Rabu, 14 Mei 2014

Faktor-Faktor Yang Mendorong Ulama Melakukan Penelitian Sanad Hadis



Faktor-Faktor Yang Mendorong Ulama Melakukan Penelitian Sanad Hadis
Oleh kelompok 5: Khairul Anwar, Khairil, Ismail, Kholid
Telah diketahui bahwa hadis adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada nabi SAW, baik dari perkataan, perbuatan atau pernyataan-pernyataan serta ketetapan yang dilakukan nabi. Dalam banyak literature, ulama banyak berbeda pendapat dalam menafsirinya. Ulama usul fiqh mengartikan hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi selain al-quran.
Hadis merupakan pedoman hidup yang harus diikuti oleh segenap umat islam. Hal ini secara tegas disabdakan nabi yang diriwayatkan oleh abu hurairah yang artinya “ telah kutinggalkan untukmu dua pusaka yang tidak sekali-kali kamu tersesar selama-lamanya selagi kamu berpegang teguh terhadap keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku”. Melihat kedudukan hadis yang sangat penting, setiap umat islam harus memperlajari hadis dan mendalami ilmu-ilmunya guna memahami hal-ihwal hadis secara maksimal sebagai bentuk pengejawantahan pengamalan syariat islam sehingga mampu dan mengetahui kedudukan hadis dalam islam.
Untuk mamahami dan mendalami sebuah hadis, adalah sebuah keniscayaan bagi umat islam untuk mengetahui unsur-unsur yang ada dalam hadis dan dengan pengetahuan tersebut dapat menganalisa sampainya sebuah hadis kepada kita dengan mengoreksi periwayatnya(sanad) ataupun isi hadisnya (matn). Ulama sangat besar perhatiannya terhadap sanad sebuah hadis disamping juga matnnya. Setidaknya ulama menganggap bahwa sanad merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hadis, sehingga memberikan kedudukan yang penting dalam memahami dan meneliti sebuah hadis.
Sanad hadis dianggap penting karena selain hadis merupakan sumber kedua ajaran islam, Hadis juga todak semuanya tertulis pada masa nabi SAW, sehingga sesudah nabi wafat banyak terjadi pemalsuan-pemalsuan hadis. Maka dilakuakanlah pembukuan (tadwin) hadis akibat dari banyaknya pemalsuan hadis tersebut secara massal.
Sebenarnya ada beberapa faktor penting yang mendorong ulama untuk melakukan penelitian dan pendalaman sanad. Di antaranya, pertama, hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam. Kedua, hadis tidak semuanya tertulis pada masa nabi. Ketiga, banyak terjadi pemalsuan hadis dan terakhir proses penghimpunan (tadwin) hadis.
A.    Hadis sebagai salah satu sumber ajaran islam
Sekiranya hadis hanya berkedudukan sebagai sejarah tentang keteladanan dan kehidupan nabi Muhammad, niscaya perhatian terhdap sanad hadis tidak ada seperti sekarang. Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya ada oknum kecil dari kalangan ulama da  umat islam mneolak hadis nabi sebagai salah satu sumber ajaran islam. Mereka dikenal juga dengan ingkarus sunnah.
      Pada zaman as-syafiie(w. 204 H/820 M) golongan inkarussunnah tersebut tealah timbul. As-syafiie teah menulis bantahan terhadap argument-argumen mereka dan membuktikan keabsahan hadis(as-sunnah) sebgai salah satu sumber ajaran islam. Ulama pada masa berikutnya menggelar asy-syafiie sebagai “pembela hadis”(nashir al-hadis) atau “pembela as-sunnah”(nashir al-sunnah;multashim al-sunnah).
Diantara factor yang mendorong munculnya paham inkar sunnah tersebut ialah ketidak pahaman mereka tentang berbagai hal berkenaan dengan ilmu hadis. Factor ini bukan hanya terlihat pada mereka yang berpaham inkar sunnah pada zaman syafiie saja, melainkan juga pada masa berikutnya, termasuk di dalamnya kelompok pengingkaras-sunnah di Indonesia dan Malaysia.khusus pelopor pengingkar as-sunnah di Indonesia, qasim ahmad, yang banyak membantah pendapat-pendapat syafiie tentang kehujjahan as-sunnah, terlihat belum sempat membaca uraian syafiie yang termktub dalam kitabnya al-um. Padahal dalam kitab al-um itulah syafiie secara panjang lebar telah menunjukkan berbagi kelemahan argument yang di ajukan pleh para pengingkar as-sunnah yang muncul pada masa itu.
      Secara keseluruhan, argument-argumen yang diajukan oleh pengingkar asu-sunnah memang cukup banyak. Argument-argumen dapat dikelompokkan menjadi argument naqly(quran dan hadis nabi) dan non naqly.
      Argument naqly yang mereka ajukan cukup banyak juga. Dari argument tersebut yang dapat dinyatakan terpenting adalah:
1.      Surah an-Nahl:89, artinya”dan kami tuurnkan kepadamu al-kitab/al-quran untuk menjelaskan segala sesuatu”
Menurut mereka ayat –ayat tersebut dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa al-quran telah mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama. Keterangan ini, misalnya hadis adalah sunnah nabi tidak diperlukan. Sholat wajib yang harus didirikan lima waktu dalam sehari semalam dan hal-hal lain yang berkenaan dengannya, dasarnya bukan hadis nabi, melainkan ayat-ayat al-quran. Hal ini termaktub, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 238; Hud ayat 114; al-Isra’ ayat 78 dan 110;Toha:130;al-Haj:77; an-Nur:58; dan ar-Rum: 17-18.mereka menyatakan, quran diwahyukan oleh allah dalam bahasa arab. Mereka yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahasa arab akan mampu memahami al-quran dengan baik tanpa bantuan hadis.
Argument tersebt tidak kuat. Berikut ini dikemukakan kelemahana-kelemahannya:
1.      Kata tibyan atau penjelasan yang bermuat dalam surat an-Nahl ayat 89, menurut as-syafiie mencakup beberapa segi pengertian. Yakni
a.       Ayat al-quran secara tegas menjelaskan adanya:
1.      Berbagai kewajiban, misalnya kewajiban-kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
2.      Berbagai larangan, misalnya larangan berbuat zina, minum minuman keras, meemakan bangkai, darah dan daging babi.\
3.      Teknis pelaksanaan ibadah tertentu misalnya tata cara berwudlu.
b.      Ayat al-quran menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global misalnya kewajiban shalat; dalam hal ini, hadis nabi menjelaskan teknis pelaksanaannya.
c.       Nabi menetapkan suatu ketentuan yang dalam al-quran ketentuan itu tidakk dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam hadis tersebut wajib ditaati, sebab allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menaati nabi.
d.      Allah mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan ijtihad. Kewajiban melaksanakan kegiatan ijtihad sama kedudukannya dengan kewajiban menaati kewajiban perintah lainnya yang telah ditetapkan oleh allah bagi mereka yang memenuhi syarat.
B.     Tidak Seluruh Hadis Tertulis Pada Zaman Nabi
Di dalam sejarah proses penulisan hadist Nabi tidaklah sama dengan proses penulisan al-Quran. Karena dilihat dari beberapa faktor yang ada pada saat itu. Pada saat proses turunnya al-Quran, pada saat itu periwayatannya berlangsung secara umum. Yang mana pada saat itu ketika para sahabat mendengarkan dari Nabi, dari sebagian mereka ada yang menghafalnya dan ada yang menulisnya. Dalam penulisan ayat-ayat al-Quran ini, ada yang disebabkan karena memang diperintah oleh Nabi dan ada pula karena inisiatif mereka sendiri.
Kemudian secara berkala, hafalan para sahabat diperiksa langsung oleh Nabi. Dan setelah wafatnya Nabi, periwayatan al-Quran itu pun tetap berjalan secara mutawatir. Dalam penyampaian ini tidak hanya melalui lisan saja namun juga secara tertulis. Pelaksaaan dalam bentuk tertulis yang paling dilakukan secara serius adalah ketika pada masa Khalifah Abu Bakar al-Siddiq (wafat 13 H = 643 M) dan kemudian digandakan dan disebar luaskan dalam tujuan agar bacaan pada masa Khalifah Utsman ibn Affan (wafat 35 H = 656 M) sama.
Oleh karenanya, dalam periwayatan al-Quran sangat sulit terjadi pemalsuan atau hal-hal yang lainnya, karena hal ini telah dibenarkan dalam al-Quran juga bahwa Allah akan menjaga al-Quran hingga akhir zaman. Dalam surat al-Hijr ayat 9 :

انا نحن نزلنا الذكر و انا له لحفظون

Adapun di dalam periwayatan hadis, hanya sebagian kecil yang berlangsung secara mutawatir. Kebanyakan periwayatan hadis berlangsung secara ahad. Ini disebabkan beberapa faktor yang mengakibatkan tidak semua periwayatan hadis berlangsung secara mutawatir. Beberapa faktor  diantaranya adalah : [1] pada saat itu nabi memerintahkan para sahabat agar menghapus seluruh catatan (hadits) kecuali al-Quran. Ini dilakukan Nabi karena khawatir akan terjadinya percampuran antara al-Quran dengan catatan para sahabat (hadits). Namun nabi juga tidak melarang untuk menulis hadis, karena Nabi juga pernah memerintahkan para sahabat menulis hadis, karena apa yang dikatakan Nabi adalah benar.
Adapun faktor yang ketidak mutawatiran hadis juga karena ketika Nabi masih hidup, Nabi dan para sahabat lebih fokus kepada pemeliharaan al-Quran. Dan juga tidak semua hadis nabi tertulis, ini dikarenakan disebabkan beberapa faktor :
1)      Terjadinya hadis tidak selalu dihadapan sahabat Nabi yang pandai menulis hadis.
2)      Dikarenakan pada saat itu lebih fokus pada pemeliharaan dan pengumpulan al-Quran.
3)      Tidak ada perintah langsung dalam penulisan hadis walaupun Nabi memiliki sekretaris.
4)      Sangat sulit untuk menulis langsung semua perkataan, perbuatan, dan taqrir seseorang yang masih hidup, dengan alat yang sederhana pula.
Dari beberapa sahabat yang dikenal memiliki catatan hadis yaiitu ;
1)      ‘Aliy ibn Abiy Talib (wafat 40 H = 661 M),
Catatan hadis yang di buat oleh ‘Aliy ibn Abiy Talib adalah berisi tentang hukum denda, pembebasan orang islam dari tawanan orang kafir, larangan melakukan qisas terhadap orang islam yang membunuh orana kafir.
2)       Sumrah ibn Jundab (wafat 60 H = 680 M),
Catatan hadis yang dibuat atau dikumpulkan Sumrah menurut sebagian ulama berisi tentang risalah yang dikirimkan oleh Sumrah kepada anaknya, Sulauyman ibn Sumrah ibn Jundad.
3)      ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn al-‘As (wafat 65 M = 685 M),
‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn al-‘Asn juga dikenal dengan nama al-Shifat al-Shadiqah. Hadis yang ditulisnya kurang lebih seribu hadis. Dan hadisnya telah diriwayatkan dan dimuat oleh Ahmad ibn Hambal dalam kitab al-Musnad.
4)       ‘Adb Allah ibn ‘Abbas (wafat 69 H = 689 M),
Catatan hadis yang dibuat ‘Abd Allah ibn ‘Abbas tertulis dalam bentuk kepingan-kepingan catatan (alwah), yang catatan ia buat sebagai bahan-bahan untuk mengisi pengajian yang dipimpinnya.
5)      Jabir ibn ‘Abd  Allah al-Ansariy (wafat 78 H = 697 M)
Catatan yang dibuat oleh Jabir ibn ‘Abdullah al-Ansariy juga dikenal dengan nama Sahifah Jabir. Ia mendektekan hadis itu di dalam pengajian yang dipimpnnya, dan Qatadah ibn Di’amah al-Sadusy (wafat 118 H = 736 M) mengaku bahwa ia telah hafal semua hadis Nabi yang disampaikan oleh Jabir. Imam Muslim telah meriwayatkan hadis yang berasal dari Jabir.
6)      ‘Abdullah ibn Abiy Awfa’ (wafat 86 H)
Catatan hadis yang dibuat oleh ‘Abdullah ibn Abiy Awfa’ juga dikenal dengan sebutan Sahifah ‘Abdullah ibn Abiy Awfa’. Sebagian dari hadis tersebut kemudian diriwayatkan oleh Imam Bukhariy.
            Namun dari nama-nama sahabat di atas tidak mencakup seluruh nama-nama sahabat yang memiliki catatan hadis. Salah satu sahabat lainnya yang meempunyai catatan hadis ialah Abu Bakar al-Siddiq. Namun kemudian ia membakar catatan hadisnya, dikarenakan ia taku ada kekeliruan dalam meriwayatkan hadis. Walaupun banyak para sahabat yang membuat hadis, namun lebih sahabat yang tidak memiliki catatan. Maka dapat dinyatakan bahwa masih banyak hadis yang tidak terulis, karena pada masa itu lebih banyak menyampaikan melalui lisan.
C.     Munculnya Pemalsuan Hadis
Ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis. Berikut ini dikemukakan pendapat-pendapat ulama tersebut:
1.         Pemalsuan hadis telah  terjadi pada zaman Nabi. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ahmad Amin (wafat 1373 H = 1954 M). alasan yangdikemukakan  oleh  Amin ialah hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa barang siapa yang sengaja membuat berita bohong dengan mengatasnamakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka.
2.         Pemalsuan hadis yang berkenaan dengan masalah keduniawian telah terjadi pada zaman Nabi dan dilakuakan oleh orang munafik. Pendapat ini dikemukakan  oleh Salah al-Din al-Adlaby. Alasan yang  dikemukakan oleh al-Adlaby ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tahawi (wafat 321 H = 933 M) dan al-Tabraniy (wafat 360 H = 971 M). kedua riwayat ini menyatakan, bahwa pada masa  Nabi ada seseorang telah membuat berita bohong dengan mengatasnamakan Nabi. Orang itu mengaku telah diberi kuasa oleh Nabi untuk menyelesaikan suaatu masalah di suatu kelompok masyarakat di sekitar Madinah.
3.         pemalsuan hadis mulai muncul pada masa Khalifah ‘Aly ibn Abiy Talib. Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan ulama hadis. Menurut pendapat ini, keadaan hadis pada zaman nabi sampai sebelum terjadinya pertengkaran antara Ali dengan Muawiyah(680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan sebagimana dimaklumi pada zaman perintah ali, telah terjadi pertentangan politik antara golongan yang mendukung Ali dengan golongan yang mendukung Muawiyah dalam maslah jabatan khalifah.
Jumlah hadis palsu tidak sedikit. Seorang pemalsu hadis ada yang mengaku, bahwa dia telah membuat 4.000 hadis palsu. Seorang pemalsu hadis lainnya mengaku, bila ia ingin memperkuat pendapatnya, maka ia membuat hadis palsu. Malahan ada seseorang yang bila diberi upah sebesar satu dirham saja, dia elah bersedia untuk membuat sebanyak 50 hadis palsu.
Dengan berbagai kaidah dengan ilmu hadis tersebut, maka hadis-hadis yang berkembang dalam masyarakat dan bermaktub dalam berbagai kitab dapat diteliti dan diketahui kualitasnya. Dengan menggunakan berbagai kaidah dan ilmu hadis itu, ulama telah berhasil menghimpun berbagai hadis palsu dalam kitan-kitab khusus.
D.    Proses Penghimpunan (Tadwin) Hadis
Umar ibn al-Khattab mengurungkan niatnya dalam menghimpun, karena ia takut akan terjadi pemalsuan hadis apabila ia menghimpun hadis. Tetapi ia mengurungkan niatnya, karena khawatir umat Islam mengabaikan Quran.
Sesudah zaman Umar, tidak ada khalifah yang merencenakan menghimpun hadis Nabi, kecuali hanya Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (wafat 101 H = 720 M). Walaupun demikian tidaklah berarti tidak kegiatan penulisan hadis Nabi. Sebab, baik kalangan sahabat nabi maupun al-tabi’in tidak sedikit yang melakukan pencatan hadis Nabi. Akan tetapi pencatatan itu hanya bersifat pribadi dan belum ada perintah resmi dari pemerintahan pada saat itu.
Karena pada saat itu kebanyakan para sahabat dan al-tabi’in berpegang teguh pada penghafalan. Bahkan seabagian dari mereka ada yang sagat mencela penulisan hadis. Dan cara lain yang dilakukan dalam penjagaan hadis Nabi ada dengan menulis terlebih dahulu dan kemudian menghapus, dan setelah catatan hadis tersebut dihapusnya. Dapat dikatakan pula bahwa sebelum adanya pelestarian penulisan hadis, tidak sedikit dari para sahabat yang menulis hadis namun itu hal tidak menjamin kelestarian untuk masa berikutnya.
Sehingga pada masa Khalifah Umar ibn ‘Abd Aziz memerintahkan untuk melakukan penulisan hadis secara resmi. Dan hal ini akan dikemukan di bawah ini:
1)      Dari kalangan sahabat ada yang mempunyai murid yang mana murid nya berstatus  sahabat sendiri dan ada yang golongan tabi’in. Jumlah murid  yang mencatat hadis dari para gurunya diantaranya adalah ; [a] dari kalalangan murid anas ibn Malik (wafat 93 H = 711M) ada sekitar 60 orang, [b] dari  kalangan muird ‘A’isyah (wafat 58 H = 678 M) sekitar 3 orang, [c] dari kalangan Ibn ‘Abbas (wafat 69 H = 689 M) sekitar 9 orang, [c] dari kalangan murid Jabir ibn ‘Abdullah al-Ansariy (wafat 78 H = 677 M), sedikitnya ada sembilan orang.
2)      Hammam ibn Munabbih (wafat 101 H = 720 M), seorang al-tabi’iy telah mencatat hadis yang disampaikan kepadanya secara lisan oleh Abu Hurairah (wafat 59 H = 678 M),
3)      ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan ibn al-Hakam (wafat 85 H = 704 M ). Seorang gubernur Mesir (memerintahkan tahun 65-85 H), pernah mengirim surat kepada Kasir ibn Murrah al-Hadramiy, seorang al-tabi’iy di Hims. Pada surat itu ayat gubernur ‘Abd al-Aziz meminta kepada Kasir untuk mencatatkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat selain Abu Hurairah.
4)      Sa’id ibn Jubayr (wafat 95 H = 714 M ) adalah seorang al-tabi’iy yang rajin menulis hadis. Bahkan dalam penulisan hadis  jika ia kehabisan pencatat alat tulis, ia akan di atas punggung sepatunya pada saat ia merima hadis.
5)      ‘Amir al-Sya’biy (wafat 103 H = 722 M) seseorang al-tabi’iy yang sangat menekankan dalam penulisan hadis.
Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz yang terkenal berpribadi saleh dan cinta kepada pengetahuan, sangat berkeinginan untuk segera menghimpunan. Keiniginan ia menghimpun muncul ketika ia masih menjabat sebagai gubernur di Madinah (86-93 H) pada zaman al-Walid ibn Abd al-Malik (memerintah pada tahun 86-96 H = 705-715 M)
Salah satu surat yang dikirimnya adalah ke gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Mahammad ‘Amr ibn Hazm (wafat 117 H = 735 M). Isi sura itu ialah ; [a] Khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan (hadis) dan kepergian (meninggalnya) para ahli (ulama), [b] Khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahman dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abiy Bakar al-Siddiq, keduanya murid A’isyah dan berada di Madinah segera dihimpunkan. Tapi sayangnya Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, beliau meniggal dunia.
Ulama yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum Khalifah meniggal dunia, ialah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zukhriy (wafat 124 H = 742 M). Walaupun Khalifah Umar ibn Abd ‘Aziz telah meniggal namun penghimpunan hadis masih tetap berjalan. Sehingga pada abad pertengahan 2 hijriyah, telah muncul beberapa kita hadis di berbagai kota. Namun para berbeda pendapat tentang karya siapa yang muncul terlebih dahulu.  Beberapa ulama ada yang mengatakan bahwa kitab pertama yang terhimpun adalah karya ‘Abd al-Malik  ibn ‘Abd al-Aziz ibn Jurayj al-Bisry (wafat 150 H), dan ada yang yang menyatakan karya Malik ibn Anas (wafat 179 H = 795 M), dan ada yang mneyatakan ciptaan ulama lain.
Dan karya-karya hadis berikutnya adalah salah satunya yaitu kita yang dinamakan dengan al-musnad. Ulama yang mula-mula menyusun kitab al-musnad ialah Abu Dawud Sulayman ibn al­-Jarud al-Tayalisiy (wafat 204 H), san kemudian disusul oleh ulama lain yaitu misalnya Abu Bakar ‘Abdullah ibn al-Zubayr al-Humaydiy (wafat 219 ) dan Ibn Hanbal wafat 241 H = 88 5 M).
Dari beberapa kitab hadis yang ada tidak semua berkualitas sahih karena juga ada sebagian kitab hadis yang berkualitas tidak sahih. Ulama yang menghimpun hadis-hadis yang berkualitas sahih diantaranya Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhariy (wafat 256 H = 870 M) dan Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusayriy (wafat 261 H = 875M). Kitab himpunan yang dibuat al-Bukhariy yaitu al-Jami al-Musnad as-Sahih al-Mukhtassar min Umur Rasulullah Saw wa Sunanihi wa Ayyamihi atau juga sebutan yang populer sekarang Sahih Bukhariy. Dan karya yang dibuat imam Muslim berjudul al-Musnad al-Sahih al-Mukhtassar min al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an-‘Adl an Rasulullah  yang juga dikenal dengan sahih Muslim.
Karya-karya seperti karya al-Bukhariy, Muslim, Abu Dawud, al-Turmuziy, dan al-Nasa’iy di atas disepakati oleh mayoritas ulama dalam kualitas kesahihannya. Kitab yang diciptakan oleh kelima orang itu dinamakan sebagai al-Kutub al-Khamsah (lima kitab hadis standar). Namun ada yang pula kitab ke enam yang masuk kategori standar, namun para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan kitab al-Sunan karya Ibn Majah dan juga ada yang mengatakan karya Malik ibn Anas (al-Muwatta), dan juga ada yang mengatakan lagi kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Rahman al-Darimiy (wafat 255 H = 868 M).
Dalam penciptaan atau penghimpunan hadis penetapan sebagai al-Kutub al-Khamsah dengan beberapa syarat :
1.      Hampir seluruu hadis yang berkualitas sahih telah terdapat di dalam kitab-kitab tersebut
2.      Hampir seluruh masalah yang terkandung dalam hadis Nabi telah terhimpun dalam kitab-kitab tersebut.
3.      Secara umum, kitab-kitab dimaksud lebih baik dari pda kitab hadis lainnya (dari segi susunan, isi dan kualitas)
Dan dengan demikian dapatlah dinyatakan, puncak usaha penghimpunan hadis terjadi pada abad ke-3 H. Dan sesudah masa itu, penghimpunan hadis hanya bertaraf melengkapi, menggabungkan, memilahkan, meringkas,menjelaskan, menyeleksi, dan sebagainya terhadap kitab yang terdahulu.
Jadi, proses penghimpunan hadis cukup memakan waktu yang sangat lama. Dari semua kitab hadis yang termuat dalam kitab hadis yang terdahulu masih terbuka untuk diteliti kembali kualitasnya. Karena penciptaan hadis ini terjadi ketika banyak pemalsuan hadis, maka sanad hadis memiliki peran penting dalam penelitian hadis.
Daftar Pustaka
Khaeruman, Badri. Ulum al-hadis.Pustaka setia:Bandung. 2010
Ismail, Shuhudi. Kaedah-kaedah keshahihan sanad hadis, telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah. Bulan Bintang:Jakarta. 1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar