Senin, 09 Juni 2014

JIHAD PERPEKTIF MUHAMMAD AMIN AL SYINQITHI (TAFSIR ADDWAA’ AL-BAYAN)

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Tema tentang jihad agaknya selalu tak terhenti menjadi topik yang hangat. Lebih-lebih jika dihubungkan dengan interplay antar carapandang baik dikalangan umat muslim sendiri maupun diluar muslim dalam memahami semesta ajaran Islam. Kata jihad seolah dipahami “angker”, sarat dengan bentuk physical dan tak rentan dari sikap insinuative. Kata-kata jihad ini pula yang akhir-akhir ini “melambung” nama Islam di pentas modial, walau lebih banyak sisi-sisi peyoratifnya dibandingkan positifnya. Hal semacam ini disebabkan karena kerancauan dalam menafsirkan serta memahami kata jihad, misalnya dengan hanya menfokuskan pada balas dendam dan kekerasan.
Banyak dari berbagai kalangan memahami kata jihad tersebut terjadi kerancauan sehingga mengalami pendistorsian makna, dengan demikian banyak pihak orientalis maupun pembela islam sendiri telah salah mengartikannya, dimana orientalis membelokkannya dengan tujuan mengganggu Islam sementara pembelokkan yang dilakukan muslim sendiri adalah ditujukan membela Islam.
Faktor yang utama kesalah pahaman tersebut adalah disebabkan oleh rancunya pemahaman antara “jihad” dan “qital” yang diletakkan dalam satu bingkai pemahaman.Bahkkan tak jarang mengedepankan makna “qital” bahkan juga menganggap jihad adalah qital.

RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai berkut:
a.       Apakah jihad selalu identik dengan peperangan?
b.      Apakah ada keterkaitan antara jihad dengan peperangan?
c.       Bagaimana pandangan para Ulama mengenai jihad?

SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Sistematika penulisan makalah ini mencoba mendekati permasalahan tentang jihad  melalui pendekatan deduktif. Dalam metode ini pemakalah mencoba menggambarkan apa itu jihad secara umum kemudian menyempit kepada pandangan Muhammad Amin Asy-Stinqithi.
Pada BAB I pemakalah menyajikannya dalam pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, dan sistematika pembahasan.
-           Pada BAB II pemakalah membahas seputar tentang jihad, ayat-ayat tentang jihad, hadits tentang jihad, maca-macam jihad, hukum melakukan jihad serta pandangan para ulama tentang jihad.
            Pada BAB III  pemakalah menyajikan Pandangan Muhammad Amin Asy-Syinqithi yang meliputi Biografi pengarang, mazhab akidah yang dianut, Profil kitab, Pandangan beliau terkait jihad.
            Pada BAB IV pemakalah menyajikan penutup yang  berisi kesimpulan dan daftar pustaka.

BAB  II
PEMBAHASAN
DEFINISI JIHAD
Dalam Al-Qur’an kata jihad setidaknya memiliki tiga makna. Seperti yang dikatakan oleh Abul Fadhl Hubaisy bin Ibrahim Tiflisi dalam bukunya  kamus kecil Al-Qur’an yang diterjemahkan oleh Musa Muzauir ke dalam bahasa Indonesia[1]. Yaitu;
1.   Jihad dengan menggunakan tutur kata. Sebagaimana yang disebutkan dalam dua ayat pada dua surat. Adalah;
a.       Surat At-Taubah[9]:73
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang –orang munafik itu”. Yakni, berjihadlah dengan menggunakan tutur kata.
b.      Surat Al-Furqan[25]:25
“Dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar”.yakni, berjihadlah dengan Al-Qur’an dan tutur kata

2.   Jihad dengan perilaku
Seperti yang dinyatakan dalam tiga ayat dan pada dua surat yang berbeda. Yaitu;
a.       Surat Al-Hajj[22]:78
“Dan bejihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya”. Yaitu, dan berbuatlah di jalan Allah dengan sebenar-benar perbuatan.
b.      Surat Al-Ankabut[29]:6, 69
“Dan barang siapa yang berjihad maka sesungguhnya jihad itu untuk dirinya sendiri”. Maksudnya adalah barang siapa yang berbuat baik maka perbuatan dan manfaatnya akan kembali kepada dirinya sendiri.
“Dan orang-orang yang bejihad untuk (mencari keridhaan) kami.

3.   Jihad dengan berperang
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’l[4]:95. Yaitu;
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya”. Pada ayat yang sama juga disebutkan, “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar”.

Jihad merupakan isim masdar dari kata jahada-yujahidu-jihadan-mujahadan yang secara etimologi berarti mencurahkan segala kemampuan dan daya upaya.Dalam sebuah ungkapan diterangakn, “seorang laki-laki dalam sebuah hal” dengan kata lain, ia berarti bersungguh-sungguh.
paraUlama mebedakan makna jihad yang terambil dari kata al-jahd maupun yang terambil dari kata al-juhdu. Jika terambil dari kata al-juhdu maka mempunyai makna tujuan (al-ghayah), sedangkan jika terambil dari kata al-juhduh maka mempunyai arti usaha (al-wus’) dan kemampuan (al-thaqah).
Dalam mufradat al-quran, Al-Raqib Al-Isfahani menulis, “al-jahdu dan al-juhdu berarti kemampuan dan kesulitan.Ada juga yang memaknai al-jahdu berarti kesulitan sedangkan al-jahdu berarti kemampuan”.[2]
            Jihadmenurut terminologi para Ulama berbeda pendapat, diantaranya:Ulama mazhab Hanbali mengartikan jihad sebagai ajakan kepada agama yang benar dan memerangi orang yang tidak menerima ajakan tersebut, baik dengan menggunakan harta maupun benda.Ulama Syafi’iah mengartikan jihad dengan memerangi orang-orang kafir untuk menjayakan Islam. Menurut ketetapan syariat jihad adalah: mencurahkan segala kemampuan dan daya upaya untuk memerangi orang-orang kafir dan mempertahankan diri (dari serangan mereka), baik dengan jiwa, harta maupun lisan.[3]ada juga yang mendefinisikan jihad sebagai pengerahan usaha dan kemampuan  dijalan Allah dengan nyawa, harta, pikiran, lisan, pasukan dan lainnya.
Dengan adanya beberapa perbedaan tersebut, penulis lebih condong tehadap pendapat yang terakhir yang juga disepakati Oleh Yusuf Al-Qordawai yaitu jihad adalah pengerahan usaha dan kemampuan  dijalan Allah dengan nyawa, harta, pikiran, lisan, pasukan dan lainnya. Karena ia mencakup seluruh jenis jihad dan tidak membatasi jihad hanya sebagai bentuk peperanagn terhadap orang-orang kafir dan dengan tujuan istilah jihad tersebut bisa mencakup memerangi siapapun yang melanggar setiap syariat Islam, seperti meninggalkan shalat, zakat, makan harta riba, melakukan zina, minum khamer dan lain sebagainya.
Dengan demikian, jihad bisa dilakukan dengan mengajarkan hukum-hukum Islam dan menyebarkannya kepada segenap manusia, menafkahkan hartanya dan juga dengan cara bergabung dengan pasukan muslim untuk memerangi musuh jika imam (pemimpin) telah menyerukan untuk berjihad. Seperi hadits yang diriwayatkan oleh abu dawud yang bersumber dari Anas bin Mali r.a. yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “berjihadlah melawan kaum musyrik dengan menggunakan harta, jiwa, dan lisan kalian”.

AYAT-AYAT TENTANG JIHAD
Mengutip dari Afzalurrahman dalam bukunya yang telah ditermahkan oleh Drs. Ahsin W.  Al-Hafidz ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul Indeks Al-Qur’an , disebutkan bahwa ayat-ayat yang membahas tentang jihad terbagi dalam enam kategori[4]. Yaitu sebagai beriut;
1.      Perintah jihad dengan jiwa dan harta
Adapun ayat-ayat yang ada hubungannya dengan  perintah jihad dengan jiwa dan harta sebagai berikut;
NO
NAMA SURAT
NOMOR SURAT
NOMOR AYAT
1
AL-BAQARAH
2
154-156, 190-195, 214-218, 251, 261-268
2
ALI-‘IMRAN
3
139-154, 165-175
3
AN-NISA’
4
71-100, 101-104
4
AL-MAIDAH
5
154-156
5
AL-ANFAL
8
15-19, 39-58, 60-75
6
AT-TAUBAH
9
1-36, 38-42, 73-79, 111-123
7
AL-HAJJ
22
39-42
8
AL-AHZAB
33
9-27
9
AL-HUJURAAT
49
15
10
AL-MUMTAHANAH
60
8-9
11
ASH-SHAFF
61
10-11

2.      Tiada paksaan dalam islam
Ayat-ayat yang berhubungan dengan hal ini adalah sebagai berikut;
NO
NAMA SURAT
NOMOR SURAT
NOMOR AYAT
1
AL-BAQARAH
2
256
2
ALI-‘IMRAN
3
20,64
3
AL-ANFAAL
8
55,61
4
AT-TAUBAH
9
1-13
5
YUNUS
10
99,108
6
HUUD
11
12
7
AN-NAHL
16
125
8
AL-KAHFI
18
29
9
AN-NAML
27
91-92
10
QAAF
50
45
11
ADZ-DZAARIYAAT
51
54-55
12
AL-GHASASYIYAH
88
21-26

3.      Kepentigan jihad dalam islam
Ayat-ayat yang membicarakan tentang kepentingn jihad dalam islam antara lain, sebagai berikut;
NO
NAMA SURAT
NOMOR SURAT
NOMOR AYAT
1
AT-TAUBAH
9
16-22, 24-29, 120-122,
2
AL-HADIID
59
10-11
3
ASH-SHAFF
61
9-13

4.      Jihad untuk menguji keimanan
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat jihad yang bertujuan untuk menguji keimanan seseorang. Adalah sebagai berikut;
NO
NAMA SURAT
NOMOR SURAT
NOMOR AYAT
1
ALI-‘IMRAN
3
143-146, 151-160, 172-176
2
AT-TAUBAH
9
44-47, 73, 81-85, 86-96, 103-105, 111, 118
3
MUHAMMAD
47
4-9, 20-23, 31-35
4
AL-FATH
48
4-5, 11-13,15-19, 25
5
AL-HUJURAAT
49
15

5.      Ketinggian jihad
Jihad merupakan perbuatan yang sangat tinggi,dan Al-Qur’an membuktikanya dalam beberapa ayat diantaranya sebgai berikut;
NO
NAMA SURAT
NOMOR SURAT
NOMOR AYAT
1
AL-BAQARAH
2
218
2
AL-MAAIDAH
5
35
3
AL-ANFAAL
8
5-12, 15-19
4
AT-TAUBAH
9
20-22, 120-122
5
AN-NAHL
16
41, 110-111
6
MUHAMMAD
47
4
7
ASH-SHAFF
61
10-13
8
AT-TAHRIM
66
9

6.      Umum
Secara umum, di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan jihad. Seperti;
NO
NAMA SURAT
NOMOR SURAT
NOMOR AYAT
1
AL-BAQARAH
2
87, 218, 253
2
ALI-‘IMRAN
3
3, 44-45, 37-58, 142
3
AN-NISAA’
4
90-95, 154-159, 163, 171, 172
4
AL-MAAIDAH
5
14, 17, 35-47, 54, 68, 72-78, 110-118
5
AL-AN’AM
6
85-86
6
AL-A’RAAF
7
157, 167
7
AL-ANFAAL
8
72-75
8
AL-ISRAA’
17
5
9
MARYAM
19
19-20, 27-36, 88-92
10
AL-HAJJ
22
78
11
AL-MU’MINUUN
23
50
12
AL-FURQAAN
25
52
13
AL-‘ANKABUUT
29
6-8, 69
14
AL-AHZAB
33
12-14, 39-43
15
YAA SIIN
36
13-14
16
ASY-SYUURA
42
13-14, 39-43
17
AZ-ZUKHRUF
43
57-65, 72-73
18
MUHAMMAD
47
29-38
19
AL-HUJURAAT
49
9-10, 15
20
AL-HADIID
57
26-27
21
AL-MUMTAHANAH
60
1, 4
22
ASH-SHAFF
61
4, 11,14
23
AT-TAHRIM
66
9

Berdasarkan data-data yang telah kami paparkan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa ayat-ayat yang diartikan sebagai jihad terdapat dihampir seluruh surat dalam Al-Qur’an.
HADIST-HADITS TENTANG JIHAD
Kami (pemakalah) juga akan menghadirkan di hadapan anda hadits-hadits yang membicarakan tentang jihad, yang nantinya akan menjadi penguat ayat-ayat yang membicarakan tentang jihad. Yakni di antaranya sebagai berikut;
Dari Ibnu Abbas, Ia berkata bahwasanya Nabi pernah bersabda: tidak ada lagi hijrah setelah fathu makkah (penaklukkan kota makkah), akan tetapi hanya jihad dan niat. Dan apabila diseru kepada kalian untuk berjihad, maka berangkatlah[5].
Dari Abi Said Al-Khudri, bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw, dia berkata: wahai Rasululla siapakah manusia yang paling afdhal? Rasulullah bersabda: seorang mukmin yang berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah SWT[6].
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shaamat, dia berkata: ketika kami bersam Rasulullah saw, tiba-tiba seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Rasul, wahai Rasulullah! Amal apakah yang paling afdhal? Rasulullah bersabda; beriman kepada Allah, dan membenarkan kitab-Nya serta bejihad di Di jalan Allah[7].


MACAM-MACAM JIHAD DAN TINGKATANNYA
Menurut Ibn Al-Qayim jihad dibagi menjadi tiga belas tinkatan dan secara garis besar dikelompokan menjadi empat macam, yaitu:
1.      EMPAT TINGKATAN JIHAD TERHADAP HAWA NAFSU.
Maksud dari hal tersebut adalah mencurahkan segenap usaha dan kemampuan untuk berkomitmen terhadap aturan Allah SWT serta meniti jalan-Nya yang lurus. Hal ini mencakup ketaatan dan peribadatan kepada Allah SWT., menjauhi maksiat, serta melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan, diri, umat, semua manusia, alam dan semua makhlup hidup lainnya.
Apabila jiwa dibiarkan menuruti hawa nafsu dan insting tanpa dibentengi dengan iman atau dirintangi dengan akal dan hati nurani maka manusia pasti akan menyimpang dari jalan yang lurus. Ia akan malas menunaikan kewajiban dan mengerjakan kebaikan. Bahkan dengan cepat ia akan mengikuti syahwat dan berbuat keburukan.
Adapun keempat tingkatan tersebut meliputi:
Pertama, Melakukan jihad terhadap diri sendiri untuk mempelajari kebaikan, petujuk, dan agama yang benar. Tidak ada kebahagiaan dan kemenangan bagi kehidupan diri kecuali dengan membawa semua hal tersebut .apabiala jiwa tidak diberi asupan ilmu maka celakalah ia didunia dan akhirat.
Kedua, berjihad terhadap diri sendiri untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapat. Apabila seorang tidak mengamalkannya apa yang sudah ia pelajari maka hanya sekedar ilmu tanpa amal. Sehingga dengan ilmu tersebut maka yang terjadi anta dua pilihan yaitu: kalo tidak membahayakannya, berarti tidak ada manfaat yang bisa dipetik.
Ketiga, berjihad terhadap diri sendiri umtuk mendakwahkan dan mengajarkan ilmu kepada orang yang belum mengetahuinya. Apabila tidak melakukannya, berarti termasuk orang-orang yang menyembunyikan  apa yang sudah Allah turunkan dari petunjuk dan penjelasan. Ilmu tersebut tidak akan memberikan manfaat dan tidak akan menyelamatkannya dari siksa Allah.
Keempat, berjihad dengan kesabaran ketika mengalami kesulitan dan siksaan dari makhluk dalam berdakwah dijalan Allah dan menanggung semuanya dengan hanya mengharap ridha Allah.
Allah SWT telah menciptakan nafsu insaniyyah, dan menitipkan sebuah kekuatan di dalamnya. Maka dari nafsu tersebut Allah menjadikan power yang mampu memahami, dialah yang disebut qalb (hati), kekuatan yang mampu untuk bergerak yaitu berupa anggota badan, kekuatan yang mendorong untuk bergerak , yaitu berupa watak, tabiat atau instinct. Kemudian Allah menganugerahkan manusia jalan yang kebajikan untuk mengambil kekuatan yang berbeda-beda ini.
Jihad melawan hawa nafsu adalah mendorong kekuatan-kekuatan tersebut kepada jalan yang telah diberikan oleh Allah. Dan makni ini terdapat dalam sebuah ayat yang mengatakan:
ونفس وما سواها، فألهمها فجورها وتقواها. قد أفلح من زكاها وقد خاب من دساها.
 
“Demi jiwa serta penyempurnaan (penciptaan)nya. Mak a Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaan. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya[8].
Ibnu Abbas berkata dalam tafsir Ibnu Katsir, kata ألهمها فجورها و تفواها maksudnya adalah Allah menerangkan jalan menuju kebenaran dan kebathilan. Hal senada juga dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, Al-Dhahhaak, Said bin Jubair dan Ats-Tsauri[9].
Cara untuk mensucikan nafsu adalah dengan mendorongnya untuk selalu taat dan taqarrub ilallah. Sedangkan mengotorinya dengan bermaksiat kepada Allah[10].


2.      DUA TINGKATAN JIHAD MELAWAN SETAN
Setan merupakan makhluk Allah yang diberi kekuasaan untuk mengganggu manusia, sebai ujian atas ibadah manusia kepada Tuhannya. Apabila berhasil melewati ujian ini maka manusia akan memperoleh kemuliaan di dunia dan siap untuk menyambut kehidupan yang abadi di akhirat kelak.
Adapun dua tingkatan tersebut yaitu: pertama, berjihad melawan setan dengan membuang segala kebimbangan dan keraguan dalam keimanan seorang hamba yang diberikan olehnya. Kedua, berjihad melawan setan dengan menangkis keinginan berbuat kerusakan dan memenuhi syahwat yang diberikan olehnya.
Jihad yang pertama bisa dilakukan dengan persiapan keyakinan, sedangkan jihad yang kedua bisa dilakukan dengan persiapan kesabaran.Allah berfirman “Dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang member petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar.Dan mereka meyakini ayat-ayat kami”. (QS Al-Sajadah : 24). Ayat ini memberitahukan bahwa kepemimpinan agama hanya dapat diraih dengan kesabarab dan keyakinan. Kesabaran akan menangkis syahwat-syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak, sementara keyakinan akan menangkis keraguan dan kebimbangan.
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang mukmin dalam memerangi setan, diantaranya yaitu:
a.       Memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan. Sebagai mana dalam firman-Nya “ Ya Tuhanku, aku berlindung kepada engkau dari bisikan-bisikan setan, dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku dari kedatangan mereka kepadaku” (QA. Al-An’am: 97-98)
b.      Selalu mengingat Allah (Dzikrullah), karena setan merupakan makhlukyang tabiatnya sering bersembunyi (khannas) dan penakut. Jika disebut nama Allah, ia akan bersembunyi, ia hanya akan menguasai golongannya (hisb al-syaithan) dengan membuat mereka lupa akan menyebut nama Allah. Sebagaimana dalam firmannya “setan telah menguasai mereka, lalu dijadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi”, (QS. Al-Mujadalah: 19)
c.       Merancang permusuhan dengan setan karena dia adalah -sebagaimana firman Allah- musuh yang nyata, yang tidak akan melepaskan permusuhannya, dan tidak menerimarekonsiliasi perdamaian. Peperanagn antara dia dan bani adam akan terus berlansung hingga hari kiamat.
d.      Mewaspadai instrik dan tipu daya setan yang banyak sekali. Sebagiannya ada yang tampak seperti minuman keras, judi, wanita. Seperti yang dikatakan, “wanita adalah perangkap setan”. Sebagaimana firmannya ” Sesungguhnya setan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamer, berjudi dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat”, (QS Al-Maidah: 91)

3.      EMPAT TINGKATAN JIHAD MEMERANGI KAUM KAFIR DAN KAUM MUNAFIK
Jihad terhadap orang kafir dan orang munafik memiliki empat tingkatan, yaitu dengan hati, lidah, harta, dan jiwa (nafs).vjihad melawan orang kafir lebih dikhususkan dengan menggunakan kekuatan, sedangkan kepada orang munafik lebih khusus dengan lidah (dakwah)
4.      TIGA TIGKATAN JIHAD MELAWAN KEDZALIMAN DAN KEFASIKAN
Jihad terhadap pelaku kedzaliman, kefasikan dan kemungkaran ada tiga tingkatan yaitu: pertama, dengan kekuatan jika memiliki kemampuan untuk melakukannya. Kedua, beralih dengan menggunakan lisan (dakwah) jika ia tidak mampu. Ketiga, berjihadlah dengan hati jika ia tidak mampu.
Jihad ini bertujuan untuk menjaga masyarakat muslim dari kepunahan, keruntuhan, dan disentegrasi karena masyarakat muslimmemiliki dasar, elemen, dan karakter yang berbeda dengan masyarakat lain. Jika dasar dan elemen ini dihilangkan, dilupakan dan diperangi, maka tidak akan ada lagi masyarakat muslim dalam kehidupan ini.[11]

HUKUM MELAKUKAN JIHAD
Para Ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan hukum jihad, diantaranya adalah:
Ibn Syubrumah dan Al-Tsauri  berpendapat bahwa hukum jihad adalah sunnah, bukan wajib. Yang dimaksud jihad disini adalah jihad peperangan dan penyeranagan.Beliau berpendapat bahwa ayat diwajibkannya atas kamu berperang (QS. Al-Baqarah : 216), tidak menunjukkan wajib.
Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Malik, dan ahli fiqih lainnya berpendapat bahwa hukum jihad adalah wajib sampai hari qiamat.Yang dimaksud wajib disini adalah fardu kifayah, (Jika ada sebagian orang yang melakukannya, maka yang lain boleh meninggalkannya), meskipun ada sebagian dari mereka yang berpendapat fardu a’in..Akan tetapi jihad ini berkaitan dengan jihad penyerangan dan melakukan perluasan ke negeri-negeri musuh bukan jihad perlawanan dan menghalau penyerang.
Imam al-jashshash berpendapat bahwa jihad yang berupa peperangan maka hukumnya wajib. Seperti yang terkandung dalam surat Al-Baqarah: 216 “diwajibkan atas kamu berperang”.
Al-Mubarak berpendaat bahwa hukum jihad adalah diwajiblan pada zaman Nabi SAW saja.. Hal ini dilandasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam muslim dalam shahihnya, Al-imarah yaitu Rasulullah SAW pernah bersabda “barang siapa yang meninggal tetapi belum berperang dan tidak memiliki niat untuk berperang, ia mati dengan membawa satu cabang kemunafikan.
Ada juga yang berpendapat pemimpin dan umat Islam harus terus memerangi musuh sehingga mereka masuk islamatau membayar jizyah. Pendapat ini dipilih oleh beberapa imam diantaranya: Al-Miqdad Ibn al-Aswad, Abu Thalhah serta para sahabat dan para tabiin.
Ibnu Al-Qayyim berkomentar jihad adalah fardu a’in, baik dilakukan denga hati, lisan harta, atau tangan. Setiap muslim harus melakukannya hal tersebut.Beliau juga menambahkan bahwa jihad dengan nyawa (al-jihad bi al-nafs) adalah fardu kifayah, sedangkan jihad dengan harta merupakan hal yang wajib.
Dari beberapa pendapat tersebut seolah-olah jihad adalah tema yang sudah disepakati dan tidak menyimpan polemic, padahal makna jihad itu sendiri terjadi banyak perbedaan dalam memahaminya.tentu saja ini bisa menipu para  pembaca jika tidak jeli dan tidak memahami makna dari sebuah jihad itu sendiri.[12]
Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa hukum jihad terutama yang berkaitan dengan memerangi orang orang kafir dan orang-orang yang wajib diperanginya maka hukumnya fardu kifayah dalam arti jika telah dikerjakan kaum muslimin maka kewajiban yang lain menjadi gugur. Karena Allah SWT telah berfirman: “tidak sepatutnya bagi orang-orang mukminin pergi semuanya (ketempat medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan merekatentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.(at-taubah: 122).
Namun jihad tersebut biasa menjadi fardhu a’in bagi orang-orang yang ditunjuk imam (khalifah) untuk berjihad, sebagaimana hadits Nabi SAW :واذا استنفرتم فانفروا
“jika kalian diajak berangkat jihad maka berangkatlah.” (muttafaq alaihi)
Begitu juga jika musuh menyerang salah satu negeri, maka jihad mengusir dan melawan mereka menjadi fardhu a’in bagi seluruh penduduknya, bahkan bagi wanita.[13]

 PANDANGAN ULAMA TENTANG JIHAD
Gamal Al-Ganna mengatakan bahwa jihad hari ini tidaklah mengaharuskan kita untuk mati dijalan Allah, akan tetapi bagaimana kita bisa hidup di jalan Allah. Jihad pada masa-masa awal islam, baik masa kenabian, khulafa ar-Rasyidin adalah mengahadapi kisrah dan kekaisaran dengan paham kasta yang membuat rakyat tertindas. Sehingga jihad yang urgen pada waktu adalah mengembalikan hak kemerdekaan rakyat dalam berpolitik dengan menumbangkan penjajahan yang dilakukan oleh kaum penindas, sementara saat ini jihad yang tepat untuk kita perjuangkan adalah pembebasan negeri dan rakyat dari cengkeraman subordinasi ekonomi, keterbelakangan, keterpurukan serta bagaimana menyikapi arus globalisasi[14].
Prof. Dr. H. Nasruddin Umar mengatakan, bahwa jihad merupakan istilah yang “debatable” (diperdebatkan) dan “interpretable” (multi tafsir). Jihad memiliki makna yang beragam, baik eksoterik maupun esoteric. Adapun jihad secara eksoterik, biasanya dimaknai sebagai “perang suci” (the holy war). Sedang secara esoteric, jihad atau lebih tepatnya “mujahadah” yaitu suatu upaya yang sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada sang khalik yakni Allah Azza Wajalla Jallaa Jalaaluhu.
Beliau melanjutkan, bahwa jihad jelas berbeda dengan “perang”, sebab kalau kita mencermati konsep-konsep Al-Qur’an dan hadits Nabi saw, antara Al-Jihaad, Al-Qitaal dan aL-Harb memiliki makna yang berbeda. Al-Qital dan Al-Harb bermakna “perang”. Dan Al-Qur’an dalam hal perintah Al-Qital (perang) sangat berhati-hati. Dan kalaupun ada ayat yang memerintahkan untuk berperang, itu pasti dalam rangka mempertahankan diri dari gangguan dan penganiayaan dari orang-orang yang ingin mengganggu dan menganiaya (orang kafir)[15].




BAB III
PANDANG MUHAMMAD AMIN AL SYINQIHI (TAFSIR ADDWAA’ AL-BAYAN)
BIOGRAFI
Nama aslinya adalah Muhammad Amin. Tapi dengan kebiasaan orang arab nama itu ditambahi dengan lakob yang disandarkan kepada nama ayahnya sehingga menjadi Muhammad al- Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jukni asy-Syanqithi. Lebih dikenal dengan panggialan asy-Syanqithi. Ia lahir di Mauritania pada tahun 1305 H. dari nasabnya termasuk dalam kabilah hamiir sejak kecil orang tuanya sudah meninggal dunia. Ia diasuh oleh pamanya. Kondisi yatim piatu tak menyurutkan untuk menuntut ilmu. Sebaliknya bahkan kondisi itu menjadi semangat untuk beliau, Alhasil di bawah bimbingan pamanya Abdullah, ia sanggup menuntaskan hafalan Qur’anya pada usia 10 tahun. Kemudian beliau belajar Rasm Ustmani dari Abi Khali Sayyid Muhammad ibn Ahmad bin Muhammad Mukhtar dengan bacaan nafii’ dengan riwayat warsy dari torik Abi Ya’kub al Azrak dan Kolun dari riwayat abi Nasyit dan sanadnya bersambung hingga Rasulullah SAW. saat itu umur beliau 12 tahun. Hafal Al-Qur’an dalam usia dini membuktikan bahwa beliau berotak encer. Selama di negaranya beliau belajar ke beberapa ulama’ pada beberapa bidang ilmu seperti fikih madzhab Maliki, sastra, balaghah, ilmu ushul, tafsir, hadis dan lain sebagainya. Di antara guru guru beliau adalah[16]:
-          Syekh Muhammad ibn sholih al Masyhur bi ibn ahmad al Afram
-          Syekh Muhammad afram bin Muhammad Mukhtar
-          Syekh ‘Allaamah Ahmad bin umar
-          Syekh Muhammad Ni’mah bin Zaidan (ahli fikih)
-          Syekh Ahmad bin Muud (ahli fikih)
-          ‘Allaamah Ahmad Faal ibn Aduh (ahli sastra)
Perjalanan selanjutnya selalu diisi oleh beliau untuk pengembaraan menuntut ilmu. Ia melengla buana ke berbagai daerah, termasuk ke mekah, untuk memperluas cakrawala keilmuanya. Seraya menunaikan ibadah haji asy-Syanqithi menimba ilmu dari beberapa ulama’ ternama. Sebenarnya sewaktu mau berangkat haji beliau berniat akan pulang lagin ke negri asalnya setelah selesai haji. Karena ketertarikan beliau akan ilmu maka niat itu diurungkan dan beliau meneruskan perjalan menuntut ilmunya di Mekah, Sudan dan Madinah. Di madinah beliau tidak hanya belajar fikih madzab Maliki. Akan tetapi madzah-madzhab yang lain juga. Setelah beliau melenglang buana belajar di berbagi daerah dengan berbagai ilmu, beliau menetap di tanah suci dan mengajar tafsir di Masjid Nabawi atas permintaan Raja Abdul Aziz. Aktivitas mulia ini dilakoninyahingga tutup usia. Ia meninggal pada kamis, 17 Zulhijah 1393 H di mekah al-Mukarramah[17]
Adapun karya-karya beliau yang terkenal diantaranya:
1.      Khalish al-Juman Fi Dzikri Ansabi Bani Adnan
2.      Rijzun Fi Furu’iMadzhab Maliki
3.      Alfiyah Fi al-Manthiq
4.      Nadmun Fi al-Faraidh
5.      Syarah ala Sullam al-Akhdhari Fi al-Manthiq
6.      Ar-Rihlah Ila Baitillah al-Haram
7.      Man’uJawaz al-Majaz Fi al-Munazzal Li at-Ta’abbudWa al-I’jaz
8.      Daf’uIham al-Idhthirab ‘An Ayat al-Kitab
9.      Mudzakkirah Ushul al-Fiqh ‘AlaRaudhah an-Nazhir
10.  Adhwaul Bayan Fi Idhah al-Qur’an Bi al-Qur’an
11.  Bayan an-NasikhWa al-Mansukh Fi Ay Dzikr al-Hakim
12.  Syarah ‘Ala Maraqi as-Su’ud
13.  Fatawa Fi Ta’lil Bi al-Hikmah
14.  Wajhatu Nazhrin Fi Hukmi as-Sa’yi Fauqa Saqf al-Mas’a
15.  Risalah Fi Hukmi as-Shalah Fi Thairah
16.  Risalah Fi JawabiSual
17.  Risalah Fi Jawabi Sualatats-Tsalatsah
18.  Manhaj Tasyri al-Islam
19.  Mutsul al-A’la
20.  Mashalih al-Mursalah
21.  Al-Islam Din al-Kamil
22.  Manhaj Wa ad-Dirasat Li Ayat al-AsmaWa as-Shifat
MADZHAB (AQIDAH) YANG DIANUT
Beliau adalah penganut ahlusunnah wal jamaah (madzhab Maliki). Di samping pemahamannya yang mendalam akan ahlusunnah, beliau juga memiliki pengetahuan yang tidak kalah hebatnya mengenai madzhab-madzhab mutakallimin dan segi-segi kebatilannya.
PROFIL TAFSIR
Tafsir yang di tulis oleh Syekh Muhammad Amin Al syinqihi (tafsir Addwaa’ al-Bayan) ini tergolong tafsir bil ma’tsur. Beliau juga menjelasakan tafsirnya dengan menggunakan qiro’at tuju, akan tetapi beliau sangan menghindari penjelasan dengan qira’at yang syad.[18] Tafsir ini sebetulnya adalah kolaborasi antara guru dan murid ya’ni Assyinqithi dan Muhammad salim. Akan tetapi dalam tafsir ini tulisan guru lebih panjang dari pada muridnya ini yaitu sebanyak 6 jilid dari jumlah 9 jilid. Ini dikarenakan sang guru telah meninggal terlebih dahulu sebelum menyelesaikannya. Maka sang muridlah yang meneruskan.[19]
Selain itu beliau juga menjelaskan hukum fikih di setiap ayat yang mengandung hukum dengan menggunakan dalil sunnah, perkataan ulama’ yang menyangkut hal itu. Dan dalam menentukan suatu hukum yang beliau jelaskan beliu bersikap netral tidak cenderung kepada suatu madzab tertentu. Beliau selalu melihat apa yang di katakana pada qaul tersebut dan bukan melihat siapa yang ber qaul. Karena segala perkataan seseorang itu bisa diterima dan bisa ditolak kecuali sabda Nabi SAW. beliau juga menambahkan beberapa hal dalam penafsiran yaitu mentahkiq sisi kebahasaan baik dari segi sorof maupun i’rab dan menukil si’ir arab dan mentahkik permasalahan ushul fikih dan ilmu kalam. Kemudian dalam mukodimah beliau menjelaskan definisi secara umum dan menjelaskan pula permasalahan-permasalahan dengan ringkas. Kemudian setelah itu beliau menjelasakan tentang penafsiran sesuai tartib surat al Qur’an. Hal itu dijelaskan dengan harapan masuk dalam masuk dalam sabda nabi secara global. Di akhir penjelasannya, tidak ketinggalan pula beliau tuturkan pendapat yang paling kuat menurutnya tanpa ada rasa fanatik sedikitpun terhadap madzhab-madzhab yang ada. Di antara yang menyita perhatian Assyinqithi dalam penafsiran adalah ulasan mengenai problem teologis. Misalnya masalah ketuhanan, qada’ dan qadar dan lain sebagainya. Beliau mengikuti aliran teologi asy’ariah.  Tafsir ini diterbitkan oleh ‘Alam al Kutub (Beirut) pada tahun 1382 H dan Maktabah Ibnu Taimiyyah, Kairo, pada tahun 1408 H.

PANDANGAN ASY-SYINQINTHI TERKAIT JIHAD
Annisa’ 95
لَّا يَسْتَوِى ٱلْقَٰعِدُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُو۟لِى ٱلضَّرَرِ وَٱلْمُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلْمُجَٰهِدِينَ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى ٱلْقَٰعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْحُسْنَىٰ وَفَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلْمُجَٰهِدِينَ عَلَى ٱلْقَٰعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar”.
Atas dasar ayat وَكُلًّا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْحُسْنَىٰ Mufassir menjelaskan bahwasanya berjihad di jalan Allah dengan menggunakan harta dan jiwanya adalah fardhu kifayah dan bukanlah fardhu ‘ain. Orang yang hanya duduk santai dengan orang yang berjihad di jalan Allah berbeda.  Kecuali orang yang benar- benar mempunyai alasan yang benar baru di bolehkan untuk tidak melaksanakan jihad ini. Orang yang berjihad dengan harta dan jiwa akan mendapatkan pahala yang besar. Akan tetapi ada perbedaan pemahaman apakah orang yang tidak ikut berperang dengan alasan yang benar akan mendapatkan pahala apa tidak.

Annisa’ 74
فَلْيُقَٰتِلْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يَشْرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا بِٱلْءَاخِرَةِ ۚ وَمَن يُقَٰتِلْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.
Alfurqan 52
فَلَا تُطِعِ ٱلْكَٰفِرِينَ وَجَٰهِدْهُم بِهِۦ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur'an) dengan (semangat) perjuangan yang besar”.






BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
            Dalam tafsir ini Assyinqithi menjelaskan bahwasanya hukum jihad adalah fardhu kifayah. Dan jihad di sini bukan hanya jihad dengan peperangan, tetapi menggunakan harta untuk di jalan allah juga termasuk jihad. Pada intinya jihad menurut Assinqiyhi bukan hanya jihad dalam bentuk peperangan.





















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannaya.
Abi ‘Ashim Ibnu, 1989, terjemah kitab al-jihad, maktabah al-‘uluum wa al-hukm, madinah munawwarah, jld 1.
Afzalurrahman, 2006, Indeks Al-Qur’an, Bumi Aksara, Jakarta, cet. 3.
Al-Hafizh Ibnu Katsir Abi Fidaa, 2009, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhiim, Dar Al-Kutub, Jakarta, jld 4.
Asy-Syinqithi Muhammad Amin, 2006, Adwaa’ Al-Bayan, darul hadits, kairo, jld 2,6.
Az-Zuhaili Wahbah, 2011, terjemah Fikih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani, Jakarta, jld 8.
Ganna Gamal, 2006, Jihad, Mata Air, Jakarta.
Hubaisy Abul Fadhl, 2012, kamus kecil al-qur’an, Citra, Jakarta, cet 1.
Munawwir Ahmad Warson, 1997, AL-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka progressif, surabaya, cet 4.
Qardhawi Yusuf, 2010, Fikih Jihad, Mizan, Jakarta, cet 1.
Yasin Muhammad Na’im, AL-Jihaad, Maktabah Az-Zahraa’, Kairo.












[1] Abul Fadhl hubaisy, Kamus Kecil Al-Qur’an, citra, Jakarta, hlm. 101.
[2] Yusuf Al-Qordlowi, Fiqih Jihad hal.3, bandung: Mizan pustaka cetakan I. 2010
[3] Wahbah Az-Zuhaili, terjemah Fiqih Islam Wa Adillatuhu, hal,26, Jakarta : gema insani. 2011.
[4] Afzalurrahman, Indeks Al-Qur’an, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 140.
[5] Gamal Ganna, Jihad, Mata Air, Jakarta, hlm. Xii.
[6] Ibnu Abi ‘Ashim, Kitab Al-Jihad, Maktabah Al-‘Ulum Wa Al-Hukm, Madinah Munawarah, jld 1, hlm. 191
[7] Ibid. Hlm. 177
[8]QS. Asy-Syams [91] :7-10.
[9]Abi Fidaa Al-Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhiim, Dar Al-Kutub, Jakarta, jld 4, hlm. 2035.
[10] Muhammad Na’im Yasin, AL-Jihaad, Maktabah Az-Zahraa’, Kairo, hlm. 9.
[11] Yusuf Al-Qardawi, fiqih jihad hal. 71-109
[12]Yusuf al-qardhawi, fiqih jihad.13-21
[13]Abu Bakr Jabir Al-Jaziri, Ensiklopedi Muslim Hal. 473 Jakarta: Darul Falah cet. I 2000
[14] Gamal Al-Banna, jihad, mata air, Jakarta, jld 1.
[15] Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar dalam pengantarnya pada kitab tentang jihad oleh Gamal Ganna yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
[16] Syekh Muhammad Amiin ibn Mukhtar Assyinqithi, adwa’ul Bayan, Daarul Hadis, 2006, juz. 1. Hal. 14
[17] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir, Pustaka Insan Madani: 2008, Hal. 161
[18] Muhammad Amin ibn Muhammad al Mukhtar  Assyinqithi, Adwa’ul Bayan, 2006, juz 1. Hal. 35
[19] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir, Pustaka Insan Madani: 2008, Hal. 161-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar