeles, lembaga kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, Universitaas Katolik Louvain la Neuve di Belgia dan Princeton Universitas di Philadelphia. Akhirnya pada tahun 1993 Mohammad Arkoun diangkat menjadi guru besar tamu di Universitas Amsterdam. Sejak keterbukaan politis di Aljazair pada akhir tahun 1988 M yang dihentikan kembali pada bulan Januari 1992 M, Mohammad Arkoun sering juga diundang sebagai penceramah oleh berbagai partai politik Aljazair atau diwawancarai media cetak dan televisi Aljazair. Namun, ia tidak pernah melibatkan diri dengan partai politik tertentu.[34]
Selain sebagai pengajar, Mohammad Arkoun menduduki sejumlah jabatan penting lain. Ia adalah direktur ilmiah majalah Islam terkemuka Arabica. Ia juga pernah diangkat menjadi chevalier de la Legion d’honneur (anggota Legiun Kehormatan Prancis) dan meduduki sejumlah jabatan resmi seperti kedudukan anggota panitia nasional Prancis untuk etika dalam ilmu pengetahuan kehidupan dan kedokteran serta kenaggotaan Majlis Nasional untuk AIDS serta Officier de Palmes Academiques, yaitu suatu gelar kehormatan Prancis untuk tokoh terkemuka di dunia akademik.[35]
Mohammad Arkoun sempat mengunjungi Indonesia pada kesempatan seminar tentang Contemporary Expressions of Islam in Building di Yogyakarta pada bulan Oktober 1990 M, Internasional Confrence on Cultural Taurism di Yogyakarta pada bulan November 1992 dan dalam rangka pemberian penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur di Yogyakarta dan Solo pada bulan November 1995. Ia juga sempat berceramah di UIN Yogyakarta dan Jakarta di depan forum LKIS dan beberapa lembaga lain.[36]
Mohammad Arkoun juga berperan aktif dalam dialog antar agama, khususnya dialog Islam-Kristen, selama lebih dari 20 tahun. Selama waktu tersebut Mohammad Arkoun telah menghadiri berbagai pertemuan, konfrensi dan seminar, memberikan beberapa kuliah dan ceramah dan menulis buku-buku dan artikel yang berhubungan dengan kondisi ilmiah dan kultural dari dunia modern, berupa pandangan kritis mengenai warisan keagamaan dari komunitas tiga agama monoteistik.
C.     Karya-karya Muhammad Arkoun
Di antara karya-karyanya adalah Rethinking Islam Today, Mapping Islamic  Studies, Genealogy, and Change, The Untought in Contemporary Islamic Thought, al-Turath: Muhtawahu wa Huwiyyatuhu –sijjabiyatuhu wa salbiyatuhu, Min al-Ijtihad ilal al-Naqd al-‘Aql al-Islami, al-Fikr al-Ushuli wa  Istihalat al-Ta’shil: Nahwa Tarikhin Akhbar li al-Fikr al-Islami, al-Quran  min al-Tafsir bil Mauruth, Lectures de Coran, Min Faysal al-Tafriqah ila  Fasl al-Maqail: Aina huwa al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, The Concept of   Authorithy in Islamic Thought,dan Religion and Society.
Kebanyakan karya Mohammad Arkoun ditulis dalam bahasa Prancis. Ia memang tidak banyak menulis dalam bahasa Inggris. Satu-satunya karya Mohammad Arkoun dalam bentuk buku yang ditulis dalam bahasa Inggris adalah Rethingkling Islam Today, 1987, buku kecil (hanya 27 halaman) yang semula merupakan bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab Studies, Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Sedangkan dalam bahasa-bahasa lain,
karya-karya Mohammad Arkoun tersebar melalui usaha-usaha terjemahan.[37]
Muhammad Arkoun adalah penerus dari usaha Arthur Jeffery dalam mendekontruksi al-Quran. Arkoun dalam melakukan kritik terhadap otentitas al-Quran menggunakan dua konsep yaitu konsep dekonstruksi dan  konsep historitas.
1.      Konsep Dekonstruksi
Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia tawarkan sebagai sebuah strategi terbaik karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti sumber-sumber Muslim tradisional yang mensucikan “kitab suci”. Strategi ini  berawal dari pendapatnya bahwa sejarah al-Quran sehingga bisa menjadi kitab suci dan otentik perlu dilacak kembali. Dan ia mengklaim bahwa strateginya  itu merupakan sebuah ijtihad.
Dengan Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa pendekatannya ini akan menantang segala bentuk penafsiran ulama terdahulu, namun ia justru percaya bahwa pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap al-Quran. Dan menurutnya juga, pendekatan ini akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang al-Quran, dengan alasan karena metode ini akan membongkar konsep al-Quran yang selama  ini telah ada.
Berdasarkan pendekatan tersebut Arkoun membagi sejarah al-Quran menjadi dua  peringkat: peringkat pertama disebut sebagai Ummul Kitab, dan peringkat  kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible dan al-Quran. Pada peringkat  pertama wahyu bersifat abadi, namun kebenarannya di luar jangkauan manusia,  karena wahyu ini tersimpan dalam Lauh al-Mahfudz. Wahyu (Preserved Tablet)  dan berada di sisi Tuhan, dan yang bisa diketahui manusia hanya pada peringkat kedua yang diistilahkan oleh Arkoun sebagai “al-Quran edisi dunia” (editions terrestres) namun menurutnya al-Quran pada peringkat ini telah  mengalami modifikasi dan revisi dan subsitusi.[38]
2.      Konsep Historitas
Dan tentang konsep historitas, Arkoun mengatakan “bahwa pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari Barat, namun tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu  kecuali menghubungkannya dengan konteks historis.”
Arkoun juga menyatakan bahwa strategi terbaik untuk memahami historisitas keberadaan umat manusia ialah dengan melepaskan pengaruh idiologis. Sehingga menurutnya, metodologi multidisiplin dari ilmu sejarah, sosiologi, antropologis, psikologis, bahasa, semiotik harus digunakan untuk mempelajari sejarah dan budaya Islam. Jika strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan saja akan memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang  kepada ilmu pengetahuan modern.
Mohammed Arkoun adalah orang yang secara tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan  tiga level tingkatan wahyu.
Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui  oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab.
Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an,  hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam  bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun.
Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai  macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang  dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.
Mohammed Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua.  Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Quran lebih suci,  lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-Quran terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat status al-Quran dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa Mushaf itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.
Dua konsep pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal di atas yaitu dekonstruksi dan historitas telah membuat paradigma baru tentang hakikat teks al-Quran. Pendekatan historisitas Mohammed Arkoun justru  menggiring­nya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Mohammed Arkoun  mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga  mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan AI-Quran, tetapi bentuk  itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Dan  bisa kita simpulkan bahwa pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun  justru menggiringnya kepada sesuatu yang tidak historis. Sesuatu yang tidak  mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum Muslimin. Padahal, sepanjang zaman  fakta historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan  datang, meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf Usmani.
Pendapat Arkoun bahwa al-Quran yang asli itu tersimpan di Lauh al-Mahfudz  diikuti oleh Dawam Raharjo yang merupakan salah satu perintis liberalisasi  Islam di Indonesia pada tahun 1960-an, ia menyatakan: “Ketika turun kepada  Nabi, wahyu itu bekerja dalam pemikiran Muhammad sehingga mengalami transformasi dari bahasa Tuhan ke bahasa manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa sahabat mentransformasikannya pula  dalam bentuk transkip yang tunduk kepada hukum-hukum bahasa yang berlaku.
Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi, komisi yang dibentuk oleh Khalifah  Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan pembagian wahyu ke dalam surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun disitu terdapat peranan dan campur tangan manusia dalam pembentukan teks al-Quran seperti kita lihat sekarang. Karena adanya campur tangan manusia, wajar jika terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistrosi wahyu yang semula tersimpan di Lauh al-Mahfudz itu. Hal itu bisa dipahami melihat kasus kodifikasi hadis yang itu, Apalagi dalam penetapan Mushaf Utsmani, Khalifah  memerintahkan untuk membakar sumber-sumber yang menimbulkan masalah yang kontroversial. Namun demikian, siapa tahu di antara berbagai masalah yang sangat kontroversial yang dibakar itu justru sesungguhnya terdapat teks yang  benar? Dan sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian dari kodifikasi itu  terdapat teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya kecerobohan pada penulisan teks al-Quran.”[39]
Begitulah pemikiran Arkoun yang banyak diikuti oleh kalangan liberal. Tentu saja pemikiran tersebut perlu dikritisi karena tidak dikenal dalam tradisi keilmuan para ulama Islam.




IV. Muhammad Abed Al-Jabiri
A.    Biografi Muhammad Abed Al-Jabiri
a.      Profilnya
Sosok Muhammad ‘Abed al-Jabiri yang terkenal sebagai pakar hermenetisme dan filsafat Islam pada abad modern, menyibak sejuta penasaran akan produk-produk pemikirannya yang tertuang dalam karya-karyanya. Muhammad ‘Abed al-Jabiri dilahirkan di Figiug (Feji), bagian tenggara Maroko pada tahun 1936. Dia tumbuh dalam keluarga yang terpandang, ayahnya sebagai pendukung perjuangan partai Istiqlal dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan di bawah penjajahan Prancis dan Spanyol.[40]
Pada masa kanak-kanak, al-Jabiri sudah mengenyam masa pendidikan yang bernuansa agama (madrasah ad-dīniyah) sebelum ia disekolahkan di sekolah swasta yang nasionalis (madrasah hurrah al-waţāniyah). Setelah mengenyam sekolah tingkat dasar, al-Jabiri melanjutkan studinya ke jenjang menengah yakni setingkat SMA di Casablanca. Barulah setelah Maroko merdeka, al-Jabiri mendapatkan gelar diploma tingkat Arab dalam bidang ilmu pengetahuan (science). Kemudian dalam rangka mengembangkan keilmuannya, al-Jabiri memilih untuk masuk dalam bidang penerbitan. Penerbitan yang ia masuki adalah penerbitan Jurnal al-‘Ālam sebagai penerbitan resminya partai Istiqlal yang terkenal dengan nama “The Union Nasionale de Forces Populaires” (UNFP) sebelum direposisi menjadi “Union Sosilieste des Forces Populaires” (USFP). Dalam upaya mengembangkan keilmuan dan studinya, al-Jabiri melanjutkan studinya pada Universitas Damaskub di Syiriā dalam bidang filsafat. Akan tetapi, di sana ia tidak puas dan kembali lagi ke negerinya untuk melanjutkan pendidikannya pada Fakultas Adab di Universitas Muhammad V Rabat Maroko dalam bidang filsafat yang lagi mencapai puncak kejayaan dalam sektor kualitas pendidikan dan keilmuannya. Akhirnya ia mencapai gelar doktoralnya dalam bidang filsafat pada tahun 1970 dan mulai mengajar dalam bidang filsafat di sana pula.[41] Maka tidak heran, ketika al-Jabiri dijuluki filsuf kontemporer di wilayah Barat, karena salah satu indikatornya adalah disertasi yang ia tulis berbicara tentang pemikiran Ibnu Khaldūn di bawah bimbingan Najīb Baladi.
Prototipe al-Jabari tidak hanya dipandang sebagai seorang pemikir (mufakkir) dan ilmuwan (muśaqqaf) an sich. Sebagai seorang muśaqqaf ia banyak terjun dalam bidang penerbitan, bidang evaluasi dan perencanaan (explaining and staffing) maju mundurnya sebuah pendidikan. Banyak artikel yang ia terbitkan dan buku-buku yang berbicara tentang epistemologi baik tentang matematika, rasionalitas dan perkembangan ilmu (science) ilmiah.
Akan tetapi di lain sisi, sosok al-Jabiri juga mempunyai prototipe sebagai seorang politisi ulung. Aktifitasnya pada kegiatan-kegiatan yang bernuansa politik dan pengangkatan terhadap harkat manusia (humaniora) sangat tinggi. Gerakan partai Istiqlal yang terwadahi dalam UNFP adalah suatu gerakan yang ia dirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap para penjajah, kaum imperium, kaum borjuis, dan para penguasa yang tidak memihak kepentingan rakyat. Negara adalah pesta demokrasi, negara tidak hanya ajang komoditas kepentingan kaum elit dan legitimasi kekuasaan (power) semata, negara adalah kadaulatan rakyat, negara harus menyuarakan dan mementingkan aspirasi rakyat. Suatu ketika, karena kegigihannya dalam menyuarakan prinsip-prinsip agama untuk kemanusiaan (religion of human right), ia harus rela mendekam dalam sel penjara. Gerakan transformasi sosial tentunya harus memihak pada kepentingan rakyat dalam kaidah fiqhiyah disebutkan “taşarruful al-imām ‘alā al-ra’iyyah manuţūn bi al-maşlahah” (kebijakan pemimpin itu harus didasari atas pertimbangan kemashlahatan umatnya. Jadi dapat dikatakan bahwa al-Jabiri memiliki prototipe sebagai penegak demokrasi, penegak supremasi hukum dan hak asasi manusia. [42]
Konsepsi pemikiran ini terkait erat dengan kondisi sosial, politik, budaya, agenda demokratisasi dan hak asasi manusia yang sedang berkembang di Arab. Dia banyak terlibat langsung dengan berbagai problematika dan isu sentral dalam pergolakan pemikiran Arab modern dan kontemporer.
b.      Karya-Karya Muhammad ‘Abed al-Jabiri
Al-Jabiri sebagai seorang ilmuwan, agamawan, politisi, dan Intelektual serta filosof banyak menuangkan dan meninggalkan karya-karyanya. Adapun karya-karyanya itu sebagian besar ditulis sendiri baik ketika masih dalam proses belajar maupun ketika sudah mengajar serta ketika ia terjun dalam penelitian-penelitian. Dengan popularitasnya yang tinggi, dan namanya lagi naik daun, terus dikaji (didiskusikan) dan multi interpretatif terutama dalam  konteks transformasi pemikiran, intellectual discourse dan sebagai paradigma berfikir (padigm of thought) yang dalam istilah al-Jabiri dipolarisasikan menjadi tiga grand paradigma berfikir. Ketiga paradigma berfikir itu adalah berfikir secara nalar bayānī (tekstual), berfikir Gaya (style) Irfānī (gnostis dan żauq) dan berfikir dengan paradigma burhānī (demonstratif-filosofis). Adapun Karya-karyanya yang pernah beredar dan dituangkan dalam bentuk jurnal, majalah, maupun buku-buku adalah sebagai berikut:
1. Durūs fi al-Falsafah. Tulisan ini merupakan karya yang perrtama kali sebelum ia memperoleh gelar dalam program doktoral di Universitas Muhammad V Rabat Maroko.
2. Fikr Ibn Khaldūn al-Asābiyyah wa Daulah: Ma’ālim Nazāriyyah Khaldūniyah fi at Tārih al-Islāmi (Pemikiran Ibn Khaldun, Asabiyah dan negara: Rambu-Rambu Paradigma Pemikiran Ibn Khaldūn dalam Sejarah Islam.
3. Al-Khitāb al-‘Arabī al-Mu’aśīr (Wacana Arab Kontemporer: Studi Kritik Analitik).
4. Isykāliyah al-Fikr al-‘Arabī al-Mu’śīr (Beberapa Problematika Pemikiran Arab Kontemporer).
5. Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreleligius). Buku seri pertama ini ditulis pada tahun 1982, yang diterjemahkan oleh Imām Khairi.
6. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī: Dirāsah Tahlīliyah Naqdiyah li Nūzum al- Ma’rifah fi al-Tsāqāfah al-’Arābīyah (Struktur Nalar Arab: Studi Kritik Analitik atas Sistem-Sistem Pemikiran dalam Kebudayaan Arab).
7. Al-‘Aql asy-Syiyāsī ‘Aql-‘Arabī: Muhaddidah wa Tajalliyatuh (Nalar Politik Arab: Faktor-Faktor Penentu dan Manivestasinya).
8. At-Turāś wa al-Hadāśah: Dirāsah wa Munāqasyah (Tradisi dan Modernitas: Suatu Kajian dan Perdebatan).
9. Wijhah Nazr Nahw I’ādah Binā Qadāyā al- Fikr al-‘Arabī al-Mu’aśīr (Satu Sudut Pandang Menuju Rekonstruksi Persoalan-Persoalan Pemikiran Arab Kontemporer).
10. Al-Masalah aś-Śaqāfiyyah (Problem Kultur).
11. Al-Mu’as’alā al Huwiyyah (Persoalan-Persoalan Identitas)
12. Al-Muśaqqafūn al-‘Arab fi al-Hadārah al-Islāmiyyah (Kebudayaan Bangsa Arab dalam Peradaban Islam).
13. Hiwār al-Masyriq wa al-Magrib (Dialog antara Dunia Timur Islam dan Dunia Barat Islam).
14. Adwā ‘alā Musykil at-Ta’līm.
15. Madkhāl ilā Falsafatul-‘Ulūm.
16. Min Ajl Ru’yah Taqaddumiyah li ba’d Musykilātiyah al-Fikriyyah wa at- Tarbāwiyah.[43]

B.     Sebab-sebab Penulisan
Adapun latar belakang yang membuat Al-Jâbirî menulis diantaranya adalah berangkat dari keresahannya menghadapi fakta yang mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab kontemporer dalam masa seratus tahun yang lampau, mereka (baca: Arab) tidak mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang mereka gembar-gemborkan. Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense of difference (baca: jurang pemisah) antara Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan Barat modern. Akibatnya, tegas Al-Jâbirî, sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil mencapai kemajuan dalam merumuskan “blue print (cetak biru) kebangkitan peradaban” baik dalam tataran utopia proporsional, maupun dalam perencanaan ilmiah.[44]
Sebagaimana yang diungkapkannya dengan al-Khithab al-‘Arabi al-Mu’ashir (wacana Arab kontemporer), bahwa Arab mengalami problem tematik. Tema-tema yang dibahas berkisar masalah haidl, nifas, shalat, ulum al-Qur’an, dsb. Telah usang dan tidak relevan lagi di era kontemporer. Tema-tema seperti ini telah ada pada abad II dan III H, masa kodifikasi (‘ashr al-tadwin). Saat ini, menurutnya, pembaruan pemikiran Arab kontemporer, wajib membangun era kodifikasi baru (‘ashr tadwin jadid). Masyarakat Arab perlu merubah tema-tema lama kepada tema-tema baru, seperti kebangkitan dan pembaruan (al-nahdhah wa tajdid); otentisitas dan modernitas (al-ashalah wa al-mu’ashirah); agama dan negara (al-din wa al-daulah); demokrasi (aldimuqrathiyyah); cita-cita komunitas, persatuan dan kerjasama; pembebasan Palestina (tahrir Falasthin); membangun filsafat Arab kontemporer dst.
Maka untuk menuju ke arah wacana Arab kontemporer, menurutnya, harus dilakukan melalui kritik epistemologi[45] (naqd ibistimulujiya) . Di dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain.[46] Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Pandangan dunia manusia akan terpengaruh bahkan dibentuk oleh konsepsinya tentang epistemologi.[47] Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas. Sehingga diharapkan epistemologi Islami akan lahir dan memberi jawab atas kegelisahan umat dewasa ini.[48]
Kritik epistemologi ini harus dikuatkan dengan dua hal; tradisi (turats) dan modernitas (al-mu’ashir/al-hadatsah)¸ suatu peradaban Barat. Tradisi (al-turats) dan modernitas (al-hadatsah) menjadi sesuatu yang penting. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi.[49]

C.    Corak dan Metode Pemikiran Abed Al-Jabiri
Corak pemikiran al-Jabiri adalah model rekontruksi “semangat kritis dan rasionalisme”[50] sebagai hasil dari penelitiannya dengan menunjukkan kelemahan episteme bayani dan ‘irfani. Al-Jabiri termasuk kelompok tipologi pemikiran “reformistik”, yang menggunakan metode dekontruksi terhadap turast (tradisi), yang dipengaruhi oleh gerakan post-strukturalis Perancis dan tokoh-tokoh post-modernis, seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthess, Foucalt, Deridda dan Gadamer. Pemikir lai yang menggunakan atau tergollong dalam kelompok inni adalah M. Arkoun, M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh dan Hasyim Saleh.[51]
Sedangkan kerangka pemikiran Al-Jabiri tergabung dalam tetraloginya, yaitu; 1) Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Formasi Nalar Arab); 2) Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Struktur Nalar Arab); 3) Al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi (Nalar Politik Arab); 4) Al-‘Aql al-‘Akhlaqi al-‘Arabi (Nalar Etika Arab). Dalam kerangka tetralogi tersebut proyek metodologis pemikiran Al-Jabiri yang terkenal dengan istilah “Naqd al-A’ql al-‘Arabi” (Kritik Nalar Arab), terbagi atas dua model. Pertama, kritik nalar epistemologis yang tertulis dalam dua kitab pertama, dan yang kedua kritik nalar praktisnya yang tertuang di dalam dua kitab terakhirnya.[52]
Oleh karena di bab ini penulis akan berkonsentrasi pada kajian metodenya maka fokus pembahasan mengarah pada kritik nalar epistemologis. Yakni kritik nalar epistemologis yang terbagi atas dua seri, seri pertama yang berjudul Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, dan seri keduanya adalah Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. Di dalam Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Muhammad Abid al-Jabiri mengkonsentrasikan analisisnya pada proses-proses histories, baik epistemologis, maupun ideologis, yang memungkinkan terbentuknya nalar-nalar bayani, ‘irfani, dan burhani, termasuk interaksi diantara ketiga nalar tersebut beserta kritis-kritis yang menyertainya.[53]
Sementara pada Bunyah al-‘Alq al-Arabi, ia berupaya menyingkap struktur internal masing-masing ketiga nalar ini, lengkap dengan segenap basis epistemologinya. Kelebihan seri kedua ini terletak pada konklusi yang diberikan al-Jabiri pada bagian akhir, yang diantaranya menyatakan bahwa nalar (dalam pengertian yang dikemukakan diatas) yang kita terima saat ini yang kita pakai untuk menafsirkan, menilai, dan memproduksi pengetahuan adalah nalar yang tidak pernah berubah sejak awal diresmikan dari masa tadwin, sehingga dari sini ia menegaskan perlunya membangun satu babak tadwin baru agar kita bisa melampaui konservatisme jenis nalar tersebut yang tidak berubah sejak dua belas abad lalu hingga kini. Tentu banyak argument yang dikerahkan oleh al-Jabiri untuk menunjukkan asal-usul dan faktor-faktor apa saja yang mendorong konservatisme tersebut.[54]

1.      Akal Arab dan Titik Awalnya
Akal Arab yang dimaksud dalam pemikiran Al-Jabiri yang terkenal dengan istilah “Naqd al-A’ql al-‘Arabi, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah yang diberikan oleh peradaban Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan, atau aturan epistemologis, yakni sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Al-Jâbirî melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itu memang ada. Berarti, orang Arab adalah individu anak manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam dalam peradaban Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat referensi pemikirannya yang utama, kalau bukan satu-satunya.[55]
Dalam hal ini Al-Jâbirî membagi akal menjadi dua. Pertama adalah ‘Aql al-Mukawwin (nalar pembentuk atau la raisson constituante). Yaitu aktifitas intelektual yang membentuk konsep dan menerapkan prinsip-prinsip dasar yang dimiliki oleh semua manusia dan berfungsi membedakan dari makhluk lain. Sedangkan yang kedua adalah ‘Aql al-Mukawwan (nalar terbentuk atau la raisson constitutee). Yaitu himpunan prinsip-prinsip dasar dan aturan-aturan yang menjadikan landasan bagi proses pemikiran (secara tidak sadar). Akal dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu suatu nalar manusia yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang tersebut hidup. Yang kedua inilah yang Al-Jâbirî maksud sebagai “Akal Arab”.[56]
Setelah itu Al-Jâbirî mengulas mengenai titik awal Akal Arab bermula. Sebagaimana diketahui, ada tiga titik pijak yang biasa digunakan sebagai permulaan penulisan sejarah Arab, yaitu masa Jahiliyah, masa Islam, dan masa kebangkitan.
Al-Jâbirî sendiri mengambil jalan berbeda, dengan memulainya dari “masa kodifikasi” (‘Asr al-tadwin). Tanpa menafikan keberadaan masa Jahiliyah dan produk-produknya, begitu juga pengaruh masa Islam awal dalam peradaban Arab. Dengan pendapat bahwa sruktur akal Arab telah dibakukan pada disistematisasikannya pada masa kodifikasi tersebut, sehingga konsekuensinya, dunia berpikir yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi terbesar dalam menentukan orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, di satu pihak, dan mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya, di pihak lain.[57]

2.      Turats dan Modernitas
Bagi al-Jabiri salah satu permasalahan krusial bagi proyek kebangkitan Islam adalah bagaimana menyikapi turast (tradisi), yang telah diwariskan dari generasi kegenerasi sepanjang sejarah. Ada dua hal yang penting dari definisi turast, pertama, bahwa tardisi adalah sesuatu yang menyertai kekinian kita, yang tetap hadir dalam kesadaran atau ketidaksadaran kita. Maka tradisi bukan hanya yang tertulis dalam buku-buku karya para pemikir, melainkan juga realitas sosial kekinian kaum muslim. Kedua, tardisi yang mencakup tradisi kemanusiaan yang lebih luas seperti pemikiran filsafat dan sains hal ini yang disebut dengan al-turast al-insan. Pada perkembangannya al-Jabiri menegaskan bahwa tradisi yang hidup itu sebenarnnya berakar kuat pada pemikir-pemikir Islam yang dikembangkan oleh para ulama sejak masa tadwin (kodifikasi ilmu-ilmu keislaman) abad II Hijriyah hingga masa sebelum kemunduran Islam sekitar abad VIII Hijriyah.[58]
Dengan demikian turast (tradisi) adalah suatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu, atau bisa dikatakan segala yang secara asasi berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran doktrinal, syariat, bahasa sastra, seni kalam dan tasawuf.[59]
Kemudian Al-Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tradisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Al-Jâbirî mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”, tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas–pertama dan paling utama–adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi. Oleh karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-upgrade sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan “modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.[60]
Menurutnya turast harus dikaji lewat tiga pendekatan (metodologi) yaitu: Pertama, Pendekatan Struktural (Ma’ālajah Bunyāwiyah) yaitu bentuk kajiannya berupa pengkritisan terhadap teks-teks. Kedua, Analisis Historis (Tahlīl Tārīkhī) yaitu melakukan pengkajian lewat analisis sejarah dengan ruang lingkup sosial, politik dan budaya. Ketiga, Kritik Ideologi (at-Tārh al-Idiyūlujī), yaitu dalam rangka mengungkap fungsi ideologi baik politik dan sosial yang tersurat dalam teks tersebut.[61] Dari konsep di atas, tradisi dapat dianalisis lewat dua pendekatan yaitu: Pertama, al-Faşl yaitu mengadakan pemisahan antara pembaca dengan obyek bacaannya. Kedua, al-Waşl yaitu mencoba mensinkronkan dan mengkorelasikan antara sang pembaca dengan obyek bacaannya.[62] Pertam-tama harus menguasai, memaknai, dan mengkritisi secara rasional dan kritis pada tradisi Islam tersebut, dan ini menjadi tugas al-waşl. Setelah itu, baru dilakukan apa yang disebut taūzīf atau istitmār, yaitu menimba relevansi dan kegunaan fungsional tradisi bagi kehidupan pada zaman sekarang.[63]

3.      Epistemologi; Bayani, Burhani, dan ‘Irfani
Epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu, dimana dalam filsafat ilmu itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga cabang yaitu ontologi,[64] epistemologi dan aksiologi.[65]  Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: “episteme” berarti pengetahuan (knowledge), dan “logos” berarti teori. Oleh sebab itu, epistemologi sebagai cabang dari flsafat yang secara khusus membahas tentang teori ilmu pengetahuan.[66] Dimana istilah epistemologi ini pertama kali muncul dan dipopulerkan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 kemudian dikembangkan oleh para filosof abad modern seperti Rene Descartes, David Hume, John Locke, Spinoza, Immanuel Kant dan lain-lain. Lebih jauh, The Liang Gie mengutip dari The Encyclopedia of philosophy menguraikan “Epistemologi sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta realibilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan”.[67]
a.       Epistemologi Bayani
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisan al-Arab Al-Jabiri mengartikan dalam kaitannya dengan metodologi sebagai al-fashl wa al-infishal (memisahkan dan terpisah) dan jika berkaitan dengan visi dari metode bayani diartikan al-dhuhur wa al-idhar (jelas dan penjelasan).[68]
Sementara itu, secara terminologi perumusan bayani mempunyai dua arti; (1) sebagai prinsip-prinsip penafsiran wacana (qawanin tafsir al-khitab); (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana (syuruth intaj al-khitab). Tokoh-tokohnya saat ittu adalah muqatil bbin sulaiman (w. 150 H), Abi Zakariya yahya Ziyad al-Fara’ (w. 207 H) dan Abi Ubaidah Mammar bi al-Musanna (w. 215 H). Namun, prinsip-prinsip bayani al-Qur’an baru dirumuskan oleh Asy-Syafi’i (767-820 M).[69]
Syafi’i membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya; 2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah; 3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an; 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al-Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma’.[70]

Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Menurut al-Jabiri bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks Arab (nash), secara langsung ataupun tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.[71]
Epistemologi bayani mencakup disiplin ilmu yamg menjadikan bahasa Arab sebagai tema sentralnya, seperti balaghah, nahwu, fiqih, ushul fiqh dan kalam. Basis-basis penalaran masing-masing disiplin ilmu tersebut, menurut al-Jabiri, terbentuk dari faktor bahasa. Bahasa bukan Cuma berfungsi sebagai alat komunikasi atau sarana berpikir, tapi lebih dari itu adalah ssatu wadah yang membatasi ruang lingkup pemikiran, “sebuah sistem bahasa” (kosa kata, sistem gramatika dan semantiknya) punya pengaruh dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara menafsorkan dan menguraikannya, yang akhirnya mempengaruhi cara dan metode berpikir.[72]

b.      Epistemologi ‘Irfani
Dalam menerjemahkan kata ‘irfan, kita dihadapkan dengan dua makna kata yang serupa tapi tak sama. Yang pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Yang kedua adalah “Gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada “Gnostisime”.[73]
‘Irfani merupakan kelanjutan dari bayani, akan tetapi kedua pengetahuan ini berbeda satu sama lain. Bayani mendasari pengetahuannya kepada teks, sedangkan ‘irfani> mendasari pengetahuannya kepada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia oleh/karena Tuhan. Oleh karena itu, ‘irfan tidak diperoleh berdasarkan analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati nurani yang suci, sehingga Tuhan menyingkapkan sebuah pengetahuan.[74]
Adapun cara kerja ‘irfani adalah proses pemahaman yang berangkat makna sebuah teks menuju lafaz teks tersebut. Persoalannya bagaimana mengungkap makna atau dimensi batin yang diperoleh dari proses kasyf tersebut?. Al-Jabiri mengemukakan bahwa makna tersebut bisa terungkap pertama, dengan menggunakan cara apa yang disebut qiyas ‘irfani, yaitu analofi makna batin yang diungkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.[75]

c.       Epistemologi Burhani
Burhani lebih mendasari dirinya pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Hal ini ditegaskan oleh al-Jabiri bahwa burhani menghasilkan pengetahuan melalui prisnsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Di samping itu, dalil-dalil logika tersebut memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera, yang dikenal dengan istilah tashawwur dan tashdiq. Tashawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedangkan tasdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran atau konsep tersebut.[76]
Penjelasan tersebut kiranya “sah” apabila penulis sebut sebagai pandangan umum dari epistemologi burhani yang dikemukakan ‘Abid Al-Jabiri. Namun sebelum itu, baik kiranya apabila penulis menjelaskan secara singkat proses masuknya akal dalam Islam.

Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk menjawab tantangan modernitas, Al-Jâbirî menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema Al-Jâbirî, yaitu: Pertama, sistem epistemologi indikasi serta eksplikasi[77] (‘ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurispudensi, fiqh (ilmu hukum) serta ‘ulum al-Quran, kalam (teologi dialektis) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse).[78] Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Ketiga,disiplin gnotisisme (‘ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode burhani adalah empirik, dan metode ‘irfani adalah intuitif, dalam epistemologi umumnya.[79]

D.    Contoh Pemikiran Abed al-Jabiri
a.       Pemikiran tentang syari’ah
Relasi antara agama dan negara tidak terhenti pada masa shabat, tetapi berlanjut sampai zaman sekarang. Masalah relasi ini menjadi mendesak disebabkan oleh munculnya negara-negara bangsa (nation-states) dan terhembusnya semangat sekularisme yang dibawaw oleh Baratt.
Al-jabiri mengatakan bahwa ungkapan “pemisahan agama dan negara” dalam hubungannya dengan rujukan tradisi Islam tidak mengenal adanya dualisme, sebagaimana dimaklumi dalam sejarah Islam secara umum tidak ditemukan adanya agama yang dibedakan dan dipisahkan dari Negara, sebagaimana juga tidak ada negara yang dipisahkan dari agama.[80]
Kemudian pola pengambilan pemerintahan dan teori-teori pemerintahan semuanya adalah masalah ijtiha. Ijtihad yang masalahnya diserahkan kepada kaum musliimin dapat dipastikan akan mengalami perbedaan tergantung pada perbedaan masa dan kondisi.[81] Namun lanjut al-Jabiri, satu-satunya yang tidak berubah dari agama bahwa dalam Islam terdapat hukum-hukum syara’ yang pelaksanaannya memerlukan adanya “pemegang perintah”.

b.      Pemikiran tenntang kisah dalam al-qur’an
Al-Qur’an adalah kitab keagamaaan, bukanlah kitab sastra atau sejarah, maka al-Qur’an menggunakan kisah untuk tujuan dakwah, bukan dari sis pengisahannya itu sendiri, jadi kisah al-Qur’an merupakan bagian dari bentuk perumpaman (darb al-mistl), sedangkan sebuah perumpamaan tidakk dibuat dan dilihat dari bentuknya, tetapi dari sisi penjelasan dan kandungan pelajarannya.[82]


E.     Foto Kopi Kitab Aslinya
Ini diambil dari kiatab Madkhal ila Qur’an al-Karim, halaman 421, terbitan Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah Beirut, Libanon tahun 2006.


[1] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zaid, Jakarta: Teraju, 2003, hlm. 15-16. 
[2] Moch. Nur Ichwan, Meretas Keserjanaan Al-Qur’an Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, jakarta, teraju, 2003, cet 1, hlm 16.
[3] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islamdari Abu Bakar Hingga Nasr dan Qardhawi, Ban-dung: PT Mizan Republika, hlm, 349
[4] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islamdari Abu Bakar Hingga Nasr dan Qardhawi, Ban-dung: PT Mizan Republika, hlm 349
[5] M. Hanif A, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003, hlm. 356-357.  
[6] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 23.  
[7] pengantar redaksi Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, diterjemahkan oleh Muhammad Mansur dan Khoiron Nahdliyyin, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Jakarta: ICIP, 2004, hlm. ix  
[8] Lalu Nurul Bayanil Huda, Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm 68
[9] Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd pdf, hlm 3
[10] Lalu Nurul Bayanil Huda, Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm 69
[11] Lalu Nurul Bayanil Huda, Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm 69
[12] Lalu Nurul Bayanil Huda,Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm 69
[13] Lalu Nurul Bayanil Huda,Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm 69-70
[14] Lalu Nurul Bayanil Huda,Islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm 72
[15] Lalu Nurul Bayanil Huda,islamia, membongkar kerancuan pemikiran tokoh liberal, hlm 72
[16] pengantar redaksi Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, diterjemahkan oleh Muhammad Mansur dan Khoiron Nahdliyyin, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Jakarta: ICIP, 2004, hlm. ix  
[17] Muhidin M. Dahlan, Postkolonial Sikap Kita Terhadap Imprealisme, Jendela,
Yogyakarta, 2001, hlm. 53
[18] ibid
[19] Kazuo Shimogoki, dalam karyanya, Kiri Islam; antara
Modernisme dan Post Modernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, LKIS,
Yogyakarta, 1993, hlm. 4.
[20] Dalam suatu artikelnya ia mengatakan “itulah Barat yang aku pelajari, aku kritik, aku
cintai dan akhirnya aku benci, lihat Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual Islam, Yogyakarta, Ittqo Press, 1998, hlm. 220

[21] Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid, terj. Yudian Wahyudi, Titian Illahi Press, Yogyakarta,
2001, hlm. viii

[22] Jhon L.Esposito dan Jhon O.Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Hermawan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 81
[23] Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual Islam, Yogyakarta, Ittqo Press, 1998, hlm. 18
[24] Ahmad Ridwan, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hasan Hanafi tentang Reaktulisasi Tradisi Keilmuan Islam, ITTAQA Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 9 – 12

[25] Ahmad Ridwan, op.cit., hlm. 13 - 14
[26] Ilham B. Saenong, op.cit., hlm. 52 – 53

[27]  Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 1–4
[28] Ilham B. Saenong, op.cit., hlm. 80 – 84
[29] Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu Hidayat, INIS, Jakarta, 1994, hlm. 1
[30] Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu Hidayat, INIS, Jakarta, 1994, hlm. 2
[31] Ibnu Miskawaih merupakan seorang pemikir Muslim Persi dari akhir abad 10 hingga awal abad ke 11 Masehi (w. 1030 M) di dunia Islam, Ibnu Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan antara lain ilmu kedokteran dan filsafat serta menekuni soal-soal persamaan dan perbedaan antara tradisi Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Lihat Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 17-22
[32] Mohammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme, terj. Jauhari, Ibnu Hasan, Rosdiansah, al-Fikr, Surabaya, 1999, hlm. iv
[33] Mohammad Arkoun adalah seorang dari sejumlah kecil ilmuwan Muslim, yang dengan penuh kesungguhannya menganjurkan untuk mempelajari kebudayaan dan peradaban Islam dengan memanfaatkan dan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial yang baru muncul ke pentas keilmuan pada abad ke 19 dan ke 20. Sebuah metodelogi keilmuan yang belum sempat terpikirkan, apalagi sampai dirumuskan, oleh para cerdik pandai dan para ulama Islam klasik, era skolastik, bahkan modern sekalipun. Setidaknya ada empat pendekatan, yang menurutnya patut dipertimbangkan untuk digunakan dalam studi kebudayaan dan peradaban Islam era sekarang khususnya dan studi agama pada umumnya. Pendekatan tersebut adalah pendekatan sejarah, antropologi, sosiologi, dan bahasa (linguistik). Lihat pengantar Amin Abdullah dalam Mohammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme, terj. Jauhari, Ibnu Hasan, Rosdiansah, al-Fikr, Surabaya, 1999, hlm. iv
[34] Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, terj. Ahmad Baiquni, Mizan, Bandung, 2000, hlm. 169
[35] Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu Hidayat, INIS, Jakarta, 1994, hlm. 2
[36] Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu Hidayat, INIS, Jakarta, 1994, hlm. 4
[37] Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi atas Pemikiran Mohammad Arkoun, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000, hlm. 63
[38] Muhammad Arkoun, Metode Kritik Akal Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V, 1994
[39] Muhammad Arkoun. Islam Kontemporer Menuju Dialog antsr Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I Juni 2001. Alih Bahasa, Ruslani
[40] . Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Imām Khoirī, (terj.), Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, IRCISOD, Yogyakarta, Cet. I, 2003, hlm. 591
[41] . Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Moch. Nur Ichwan (alih bahasa), Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam, Islamika, Yogyakarta, Cet. I, 2003, hlm. xviii
[42] . Bandingkan Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Syura Tradisi Partikularitas Universitas, LKIS, Yogyakarta, Cet. I, 2003, hlm. 18. Dan Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam, hlm. 4
[43] . A. Khudāri Sholeh, (edit.), Moh. ‘Abed al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, Dalam buku Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, Cet. I, 2003, hlm. 232
[44] . Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,” dalam Muhammad Aunul Abied Syah, dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), h. 304
[45] . Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Lihat: M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 243
[46] . Nirwan Syafrin, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004, h. 43
[47] . M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, h. 261
[48] . M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, h. 262
[49] . Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 3
[50] . Rasionalisme kritis merupakan kecenderungan filsafat Eropa dan Amerika yang prinsip-prinsipnya dicetuskan oleh Karl Popper, yang berupaya untuk mempertentangkan prinsip-prinsip utamanya dengan posisi filosofis tradisional. Rasionalisme kritis merumuskan gagasan rasionalisme metodologis, yaitu kemungkinan untukmendefinisikan, atas dasra analisis kritis, sejauh mana beberapa hipotesis lebih baik dari pada yang lainnya. Lihat: Lorens bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramediaa Pustaka utama, 200), h. 931
[51] . A. Lutfi Assyaukani, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, (Jakarta: Jurnal Paramadina, Vol. 2, No. 1, Juli-Desember, 1998), h. 64-65
[52] . Lihat: Abbas Arfan, De Jure: Jurnal Syari’ah dan Hukum, Vol. 2, No. 1, Juni 2010, h. 96
[53] . Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991); Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab Kritik Tradis Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003)
[54] . Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, kata pengantar, h. xxviii
[55] . Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,” dalam Muhammad Aunul Abied Syah dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), h. 306-307
[56] . Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Takwīn al-‘Aql-’Arabī, Markaz Dirāsah al-Wihdah al-‘Arābīyah, Beirut, 1991, Cet. V, hlm. 15
[57] . Muhammad Aunul Abied Syah dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, h. 310-311; Zulfikar, Kritik Epistemologi Nalar Arab Menurut Muhamad Abid al-Jabiri, (Yogjakarta: Skripsi IAIN Sunan Kalijaga, 2001), h. 42
[58] . Muhammad Abed Al Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, terj. Drs. Mujiburrahman, M.A, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar Baru, 2001), h. viii
[59] . Supaat Eko Nugroho, Muhammmad ‘Abid al-Jabiri (Studi Pemikirannya Tentang Tradisi [Turast]), Skripsi, (Yogjakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007), h. 31
[60] . Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 3
[61] . Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Nahnu wa at-Turāś: Qirā’ah Mu’āśirah fī Turāśina al-Falsāfī, Markaz Śāqāfi al-‘Arabī, Beirut, Cet. VI, 1993, hlm. 8
[62] . Ahmad Baso, Post Tradisionalisme Islam Muhammad Abed al-Jabiri, LKIS, Yogyakarta, Cet. I, 2000, hlm. xxii–xxiv
[63] . Ach. Djunaidi, KRITIK NALAR BURHĀNĪ DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD ‘ABED AL-JABIRI (SUATU UPAYA REKONSTRUKSI KRITIK EPISTEMOLOGI), skripsi, (IAIN Walisongo Semarang, 2004), h. 5
[64] . Ontologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “On” artinya ada Sedangkan dalam konteks filsafat ontologi diartikan sebagai teori tentang yang ada (being) sebagai obyek pengetahuan. Ada tidak adanya secara fisikal saja (perspektif filsafat Barat), lain halnya dalam perspektif Islam “being” dimaknai sebagai hal-hal yang bersifat fisikal dan supra fisikal. Lihat: Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I, 1998 hlm. 76
[65] . Term aksiologi membicarakan nilai guna (values), termasuk di dalamnya tentang tujuan memperoleh pengetahuan. Pada hakekatnya nilai itu merupakan realitas yang objektif, sebab ia memiliki kekuatan besar (great power) yang bisa mengesampingkan segala preferensi-preferensi subyeknya. Lihat Riseri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, 2001. Max Scheler seorang fenomenologis lebih detail mengatakan ada empat jenis nilai (values). Pertama, nilai sensual, Kedua, nilai hidup. Ketiga, nilai kejiwaan, dan Keempat, nilai religius. Untuk lebih jelasnya lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Rake Sarasin, Edisi I, Cet. II, Yogyakarta, 1998, hlm. 56
[66] . Abu Bakar, “Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu dalam Perspektif Islam”, Himmah: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol. III, Edisi 06 Jan-April 2002, hlm. 16
[67] . Miska Muhammad Amīn, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, UI
Press, Jakarta, 1983, hlm. 3
[68] . Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 60
[69] . M. ‘Abid Al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (2), Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nizam al-Saqafi al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 1993), h. 13-14
[70] . A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 182
[71] . Dalam hal ini, sudah menjadi pengetahuan bahwa teks yang dimaksud dalam tradisi Arab Islam adalah al-Qur’an dan Hadis, yang kemudia menjadi sumber-sumber produk pemikiran ulama-ulama klasik untuk ber-istinbat hukum. Lihat: Supaat Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turast) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), h. 84; Lihat juga: M. ‘Abid Al-Jabiri, Problem Peradaban: Penelusuran Jejak Kebudayaan Arab Islam dan Timur, terj. Sumarwoto Dema dan Mosiri (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 106.
[72] . M. ‘Abid Al-Jabiri, Takwin, h. 77
[73] . Supaat Eko Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turast) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 94. Lihat juga: M. Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologi terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri” dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 316
[74] . A. Khudori Sholeh (ed.), “Model Epistemologi Islam Al-Jabiri dalam Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 233
[75] . Supaat Eko Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turast) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 95
[76] . Supaat Eko Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 97-98
[77] . Indikasi (Lat) adalah tentang petunjuk atau tanda-tanda. Eksplikasi (Lat) adalah tentang penjelasan, keterangan, tafsiran. Lihat J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003), h. 81, 151
[78] . Walid Harmaneh, “Kata Pengantar,” dalam Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. xxvii
[79] . Happy Susanto, “Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer
[80] . Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, terj. Mujiburrahman (Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 60
[81] . Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, terj. Mujiburrahman (Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 69
[82] . Mohamad Yahya, al-Qasash al-Qur’ani Prespektif M. Abid al-Jabiri (Studi atas serial Diskursus al-Qur’an), (Yojakarta: UIN Sunan Kalijaga, skripsi), h. 153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar