Rabu, 14 Mei 2014

KRITIK SANAD



1. Sanad
Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadis bersandar kepadanya.[1]
Mahmud at-Tahhan, op. cit., hlm. 15.
 Menurut istilah, terda­pat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thîby mengatakan bahwa sanad adalah:
الإِخْبَارُ عَنْ طَرِيْقِ الْمَطْنِ[2]
As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, jilid I, op. cit., hlm. 41.
 “Berita tentang jalan matan”
Yang lain menyebutkan:
سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ المُوْصِلَةُ لِلْمَتَن[3]
“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan hadis”.
Ada juga yang menyebutkan:
سِلْسِلَةُ الرُّوَاةِ الَّذِيْنَ نَقَلُوْا المْتَنِ عَنْ مَصْدَرِهِ الأَوَّلِ      [4]Mahmud at-Tahhan, loc. cit.

Silsilah para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama”. 
Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti, al-isnâd, al-musnid, dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagai­mana yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata al-isnâd berarti menyandarkan, mengasalkan (mengem­balikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksudkan di sini, ialah menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya (raf’u hadîts ilâ qâ’ilih atau ‘azwu hadîts ilâ qa’ilih).
Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, op. cit., hlm. 32.
 Menurut Al-Thîby, sebenarnya kata al-isnâd dan al-sanad digunakan oleh para ahli hadis dengan pengertian yang sama.
Al-Qasimi, op cit., hlm. 202. dan Muhammad at-Tahhan, loc. cit.
Kata al-musnad mempunyai beberapa arti. Bisa berarti hadis yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang; bisa berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadis, seperti kitab Musnad Ahmad; bisa juga berarti nama bagi hadis yang marfû’ dan muttashil.[6]
Selain itu terdapat istilah shigat isnad atau shigat tahammul yaitu lafal yang terdapat dalam sanad yang digunakan oleh rawi yang menunjukkan tingkat penerimaan dan menyampaian hadis dari rawi tersebut. Terdapat delapan shigat isnad yaitu:
  1. as-sima’min lafz asy-syaikh (mendengar dari lafal syeikh) contohnya sami’tu (aku mendengar)
  2. qiraat ‘ala asy-syaikh (membaca tulisan syeikh) contoh qara'tu ‘ala (aku membaca)
  3. al ijazah contohnya ajaztu laka sahih al Bukhari (aku bolehkan/izinkan untukmu kitab sahih Bukhari)

Syarat perawi menurut muhaddisin: Pertama, beragama Islam. Kedua, baligh. Ketiga, berakal. Keempat, tidak fasik. Kelima, terhindar dari tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muruah). Keenam, mampu menyampaikan hadis yang telah dihafalnya. Ketujuh, dapat dipercaya dan kedelapan, mengetahui dengan baik hadis baik maksud maupun makna[7]Ibid. dan Muhammad at-Tahhan, op. cit., hlm. 16.

Kritik Sanad (Naqd al-Sanad)
Kata sanad secara etimologis berarti bagian bumi yang tinggi dan menghadap ke gunung. Bentuk plural atau jamaknya adalah asnad[8]. Secara terminologis, sanad adalah jalan yang menghubungkan kepada matan, yaitu rangkaian nama perawi yang mengambil matan  hadis dari sumbernya. Sanad telah digunakan secara insidental dalam sejumlah literatur pra Islam. Sanad juga dipakai secara luas dalam periwayatan syair jahiliyah. Akan tetapi, tidak ditemukan keterangan lebih banyak tentang semua itu[9].
Tradisi sanad, dalam Islam telah ada sejak zaman Rasul. Ketika seorang sahabat menyampaikan hadis kepada lainnya, selalu disebutkan dari siapa hadis itu didapatkannya sampai kepada Rasul, atau dia sendiri yang menerima hadis tersebut dari Rasul. Menurut Imam Nawawi (w. 676 H/ 1277 M), seringkali dalam rangkaian periwayatan (silsilat al-ruwat) terdapat empat orang sahabat, dan ada juga dalam sanad lain terdapat empat Tabi’in[10]. Menurut Imam Suyuthi (w. 911 H), karena tingginya perhatian sahabat terhadap sanad, pernah seorang sahabat meriwayatkan hadis dari generasi tabi’in karena telah menerima hadis dari sahabat lain yang mendengarkan langsung dari Nabi[11].
Para perawi hadis jika ditanya tentang keadaan dan nilai sebuah sanad juga memberikan informasi yang benar. Mereka  tidak menyembunyikan atau menutup-nutupi,  jika sanad hadis tersebut memiliki ‘ilat. Hal ini sebagaimana dilakukan Abu Ishaq al Sya’bi (w. 126 H). Dengan jujur  dinyatakan, sanad yang dimilikinya terdapat tadlis (penipuan) ketika ditanya Syu’bah bin al Hajaj (w. 160 H)[12].
Mustafa as-Siba’i menunjuk tahun 40 H sebagai batas pemisah antara otentisitas (kemurnian) hadis dengan pemalsuannya.  Karena saat itu terjadi friksi internal umat Islam, antara Ali bin Abi Thalib vs.  Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sejak peristiwa itu, siapapun  menjadi sangat kritis terhadap sanad ketika menerima riwayat hadis. Realitas semacam  itu dapat dibuktikan  dari pernyataan  Muhammad bin Sirin (w. 110 H/ 728 M),  “Pada mulanya umat Islam tidak begitu mempermasalahkan sanad. Tetapi setelah terjadi fitnah, jika menerima riwayat  hadis, mereka akan mengatakan, “Sebutkan rijalmu (orang-orang yang menyampaikan hadis ini padamu)”. Riwayat hadis itu akan diambil jika rijalnya ahlu as  sunnah;    dan –sebaliknya—akan ditolak jika rijalnya dikatagorikan   ahlu    al bida’[13]. Jadi, setelah perang Sifin mereka lebih berhati-hati terhadap sanad atau mempertanyakan secara ketat sumber informasi dan menelitinya dengan cermat.
Di penghujung abad pertama hijriah, kajian  sanad  berkembang pesat dan mendapat perhatian lebih serius. Syu’bah (w. 160 H) misalnya, sengaja mengamati gerak bibir Qatadah (w. 117 H) untuk membedakan apakah dia menerima hadis dari tangan pertama atau  kedua  dengan memperhatikan redaksi al tahammul wa al ‘ada’ yang digunakan[14]. Bahkan bukan hanya muhadisin yang mempersoalkannya, tetapi orang  badui juga menanyakan kelengkapan sanad hadis kepada Sufyan bin ‘Uyainah (w. 194 H)[15].
Para ulama Hadis sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad yang cukup ketat. Namun demikian, jauhnya jarak antara masa Rasul saw. dengan masa kodifikasi hadis, sekitar satu setengah abad atau 150 tahun, menyebabkan teori-teri tersebut dalam prakteknya menghadapi hambatan yang cukup serius. Diantaranya yaitu terbatasnya data-data yang diperlukan dalam proses pembuktian. Dan pada perkembangan selanjutnya keterbatasan-keterbatasan ini diatasi oleh teori-teori baru, seperti Ash-shohabah Kulluhum 'Uduul  (semua sahabat bersifat adil). Dengan kata lain, validitas satu generasi pertama, generasi sahabat, tidak perlu ada pembuktian.
Dalam ukuran modern, teori kritik sanad secara umum mengandung kelemahan inheren, seperti anggapan tentang seorang manusia terhormat yang tidak memiliki keinginan berdusta sehingga mereka pasti bercerita benar. Di samping itu, para peneliti hadis kadang tidak menyadari adanya masalah ingatan yang keliru, pikiran yang mengandung kepentingan, pembacaan ke belakang (dari masa kini ke masa lalu) atau pun tersangkutnya pengaruh seseorang dan bahkan tentang adanya berbagai tuntutan mendesak.
Kelemahan yang terdapat dalam teori kritik sanad ini mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses pembuktian validitas sebuah hadis. Oleh karena itu, bukan hanya kritik sanad saja satu-satunya hal yang bisa dilakukan dalam proses pembuktian keshohihan hadis, kritik matan pun semestinya menjadi suatu keharusan yang dilakukan dan dikembangkan hingga kini dalam proses pembuktian validitas dan otentisitas sebuah Hadits.
Kritik sanad bertujuan mengevaluasi perawi hadis secara proporsional, baik hal positif maupun negatif; dengan mengupas  karakteristik setiap rangkaian sanad hadis. Sehingga diketahui, apakah perawinya itu seorang yang integritas moralnya tidak cacat, taqwa, jujur, cerdas, dan seterusnya, atau sebaliknya sanad yang terlibat dalam rangkaian riwayat itu orang yang integritas moralnya tercemar, rusak, pelupa, pendusta, dan sebagainya.[16]

Metode Kritik Sanad
Ulama hadis sepakat, ada lima tonggak penting  yang bisa menopang bangunan validitas (keshahihan) riwayat hadis, yaitu: 1)  rangkaian sanad bersambung  (ittishal         al-sanad)  2) rawi bersifat ‘adil   3) rawi bersifat dlabith, 4) terhindar dari  kejanggalan (syudzudz), dan 5) terhindar dari cacat  (‘ilat)[17].
            Menurut Imam Nawawi (w. 676 H / 1277 M), semua persyaratan di atas  mencakup kriteria keshahihan sanad dan matan hadis. Karena persyaratan  nomor 4 dan 5 berkaitan dengan sanad dan matan, sementara nomor 1, 2, dan 3 hanya berhubungan dengan sanad[18].
            Mekanisme kritik sanad melalui tahapan metodologi sbb.:
1.      Harus dipastikan bahwa riwayat yang akan dikritik sanadnya  terbatas pada riwayat yang belum dibahas ulama yang dikenal sebagai pakar hadis; dan kualitasnya  belum diketahui, apakah shahih atau dla’if?
2.      Riwayat yang akan diteliti tidak dimuat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim.
3.      Pelacakan dimulai dari: nama rawi, gelar, asal daerah, thabaqat, nama bapaknya, gurunya, dan sebagainya.
4.      Jika rawi yang akan diteliti terdapat di dalam kutub as-sitah atau kutub al-‘asyrah[19], penelitian identitas si rawi  bisa langsung dilacak dalam kitab tarjamah perawinya, misalnya, الكاشف فى معرفة من له رواة في الكتب الستة karya Muh. bin Ahmad Az-Zahabi.
5.      Melacak nama periwayat hadis yang dijadikan objek kritik dalam kutub  ar-rijal, kutub ar-ruwat, atau dalam  buku biografi periwayat hadis lainnya untuk mengetahui  kadar ketsiqahannya (integritas moral العدالة dan kapabilitasnya intelektualnya الضبط); dan sebaliknya. Penilaian tsiqat ar- rawi  harus mengacu  pendapat ulama  al-jarh wa ta’dil.
6.      Ada atau tidak adanya persambungan sanad (ittishal as-sanad) dapat  diteliti dengan melihat redaksi periwayatan yang digunakan, misalnya apakah redaksi yang digunakan:
سمعنا, حدسني, أخبرنا, قرأت على فلان, أنبأنى, ناولني, أوصى إلي, وغير ذلك.



[1]Mahmûd Al-Thahhan, op.cit., h. 15
[2]Al-Suyûthî, Jilid. I, op.cit., h. 41
[3]Mahmûd Al-Thahhân, loc.cit.
[4]‘Ajjâj Al-Khathîb, op.cit., h. 32
[5]Al-Qâsimî, op.cit., h. 202
[6]Mahmûd Al-Thahhân, op.cit., h. 16. Hadis Marfu’ dan hadis muttashil adalah dua istilah  untuk hadis yang disan­darkan kepada Nabi SAW dan sanadnya bersambung.
[7] Ibnu Shalah h. 114-117. al Nawawiy, al Tajrib li al Nawawiy Fann Ushul al Hadis (cairo: Abd al rahman, tt) h. 12-15. Abu al Fayd Muhammad bin Ali al Harawiy, Jawahir al Ushul fi Ilm Hadis al Rasul (Madinah: al Maktabah al Ilmiyah 1373 H), h. 55-68
[8]Muhammad bin Makram bin Mandzur Al-Ifriqy, Lisan al-Arab, cet. I, juz III, h. 220. Definisi yang ditulis;
السند  ما ارتفع من الأرض في قبل الجبل أو الوادي والجمع أسناد لا يكسر على غير ذلك وكل شيء أسندت إليه شيئا فهو مسند.
[9]Muhammad Musthafa al-A’dzami,  op.cit., h. 32.
[10]Rif’at Fauzi Abdul Muthalib, Tautsiq as-Sunnah fi al-Qarni as-Tsani al-Hijri, Ususuhu wa Ittijahatuhu, (Mesir: Maktabah al-Khanji, 1400 H/ 1981 M),  h. 36-37.
[11]Jalaludin ‘Abdurrahman  bin Abi Bakar as-Suyuthi,  Tadrib  ar-Rawy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1979), cet. ke-2, h. 386-389.
[12]Muhammad Luqman as-Salafi,  Ihtimam al-Muhadisin bi Naqdi al-Hadis, Sanadan wa Matnan, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh, 1405 H/ 1984 M), h. 155.
[13]Muhammad Musthafa al-A’dzami, Dirasat Fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikhi Tadwinihi,  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), terjemahan oleh Ali Mustafa Yaqub, h. 531. Menurut  Thahanawi,  bid’ah  apabila dikaitkan dengan al-fisq yang dilakukan seorang  rawi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1.     Bid’ah Sughra,  bid’ah  moderat dan tidak ekstrem; baik yang dilakukan simpatisan sekte teologi Syi’ah, Khawarij, Rafidlah, Qadariah, dan sebagainya., sebagaimana banyak dianut tabi’in dan tabi’-tabi’in yang dikenal ta’at beragama, wara’ (hati-hati), shaduq, dan secara lahiriah tidak bertentangan dengan dasar Sunnah. Meskipun bisa saja mereka berbeda dalam memberikan interpretasi terhadap substansi  Al-Qur’an dan    as-Sunnah, tidak berdusta  terhadap Rasulullah,  dan dikenal  sebagai orang yang tertpelihara muru’ahnya. Kelompok ini dapat diterima riwayatnya.
2.    Bid’ah Kubra,  bid’ah ekstrem  dari kelompok  Syi’ah Rafidlah yang terang-terangan menghina Abu Bakar, Umar, menganggap Ali  anak Tuhan, dan sering berdusta mengatasnamakan Rasulullah untuk membela misi  teologisnya. Riwayat kelompok ini, baik simpatisan maupun dedengkotnya tidak diterima. Lihat, Zhafar Ahmad al-Usmani at-Thahanawi, al-Qawa’id  fi Ulum al-Hadis, (Beirut: Maktabah  al-Matba’ah al-Islamiah, tth.), h. 229
[14]Muhammad Musthafa al-A’dzami, Dirasat Fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikhi Tadwinih, ibid..
[15]Akram  Dliya’ al-‘Umari, Buhuts fi Tarikh as-Sunah al-Musyrifat, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1405 H/ 1984 M), cet. ke-4, h. 47.
[16]Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Hiadayah, 1995), h. 98.
[17]Abu ‘Amr Usman  bin  Abdurrahman  bin as-Shalah (w. 643 H.), Ulum al-Hadis, (Madinah: Al-Maktabah al’Ilmiah, 1972), h. 10. Definisi hadis shahih yang dikemukakan, sbb.:
أما الحد يث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه ولايكون شاذا ولامعللا.
[18]Abu Zakariya Yahya bin Syaraf  an-Nawawi, At-Taqrib li An-Nawawi Fan Ushul al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fiqr, tth.), h. 60.
[19]Kutub al-‘Asyrah ini memuat biografi periwayat sepuluh kitab, kutub at-tis’ah plus kitab Muawatha’ Malik, Musnad As-Syafi’i, Musnad Ahmad bin Hambal, dan Musnad  Husain bin Muhammad  yang berisi hadis-hadis riwayat  Abi Hanifah.  Kitab yang merangkum biografi kutub al-‘asyrah ini adalah التذكرة برجال العشرة   karya Muhammad bin Ali Husaini (w. 765 H).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar