Senin, 09 Juni 2014

KORUPSI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam tata pergaulan, baik berbentuk masyarakat maupun negara, barangkali tidak ada prinsip dasar dalam sejarah kehidupan manusia yang begitu didambakan seperti keadilan. Setiap manusia pada strata manapun dan latar belakang apa pun akan senantiasa ingin diperlakukan secara adil serta sejajar dengan manusia lainnya. Keinginan semacam ini adalah sesuatu yang bersifat fitri. Karena itu, saran untuk berlaku adil akan dikumandangkan oleh setiap orang sebagai seruan kebaikan yang universal. Hal ini, bukan saja mengindikasikan urgensi keadilan itu sendiri dalam konteks hubungan antar sesama, tetapi juga sebagai realisasi dari keinginan yang bersifat fitri tersebut demi terbangunnya sebuah kehidupan yang harmonis diantara warga masyarakat.
Namun, dewasa ini seolah keadilan sedang dalam masa kelesuannya karena dihantam oleh beberapa gejolak dan perangai manusia yang memiliki kecendrungan bersiat dzalim, seperti ketidakjujuran, pengkhianatan, penghasutan, adu domba, kedengkian, korupsi dll. Korupsi dewasa ini menjadi semacam penyakit, jika meminjam istilah Peter Sloterdijk yang menggerogoti nurani manusia dan itu adalah semacam bestialisasi atau pembinatangan manusia. Korupsi sebagai bestialisasi juga mengancam sendi-sendi humanisme. Dana pendidikan disunat sehingga terganggu pula cita-cita pencerdasan dan pembangunan karakter bangsa yang diharapkan untuk membuat bangsa ini  semakin human. Dana kaum miskin dikorup sehingga makin menderitalah kaum tak berada yang sebenarnya berhak mendapatkan bantuan Negara. Pengadilan kasus korupsikelihatan menginjak-injak rasa keadilan masyarakat sehingga semakin tak acuhlah masyarakat terhadap kewibawaan hukum, yang sebenarnya amat diperlukan untuk membangun humanisme masyarakat.[1]
Dari uaraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan seputar korupsi, karena hingga dewasa ini masih menjadi musuh bersamaterutama masyarakat Indonesia. Penulisan ini akan mencoba dalam bingkai keindonesian, dan dengan pandangan beberapa pemikir Islam kontemporer timur tengah seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Qutub yang tertuang dalam kitab tafsir mereka, serta pemikir-pemikir Indonesia.
B.  Rumusan masalah
Menindaklanjuti problem korupsi yang menggejala di semua lapisan masyarakat, penulis dalam makalah ini akan membatasi beberapa permasalahan yang terkait dengan korupsi, agar tulisan ini lebih terstruktur.
a.       Definisi, bentuk, dan ciri korupsi.
b.      Latar belakang korupsi.
c.       Pandangan beberapa pemikir reformis timur tengah mengenai korupsi dalam beberapa kitab tafsir mereka.
d.      Akibat korupsi.
e.       Cara pencegahan korupsi.
f.       Kesimpulan dan saran

C.  Tujuan penulisan
                   Penulisan makalah ini, tentunya akan memeberikan beberapa sumbangan pemikiran dan memiliki beberapa tujuan antara lain;
a.       Mengetahui korupsi serta beberapa bentuk dan ciri-cirinya.
b.      Memahami faktor-faktor dalam suatu lingkungan atau seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi.
c.       Mengemukakan biografi Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Sayyid Qutub serta beberapa gagasannya.
d.      Mencermati secara mendalam ekses-ekses yang ditimbulkan korupsi.
e.       Memberikan upaya alternatif sebagai cara untuk mencegah agar korupsi tidak menjangkit.



BAB II
ISI

A.  Asal kata serta pengertian korupsi
Menurut fokema andrea sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus(Webster student dictionary: 1960). Selanjutnya disbutkan bahwa corruption itu berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua.
Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan belanda, yaitu corruptive (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu “korupsi”.[2]  Dalam bahasa melayu Malaysia dikenal dengan resuah atau (kerakusan) yang terambil dari bahasa Arab.[3]
Sementara dalam bahasa Arab kata korupsi dikenal dengan kata risywahالرشوة   yang artinya الوصلة إلى الحاجة بالمصانعة yang artinya sampai kepada kebutuhan dengan jalan bekerja sama. Pelaku korupsi disebut dengan ar-rasyi  من يعطى الّذى يعينه على الباطلartinya memberi kepada seseorang yang menolongnya dalam perbuatan jahat. Orang yang disuap disebut al-murtasyi.[4]Dalam pengertian lain yang dikemukakan oleh Ibnu Fasris kata yang terdiri dari huruf ra, syin  dan huruf illat (waw atau ya) berarti تسبب لشيء برفق وملاينة artinya menyebabkan sesuatu dengan halus dan samar.[5]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia karangan Poerwadarmintokata “korupsi” diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebgainya.[6] Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah di ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya.  Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsiitumerupakansuatu yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.[7]
Korupsi terjadi di mana-mana. Tidak hanya di Indonesia melainkan terjadi pula di berbagai Negara. Dari korupsi yang telah membudaya muncul istilah yang berbau korupsi yang mewakili simbol-simbol menuju pada pembenaran perilaku tersebut. Di Indonesia kita mengenal uang pelicin. Tidak hanya itu, dalam bahasa daerah pun mengenal istilah yang berkaitan dengan korupsi, seperti:
a.    Orang Medan mengenal istilah hepengparsigaret .
b.    Di Bandung terdapat istilah artosrokok.
c.    Orang Padang menyebutnya uang takuik.
d.   Di Surabaya dikenal duit rokok.
e.    Orang Makasar menyebut pamalli’ kaluru.
f.     Dan sebagainya;
Istilah Angpau  atau amplop merah untuk Negara RRC, Taiwan, Hongkong, Singapura dan Macau.
Istilah fakelaki di Finlandia.
Istilah post de Vin untuk Negara Prancis.
Istilah Schmiergledbdi Jerman.
Istilah c-word untuk IMF dan Bank Dunia.
Istilah baksis untuk Negara Arab.
Istilah Payola iuntuk Negara Filipina.
Istilah Metabiche dikenal di Afrika Tengah.
Istilah Propina untuk Negara di Amerika Latin.[8]
            Sekarang di Indonesia jika orang berbicara menegnai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahatmenyangkut keuangan Negara dan suap. Padahal secara esensinya korupsi tidak hanya itu saja, itu merupakan pengertian korupsi sebatas ciri finansial-ekonomistik dan ini biasanya tanda masyarakat yang begitu rusak oleh pembusukan pada tingkat yang ganas. Justru karena snagat ganas, langkah kalap koreksi terpaksa hanya berkutat pada aspek material, finansial dan tolak ukur uang. Korupsi bukan hanya soal mencuri uang negara. Seorang akademikusyang melakukan plagiat atau siswa yang mencontek tidak mencuri uang Negara, tetapi plagiat dan pencontek adalah perilaku korupsi. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap maslah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun kita mendekatinya dari berbagai aspek. Pendekatan sosiologi misalnya, seperti yang dilakukan oleh Syeid Husen Alatas dalam bukunya TheSosiologyofCorruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik atau ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan “nepotisme” dalam kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentunya hal itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.[9]
            Sementara menurut Kitab undang-undang Hukum Pidana di Indonesia, tindak pidana korupsi diartikan dengan berbagai macam definisi diantaranya adalah :
a.    Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negaraatau perekonomian negaraatau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbutan tersebut merugikan keuangan negaraatau perekonomian negara.
b.    Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.[10]

B.     Bentuk-bentuk korupsi
Korupsi mempunyai bentuk sangat banyak, mulai dari korupsi kecil-kecilan sampai korupsi kelas tinggi. Sebagaimana yang dikutip oleh Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah bahwa Gerald E Caiden dalam Toward a General Theory of Official Corruption. Menyebutkan beberapa bentuk korupsi yang secara umum telah dikenal masyarakat dunia, yakni:
·    Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri yang illegal dan penyelundupan.
·    Menggelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri.
·    Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen, menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, dan menyalahgunakan dana.
·    Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiasati, menganiaya, memberi ampunan dan grasi yang tidak pada tempatnya.
·    Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi, memperdaya dan memeras.
·    Mengabaikan keadilan melanggar hukum, memberi kesaksian palsu, menahan secara tidak sah, dan menjebak.
·    Tidak menjalankan tugas, desersi dan menjadi benalu.
·    Penyuapan, penyogokan, memeras, mengutip pungutan, dan meminta komisi.
·    Menjegal pemilihan umum, memalsukan kertas suara, dan membagi-bagi wilayah pemilu-pemilu agar bisa unggul.
·    Memakai informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi dan membuat laporan palsu.
·    Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik negara, dan surat izin Negara.
·    Memanipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman unag.
·    Menghindari pajak dan meraih laba secara berlebihan.
·    Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, dan konflik kepentingan.
·    Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin, dan hiburan serta perjalanan yang tidak pada tempatnya.
·    Berhubungan dengan organisasi kejahatan, seperti operasi pasar gelap.
·    Perkoncoan dan menutupi kejahatan.
·    Memata-matai secara tidak sah, seperti menyalah gunakan telekomunikasi dan pos.
·    Menyalahgunakan stempel, kertas surat kantor, rumah jabatan, dan menyalahgunakan hak istimewa jabatan.[11]
C.     Ciri-ciri korupsi
Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Evi Hartanti sebagaiman yang dikutip bahwa Syed Husein Alatas dalam bukuya SosiologiKorupsi memberikan ciri sebagai berikut.
a.       Korupsi  senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
b.      Korupsi biasanya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi tersebut telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk mnyembunyikan perbuatannya, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.
c.       Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntugan timbal balik yang tidak selalu berupa uang.
d.      Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e.       Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau masyarakat (umum).
f.       Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan keprcayaan.[12]

D.  Latar belakang korupsi
Seperti diketahui bahwa perkara tindak pidana korupsi merupakan perkara ynag dapat digolongkan ke dalam apa yang disebut “White Collar Crime”yaitu kejahataan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat dan dilakukan sehubungan dengan tugas atau pekerjaannya. Jadi perbedaan antara kejahatan korupsi dengan kejahatan lainnya, hanyalah terletak pada tingkat sosial ekonomi atau pendidikan pribadi pelaku-pelakkunya.[13]
Menurut pendapat Edwin H. Sutherland dalam bukunya “PrinciplesofCriminology” yang dikutip oleh Momon Martasaputra, S. H. dalam bukunya “ Asas-AsasKriminologi”. Dikatakan : “ bahwa kejahatan itu bersumber dari masyarakat, masyarakat memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan dan masyarakat sendiri yang akan menanggung akibat dari kejahatan itu, walaupun secara tidak langsung, oleh karena itu untuk mencari sebab-sebab kejahatan adalah di masyarakat. Untuk melihat apa sebabnya orang menjadi jahat adalah, haruslah dilihat pertama-tama keadaan masa lampaunya, bagaimana pengaruh masa lampau terhadap orang itu, tetapi seseorang yang pada masa lampaunyatelah melakukan kejahatan kenakalan anak-anak belum tentu setelah dewasanya menjadi jahat, mungkin juga ia menjadi seorang yang baik.[14]
Menurut pendapat DR. Andi Hamzah, S. H muda pati adhyaksa sebagaimana yang dikutip Djoko Prakoso dkk, dalam kuliahnya di hadapan peserta Pendidikan Bidang Operasi Angkatan ke-V tahun 1983 di PUSDIKLAT Kejaksaan RI di Jakarta, tentang kuasa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia, antara lain disebabkan karena faktor-faktor:
1.      Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Faktor ini merupakan faktor yang paling menonjol, dalam arti merata dan meluasnya korupsi, seperti di Indonesia.
2.      Latar belakang kebudayaan atau kultur.
3.      Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efetif dan kurang efisien sering dipandang pula sebagai penyebab korupsi, khususnya dalam arti bahwa hal demikian itu akan memberi peluang untuk melakukan korupsi.
4.      Modernisasi mengembangbiakan korupsi karena membawa perubahan nilai dasar atas masyarakat, membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, membawa perubahan-perubahan yang dilibatkannya  dalam bidang kegiatan sistem politik, memeperbesar kekuasaan pemerintah dan melegalakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh pemerintah.[15]

Evi Hartati menambahka bahwa faktor-faktor korupsi antara lain:
5.      Lemahnya pendidikan agama dan etika.
6.      Kolonialisme.
7.      Kemiskinan.
8.      Tidak adanya sangsi yang keras.
9.      Struktur pemerintahan.[16]

E.   Biografi Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan sayyid Qutub
Muhammad Abduh dilahirkan di Mahallat Nashr pada tahun 1266 H atau 1849 M. Abduh dilahirkan dari keturunan seorang ayah yang bernama Abduh Khairullah, konon nasabnya bersambung sampai Umar bin Khatab. ayahnya memilki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, hal tersebut salah satunya terwujud dengan sikap sedikit bicara dan banyak melakukan tindakan yang riil. Menurut Abduh orang tuanya juga menjaga jarak terhadap orang-orang yang hina. Abduh menyaksikan bahwa penduduk di desanya memuliakan ayahnya, bahkan karena sangat mengagungkan wibawanya, mereka mengistimewakan ayahnya ketika menjamu makan. Sifat-sifat lain yang terdapat dalam diri orang tua Muhammad Abduh adalah menghormati, melayani para tamu dan orang-orang yang mengembara (musafir). Dia sangat bangga karena dapat menghormati tamu. Bahkan karena kedermawanan dan rasa supel Abduh Khairullah beberapa pejabat ada yang tinggal bersamanya, meskipun sebenarnya mereka memiliki harta yang banyak dan  rumah dinas. Menurut Abduh kewibawaan tidak terkait dengan kekayaan harta.[17]
Sementara ibunya Abduh, juga memiliki kedudukanyang sama dengan ayahnya diantara perempuan-perempuan di Mahallat Nashr. Dia sangat menyayangi orang-orang miskin dan mengasihi  terhadap kaum lemah. Dan sampai saat ini saya (Abduh) masih menemui pengaruh yang dibawanya dan wibawa tersebut.[18]
Kehidupan keluarga Muhammad Abduh awalnya menyedihkan, pertama kakeknya dibunuh dalam penjara karena difitnah oleh penduduk dan pejabat. Setelah itu ayahnya pindah ke desa kecil bernama ”kanisah urain”Syibrakhit pusat. Tetapi dia tidak nyaman di sana, karena takut penyiksaan dan intimidasi. Waktu itu banyak musibah (kejahatan) dilakukan oleh kaum despotik dan pemfitnah dari kalangan elit birokrat. Ayahku secara sembunyi-sembunyi pergi ke propinsi barat dan menetap di sytra’. Ayahku memilki beberapa uang yang digunakan untuk menyewa lahan penduduk setempat guna bercocock tanam. Ayahku juga memiliki  kecakapan dalam bidang berburu.[19] Desa yang ditempati Abduh pun mengalami tindak despotik yang dilakukan oleh orang semena-mena dan para penguasa. Hingga orang tuanya dan masyarakat sekitar di penjara dan tempat tinggal mereka dihancurkan.
Abduh tumbuh seperti layaknya anak-anak di desanya yang tidak masuk sekolah atau maktab yang biasanya diikuti oleh murid setelah berumur 10 tahun. Abduh belajar membaca dan dan menulis di bawah bimbingan orang tuanya. Lalu pindah ke Dar hafidz al-Quran (semacam pesantren tahfidz) dan menyelesaikan hafalan al-Quran selama 2 tahun. Setelah itu Abduh dibawa oleh bapaknya ke Thanta (rumah paman dari pihak ibu) syeikh Mujahid untuk belajar tajwid di masjid Ahmadi.[20] Pada tahun 1281 H, Abduh duduk di bangku sekolah dan mulai mempelajari syarahkafrawi (syarah jurumiyah) di masjid Ahmadi. Dia menghabiskan waktu selama 1,5 tahun di sana. Namun menurutnya dia tidak memahami apapun karena buruknya metode pengajaran. Para guru secara tiba-tiba langsung  menggunakan istilah nahwu atau fiqh yang belum dimengerti oleh murid. Para guru tidak memberikan pemahaman makna atau kandungan terhadap kalimat yang belum dipahami. Maka dari itu saya (Abduh) putus asa untuk meraih kesuksesan dalam belajar. Lalu saya lari atau membolos dari pelajaran dan bersembunyi di rumah pamanku selama 3 bulan. Akhirnya saudaraku menemukanku dan membawaku ke masjid Ahmadi dan dia memaksaku untuk belajar. Namun, saya menolak dan berkata kepadanya bahwa saya tidak akan sukses dalam belajar. Abduh ingin pulang ke desa untuk bertani layaknya yang dilakukan mayoritas orang dan kerabat. Akhir perdebatan, aku langsung mengambil pakaian dan barang berharga, lalu pulang ke Mahallat Nashr. Dengan niat tidak akan pernah belajar lagi. Saya menikah ketika berumur 16 tahun atau tepatnya pada tahun 1282 H atau 1869 M.[21]
Ini adalah pertama kalinya Abduh mengetahui tenang metode pengajaran di Thanta yang  95% sama dengan al-Azhar. Metode ini tidak akan membantu para pendidik untuk bersahabat dan berkomunikasi dengan murid, terutama yang tidak akrab dengan metode pengajaran seperti ini. Metode ceramah (guru menyampaikan apa yang diketahui dan tidak diketahuinya, tanpa mempertimbangkan mahasiswa dan tingkat kesiapan mereka). Bahkan mayoritas siswa tidak paham dengan beberapa pelajaran, namun mereka menutupinya dan menginginkan untuk melanjutkan pelajaran ke tahap yang lebih tinggi (dewasa,) padahal mereka masih berumur kanak-kanak.[22]
Selang 40 hari setelah Abduh menikah, orang tuanya datang dan berdiskusi  agar dia pergi ke Thanta guna menuntut ilmu. Setelah  berdiskusi, maka Abduh tidak merasa keberatan untuk menaati perintah tersebut. lalu dia dan kerabatnya memacu kuda ke Thanta, namun di tengah perjalanan badai gurun yang panas menerjang. Saudaraku berhenti kaena tidak kuat, sementara saya melanjutkan perjalana ke Kanisah Urain, tempat bibik ayahku selama 15 hari.[23]
Suatu hari pamanku (Abduh), syeikh Darwis pengikut tarikat Syadziliah dan seorang ulama yang hafal al-Quran, muwattha’ dll, menghampiriku. Dia membawa kitab yang berisi surat-surat gurunya dan menyuruhku membaca kitab tersebut,karena penglihatannya sudah lemah. Aku (Abduh) sangat tidak suka terhadap membaca buku, ketika dia menyodorkannya di depanku,buku tersebut langsung kubuang jauh. Namun, syeikh Darwis tersenyum dan menampakkan jiwa kesabaran dan kelembutan. Dia tak henti-hentinya menemaniku hingga aku mengambil kitab tersebut dan membacanya beberapa baris. SyeikhDarwis mulai menafsirkan kandungan makna yang telah saya baca dengan ungkapan yang sangat jelas. Di hari lain dengan peristiwa yang sama setelah aku membaca buku tersebut,syeikh Darwis menjelaskan keterangan hingga tiga jam dan saya tidak bosan dengan penjelasan tersebut. Oleh karena itu saya meminta kepada syeikh untuk meninggalkan buku tersebut agar aku bisa membacanya. Syeikh sangat senang dengan hal tersebut. Kandungan surat-surat tersebut adalah definisi zuhud, sufi, adab, etika jiwa, riyadhah, akhlak karimah dan penyuciannya dari kotoran dan kehinaan.[24]
Di bulan syawal saya pergi ke Al-Azhar untuk belajar kepada para syeikh. Ketika belajar aku melakukan uzlah dengan tidak terlalu banyak bergaul dengan teman-teman. Setiap akhir tahun saya pulang ke Mahallat Nashr. Ketika itu saya (Abduh) ditanya oleh syeikh Darwis, apa saja yang telah kamu baca. Saya menjawabnya dengan beberapa buku yang telah kupelajari. Syeikh Darwis menimpali lagi apakah kamu tidak belajar manthiq, hisab, dan dasar teknik. Saya mengatakan bahwa di Azhar ilmu-ilmu ini tidak populer. Dia menambahkan lagi, seorang yang mencari ilmu tidak akan merasa lemah (putus asa) untuk mendapatkannya meskipun ilmu tersebut berasal dari manapun.[25]
Pada tahun 1870 M atau 1286 H Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir. Abduh serta teman-temannya berdiskusi danbelajar tentang filsafat, matematika, etika dan politik kepada tokoh pemimpim pembaruan itu.[26] Semenjak saat itu Abduh lebih banyak bersinggungan dengan dunia luar dan memiliki bergam aktivitas, mulai mengajar di al-Azhar, Dar al-Ulum, menulis artikel di surat kabar al-Ahram dan menjadi pemimpin redaksi waqiiyahMishriyah hingga terlibat dalam kegiatan politik praktis.[27] Bahkan dengan gerakan tersebut, ia termasuk salah seorang yang ditangkap dan dipenjarakan selama tiga bulan lebih. Lalu ia dibawa ke depan pengadilan dan dijatuhi hukuman buang ke luar Mesir. Abduh juga pernah ke Paris bergabung dengan Jamaludin Afghani untuk membentuk gerakan yang bernama Jamaat al-Urwat al-Wutsqa.[28]
Penulisan tafsir al-Manar sendiri bermula ketika ia diminta oleh teman sekaligus muridnya Rasyid Ridha untuk mengajar tafsir di al-Azhar. Dia menyanggupi hal tersebut. Namun,awalnya peminat kajian tafsir ini sedikit, hingga ia menyampaikan kepada kepada mrid-muridnya. Selang beberapa waktu, pelajaran yang awalnya tidak mendapat tempat dikhalayak umum, menjadi sebuah kajian yang sangat menarik dan mendapat sambutan antusias dari berbagai lapisan masyarakat. Rasyid Ridha menjadi murid kesayangan sekaligus penulis terhadap ceramahnya, dan tulisan ini dimuatnya di majalah al-Manar setelah Abduh melakukan beberapa koreksi. Namun, Abduh menyampaikan tafsir hanya sampai surat an-Nisa’ ayat : 125, selanjutnya diteruskan oleh  muridnya Rasyid Ridha.[29]Maka dari itu tafsir al-Manar adalah tafsir yang ditulis oleh dua ulama pembaruan.
Pemikiran Abduh sendiri sebenarnya adalah seorang pemikir yang bebas tanpa terbelunggu oleh taklid. Namun dalam masalah teologi Abduh sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Mu’tazilah. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Rif’at Syauqi dari hasil penelitian Harun Nasution. Sementara dalam maslah syari’ah dan berijtihad Muhammad Abduh menjadikan al-Quran dan sunnah sebagai sumber pokok, sedangkan mashlahat mursalah merupakan salah satu metode yang dipergunakan dalam berijtihad. Dalam memahami al-Quran sebagai sumber pokok, Muhammad Abduh tidak selamanya berpegang kepada dalalah (petunjuk) lahir nash. Untuk itu ia berpatokan kepada suatu kaidah yang populer sebagai berikut.
إنّ العبرة بالمقاصد والمعنى لابالألفاظ والمباني
Sesungguhnya yang perlu diperhatikan dari formula nash adalahtujuan dan pengertiannya, bukan lafal dan tulisan yang tertera.
Dengan demikian, tidaklah mengherankam apabila ia tidak memahami ayat al-Quran secara literal, tetapi menakwil dan mengambil pengertian atau pemahaman dari ruh yang terkandung dalam suatu ayat atau nash.[30]Karangan-karangan Muhammad Abduh antara lain; 1. Risalat at-Tauhid. 2. Syarh Nahj al-Balghah. 3. Al-Islam wa an-Nashraniyyah. 4. Syarh Maqamat Badi’ az-Zaman al-Hamdzani. 5. ar-Raddu ‘ala hanutu dll.
Sementara Rasyid Ridha nama aslinya adalah Muhamad Rasyid bin Ali bin Ridha bin Muhammad Syamsudin. Nasabnya bersambung sampai ke sayyidina Husein. Dia dilahirkan di Qalmun, Syampada tahun 1287 H. Rasyid Ridha adalah seorang reformis dan pemilik majalah al-Manar. Alim dalam bidang hadits dan sastra. Ia berkunjung ke Mesir menjadi murid Abduh pada tahun 1315 H. Ridha menyebarluaskan ide-idenya tentang pembaruan di majalah mesir. Dia mengkompromikan antara Islam dan kehidupan kekinian. Ridha juga pernah mengikuti aktivis kebangsaan di era penjajahan Prancis, ketika pemimpin Syiria mengajaknya untuk membebaskan bangsa Syiria agar meredeka. Namun, di tengah-tengah perjuangannya karena ada suatu masalah dengan salah satu pejuang lain, ia memutuskan untuk kembali ke Mesir dan meninggal pada tahun 1354 H.[31]
Karangan rasyid Ridha antara lain; 1. Al-hikmah as-syar’iyah. 2. Majallah al-Manar. 3. Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh. 4. Al-Wahyu al-Muhammadi. 5. As-Sunah wa as-Syi’ah dll.
Adapun jejak mufassir ketiga yaitu Sayyid Quthub. Nama aslinya Sayyid bin Qutub bin Ibrahim bin Husain bin Syadzili. Lahir pada tahun 1906 di kampung Musya, daerah sebelah selatan kota Usyut dari keluarga keturunan Hindia yang berada (kaya raya)[32].
Seperti halnya anak-anak sebayanya, dia habiskan masa kanak-kanak di kampung halamannya dan menuntut ilmu di Kutabdan madrasah ibtidaiyyah di tempat kelahirannnya. Usia 13 tahun dia melanjutkan pendidikannya di Kairo. Lalu tahun 1925 dia masuk sekolah perguruan dan tahun 1928-1933 mengikuti pengajaran di Dar Al-Ulum (Kairo) untuk memperoleh gelar sarjana[33].
Di awal permulaannya dalam menulis, Qutub memiliki corak, motif, dan gaya tulisan sebagaimana penulis Mesir lainnya, yakni nasionalis, liberal, dan sekuler. Bahkan dia begitu membenci produk-produk barat yang mulai berkembang di negerinya, baik dari sektor ekonomi, politik, sosial, pendidikan, maupun budaya. Terbukti pernyataan yang ia tulis dalam suratnya yang dikirim kepada temannya, Abbas Khadr bahwa, “Amerika cocok menjadi pabrik dunia, sehingga ia akan melakukan pekerjaan yang terbaik. Tetapi jika semua dunia adalah Amerika, tidak diragukan lagi itu merupakan bencana bagi dunia” dari pernyataannya itu tampak jelas penolakan budaya barat masuk ke negerinya, Mesir. Meskipun Qutub sendiri pernah belajar di Amerika dan menyenangi sistem pemerintahan Amerika[34].
Tahun 1945 Sayyid menerbitkan bukunya yang pertama dengan judul Al-Tashawwur Al-Fanni Fi Al-Qur’an. Dan pada tahun 1948 beliau menerbitkan lagi buku yang berjudul Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Islam. Kitab kedua ini berpengaruh pada para perwira negara dan mendahului aliran salafiah.
Dalam kitab itu terdapat konsep pemikiran Qutub mengenai pandangannya terhadap dunia barat, yaitu bahwa barat tidak memiliki nilai tambahan untuk memberikan kontribusi pada umat manusia sedunia. Beliau pun memandang bahwa nilai-nilai kemanusiaan berada di ujung/tepi jurang, dikarenakan mengalami kemerosotan nilai seperti zaman jahiliyyah, yaitu dunia sedang dikelilingi budaya thagut Yunani maupun Persia[35].
Sifat Qutub yang radikal terpengaruh oleh Abu Al-A’la Al-Maududi (salah satu penggerak partai Ikhwanul-Muslimin yang berasal dari Pakistan) pada tahun 1940-an[36]. Karena sama-sama penggerak partai persatuan umat muslimin Mesir ini, Sayyid dan Al-Maududi memiliki kesamaan pandangan bahwa islam merupakan suatu agama yang sempurna dan lengkap sehingga tidak perlu bahkan jangan meniru pola atau sistem yang dimiliki barat.[37]Pandangan radikalnya terhadap dunia barat tentu  mempengaruhi corak, motif, dan gaya penulisannya
Jika kita urai dalam buku Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Islami itu, reformis islam ini memiliki pandangan filsafat  radikal sebagai berikut.[38]
1.    Dua konsepsi berada dalam pertentangan mutlak. Beliau selalu membandingkan islam dengan jahiliyyah, iman dan murtad, pemerintahan kerajaan surga dan kerajaan manusia, serta tuhan dan setan.
2.    Seluruh dunia itu dalam keadaan murtad (masih mengalami zaman Jahiliyyah) termasuk negara dan kerajaan islam
3.    Hanya Islam yang benar dan menafikan agama lain baik dalam hal filsafat, teori, maupun ideologi.
4.    Kredo penjaminan, yakni dua kalimat syahadah sebagai bentuk implementasi iman
5.    Perubahan bisa terjadi dengan adanya harakah (pergerakan)
6.    Revolusi akan terjadi melalui keimanan dari luar masyarakat masa kini
7.    Perubahan merupakan tindakan pembebasan individu seseorang dari perbudakan
8.    Jihad itu perintah yang dituntut terus-menerus untuk membebaskan dunia sehingga hanya islamlah yang tampil (berperan)
9.    Yahudi dan Kristen adalah kafir
10.     Sains-sains yang ditemukan dan dikembangkan oleh umat nonmuslim bisa diterima dan digunakan jika tidak ada penemuan dari kalangan muslim sendiri
11.     Islam tidak memandang rendah terhadap materi
Karena tindakan radikalnya dianggap membahayakan pemerintahan Nashir saat itu, maka dia dihukum penjara selama 10 tahun bersama teman-teman Ikhwan Al-Muslimin.
Baru satu tahun ia dapat menghirup udara luar, pada tahun 1965 ia dijebloskan lagi ke sel tahanan dan pada hari Senin, 29 Agustus 1966 ia dieksekusi bersama teman-temannya.

            Metodologi Tafsir al-Manar
                        Muhammad Abduh adalah seorang reformis diantara ulama Azhar. Ia melepaskan diri dari taklid dan menggunakan akal secara umum bebas. Dalam menjelaskan al-Quran ia tidak jumud dan terpaku kepada para pemikir salaf atau ulama terdahulu. Di samping itu, ia memiliki pemikiran yang berbeda dengan para pendahulunya, sebab itu mayoritas ulama merasa sentimen terhadap Abduh.Namun, disekelilingnya para mahasiswa dan murid-muridnya menjadi pengagumnya. Kebebasan berfikir dan revolusi terhadap pemikiran yang telah lampau memiliki pengaruh yang kuat terhadap metodologi yang ditempuh oleh Abduh. Dia berbeda dengan beberapa mufassir terdahulu., karena syeikh memahami Kitabullah sebagai petunjuk kebahagian manusia di dunia dan akhirat. Inilah yang menjadi tujuan tertinngi al-Quran, selain itu hanyalah sebagai komplementer.[39]
                        Abduh mengkritik para mufassir yang melupakan tujuan al-Quran, sebagai petunjuk dan hidayah. Mereka secara umum mengelaborasi al-Quran dari sisi bentuk makna, nahwu dan perbedaan fiqh. Hal-hal tersebut dapat melalaikan tujuan Kitabullah dan menghilangkannya.[40] Tidak hanya itu, sang reformis ini juga menggunkan metode educationumat Islam agar mereka mampu bangkit. Abduh juga mengemukakan etika-etika al-Quran seperti keberanian, keluhuran dll.[41]
                        Meskipun demikian, dalam sistematikanya Abduh tetap menempu cara yang sama dengan mayoritas mufassir lain. Dia menjelaskan kandungan al-Quran sesuai dengan urutan surat (tartib suwar) bukan tartibnuzul serta tidak lupa memeberikan keteranagn berupa munasabah (korelasi) baik antar surat atau antar ayat.  Abduh dalam sumber tafsirnya juga merujuk ayat-ayat lain yang masih satu tema, sunnah rasul dan pendapat sahabat dan tabiin. Namun keistimewaannya dia tidak tidak menyantumkan israiliyyat, tidak menspesifikasikan yang samar (mubham), tidak membahas seni atau istilah-istilah ilmiyah dan tidak berlandaskan hadits yang palsu. Dia menjelaskan ayat secara indah dan menyingkap makna-makna dengan ungkapan yag mudah.[42]Yang paling istimewa dari tafsir ini adalah perahatian terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam pada waktu itu, dan memberikan arahan untuk menanggulangi sebab-sebab kemunduran masyarkat Islam, kemungkinan membangun masyarakat yang kuat menuju umat yang berlandaskan al-Quran.[43] Sementara metodologi yang digunakan penerusnya Rasyid Ridha, secara garis besar dalam melanjutkan magnum opus gurunya sama. Namun, dia lebih menekankan elaborasi terhadap beberapa permasalahan, terutama yang berkaitan dengan problem sosial kemasyarakatan.[44]
                        Sehingga kesimpulannya menurut Abdul Hayy Farmawi, bahwa tafsir al-Manar merupakan tafsir dengan corak adab ijtima’i. tafsir adab ijtima’i berupaya meningkap keindahan bahasa al-Quran dan mukjizat-mukjizatnya; menjelaskan makna dan maksudnya; memperlihatkan aturan-aturan al-Quran tentang kemasyarakatan; dan mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan permaslahan umat lainnya secara umum. Semua itu diuraikan dengan memperhatikan petunjuk al-Quran yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.[45]
            Metode yag dipakai dalam tafsir Fi Dhilalil-Qur’an ialah menggunaka corak tafsir bil-ma’tur.
Beliau mentafsirkan ayat al-Qur’an itu dengan memberikan kontribusi melalui Al-Qur’an, hadits.
A.    Al-Qur’an
B.     Al-Hadits
Ketika memberikan kontribusi tafsir dengan hadits beliau memiliki metode sebagai berikut.
1.      Mengambil hadits-hadits yang berbentuk umum, kecuali hokum-hukum syariat yang pokok. Beliau tampaknya lebih menyelidiki hadits yang dating kepada kita149
2.      Menafsirkan di sebagian tempat dengan makna yang terkandung dalam hadits 162
3.      Menggunakan metode yang dipakai ulama terdahulu yakni menyebutkan sumber-sumber keterangan yang dia ambil tanpa batas dengan menyertakan nomor juz, halaman, pembahasan, maupun babnya163
4.      Tetkala mengeluarkan dua hadits ataupun lebih yang satu makna namun berbeda lafal, maka beliau tidak menisbatkan lafalnya kepada sahabat, tetapi ditakhrij secara harfi berdasarkan matan haditsnya165
5.      Tidak menyebutkan sanad hadits secara lengkap kecuali di segelitir tempat saja166. Bahkan terkadang tanpa mencantumkan sanad dan tidak mentakhrij haditsnya

C.     Qaul AL-Shahabat  176

D.    Memperhatikan asbabunnuzul, mengawali awal surat dengan pemikiran tentang tema yang ada dalam surat tersebut. Setelha itu beliau membagi dalam waqaf-waqaf dalam satu juz. Lalu mentafsirkannya perayat. Tidak lupa beliaupun menyebutkan asbabunnusul di awal surat yang ada kaitanya ataupun sebelum awal surat.
            Pandangan Muhammad Abduh, rasyid Ridha dan Sayyid Qutub terhadap korupsi
                        Di dalam al-Quran, redaksi yang secara literer menyebut kata risywah (korupsi) tidak dijumpai. Meskipun demikian, bukan berarti Islam melegalkan praktik tersebut dan semisalnya seperti gratifikasi. Hal ini terbukti dengan adanya hadits nabi yang diriwayatkan olehTirmidzidari Abi Hurairah yang isinya secara tegas melarang perilaku tersebut.
            عن ابي هريرة قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم
وفي رواية أخرى عن ابن عمر بلا الحكم.
            Artinya: dari Abi Huarirah, Nabi Muhammad Saw bersabda Allah melaknat orang yang melakuakn tindakan suap atau korupsi dalam hukum. Dalam riwayat Ibn Umar tidak ada kata tambahan dalam hukum.
Dalam syarah misykah, korupsi dalam hadits tersebut adalah sesuatu yang diberikan untuk membatalkan yang hak (benar) dan membenarkan yang bathal (salah).[46]
            Sebenarnya al-Quran secara implisit melarang tindakan korupsi jika kita benar mencermati redaksinya. Hal ini terbukti adanya unsur kesamaan antara korupsi dengan tema-tema yang mengacu terhadap itu. Seperti kata اكل الباطل yang terdapat dalam beberapa ayat al-Quran, kata ini memiliki arti memakan harta secara bathal atau tidak sah. Redaksi ini tentunya lebih umum daripada korupsi. Namun beberapa penafsir kontemporer masih tetap menyinggunnya dalam karya mereka karena hal itu masih sangat relevan. Seperti penfsiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh terhadap surat al-Baqarah : 188.
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)
Artinya : janganlahkalian memakan harta kalian secara bathal (tidak sah) dan memebrikan harta tersebut kepada para hakim agar suatu kelompok memakan harta secara berdosa sedangkan kamu mengetahui.
            Muhammad Abduh mengomentari ayat ini dengan penjelasan “ ayatinikhitabnya secara umum terhadap semua orang mukalaf dan yang dimaksud janganlah diantara kalian memakan harta sebagian yang lain” pemilihan lafadz amwalikum (tentunya harta diri sendiri) mengindikasikan kesatuan umat dan pertanggungjawabannya, ayat ini juga mengisaratkan sebuah warning (peringatan) bahwa menghargai harta orang lain dan memeliharanya, itu berarti menghormati dan menjaga hartanya sendiri. Sementara dhamir kum (kalian) yang terdapat dalam amwal merupakanillatlarangan dan penjelasan hikmah suatu hukum. Seolah-olah bermakna seseorang tidak boleh memakan harta orang lain, karena hal itu merupakan jinayat (tindak pidana) terhadap diri sendiri. Karena dia sebenarnya termasuk salah satu bagian dari umat.Dan tentunya akan terkena imbas dari setiap tindak pidana. Dengan menghalalkan harta orang lain berarti dia telah menggerakkan orang lain untuk mengambil hartanya sendiri ketika ia mampu. Dan menurut Abduh ini merupakan sesuatu yang ijaz (pendek) namun memiliki karakter i’jaz.[47]
            Sementara kaitannya dengan korupsi adalah ketika membahas lafadz  وَتُدْلُوا بِهَاdhamirha dikatakankembali kepda harta benda. Maknanya janganlah kalian memberikan harta kepada para hakim sebagai bentuk (korupsi) dan orang-orang akan berkata bahwa korupsi adalah suap dalam masalah hukum.Ada yang menjelaskan redaksi itu dengan “dan janganlah kalian  menyerahkan putusan harta benda kalian kepada hakim.”Abduh dalam ayat ini juga menyebutkan sabab nuzul ayat ini yang berkenanan denga perselisihan yang terjadi antara Abdullah ibn Asma’ al-Hadhrami dan Imri al-Qais yang dihakimi oleh nabi.[48]
            Sementara penafsiran Qutub sendiri awalnya hanya menukil terhadap penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Katsir (ma’tsur) ini pub sebenarnya berupa sababnuzul. Dari Umi Salamah bahwa Rasul berkata ”saya hanyalah manusia, jika datang kepadaku sebuah perslisihan, mungkin saja salah satu pihak telah mengubah bukti-bukti yang lain. Kemudian saya memberi putusan dan ternyata putusan tersebut adalah hak orang lain. Maka putusan tadi sebenarnya  percikan api neraka.” Maka bawalah (ambillah) atau tinggalkanlah.[49]
            Antara dua penafsiran ini, tampaknya Abduh lebih memberikan penafsiran yang lebih komprehensif dengan memberikan stressing (penekanan) dalam penggunaan bahasa dalam ayat awal. Sementara dari sisi tema meskipun Abduh tidak mengeluarkan pendapat orisinilnya, apakah ayat ini berakaitan dengan korupsi. Namun dia mengutip pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat ini larangan korupsi. Janganlah kalian menyogok para hakim dalam urusan perkara. Sementara Qutub sendiri tidak meyinggung terhadap ayat ini secara spesifisik. Malahan dia menjelaskan bahwa hal-hal perkara dalam peradilan (hukum) adalah terkait dengan ketakwaan kepada Allah, sebagaiman yang tertera dalam beberapa tema-tema lain seperti Qisas, wasiat, puasa dan pasan Allah bagi yang mengimani sebgian kitab Allah dan kafir terhadap yang lain. Berarti telah kafir. Dan pendapat ini tentunya lebih didasari  terhadap konsep membangun hukum Islamiyah. Namun sebenarnya kedua penafsiran tersebut telah tercantum dalam tafsir al-Kasyaf dan tidak perlu ada kontra diksi.[50]
Ayat yang kedua adalah surat an-Nisa’ ayat : 28.
يا ايّها الّلذي أمنوا لا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل الاّ ان تكون تجارة عن تراض منكم ولاتقتلوا انفسكم انّا الله كان بكم رحيما.
Artinya : hai oran-orang yang beriman janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan bathal, kecuali dengan cara perdaganagan yang saling merelakan. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri sesungguhnya Allah terhadap kalian sangat sayang.
            Mengidzafahkan lafadz amwalterhadap dhamir kum dan tidak diucapakan la ya’kulu ba’dhukum untuk mengingatkan beberapa hal  yang sering diutarakan oleh muhammad Abduh tentang tanggung jawab umat dalam hak-hak dan kemaslahatan. Seolah-olah Allah berfirman sesungguhnya harta seseoraang diantara kalian adalah harta umat kalian, jika kalian membolehkan memakan harta orang lain secara bathal, seolah-olah dia telah membolehkan orang lain memakan harta dan menyerang hak-haknya karena orang lain juga mempunyai dua tangan.
            Abduh juga menambahkan bahwa dalam ayat ini terdapattanbih tentang maslah lain, yaitu bahwa orang yang menguasai dan memiliki harta harus memberi sumbangan kepada orang yang membutuhkan. Begitu pila orang yang membutuhkan tidak boleh mengambil sesuatu harta orang lain dengan cara yang salah. Seperti mencuri, ghasab dll.  Juga tidak boleh bagi pemilik harta untuk kikir terhadap yang membutuhkan. Sementara penjelasan bathil  sendiri sebagaimana yang kami katakan bahwa selama tidak menukar dan mengganti sesuatu secara benar (hak). Syariat telah mengharamkan mengambil harta tanpa ada imbalan atau ganti yang benar menurut adat. Dan orang yang mengambilnya pun harus merasa ridha.[51]
            Penafsiran Qutub terhadap ayat ini adalah berupa fungsi ayat yang diturunkan untuk aplikasi penyucian terhadap kehidupan jahiliyyah dalam masyarakat Islam. Permintaan bantuan hatinya orang-orang Islam dengan panggilan يا ايّها الّلذي أمنو untuk tidak memakan harta dengan cara yang bathal mencakup setiap cara atau langkah perputaran uang yang tidak diridhai oleh Allah. Seperti menipu, korupsi, berjudi, menimbun bahan-bahan kebutuhan pokok agar harganya melambung dan semua jenis transaksi yang diharamkan termasuk riba. Kami tidak bisa memastikan apakah ayat ini turun setelah pengharaman riba atau sebelumnya. Jika turun sebelum riba berartiakan  menjadi jembatan untuk melarang riba, karena riba merupakan sarana yang hebat untuk memakan harta secara bathal. Jika turun setelahnya maka riba termuta dalam ayat ini karens merupakan macam-macam transaksi yang diharamkan kecuali perdagangan.[52]
            Dari penjelasan diatas meskipun Abduh secara terang-terangan tidak menyinggung tentang problem korupsi sebagai contoh dalam redaksi bathal, bukan berarti Abduh lupa akan masalah yang dihadapi di masyarakat Mesir dll. Terutama tentang kejahatan suap menyuap, dalam ayat ini dia menggagubungkan antara pandangan syara’ dan pandangan budaya (adat). Dan ini menurut penulis masih sejalan dengan metodenya yang ditempuh yaitu pendekatan yang berbasis kemasyarakatan dan mengutamakan mashlahah.
            Sementara sayyid Qutub, meskipun ia memasukan korupsi dalam contoh harta yang bathal. Namun ia lebih mengetengahkan tentang pembahasan riba, padahal. Jika dilihat dari dzahirnya ayat, munasabah mauupun sababnuzul ayat ini tidak terlalu menspesifikasikan tentang riba. Karena ayat-ayat riba pun sudah ada porsinya tersendiri.
Surat an-Nisa’ayat : 161.
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
            Rasyid Ridha langsung menafsirkan ayat tersebut berupa “ karena mereka (kaum yahudi) mengambil riba yang telah diharamkan melalui lisan-lisan nabi mereka. Tetapi taurat yang mereka miliki sekarang hanya menjelaskah keharaman mengambil riba dari pihak yang sama-sama satu bangsa yaitu yahudi dan saudara-saudara mereka bukan yang lain. Dalam kitab perjanjian yang lain pun mengatakan bahwa janganlah kalian memberikan pinjaman kepada saudara-saudaramu”. Rasyid Ridha mengomentarai tulisan yang berada dalam kitab perjanjian ini, dengan kalimat “ kita tidak menerima bahwa ayat ini adalah taurat yang ditulis Musa. Karena salinannya telah disepakatioleh orang Yahudi dan Nashrani untuk dihilangkan. Tulisan ini ditulis setelah mereka terasing dan telah mengalami tahrif dengan bukti yang banyak.[53]
Dalam kata وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِRidha menafsirkannya seperti korupsi, khianat dll. Karena orangyang mengambil harta orang lain, tanpa ada ganti (muqabil) adalah termasuk orang yang memakan harta bathal.[54]
            Sayyid Qutub menafsirkan ayat itu dengan bahasan bahwa ayat ini masih menjadi bagian-bagian terhadap bagian sebelumnya tentang kemungkaran yahudi, kedzaliman mereka dan banyak melakukan penyelewengan dari jalan Allah, mereka terus menerus dalam hal ini –mereka tidak bodoh dalam mengambil riba juga bukan tidak adanya perintah mereka dilarang-namun,- mempraktikan memamakan harta orang secara bathal baik dengan riba atau perantara lain.[55]
             Rasyid Ridha dalam ayat ini lebih banyak memberikan kritik terhadap kitab-kitab perjanjian lama atau baru. Yang telah mengalami tahrif salah satu temanya adalahriba (berkaitan dengan sejarah yahudi). Namun tidak hanya sebatas itu saja,Ridha juga memberikan penafsiran terhadap aklul bathil yang dilakukan oleh orang-orang yahudi dengan korupsi, khianat dll. Dan ridha dalam closing statmennya bahwa ayat ini berlaku general atau dengan al-‘Ibrah bi umum al-lafdz la bikhusus as-sabab.Qutubdalam ayat ini lebih menekankan tentang tindakan despotik dan penyelewengn yang dilakukan orang-orang Yahudi baik dari era sejarah sebelum Nabi Muhammad hingga generasi sekarang. Dia tidak mengulas dari kitab perjanjian lama sebagaimana yang dilakukan Abduh. dan Qutub tidak menjelaskan Ibrah bi umumal-Lafds la bi khusus as-Sabab. Pendapat Rasyid Ridha sama dengan yang dikemukakan oleh ar-Razi bahwa ketika Allah menggambarkan sifat orang-orang yahud atau Bani Israil itu berarti beberapa orang mu’min termasuk di dalamnya.[56]
Surat al-Maidah ayat 42.
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (42)
Artinya : mereka orang-orang yahudi lebih senanjg mendengar berita bohong dan memakan harta yang haram jika mereka datang kepadamu.Maka putuskanlah diantara mereka atau berpaling dari mereka, jika kalian berpaling dari mereka maka itu tidak mngapa, jika kalian menghukumi diantara mereka putuskalah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.
Dalam pembahasan kali ini penulis megangkat tema yang memiliki unsur kesamaan dan korelasi dengan korupsi yaitu اللسُّحْتartinya setiap sesuatu keharaman yang penyebutanya buruk atau jelek. Ada yang mengatakan bahwa kata ini berarti pekerjaan yang buruk, jelek dan haram. Pelakunyapasti tercela dan mendapat aib. Namun dari kata as-Suht ini terdapat derivatnya yang menunjukan makna korupsi (ar-risywah) sebagaiman drai hadits ibnu Rawhah dia berkata bahwa Nabi Muhamamad mengatakan kepada Yahudi Khaibar “ pakah kamu memeberiku keharaman (as-suht) ketika mereka hendak menyuap nabi dalam masalah kebun kurma.[57]
            Meskipun menurut al-Fara’ kata ini bermakna (asyaddul ju’) sangat lapar. Rasyid Ridha dalam ayat ini memberikan keterangan bahwa rahib-rahib Yahudi dan pemimpinnya ketika ayat ini turun, banyak melakukan dusta dan memakan harta-harta hina., seperti korupsi dll. Sebagaimana perilaku umat-umat lain ketika telah mengalami penurunan, yahudi sekarang dalam kondisi orang-orang yang bangsanya sekarang lebih baik daripada orang yang mencela dan menghina mereka. Ridha juga menambahkan dengan melakukan kritik terhadap orang-orang yang lupa dengan keadaan mereka yang selalu menghina nenek moyang orang-orang Yahudi yang pernah melakukan kesalahan dan kekuranagan. Padahal mereka yang menghina orang-orang tersebut adalah para cendikiawan dan pemimpin Islam para hakim agung dan politikus yang sering melakukan kebohongan dan memakan harta haram bahkan mereka menerima suap dari para mahasiswa (pelajar) agar memberikan syahadah license palsu bahwa mereka menjadi ulama.[58]
            Beberapa mahasiswa Azhar ada yang pernah menemui Abduh dan memberinya 30 junaih, untuk membantunya dalam ujian (imtihan)license karena Abduh mengetahui bahwa mahasiswa tersebut tidak memepersiapakan ujian dan tidak pantas mendapatkan  license, maka Abduh tidak bisa mngendalikan diri sehingga memukul mahasiswa tersebut. Abduh berkata : kamu meminta saya yang sudah berusia seperti ini untuk menipu kaum muslim ! kamu akan merusak agama mereka karena kebodohanmu, dengan beberapa junaih yang hina ini. Saya tidak akan mengotori umur saya. Jika aku termasuk orang-orang yang memudahkan dalam urusan ini pastilah aku termasuk orang yang hartanya yang paling banyak.[59] Rasyid Ridha menafsirkan as-suht lebih umum daripada korupsi menurut riwayat umar yang menerjemahkan as-Suht dengan tarif dalam prostitusi, harta korupsi dll. Meskipun sahabat-sahabat yang lain seprti Ibnu Mas’ud menafsirkannya dalam korupsi Beragama, Ibnu Abbas dalam hal korupsi hukum, sementara menurut Ali korupsi secara umum.[60]
            Semenatra  qutub dalam redaksi ini menafsirkan dengan harta yang haram seperti riba, korupsi, dan harga jual beli fatwa yang disampaikan oleh beberapa orang dalam masyarakat yang telah melakukan penyimpangan terhadap manhaj Allah. Qutub menambahkan bahwa hal-hal yang haram disebut as-Suht, karena memutus dan menghilangkan berkah.[61]
Dari penjelasan di atas lengkaplah bahwa Abduh ternyata telah mengenyam banyak pengalaman kehidupan, sehingga dalam penafsirannya ia memamg benar-benar berangkat untuk melakukan suatu restorasi dan perubahan menuju yang lebih baik dalam masyarakat. Seperti pemberantasan korupsi meskipun belum terumuskan secara spesifik bagaimana langkahnya. Namun ia tetap menekankan kesatuan umat untuk melakukan perubahan tersebut tanpa mengabaikan kearifan budaya Islam. Sementara Qutub, ia sebenarnya juga memiliki arah yang sama dengan Abduh, namun ia lebih mengutamakan perubhan tersebut dimulai dari sistem pemerinthan  yang Islam.
Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.(Ali Imran : 161)
Rasyid Ridha berkata bahwa sebuah kata يغلّ  diartikan dengan makna aslinya ialah proses terjadinya perembesan air di sela-sela akar pepohonan. Secara tekstual saja, kata يغلّ dimaknai dengan mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi atau sejenis mencuri. Namun kata يغلّ mengalami penyempitan makna sehingga bermakna pengambilan harta ghanimah secara sembunyi-sembunyi. Tentu hal ini ada kesamaan sifat antara korupsi dan kata  يغلّ ini, yakni sama-sama perbuatan yang dilakukan sembunyi-sembunyi.[62]
Namun berdasarkan konteksual ayat ini turun, kata  يغلّ Ridha jelaskan dengan perbuatan yang mengkhianati amanat. Ayat ini turunkan berkenaan dengan terjadinya perang Uhud. Di kala umat Islam mendapat tanda-tanda kemenangannya saat perang terjadi, pasukan pemanah menyangka dan merasa khawatir jika rasul tidak membagi harta ghanimah secara merata. Mereka takut rasul berkata sebagaimana yang beliau katakan saat perang Badar bahwa orang yang mengambil harta ghanimah, maka orang itu pemiliknya. Lalu rasul menjawab kekhawatiran itu dengan sabdanya, “Apakah kalian menyangka bahwa aku akan berlaku ghulul (khianat) dan tidak akan membagikannya pada kalian?”
Sayyid Qutub dalam tafsirnya Fi Dhilalil-Qur’an menggambarkan  asbab Al-Nuzul ini. Dari uraiannya ini bisa difahami bahwa ghulul itu menyembunyikan harta ghanimah tanpa membagikan pada yang berhak menerimanya[63].
Dari konteks ayat di atas bisa diuraikan bahwa kata ghulul jika dikaitkan dengan kasus korupsi itu  masuk pada makna yang tekandung dalam surat ini.
Dalam ayat ini, ancaman yang diberikan bagi orang yang melakukan tindakan ghulul, maka orang itu akan datang menghadap Allah dengan membawa apa yang ia lakukan di hari kiamat kelak untuk menyingkap kejelekan yang ia perbuat dan menambah siksaan yang akan ia terima.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(Al-Anfal : 27-28)
Kedua ayat ini berkenaan dengan pelarangan berkhianat yang mencakup seluruh pengkhianatan yang dilakukan, sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas bahwa khianat itu ialah meninggalkan kewajiban-Nya dan melakukan larangan-Nya. Rasyid memandang bahwa perbuatan risywah (korupsi) merupakan bentuk pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan  mengkhianati warganya agar memperoleh upah sedikit maupun banyak dan mengalahkan musuh-musuhnya dalam berpolitik.  Sehingga dapat menghancurkan  negara besar yang kuat sekalipun disebabkan oleh tindakan korupsi tersebut[64]
Pengkhianatan terhadap Allah dan Rasulnya itu merupakan pengkhianatan terhadap qadhiyah utama dalam ajaran islam, yaitu dua kalimat syahadat (Syahadatain) yang perlu diimplementasikan, tidak hanya sekadar perkataan lisan namun harus diwujudkan dengaan beberapa ketentuan sebagai berikut.[65]
1.      tetap beribadah kepada Allah sebenar-benarnya
2.      mematuhi syari’at dan hukum-hukum yang telah ditentukan-Nya
3.      menolak penyembahan orang-orang yang melampaui batas (orang musyrik)
4.      menegakan keadilan terhadap seluruh umat manusia dengan timbangan (hukum) yang tetap
5.      memakmurkan alam dunia dan mengambangkannya sebagai khalifah di muka bumi dengan manhaj (sistem) yang telah ditentukan Allah.                                                                   
            Bila seseorang tidak bisa mengemban sebagai seorang khalifah yang telah ditugaskan-Nya dan melakukan penyelewengan dari ketentuan di atas, tentunya dia telah melakukan pengkhianatan atas qadiyah yang telah dia ikrarkan.
            Qadhiyah yang diikrarkan seseorang tidak lepas begitu saja, tetapi Allah akan uji dengan berbagai cobaan (fitnah). Dan Allah tidak hanya menguji hambanya itu dengan cobaan yang buruk tetapi jug dengan cobaan yang baik. Cobaan baik inilah di antaranya nikmat dikaruniakan harta dan keturunan. Allah sebut dua hal ini karena Allah mengetahui kelemahan manusia yang begitu mencintai dua hal ini dibandingkan yang lainnya. Cobaan ini diberikan untuk diketahui apakah dia itu bersyukur dan melaksanakan nikmat yang dilimpahkan dengan sebaik-baiknya ataukah dia akan disibukan bahkan sampai lupa dengan tugas melaksanakan hak-haknya Allah. Jika dia bersyukur maka Allah akan tambahkan kenikmatan itu. Akan tetapi jika dia kufur, tentu ia tergolong orang yang berkhianat atas apa yang telah ia ikrarkan.
Jika kita telusuri lebih jauh, tindakan korupsi merupakan bentuk pengkhianatan yang telah dijabarkan Sayyid Quthub di atas. Yakni ketidakmampuan seseorang dalam mengemban amanat berupa harta yang melimpah. Sehingga ia terlupakan dengan kenikmatan itu atas tugas-tugas yang dibebaninya.
            Konklusi pandangan tafsir al-Manar tentang korupsi adalah bahwa di era penulisnya, tindakan tersebut terjadi sudah sangat multi komplek. Kedua penulis sering mengungkapkan realita yang berada di masyarakat. Meskipun konteks ayat tersebut kadang-kadang berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang Yahudi (bani israil). Di mesir tempat penulis tinggal, korupsi terjadi paling tidak di bidang kepemimpinan baik, agama, negara (resmi) atau tidak resmi, mahasiwa (kampus) dan di medan peperangan. Harata yang dijadikan korupsi tidak hanya uang namun sudah merambah ke materi yang lain. Peristiwa korupsi tersebut biasanya berkaitan dengan hukum, membantu membatalkan yang benar atau membenarkan yang batal seperti membeli fatwa. Menurut Abduh, oknum yang melakukan korupsi di eranya berarti telah menjadi musuh Allah melakukan pengkhianatan terhadap Sang pencipta, Rasul dan negara.. Mereka melakukan korupsi karena merupakan tindakan yang pragmatis dalam memperoleh kekayaan. Dan melalaikan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Islam. Namun, korupsi yang mereka lakukan akan mengakibatkan Negara yang asalnya kuat menjadi lemah dan bobrok. Mereka merusak kehormatan agama rusaknya kehormatan (umum), sumber daya,  melumpuhkan transaksi perekonomian dan emneggantikan sifat iffah (menjaga kehormatan) menjadi sifat tamak dan rakus. Cara penanggulangan yang ditawarkan oleh Tafsir al-Manar adalah mengubah dan menghilangkan mindset (pola pikir) yang telah tertanam dalam jiwa bahwa korupsi adalah cara untuk mendapatkan mashlahah. Den kembali kepada ajaran dan etika yang dibimbing oleh al-Quran.
Ekses korupsi
Akibat korupsi sebenarnya ada dua pendapat 1. Mengatakan bahwa korupsi itu tidak selalu berakibat negatif,kadang-kadang positif manakala korupsi itu sebagai uang pelicin bagaikan fungsi minyak pelumas pada mesin.Pendapat ini lebih banyak dianut oleh peneliti barat. Namun pendapat kedua mengatakan bahwa korupsi itu tidak pernah membawa kaibat positif. Dan secara garis besar dapat dirumsukan dari beberapa perspektif sebagai berikut;
a.       Akibat korupsi ditinjau dari segi politik
a.1.  kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah.
a.2. kurangnya kewibawaan pemerintah.
b.   akibat korupsi ditinjau dari segi ekonomi
b.1 . pengaruh terhadap pendapatan Negara.
b.2. kebijaksanaan bidang perkreditan.
c.  akibat korupsi ditinjau dari Segi HANKAMNAS
            perasaan nasionaloisme akan berkurang yang menimbulkan peluang-peluang bagi Subversi komunis atau pun Subversi lain di Indonesia.
d.      Akibat korupsi ditinjau dari segi mental
Suatu hal yang sangat berbahaya  adalah jika sampai generasi muda kita ini mencontoh sifat korupsi yang berjangkit dalam masyarakat kita sekarang. Jika hal ini bisa terjadi maka cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang kita cita-citakan semakin jauh dan tipis harapannya untuk tercapainya.[66]
e.       Akibat korupsi ditinjau dari segi Hukum
Dengan memberi suap, warga masyarakat bisa berbuat sekehendak hati, melanggar peraturan keselamatan kerja, peraturan kesehatan atau peraturan lainnya sehingga menimbulkan bahaya bagi anggota masyarakat selebihnya.[67]

Cara penanggualangan korupsi
            Korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan yang harus dihilangkan, meskipun tidak bisa secara menyeluruh paling tidak berikut ini beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi;
1.      Keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasional dan public maupun birokrasi;
2.      Administrasi yang efisien serta penyesuain struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan-penciptaan sumber-sumber korupsi;
3.      Kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;
4.      Berfungsinya suatu sistem yang anti korupsi;
5.      Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi;[68]
Andi Hamzah menambahkan sebagaimana yang diikuti dari Gunner Myrdal bahwa jalan untuk memberantas korupsi di Negara-negara berkembang adalah;
1.      Meniakkan gaji pegawai rendah dan menengah;
2.      Menaikkan moral pegawai tinggi;
3.      Administrasi data kekayaan sebelum menjadi pejabat, sehingga mudah  untuk memeriksa pertambahan kekayaannya di bandingkan dengan pendapatannya yang resmi.
4.      Pembalikan beban pembuktian terbalik terbatas bidang perdata.[69]
Baharudin Lopa menembahan bahwa mencegah korupsi dan kolusi tidak begitu sulit, kalau kita menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Baharudin menekankan di sini, sebab betapa pun sempurnya peraturan, kalau niat untuk korup tetap ada di hati yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak puji tersebut, korupsi akan terjadi. Faktor mentallah yang menentukan. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah sistem.[70] Masih menurutnya yang penting sekarang  adalah bagaimana mendorong orang agar takut kepada Allah, karena hanya ketakutan akan pembalasan Allahlah seseorang akan berpikir berkali-kali untuk melakukan maksiat. Selain itu, kondisi sosial yang memperkecil peluang terjadinya suap-menyuap perlu diciptakan juga. Artinya hendaklah dalam setiap kegiatan pelayanan umum, pemerintah tidak memperbanyak syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh rakyat atau pengusaha. Mencegah suap menyuap disamping perlu melalui proses peningkatan iman, juga perbaikan sistem. Namun, diantara keduanya ini mempertebal keimanan (ketakwaan) yang paling utama sesuai firman Allah. Al-baqarah 197.[71]
Kesimpulan dan Saran
            Dari berbagai pemikir yang telah menyumbangkan beberapa ide-idenya tentang korupsi, dapat  ditarik kesimpulan bahwa korupsi merupakan kejahatan sosial yang berbahaya dan bisa menghancurkan kehidupan masyarakat. Namun, korupsi sendiri timbul dalam lingkungan yang memang mudah unutk melakukannya. Maka dari itu restrukturisasi dan perbaikan lingkungan atau sistem adalah kunci yang penting selain perbaikan moral dan keimanan.


























Daftar Pustaka

Adz-Dzahabi, Muhammad Husein. At-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo : Dar al-Hadits jil. 2. 2005.
Al-Mubarakfuri, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim. Tuhfat al-Ahwadz syarah jami’ at-Tirmidzi. Kairo : dar al-Hadsits. Cet. 1. 2001.
Ar-Razi, Abi al-husain ahmad bin faris zakariyya. Mu’jam Maqayis Al-Lughah. Mesir : Mustofa al-Babi al-halabi.
Ar-Razi, Fakhruddin. Tafsir al-Kabir. Kairo : Maktabah at-Taufiqiyah.
Anwar, Rosihon. Metode Tafsir Maudhu’i. bandung : Pustaka Setia. Cet. 1. 2002.
Az-Zamakhsyari. Al-Kasyaf an Haqaiq at-Tanzil. Mesir : dar al-Fujlah.
  Brown, L. Carl. Wajah Islam Politik (Terjemah), Serambi : Jakarta, 2003
Chairil A Adjis & Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. Jakarta : AMBooks. Cet. 1. 2007.
Djoko Prakoso dkk. Kejahatan-kejaata yang merugikan dan membahayakan Negara. Jakarta : bina aksara. 1987.
Hamzah, Andi. Pemberanatasan Korupsi Melalui Hukum Nasional Dan Internasional. Jakarta : Raja Grafindo.2007.
Hartanti, Evi. TindakPidana Korupsi. Jakarta : sinar grafika. Cet. 1. Edisi 2 2007.
Hasan, Asma binti Umar. Manhaj Sayyid Qutub Fi Dzilal al-Qur’an. Ummul-Qura : Makkah, 1416 H.
Lopa, Baharudin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta : Kompas 2001.
Ma’rifah, Muhammad Hadi. At-Taisir fi at-Tafsir wa al-Mufassirin. Iran : sl-munadzamah al-Alamiyah lil hawazati. 2007.
Mandzur, Ibnu.  Lisan al-Arab. Kairo : Dar al-Hadits. 2003.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh. Jakarta : Paramadina cet. 1. 2002.
Poerwadarminto, W.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Edisi 6. 2007.
Rais, Amin. Islam Otentisitas Liberalisme. Lkis : Yogyakarta, 1997.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syeikh Muhammad Abduh. Kairo : Dar la-Fadhilah. Cet. 1. 2003.
_______________________. Tafsir al-Manar. Beirut : Dar al-Fikr. 2007.
Robet Klitgaard dkk. Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah. Penj. Masri Maris. Jakarta : Obor. Edisi 3. 2005.
Qutub, Muhammad. Fi Dzilal al-Quran. Mesir : Dar asy-Syuruq. 2008.
Sjadzali, Munawir. Islam Dan Tata Negara. UI-Press : Jakarta, 1993.
Shindunata.Kompas. senin, 5 desember 2011.
Wiyono, R.. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Bandung : Penerbit Alumni. 1975.








[1]. Shindunata.Kompas. senin, 5 desember 2011. Hlm. 6.
[2]. Andi Hamzah. Pemberanatasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasionai. Jakarta : Raja Grafindo.2007. hlm.4.
[3]. Djoko Prakoso dkk. Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Jakarta : bina aksara. 1987. Hlm.389
[4]. Ibnu Mandzur.  Lisan al-Arab. Kairo : Dar al-Hadits jil. 4. 2003. Hlm. 152.
[5]. Abi al-husain ahmad bin faris zakariyya ar-Razi. Mu’jamMaqayis al-Lughah. Mesir : Mustofa al-Babi al-halabi. Jil. 2. Hlm. 396.
3. W.S. poerwadarminto. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Edisi 6. 2007. Hlm. 616.
[7]. Andi Hamzah. Op. cit. hlm. 6.
[8]. Chairil A Adjis & Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. Jakarta : AMBooks. Cet. 1. 2007. Hlm. 167-168
[9]. Andi Hamzah. Op. cit. hlm. 6.
[10].  R. Wiyono. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Bandung : Penerbit Alumni. 1975. Hlm. 13.
[11]. Chairil A Adjis & Dudi Akasyah. Op. cit. hlm. 168-169.
[12]. Evi Hartanti. TindakPidana Korupsi. Jakarta : sinar grafika. Cet. 1. Edisi 2 2007. Hlm. 10-11.
[13]. Djoko Prakoso dkk. Op. cit. hlm. 392.
[14]. Djoko Prakoso dkk. Op.cit. hlm. 393.
[15]. Djoko Prakoso. Op.cit. hlm. 394
[16]. Evi Hartanti. Op. cit. hln.11.
[17]. Muhammad Rasyid Ridha. Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syeikh Muhammad Abduh. Kairo : Dar al-Fadhilah. Cet. 1. 2003. Hlm. 13.
[18]. ibid., hlm. 14.
[19]. Ibid., hlm. 15.
[20]. Ibid., hlm. 20.
[21]. Ibid., hlm. 20.
[22]. Ibid., hlm 20-21.
[23]. Ibid., hlm. 21.
[24]. Ibid., hlm. 22.
[25]. Ibid., hlm. 24.
[26]. Rif’at Syauqi Nawawi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh. Jakarta : Paramadina cet. 1. 2002. Hlm. 24-25.
[27]. Ibid., hlm. 26-27.
[28]. Ibid., hlm. 29-30.
[29]. Muhammad Rasyid Ridha. Op. cit.juz 2. hlm. 768-769.
[30].Rif’at Syauqi Nawawi. Op. Cit. Hlm. 77&79.
[31]. Muhammad Husein Dzahabi. At-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo : Dar al-Hadits jil. 2. 2005. Hlm. 505.
[32]. Asma binti Umar Hasan, Manhaj Sayyid Qutub Fi Dzilal al-Qur’an, Ummul-Qura : Makkah, 1416 H, hal. 70
[33]. Amin Rais, Islam Otentisitas Liberalisme, Lkis : Yogyakarta, 1997, hal. 39
[34]Ibid, hal. 40
[35] Sayyid Qutub, Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Islam, Bairut, 1982, hal. 5, 20-29
[36] L. Carl Brown, Wajah Islam Politik (Terjemah), Serambi : Jakarta, 2003
[37] Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, UI-Press : Jakarta, 1993, hal. 148
[38]Op.Cit, hal. 48

[39]. Ibid., Hlm. 486.
[40]. Ibid., hlm. 486.
[41]. Muhammad Hadi Ma’rifah. At-Taisir fi at-Tafsir wa al-Mufassirin. Iran : sl-munadzamah al-Alamiyah lil hawazati. 2007.  151.
[42]. Muhammad Husain adz-Dzahabi. Op. cit. hlm. 508.
[43]. Muhammad Hadi Ma’rifah. Op. cit. hlm. 151.
[44]. Muhammad Husein adz-Dzahabi. Op.cit. hlm. 509.
[45]. Rosihon Anwar. Metodetafsirmaudhu’i. bandung : Pustaka Setia. Cet. 1. 2002. Hlm. 37.
[46]. Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri. Tuhfat al-Ahwadz syarah jami’ at-Tirmidzi. Kairo : dar al-Hadsits jil. 4. Cet. 1. 2001. Hlm. 234.
[47]. Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Beirut : Dar al-Fikr. Cet.1. jil. 2  2007. Hlm. 138
[48]. Ibid. Hlm. 142.
[49]. Muhammad Qutub. Fi Dzilal al-Quran. Mesir : Dar asy-Syuruq.cet. 1. Jil. 1.2008. Hlm. 176.
[50]. Az-Zamkasyari. Al-Kasyaf. Kairo :Dar al-fujlah. Jil. 1. Hlm. 212.
[51]. Muhammad Rasyid Ridha. Op. Cit. Juz. 5. Hlm. 30-31.
[52]. Muhammad Qutub. Op. Cit,juz2. Hlm. 639.
[53]. Muhammad Rasyid Ridha. Op. cit. juz6. Hlm. 44.
[54]. Muhammad Rasyid Ridha. Op. cit. juz 6. Hlm. 45.
[55]. Sayyid Qutub. Op. cit. juzs .2.hlm. 803.
[56]. Fakhruddin ar-Razi. Tafsir al-Kabir. Kairo : Maktabah at-Taufiqiyah. Jil. 6. Hlm. 89.
[57]. Ibnu Mandzur. Op. cit. juz4hlm. 507.
[58]. Muhammad Rasyid Ridha. Op. cit. juz6. Hlm. 291.
[59]. Muhammad Rasyid Ridha. Op. cit. hlm. 291.
[60]. Muhammad Rasyid Ridha. Op. cit. hlm. 90.
[61]. Muhammad Qutub. Op. cit.  juz . hlm. 893.
[62]. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Fikr : Bairut, 2007, hal. 1121
[63]. Sayyid Quthub, Fi Dzilalil-Qur’an, Dar Al-Syuruq : Bairut, 2008, hal. 504
[64]. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Fikr : Bairut, 2007, hal. 3409
[65]. Sayyid Quthub, Fi Dzilalil-Qur’an, Dar Al-Syuruq : Bairut, 2008, hal. 1498
[66]. Djoko Prakoso.  Op. cit. hlm. 399-405.
[67].  Robet Klitgaard dkk. Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah. Penj. Masri Maris. Jakarta : obor. Edisi 3. 2005. Hlm. 2.
[68]. Evi hartanti. Op. cit. hlm.  11-12.
[69]. Andi hamzah. Op. cit. hlm. 259-260.
[70]. Baharudin Lopa. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta : Kompas 2001. Hlm. 85-86.
[71]. Ibid., 65-66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar