Rabu, 14 Mei 2014

PENGERTIAN AL-ASHIL



BAB II
(PEMBAHASAN)
AL-ASHIL

I.                   Pengertianal-ashil
Al-ashil menurut bahasa adalah sesuatu yang memiliki asal yang kuat dalam objek yang dimasukinya.Bisa dikatakan juga bahwa secara bahasa al-ashil adalah segala sesuatu yang memiliki asal usul yang pasti. Bila dikatakan rajulun ashilun hal itu berarti pemuda yg memiliki asal-usul/ silsilah, dan memiliki akal yang tsabit.
Sedangkan menurut istilahnyaal-ashil adalah tafsir yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan As-Sunah, atau pendapat sahabat dan tabi’in atau berdasarkan ijtihad dan ra’yun yang sesuai dengan kaidah bahasa arab dan kaidah syari’ah.[1] Artinya tafsir yang ruh, dan nafasnya bersandarkan Al-Qur’an dan sunah rasul, dan perkataan para sahabat, dan juga para tabi’in.
II.                Macam al-ashil
Syaikh az-Zarkasyi menyatakan bahwa bagi peneliti al-Qur’an terdapat banyak sekali tempat pengambilan suatu penafsiran, akan tetapi yang paling pokok ada empat tempat, yaitu;
1.      Pengambilan dari qaul sahabat
2.      Penukilan dari Rasulullah SAW
3.      Pengambilan dari kemutlakan bahasa
4.      Pengambilan dari makna yang dikehendaki kalam.[2]
Dilihat dari sumber pengambilannya tafsir dibagi menjadi dua: 1). at-tafsirbi al-ma’tsur dan 2). at-tafsir bi al-ra’yi. Oleh sebab al-ashil merupakan metode penelitian tentang sumber pengambilan/landasan dalam penafsiran, maka al-ashil dapat dibagi menjadi dua pula, yaitu; 1). Al-ashil fi al-ma’tsur adalah penafsiran yang penukilannya atau periwayatannya mempunyai sanad yang sahih, dan 2). Al-ashil fi al-ra’yi, yaitu penafsiran yang dihasilkan dari pemikiran yang benar dan ijtihad yang sahih.
III.             Karakteristikal-ashil
A.    Al-ashil fi al-ma’tsur
Karakteristik dari al-ashil ini adalah:
1.      Sumber-sumberpenafsiran merupakan sumber pokok yang aslidan sahih
a.       Tidak berijtihad dalam penafsiran ayat ketika sudah terdapat penafsiran dalam bentuk nash yang sahih
Nash-nash sahih disini adalah; 1). Pokok-pokok penafsiran tersebut kembali pada ayat al-Qur’an, baik nash tersebut dalam satu ayat dengan ayat yang ditafsirkan, atau dilain ayat, hadist sahih, ijma’ sahabat, atau ijma’ para mufasirin. 2). Nash tersebut mampu mengantarkan pada penafsiran ayat, misalnya mengungkapkan nash yang diambilkan dari penafsiran Nabi kemudian dijelaskan oleh mufasir maknanya atau sebaliknya.[3]
Misalnya tentang masalah ar-ru’yah (melihat wajah Allah bagi penduduk surga), aliran muktazilah telah mengingkari adanya hal tersebut meski terdapat nash yang sangat jelas dari sunah, qaul sahabat serta tabi’in bahwa yang dimaksud dari زِيَادَةٌ  dalam ayat لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ adalah melihat wajah Allah SWT, seperti hadist yang terdapat pada kitab sahih muslim yang berbunyi;عَنْ صُهَيْبٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ - قَالَ - يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ - قَالَ - فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَل
Kemudian dilanjutkan dengan hadist yang bunyinya;
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الإِسْنَادِ وَزَادَ ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الآيَةَ (لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ)
Akan tetapi aliran muktazilah tidak mau menerima penafsiran diatas, mereka menakwilkan ayat al-Qur’an dengan mengensampingkan hadis sahih, seperrti al-Qadhi Abdu al-Jabar menafsirkan زِيَادَةٌ dengan makna pahala yang lebih.[4]
b.      Bersandarkan pada riwayat yang sahih
Artinya tidak memakai hadist dha’if bahkan palsu dalam menafsirkan ayat, baik dalam segi riwayat qira’at maupun riwayat penafsiran. Seperti penukilan al-Zamakhsyari terhadap qira’atnya Imam Abi Hanifah terhadap ayat ملك يوم الدين dengan menjadikan ملك sebagai fi’il serta menasabkan يوم , dan qiraat ini menurut Ibnu ‘Athiyah serta Abu Hayan merupakan qira’at yang syazd, maka penafsiran seperti ini bukan merupakan karakteristik al-ashil.
2.      Pengambilan kisah-kisah israiliyat hanya sebagai bukti/pelengkap penafsiran
Israiliyat yang dinukil adalah yang sesuai dengan syari’at Islam. Akan tetapi israiliyat disini hanya sebagai bukti bukan keyakinan, karena syari’at Islam tidak membutuhkan penetapan dari israiliyat tersebut. Dengan demikian bila israiliyat ditemukan di dalam tafsir walaupun itu sesuai dengan syari’at, hal itu tidak bias disebut sebagai penafsiran suatu ayat.[5]
Misalnya seperti ayat وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ (34) , ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim, ats-Tsa’labi, al-Baghawi, as-suyuthi dalam menafsirkan ayat diatas dengan menyebutkan kisah israiliyat, yaitu secara singkatnya disebutkan bahwa “Nabi Sulaiman menikahi perempuan yang menyembah berhala dan hal itu tanpa sepengetahuan Nabi Sulaiman, kemudian ketika mau ke kamar mandi Nabi Sulaiman mencopot cincinnya dan ditipkan pada istrinya, yang dalam cerita ini cincin itu merupakan kunci dari kekuasaanya, kemudian datanglah jin yang menyerupai dengan wajah Nabi Sulaiman kepada istrinya serta mengambil cincin itu kemudian mebuangnya, yang akhirnya cincin tersebut ditemukan lagi di dalam perut ikan”.
Berkenaan dengan hal ini Qadhi Iyadh, Ibnu al-Jauzi, al-Qurthubi, an-Nasafi, Abu Hayan, Ibnu Kastir, al-Alusi, asy-Syinqithi, Abu Syahbah menyatakan tertolaknya kisah tersebut[6]. Maka hal itu bukanlah termasuk dalam katagori tafsir dari suatu ayat.

3.      Tidakdidasarkanpada perasangka dan hikayat-hikayat
Diantara sebab-sebab kekeliruan dalam tafsir adalah penafsiran yang hanya didasarkan kepada kejadian yang tidak bersanad, seperti kisah Tsa’labah bin Hathib[7] yang disebutkan ath-Thabari ketika mengungkapkan asbabun nuzul ayat وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ (75) [8]
4.      Tidak hanya bergantung pada bahasa akan tetapi juga dengan atsar yang sahih
Atsar disini adalah sesuatu yang telah ditetapkan dari Nabi, sahabat, atau salaf as-shaleh setelahnya.[9]
Seperti kritiknya al-Zamakhsyari yang menyatakan salahnya qiraat Imam Hamzah yang mengejarkan lafadz وَالْأَرْحَامَ pada ayat yang berbunyi:وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ , dengan alasan bahasa yaitu dilarangnya meng-’athaf-kan isim dhahir pada isim dhomir. Padahal kita tahu bahwa Imam Hamzah merupakan salah satu Imam Qira’at tujuh yang secara periwayatan adalah mutawatir. Oleh sebab itu maka pendapat yang dilontarkan oleh al-Zamakhsyari dinyatakan ghairu shahih oleh Abu Hayan, dengan melihat ayat yang berbunyi وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ .[10]
B.     Al-ashil fi al-ra’yi
Karakteristik dari macam al-ashil, diantarnya adalah:
1.      Tidak memprioritaskan hanya bergantung pada rasionalitas (akal) dan meninggalkan nash-nash al-Qur’an dan as-Sunah.
Ada beberapa mufassirin baik itu klasik maupun kontemporer, yang menggunakan ke-hujjah-an akal diatas dalil naqli yang sahih. Seperti yang diungkapkan oleh Qadhi Abdu al-Jabar al-Muktazili yang menyatakan “bahwa dalil itu ada empat, pertama hujjahnya akal, kemudian al-Qur’an, kemudian as-Sunah, dan al-Ijma, ma’rifatullah juga harus dengan hujah akal”.[11]
Seperti ta’liq (komentar) yang diungkapkan oleh Muhamad Abduh pada tafsir as-Suyuthi tentang ra’du (petir) terkait ayat yang berbunyi أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ. Muhamad Abduh mengatakan; “di tafsir itu disebutkan bahwa ra’du tersebut dimaknai suara malaikat, sedangkan barq adalah  yang digunakan untuk menggiring awan. Dan seolah-olah malaikat berwujud jism (materi), karena sesuatu yang bisa didengarkan oleh telinga merupakan ciri khas dari alam jism.”
Pada hal as-Suyuti mengambil periwayatan tersebut dari hadist Nabi yang yang terdapat dalam sunan at-Tirmdzi yaitu yang berbunyi;
عن ابن عباس قال : أقبلت يهود إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقالوا يا أبا القاسم أخبرنا عن الرعد ما هو ؟ قال ملك من الملائكة موكل بالسحاب معه مخاريق من نار يسوق بها السحاب حيث شاء الله فقالوا فما هذا الصوت الذي نسمع ؟ قال زجره بالسحاب إذا زجره حتى ينتهي إلى حيث أمر إلخ [12]
Dengan demikian penafsiran as-Suyuti tidak dapat dibantah dengan hanya menggunakan akal saja.
2.      Bebas dari pendapat ahli bid’ah
Ahli bid’ah adalah setiap orang yang berseberangan kepahamannya dengan al-Qur’an dan as-Sunah.
Misalnya seperti ingkarnya sebagian mufasirin akan mampunya jin melihat kita, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Zamahsyari dalam al-Kasyaf bahwa jin tidak mampu melihat dan meperlihatkan kepada manusia, karena penampakannya kepada manusia bukan atas kemampuannya, akan tetapi itu hanya pengakuan yang melihatnya.[13]
3.      Memahami secara konperenship terhadap nash-nashayatsertapemaknaanya
a.       Memahami tentang nasikh mansukh
Pengetahuan tentang nasikh mansukh merupakan syarat dan pokok yang sangat penting dalam upaya penafsiran, karena dengan hal itu mufasir dapat menentukan halal dan haram hukum syari’at. Sebagaimana atsar yang berbunyi;حَدَّثَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَلِىٍّ الْخُسْرَوْجِرْدِىُّ رَحِمَهُ اللَّهُ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الْغِطْرِيفِىُّ أَنْبَأَنَا أَبُو خَلِيفَةَ أَنْبَأَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ شُعْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو حَصِينٍ عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِىِّ : أَنَّ عَلِيًّا رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أَتَى عَلَى قَاضٍ فَقَالَ لَهُ هَلْ تَعْلَمُ النَّاسِخَ مِنَ الْمَنْسُوخِ؟ قَالَ : لاَ. قَالَ : هَلَكْتَ وَأَهْلَكْتَ.[14]
Diantaranya adalah mengetahui bahwa diantara syarat dari pada nasikh adalah hukum tersebut berkaitan dengan hukum syariat bukan khabar, seperti ayatثُلَّةٌ مِنَ الْأَوَّلِينَ (39) وَثُلَّةٌ مِنَ الْآخِرِينَ (40), ayat ini tidak bisa dikatakan telah menasakh ayat, ثُلَّةٌ مِنَ الْأَوَّلِينَ (13) وَقَلِيلٌ مِنَ الْآخِرِينَ (14), sebagaimana yang disangka oleh Muqatil bin Sulaiman.[15]
b.      Dalam pengambilan makna suatu ayat disesuikan dengan pokok yang dikehendaki ayat
Misalnya menafsirkan ayat dengan berpegang kepada takwilan yang salah, sepreti penafsiran syi’ah rafidhah terhadap ayat اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6),  yang dimakani dengan amirul mukmini, dan pengetahuan Imam.[16]  Seperti penafsiran ayat الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (5) , Qadhi Abdu al-Jabar memaknai dengan menguasai, layaknya penguasaan khalifah atas Iraq. Berkenaan dengan hal ini syaikh Abd al-Qadir al-Jailani berkomentar bahwa sebaiknya istilah istawa dibiarkan saja tanpa ditakwilkan, dan sesungguhnya hal itu adalah istawanya Dzat atas arsy bukan berarti bermakna duduk sebagaimana pendapat kaum mujassimah, bukan bermakna Luhur dan tinggi sebagaimana pendapat Asy’ariyah, atau bermakna menguasai sebaimana pendapat muktazilah, karena tidak ada riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mengatakan hal itu.[17]
c.       Berpegang kepada nukilan kitab tafsir disertai ijtihad untuk mebedakan antara yang benar dan salah
Misalnya penafsiran ayat  وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا (37), dengan berdasarkan riwayat yang cacat atas kisah istri Nabi yang bernama Zainab binti Jakhsy  oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dari riwayat Qatadah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Riwayat itu mengisahkan bahwa ketika suatu hari Rasul berkunjung ke rumah Zaid bin Haritsah beliau tidak berjumpa dengannya, kemudian Zainab keluar menemui Rasul, dan kemudian ketika Rasul melihatnya maka beliau terkesima dan jatuh hati atas kecantikannya dst.
Padahal bila dilihat dari siyaq ayat bahwa Allah menegur Rasul atas ucapannyaأَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ  kepada Zaid, setelah diberitahu Allah bahwa Zainab akan menjadi istrinya, karena Rasul takut bila dikatan orang bahwa beliau telah menikahi istri anaknya. Qarinah ini menujukkan bantahan bila ada suatu klaim bahwa Rasul ada hati dengan Zainab. Kisah ini diriwayatkan oleh Qatadah, Ali bin Husain dan yang lainnya.[18]
4.      Terbebasnya penafsiran dari fanatisme
Diantara fanatisme itu misalnya;
a.       Fanatisme mazhab dan siyasah
Fanatisme disini baik dalam aqidah, fiqih, atau siyasah (politik). Dalam bidang aqidah misalnya penafsiran syi’ah rafidhah terhadap ayat وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (1) وَطُورِ سِينِينَ (2), lafadz وَالتِّينِ dimaknai dengan Rasulullah, kemudian lafadz وَالزَّيْتُونِ dengan amirul mukminin dan lafadz  وَطُورِ سِينِينَ diartikan Hasan Husain.[19]
Dalam bidang fiqih misalnya tentang pelarangan orang Musyrik masuk ke Masjid al-Haram terkait ayat,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (28). Ahli Madinah memakanainya bahwa larangan masuknya tersebut bagi setiap orang Musyrik atas semua Masjid. Akan tetapi asy-Syafi’I berpendapat hanya Masjid al-Haram saja, mengingat ada riwayat al-Bukhari yang menceritakan tentang seorang musyrik bernamaTsamamah bin Atsal bin an-Nu’man pernah berada di Masjid an-Nabawi. Hal ini menunjukkan kekuatan penafsiran asy-Syafi’i, meskipun Ibnu Arabi dan al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan bantahan terkait riwayat diatas[20] sebagaimana mazabnya bahwa larangan tersebut atas semua masjid bukanhanya Masjid al-Haram.[21]
b.      Tuntutan pembaharuan dan perkembangan zaman
Seperti pemikiran pembaharu yang menyatakan bahwa kebahagiaan dunia akhirat cukup beriman kepada Allah dan hari kiamat tanpa beriman kepada Rasul, buktinya kemajuan teknologi, kemakmuran serta kemajuan sains menurutnya merupakan hasil dari pemikiran dan penafsirannya. Untuk itu mereka bercita-cita untuk menyatukan antara Barat dengan Islam dalam satu agama, dengan memakai ayat إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) , hal ini merupakan penafsiran yang jauh dari karakteristik al-ashil.
5.      Terpenuhinya syarat-syarat dalam penafsiran
Diantaranya adalah:
a.       Mampu menerapakan kaidah tarjih
Diantara kaidah-kaidah itu adalah:
1.      Makna qiraat mutawatirah lebih unggul dari pada qiraah yang syadz, misalnya penafsiran yang menyatakan bahwa sa’i hukumnya sunah, berlandaskan qiraat syadz yaitu فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَطَّوَّفَ بِهِمَا  yang terdapat pada ayat إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (158)
2.      Bila hakikat syari’at berbeda dengan hakikat bahasa maka didahulukan syari’atnya, misalnya, perbedaan pendapat tentang penafsiran lafadz الزَّكَاةَ, pada ayat الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ (7), sebagian ada yang memaknai secara bahasa yaitu mensucikan diri dengan keta’atan dan sebagian yang lain memaknainya dengan hakikat syar’at yaitu membayar zakat. Oleh karena itu menurut kaidah ini yang dipakai adalah pendapat yang kedua, dst.
b.      Tidak meninggalkan pendapat salaf as-shaleh
Bukan seperti yang dilakukan oleh kaum khawarij, karena berlandaskan ayat إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ , mereka akhirnya ingkar sunah, melawan pemerintahan kaum muslimin dan mengkafirkannya, karena menganggap bahwa Ali telah berhukum atas makhluk. Padahal bila mereka tetap berupaya memakai atau tidak meninggalkan manhaj sahabat, mereka tidak akan sesat.[22]


BAB III
(PENUTUP)
KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa al-ashil dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu;
I.                   Al-Ashil fi al-Ma’tsur
Yaitu penafsiran yang penukilannya atau periwayatannya mempunyai sanad yang sahih, baik penafsiran itu sanadnya langsung dari Rasul, sahabat atau salaf as-shaleh setelahnya. Diantara karakteristiknya adalah; terpelihara dari hadist maudhu’, tiada pertentangan antara pendapat sahabat atau tabi’in dengan al-Qur’an dan Hadist.
II.                Al-Ashil fi al-Ra’yi
Yaitu penafsiran yang dihasilkan dari pemikiran yang benar dan ijtihad yang sahih. Karena beberapa sebab yang mendukungnya, antara lain: mempunyai ilmu-ilmu yang disyaratkan bagi seorang mufasir seperti; menguasai qanun dan kaidah bahasa arab, mengetahui ushul ad-din dan syari’at, dan terbebas dari fanatisme dari golongan yang menentang ahlu as-sunah atau yang lainnya.






DAFTAR PUSTAKA

A.    Kitab at-Turast
1.      Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an; Dar al-Hadist, Kairo, 2006 M
2.      As-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an; Dar al-Fikr, Beirut, 2008 M
3.      Husain adz-Dzahabi, al-Ittijihat al-Munharifah fi Tafsir al-Quran al-Karim; Dar al-I’tisham, Kuwait, 1978 M
4.      PSQ dan IAAI Indonesia, Modul Daurah Bidayah al-Mufasir

B.     Kitab PDF
1.      Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, Asbab al-Khataha’ fi at-Tafsir: Dar Ibnu al-Jauzi
2.      Ihsan al-Amin, Manhaj an-Naqdhi fi at-Tafsir; Dar al-Hadi, Libanon, 2007 M
3.      Husain bin Ali bin Husain al-Harbi, Qawaid Tarjih inda al-Mufasirin; Dar al-Qasimi, Riyadh, 1996 M

C.     Kitab Makatabah Syamilah
1.      Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
2.      Al-Zamahsyari, al-Kasyf
3.      Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
4.      Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra


Pertanyaan
1. al’ashil bi ra’yi tidak panatik, maksudnya panatik yg bgmn,padahal mereka pasti berpanatik?
2. cara untuk mencounter
3. tafsir yang benar-benar tafsir


[1]. PSQ dan IAAI Indonesia, Modul Daurah Bidayah al-Mufasir, hal. 83
[2] . az-Zarkasyi. al-Burhan fi Ulum al-Qur’an: Dar al-Hadist, Kairo, 2006 M., hal. 421
[3]. Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 89-90
[4]. Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 96-99
[5]. Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 162
[6]. Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 184
[7] . محمد بن سعد قال، حدثني أبي قال، حدثني عمي قال، حدثني أبي، عن أبيه، عن ابن عباس قوله:(ومنهم من عاهد الله لئن آتانا من فضله)، الآية، وذلك أن رجلا يقال له: "ثعلبة بن حاطب"، من الأنصار، أتى مجلسًا فأشهدهم فقال: لئن آتاني الله من فضله، آتيت منه كل ذي حقٍّ حقه، وتصدّقت منه، ووصلت منه القرابة! فابتلاه الله فآتاه من فضله، فأخلف الله ما وعدَه، وأغضبَ الله بما أخلفَ ما وعده. فقصّ الله شأنه في القرآن:(ومنهم من عاهد الله)، الآية، إلى قوله:(يكذبون)
[8]. Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 213
[9]. Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 217
[10] . Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 225
[11] . Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal.306-307
[12] . Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 315
[13] . وفيه دليل بَيِّنٌ أن الجنّ لا يرون ولا يظهرون للإنس ، وأن أظهارهم أنفسهم ليس في استطاعتهم ، وأن زعم من يدّعي رؤيتهم زور ومخرقة
[14] . al-Baihaqi, Sunan al-Kubra,KitabAdab al-Qadhi Bab IstmuMan Afta au Qadha bi al-Jahli
[15] . Ihsan al-Amin, Manhaj an-Naqdhi fi at-Tafsir; Dar al-Hadi, Libanon, 2007 M., hal. 319
[16] . Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 465
[17] . Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 434
[18]. Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 607
[19] . Husain bin Ali bin Husain al-Harbi, Qawaid Tarjih inda al-Mufasirin; Dar al-Qasimi, Riyadh, 1996 M., hal. 358
[20]. فقد ربط النبي صلى الله عليه و سلم ثمامة في المسجد وهو مشرك قيل له : أجاب علماؤنا عن هذا الحديث - وإن كان صحيحا - بأجوبة : أحدها - أنه كان متقدما على نزول الآية,  الثاني - أن النبي صلى الله عليه و سلم كان قد علم بإسلامه فلذلك ربطه
[21]. Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub, asbab al-khataha’ fi at-tafsir, hal. 664
[22] . Thohir Mahmud Muhamad Ya’qub,asbab al-khataha’ fi at-tafsir: Dar Ibnu al-Jauzi, hal. 977

Tidak ada komentar:

Posting Komentar