Jumat, 30 Mei 2014

TAFSIR AL-BAYANI LI AL-QUR’AN AL-KARIM BINTI SYATI



TAFSIR AL-BAYANI LI AL-QURAN AL-KARIM



Pembimbing:
DR. KH Ahmad Dimyari B

Oleh:
Makmun Rasyid
Ahmad Toha
Syamsu Duha






SEKOLAH TINGGI KULLIYATUL QURAN AL-HIKAM


Jln. H. Amat, No. 21, Rt/Rw. 006/01, Kel. Kukusan, Kec. Beji, Depok, Jawa Barat


Fax. (021) 9835052


Kata Pengantar


Syukur Alhamdulillah pemakalah memanjatkan puja-puji kepada Allah Swt yang telah memberi rahmat serta jalan yang lurus kepada pemakalah berupa nikmat kesehatan yang mengatarkan pemakalah mampu menyelesaikan tugas makalah ini dan karunia dari-Nya yang tidak terhingga, baik berupa karunia akal pikiran yang menjadikan manusia bisa berkreasi dan berinovasi serta mampu mengamalkan norma-norma ajaran yang dibawa oleh kanjeng Nabi Muhammad Saw, terlebih dengan selesainya tulisan kami yang berjudul “Tafsir al-Bayani al-Qur’an al-Karim”. Shalawat dan salam, keberkahan semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad Saw kepada keluarganya para sahabatnya hingga sampai kepada kita sebagai umatnya.
Selanjutnya, makalah yang berjudul “Tafsir al-Bayani al-Qur’an al-Karim” ini merupakan aktualisasi dari penulis dalam memenuhi tugas pada mata kuliah. Pemakalah menyadari akan kekhilafan dan kekurangan dalam pembahasan atau dalam penuturan bahasanya. Oleh karenanya, penulis berharap sumbangan kritik yang konstruktif-normatif dari para pembaca demi perbaikan di masa yang akan datang.
Demikianlah sekapur sirih dari kami, atas partisipasinya dan keikutsertaan dalam kritik, saran dan masukan, guna memperkaya ide mengenai judi dalam pandangan Islam khususnya Al-Qur’an, semoga Allah Swt senantiasa memberikan imbalan yang setimpal. Sekian dan terima kasih.

 
BAB I
1.            Defenisi
Kataالبلاغي  berasal dari kata البلاغة yang mendapat tambahan ya’ nisbat. Menurut bahasa makna kata “Balaghah” adalah sampai dan selesai. Seperti contoh: بلغ فلان مراده artinya “Fulan sampai pada keinginannya”.
Sedangkang menurut istilah adalah
تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة فصيحة, لها في النفس أثر خلاب مع ملاءمة كل كلام للموطن الذي يقال فيه,والأشخاص الذين يخاطبون
“Mengungkapkan makna yang indah yang jelas dengan ungkapan yang benar dan fashih, yang mempunyai dampak pada diri seseorang, disertai dengan kesesuaiannya pada kondisi dan orang yang diajak bicara.[1]
Setelah mengetahui makna Balaghah dari segi bahasa dan istilahnya, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir balaghi adalah menafsirkan Al-Qur’an yang menekankan pada pembahasan yang mengandung ungkapan sebuah keindahan bahasa, atau sastra.
2.            Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Balaghah
Hampir kebanyakan kitab-kitab Balaghah yang berada di tangan-tangan pelajar pada era modern ini sepakat bahwa pembagian ilmu balaghah ada tiga: ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’.
Sebelum turunnya Al-Qur’an sampai masa islam yang pertama, balaghah ditinjau dari dzauq/ rasanya. Disertai dengan ungkapan yang indah. Orang-orang Arab pada masa jahiliyyah memiliki posisi yang tinggi dari ilmu balaghah dan Bayan. Diriwayatkan bahwa Walid bin Mughirah adalah salah satu orang yang sangat memusuhi Rasulullah saw.ketika mendengarkan ayat alqur’an ia berkata: “demi Allah sungguh aku telah mendengar dari Muhammad sebuah perkataan yang seperti bukan perkataan manusia dan jin, sesungguhnya perkataan itu memiliki rasa manis (enak didengar)”.
Ketika penyebaran Islam sudah semakin meluas, orang arab sudah berbaur dengan orang selain mereka, dan melemahnya berpegangan pada dzauq/ rasa, maka tentunya harus dibuatkan sebuah kaidah-kaidah. Maka Abu ‘Ubaidah salah seorang yang meletakkan kaidah dengan nama “Majaz al-Qur’an”.
Kemudian datang orang yang namanya “Jahidh”, Allah menganugrahinya kecerdasan sehingga ia memiliki keluasan ilmu tentang kebudayaan. Disusul kemudian Ibnu Qutaibah[2], Ibnu al Mu’taz[3] yang mengarang kitab “Al-badi’”. Kemudian Ibnu Qudamah[4], disusul oleh Ar Rummani[5] kitab karanganya “ An Naktu Fi I’jazil Qur’an”.
Kemudian  Abdul Qahir Al Jurjani pengarang kitab “Dalailul I’jaz” dan “Asrarul Balaghah” sampai pada masa Az Zamakhsyari, seorang mufassir yang terkenal dengan kitab karangannya “al-Kasysyaf”[6]
Demikian sedikit sejarah singkat perkembangan ilmu balaghah yang sampai sekarang masih terus dikaji di berbagai universitas, baik di Indonesia sendiri atau di luar negeri. Sampai juga pada masa Bintu Syathi’, seorang mufassir dari kalangan perempuan yang sangat giat dalam mencari ilmu sehingga beliau menghasilkan banyak karya, salah satunya  Tafsir al Bayan lil qur’anil Karim, karya monumental beliau yang bercorak balaghi/sastrawi.

  
BAB II
1.            Biografi
Nama asli dari Bintu Syathi’ adalah ‘Aisyah Abdurrahman. Dia dilahirkan di Dumyat sebelah barat Sungai Nil pada tanggal 6 Nopember  1913. Nama itu disandangkan kepadanya karena memang ia dilahirkan di tepian sungai Nil. Jadi, nama itu berarti anak perempuan tepian (sungai). Ia tumbuh kembang di tengah keluarga muslim yang shaleh dan taat mengamalkan ajaran agama. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di kota kelahirannya. Adapun pendidikan tingginya dirampungkan di Universitas Fuad I, Kairo.
Nama Bintu Syathi’ mulai menjadi buah bibir khalayak ramai lantaran studinya tentang sastra Arab dan tafsir Al-Qur’an. Pada tahun 1960-an ia kerap memberi ceramah keagamaan kepada para sarjana di Roma, Aljazair, Baghdad, New Delhi, Kuwait, Rabat, Khartoum, Fez, dan Yerussalem. Pada tahun 1970-an ia dinobatkan sebagai profesor sastra dan bahasa Arab di Universitas ‘Ain Syam, Mesir. Kadang-kadang ia juga diundang sebagai profesor tamu di sejumlah universitas terkemuka, seperti Universitas Umm Durman, Suda, dan Universitas Qarawiyyin, Maroko.[7]
Memang sejak kecil beliau sudah di didik dengan keras, beliau sudah hafal Al-Qur’an pada usia belia. Di Universitas Kairo, Bintu Syathi’ bertemu dengan Amin al-Khulli yang sebagai dosen dan akhirnya menjadi suami beliau. Suaminya merupakan pakar ilmu Tafsir. Selain membimbing dalam keluarga, Amin Khulli, sag suami juga banyak memberikan pengaruh terhadap pemikiran Bintu Syathi. Hal ini terlihat dari corak beberapa tulisan dan pemaparan Bintu Syathi.[8]
2.      Metode Penafsiran Aisyah Bint al-Shati.
Pada kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran, Bint Syathi menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya tersebut mengikuti standarisasi metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen sekaligus Suami tercintanya, Amin al-Kulli. Perlu diketahui, gagasan Amin al-Kulli adalah menciptakan paradigma baru mengenai al- Qur’an, yaitu menjadikan metode sastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya. Metode sastra yang dimaksud adalah pengkajian al-Qur’an dengan dua tahap:
1. Dirasah Min a Haula al-Nass (Kajian seputar al-Quran) Kajian tersebut meliputi kajian khusus dan kajian umum. Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran. Sedangkan kajian umum adalah kajian konteks/situasi, material dan immaterial lingkungan Arab.
2. Dirasah ma fi al-Nass (kajian tentang al-Quran itu sendiri) Kajian ini bermaksud
untuk mencari makna etimologis, terminologis. Semantic yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic dalam satu ayat yang ditafsirkan. Berangkat dari metode yang ditawarkan oleh Amin al-Kulli tersebut, Bint Syathi kemudian menetapkan metode penafsirannya sebagai berikut.
Bintu Syathi sangat terpengaruh gaya sang guru yang juga pendamping hidupnya, Amin al-Khulli. Karakteristik khusus yang membedakan cara pandang Bint al-Shati’ dengan mufasir lainnya adalah bahwa dia lebih menonjolkan segi sastra. Pendekatan yang beliau pakai yaitu dengan menggunakan metode semantik, metode yang berbasis pada analisa teks. Metode penafsiran yang digunakan Bint al-Shati’ dalam menafsirkan ayat al-Qur’an yaitu metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah, yaitu metode yang mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada di dekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan. Langkah pertamanya yaitu dengan mengumpulkan kata dan penggunaannya dalam beberapa ayat al-Qur’an untuk mengetahui penjelasan apa saja yang terkait dengan sebuah kata yang ditafsirkan atau diberi penjelasan. Secara garis besar metodologi kajian ini disimpulkan dalam empat pokok pikiran.
Pertama: mengumpulkan unsur- unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat. Untuk dipelajari secara tematik. Dalam tafsir ini beliau tidak memakai metode kajian tematik murni seperti itu. Namun dengan pengembangan induktif (istiqra’i). Mula- mula beliau gambarkan ruh sastra tematik secara umum. Kemudian merincinya per-ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlily (analitik) yang cenderung menggunakan maqtha’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini beliau membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Kadang menyebut jumlah kata, adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggnaannya, terakhir beliau simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.
Kedua: memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai turunnya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan diturunkannya ayatayat al-Qur’an pada waktu itu. Dikorelasikan dengan studi asbab al-Nuzul. Meskipun beliau tetap menegaskan kaidah al-Ibrah Bi ’Umum al-Lafadz La Bi al-Khusus al-Sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafadz bukan dengan kekhususan sebab- sebab turun ayat).
Ketiga: memahami dalalah al-Lafadz. Maksudnya, indikasi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz al-Qur’an, apakah dipahami sebagaimana dhahirnyaataukah mengandung arti majaz dengan berbagai macam klasifikasinya. Kemudian ditadabburi dengan hubungan-hubungan kalimat khusus dalam satu surat. Setelah itu mengkorelasikannya dengan hubungan kalimat secara umum dalam al-Qur’an.
Keempat: memahami rahasia ta’bir dalam al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks kajian sastra, dengan mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa pentakwilan yang ada di beberapa buku tafsir yang mu’tamad tanpa mengkesampingkan kajian gramatikal arab (i’rab) dan kajian balaghahnya.[9]
Sastra tematik yang dimaksud di sini adalah corak tafsir kontekstual yang menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhu’i ‘am). Pengkajiannya dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Beliau tidak mengambil seluruh surat dalam al-Qur’an. Namun, beberapa surat pendek saja di juz amma pada buku pertama: Adh- Dluha, Asy-Syarh, Az- Zalzalah, Al-Adiyat, An-Nazi’at, Al-Balad, dan At-Takatsur. Dan tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua: Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr, Al-Lail, Al- Fajr, Al-humazah, dan Al-Ma’un.
3.                       Prinsip-Prinsip Metodologis Bintu Syathi’
Pencapaian prestasi Bintu Syathi’ tidak bisa dilepaskan dari sosok Amin Al-Khulli, guru sekaligus suaminya. Bahkan ia mengakui bahwa metode yang digunakannya terilhami dari Al-Khulli. Berikut ini prinsip-prinsip metodologis Bintu Syathi’ dalam menafsirkan Al-Qur’an:
Pertama, prinsip “sebagian ayat Al-Qur’an menafsiri sebagian ayat lain”. Bertumpu pada prinsip ini, ia telaten melacak makna suatu ayat dalam ayat-ayat lain.
Kedua, prinsip Munasabah. Artinya, mengaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat-ayat di dekatnya, bahkan sangat mungkin dengan kata atau ayat yang jauh dari kata atau ayat yang sedang ditafsirkan.
Ketiga, prinsip al-‘ibratu bi ‘umum al-lafdhi la bi khusus as-sabab. Artinya, pertimbangan dalam menentukan suatu masalah itu berdasarkan pada redaksi dalil (Al-Qur’an dan Hadis) yang berlaku umum bukan berdasar atas sebab khusus lahirnya dalil tersebut.
Keempat, prinsip bahwa setiap kata dalam bahasa arab Al-Qur’an tidak mengandung sinonimitas (mutaradif). Satu kata hanya mempunyai satu makna. Seandainya ada orang yang mencoba menggantikan suatu kata dari Al-Qur’an dengan kata lain, maka Al-Qur’an bisa kehilangan efektivitas, ketepatan, esensi, dan keindahannya. Tidak ada satu kata pun dalam Al-Qur’an yang bisa di tukar dengan kata lain.[10]
4.                       Corak Penafsiran
Tafsir al-Qur’an merupakan ilmu yang sangat penting dalam litelatur Islam. Karena dari sinilah sebuah teks yang tidak bernyawa akan berbicara dan memposisikan dirinya sebagai kitab petunjuk. Pesan yang disampaikan dalam al-Qur’an akan menjadi sebuah hal yang sangat relatif ketika diintepretasikan oleh beberapa corak pemikiran yang berbeda. Seiiring dengan berkembangnya zaman dan semakin luasnya ilmu yang dikuasai umat Islam, maka hal ini menyebabkan pergeseran metodologi dalam intepretasi al-Qur’an. Para ulama zaman dahulu mengklasifikasikan metode tafsir secara global menjadi 2 macam, yaitu;
1. Tafsir bil ma’tsur (analisa teks Al Qur’an dengan berpedoman pada teks lain, AlQur’an dan Hadits. Corak metode tafsir seperti ini banyak kita dapatkan dalam
tafsir Thabary.
2. Tafsir bi ra’yi (analisa teks dengan berpedoman pada akal). Corak metode ini banyak kita dapati dalam tafsir Al Kasyyâf, Mafâtihul Ghaib, Al Mannâr.
Penggolongan metode tafsir menjadi 2 tersebut saat ini dipandang kurang relevan dan terkesan kaku. Maka dari itu para pakar tafsir kontemporer mencoba mencari alternatif lain yang lebih simpel dan sistematis. Dr. Abdul Jabar Ar Rifa’i, menyebutkan ada 4 teori dalam studi tafsir kontemporer:
Tafsir ‘Ilmi (analisa ilmiah terhadap ayat-ayat yang terkandung dalam Al Qur’an dengan menghubungkan dengan fenomena alam yang terjadi). Contoh; Tafsir Jawâhirul Qur’an milik Imam Ghazali, al Burhân Fi Ulûmil Qur’an milik Zarkasyi.
Tafsir Madhu’i (analisa sebuah teks dengan menghimpun satu kesatuan tema di dalamnya). Contoh; Ad Dustûr Al Qur’ani Fi Syu’ûnil Hayât milik Muhammad ‘Izzat Darwizah, Tafsir Ayat Riba milik Sayyid Qutb, Al Qur’an Wal Mujtama’ milik Mahmud Syaltut.
Tafsir Ijtimâi (analisa teks dengan pendekatan sosiologi dan fakta sosial yang terjadi). Contoh; Tahrîr Wa Tanwîr milik Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafhîmul Qur’an milik Abu A’la al Maududi.
Tafsir Adabi (analisa teks dengan mengungkap sisi sastra yang terkandung didalamnya. Metode ini lebih cenderung kepada metode kritis dalam memahami Al Qur’an) Contohnya; Tafsir Bayani Lil Qur’anil Karim milik Aisyah Abdurrahman atau Bint al-Shati’. Tafsir Adabi (tafsir sastra) yang barang kali akhir-akhir ini banyak digandrungi oleh banyak orang. Basis metode ini mulai diperkenalkan Amin Khuli, seorang intelektual Mesir dan dosen adab di Universitas Cairo. Sosok inilah yang dikenal kuat mempengaruhi corak penafsiran generasi selanjutnya, seperti Ahmad Khalfallah, Nasr Hamid Abu Zayd, Aisyah Abdurrahman atau Bint Shati’. Dari ketiga penerus beliau ini, Bint Shati’-lah yang pemikirannya secara luar dikonsumsi publik. Selain berbasis metode analisa teks, Bint Shati’ dikenal sangat memperhatikan sisi normatif dan tidak terlepas dari sisi ilmiah.
5.      Keistimewaan Dan Kelemahan Tafsir al-Bayani
Dalam kaitannya mempelajari, memahami dan mengkaji al-Qur’an, kita mengenal adaempat metode tafsir,[11] meliputi metode tahlili, ijmal, maudhu’i,dan muqaran. Namun dari keempat metode diatas yang paling populer digunakan dalam menafsirkan adalah metode tahlili[12]dan maudhu'i.[13] Namun saat ini telah banyak metode yangditawarkan oleh berbagai mufasir, kesemuanya itu merupakan perangkat pendukung untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam teks-teks al-Qur’an. Selain itu, karena alasan bahwa bahasa adalah bentuk pemikiran, sedangkan makna adalah kandungannya, adapun realitas eksternal merupakan rujukan maknanya. Ketika kita berbicara kelemahan yang terdapat dalam Tafsir al-Bayan khususnyapada langkah ketiga, jika pemahaman lafaz al-Qur’an harus dikaji lewat pemahamanBahasa Arab yang merupakan bahasa “induknya”, padahal kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti membuka peluang dan menggiring masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam pemahaman al-Qur’an; sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri. Bint al-Shati’ kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu, melainkan lebih pada analisis semantik. Kenyataannya, ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan lafazh-lafazh yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantik). Hal ini tampak pada penafsirannya pada surat al-Zalzalah, ia mengumpulkan semua derivasi dari kata al-zilzal, tapi bukan untuk dicari maknanya secara lebih utuh dan komprehensif, melainkan lebih pada analisis semantiknya, untuk mendukung gagasan yang dilontarkan. Di sinilah Bint al-Shati’ banyak menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya. Dengan demikian, meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat bagus dan kompleks, ia tidak dianggap sebagai pencetus metode tematik.
6.      Contoh Penafsiran Aisyah Bint al-Shati
Mengenai sumpah-sumpah yang terdapat di dalam al-Qur'an yang diawali dengan waw al-Qasam - Bint al-Syati' menolak pendapat bahwa semua itu - seperti kebanyakan kitab tafsir - menandakan pemuliaan obyek sumpah. Bint al-Syati’ meyakini bahwa sumpah Qur’ani adalah hanya salah satu alat retoris yang digunakan untuk menarik perhatian terhadap suatu hal lewat fenomena nyata untuk memperkenalkan hal-hal lain yang tak terjangkau oleh akal. Oleh karena itu pilihan objek sumpah dalam al-Qur’an sesuai dengan situasi dan kondisi. Bint al-Syati’ memberikan gambaran dari berbagai surah-surah yang dipilihnya sebagai objek seperti ketika Allah bersumpah demi waktu pada surah al-‘Asr, duha, demi siang, demi waktu malam, dan lain sebagainya. Ia menjelaskan bahwa waktu pagi dan siang adalah merepresentasikan makna petunjuk (hidayah) dan kebenaran (al-Haq). Sedangkan malam merepresentasikan makna kesalahan dan dusta.
Seseorang dapat terpukau terpesona ketika mendengar alunan ayat-ayat al-Qur’an. Seperti yang digambarkan oleh cendikiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam TheMeaning of Gloriuos Qur’an: “al-Qur’an mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita” Inilah yang dinamakan fawasil yang mengandung sajak dalam al-Qur’an. Mayoritas ulama sependapat bahwa dalam al-Qur’an mengandung sajak. Hanya saja mereka berbeda pendapat apakah al-Qur'an terikat dengan formulasi dan bentuk sajak dengan mengabaikan sisi makna atau sebaliknya, memegang makna dengan mengabaikan sajak. Bint al-Shati’ memposisikan dirinya pada pendapat kedua. Bint al-Shati tatkala menafsirkan surah al-Duha dengan mengabaikannya kata ganti (dhamir) ‘ka’ sebagai objek dari fi’il qala , menolak argumen prosodik (argumen yang berkaitan dengan hal-hal irama-sajak) sehubungan dengan terabaikannya dhamir ‘ka’. Argumen ini dipegangi oleh al-Naysaburi. Berdasarkan hasil studi Bint al-Shati’ tentang sajak dalam al-Qur’an, dia percaya bahwa tidak ada lafal di dalam al-Qur'an yang ditemui di mana pun hanya karena alasan prosodik. Ia menyarikan pandangannya: "Perihal alasan terabaikannya dhamir ‘ka’ sehubungan dengan adanya kesan harmonisasi fasilah dengan sajak, kita tidak menerima pandangan bahwa retorika Qur’ani didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan verbal. Yang semestinya adalah tunduk dan menyelaraskan pada makna retoris.
Satu hal penting dari penafsiran Bint al-Shati’ pada ayat 8 surah al-Takatsur berkenaan dengan arti dari kata na'im, adalah bahwa dia mempunyai pemahaman yang berbeda dari makna kata na'im. Tidak ada tafsir yang mengomentari pembedaan antara kata-kata na'im, ni'mah (memberkati) atau ni'am (jamak). Berdasarkan penelitiannya pada kata-kata yang terbangun dari huruf ن-ع-م ia menyatakan bahwa al-Qur'an selalu menghubungkan kata na’im dengan al-Akhirah atau na'im al-Akhirah, dan tidak pernah menggunakannya dengan kata al-Dunnya. Kata ni'mah atau ni'am (jamak), sebaliknya, digunakan untuk menandai adanya bimbingan. Dan pemberkatan dalam ayat terakhir surah al-Takatsur ini berhubungan dengan na'im al-akhirah.
Dan yang tak kalah penting dari pemikirannya yang Menarik untuk dicatat bahwa Bint al-Shati' dalam penyelidikannya atas kata aqsama dan halafa, yang secara umum dianggap sebagai sinonim-sinonim oleh kebanyakan penafsiran, menemukan bahwa kata halafa tidak menginfomasikan makna yang sama seperti kata aqsama dalam pemakaian al-Qur'an. Semua derivasi kata halafa yang dia uji, berlaku dalam al-Qur'an dengan makna sumpah yang akan rusak dan dibuat dengan penuh kesadaran, lebih jauh dari itu kata halafa tidak pernah disandarkan pada Allah.
Bint al-Shati’ tidak sependapat dengan al-Razi yang menganggap kata al-Takatsur adalah sinonim dari al-Tafakhur. Dia menunjukkan bahwa al-Takatsur dan al-Tafakhur yang ditempatkan dalam ayat yang sama dan digabung huruf ‘athaf waw dalam surah al- Hadid ayat 20 yang menurut metodenya, ternyata tidak mengindikasikan sinonimitas.
7.     Huruf Muqatha’ah dalam Fawatihussuwar (surat-surat pembuka)
Menurutnya, wacana huruf muqatha’ah dalam konteks ­al-ijaz al-bayani akan lebih tepat ketika huruf-huruf tersebut diperlakukan sebagai huruf. Huruf-huruf muqatha’ah disebutkan untuk menunjukkan bahwa al-Quran disusun dari huruf hijaiyyah. Huruf hijaiyyah yang dirangkai menjadi kata, kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah kitab suci bernama al-Quran. Hanya sesederhana itu dan tidak perlu penafsiran yang macam-macam. Huruf-huruf tersebut juga menunjukkan kepada masyarakat Arab bahwa al-Quran diturunkan dengan bahasa ibu serta dengan huruf-huruf seperti yang mereka kenali dalam bahasa sehari-hari dan menjadi bukti kelemahan mereka yang tetap tidak bisa menjawab tantangan Allah untuk membuat sebuah karya tulis seperti al-Quran. Huruf-huruf muqatha’ah itu diucapkan menyendiri dan terpotong, oleh karenanya huruf-huruf tersebut tidak dapat memberikan makna atau petunjuk apapun. Bahkan hampir tidak keluar tanpa suara. Kemudian, ketika huruf-huruf tersebut mengambil posisi yang setara dengan satu kata dalam retorika bahasa al-Quran, maka terkuaklah rahasia besarnya.[14]
Surah al-Quran terdapat 114, dari semuanya terdapat 26 surah Makkiah dan 3 surah Madaniyah yang dimulai dengan huruf muqatha’ah. Adapun surah-surah Makkiah yang diawali dengan huruf muqatha’ah sesuai dengan urutan waktu turun, adalah:
Al-Qalam (nun), Qaf,Shad, al-A’raf (alif lam mim shad), Yasin, Maryam (Kaf Ha Ya Ain Shad), Thaha, al-Syu’ara (Tha Sin Mim), al-Naml(Tha Sin), al-Qashash (Tha Sin Mim), Yunus (Alif Lam Ra), Hud (Alif Lam Ra), Yusuf (Alif Lam Ra), al-Hijr (Alif Lam Ra), Luqman (Alif Lam Mim), Ghafir dan Fushilat (Ha Mim), al-Syura (Ha Mim Ain Sin Qaf), al-Zukhruf (Ha Mim), al-Dukhan (Ha Mim), al-Jatsiyah (Ha Mim), al-Ahqaf (Ha Mim), Ibrahim (Alif Lam Ra), al-Sajdah (Alif Lam Mim), al-Rum (Alif Lam Mim) dan al-Ankabut (Alif Lam Mim).
Sedangkan surah-surah Madaniyah adalah al-Baqarah, Ali Imran (Alif Lam Mim) dan al-Ra’d (Alif Lam Mim Ra’).[15] Dari penelitiannya tersebut, Bint Syathi menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Fawatih dimulai surah al-Qalam yang menunjukkan rahasia huruf. Kemudian bertambah banyak dan datang beruntun pada pertengahan periode Makkiah-dari surah Qaf yang menempati urutan ke-34 hingga surah al-Qashash yang menempati urutan ke-49.
2.      Setiap surah dalam al-Quran yang dimulai dengan huruf muqatha’ah, mengandung pembuktian kebenaran al-Quran, penegasan al-Quran adalah Firman Allah dan jawaban atas yang menentangnya. Selain itu, terdapat penyerupaan dengan kaum terdahulu yang menentangnya, baik dari sikapnya ataupun akhir dari nasib penentangya.
3.      Kebanyakan surah yang diawali dengan muqatha’ah diturunkan ketika serangan orang-orang musyrik  mencapai puncaknya.[16]
Kesimpulannya, Fawatih dengan muqatha’ah adalah bagian ijaz al-Quran  karena dengan ijaz al-Quran tersebut, yang terdiri dari hanya beberapa huruf hijaiyyah sudah bisa membungkam para kaum penentang yang meragukan al-Quran adalah Firman Allah. Sebuah huruf yang mengandung beberapa makna dan salah satu makna yang diyakini para ulama adalah Fawatih dengan muqatha’ah mengandung nama Allah maha Agung. Pendapat tersebut terlihat ketika Bint Syathi menafsirkan Surah al-Qalam. Al-Qalam sendiri dimulai dengan huruf muqatha’ah, yaitu huruf nun. Setelah memaparkan berbagai pendapat ulama tentang tafsir huruf nun tersebut, Bint Syathi mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan hurufnun menunjukkan keagungan dan rahasianya huruf tersebut, bentuk sumpah dan bukti atas kenabian Muhammad saw serta sebagai bantahan terhadap musuh yang berusaha mendatangkan surah yang sama, itu semua sesuai dengan corak penafsiran yang diikuti dan dikembangkannya.[17]

8.                       Qasam dalam Al-Qur’an
Bint Syathi dalam karyanya, al-Tafsir al-Bayani, memuat empat belas surat yang ditafsirkannya. Dari keempat belas itu, delapan diantaranya mengandung gaya sumpah yang jelas, yaitu al-Dhuha, al-Adiyat, al-Nazi’at, al-Balad, al-Qalam, al-Asr, al-Lail dan al-Fajr. Sedangkan satu surah yang menggunakan qasam samar adalah al-Takatsur. Dengan demikian, kajian qasam prespektif Bint Syathi perlu di apresiasi.
Bint Syathi sendiri tidak mendefinisikan qasam secara eksplisit. Dia sepertinya mengikuti definisi umum yang telah berkembang atau menyimpan definisinya dalam apa yang dikandung dalam pemikirannya. Dia hanya mengungkapkan bahwa tujuan utama dari qasam untuk lit Ta’kid, li al-iqrar’, lil ‘I’dzam (penguat, penetapan, dan mengagungkan).[18] Namun Bint Syathi membedakan antara qasam  dengan  halafQasam menurutnya adalah kata yang mengandung makna sumpah yang tidak akan dilanggar oleh pengucapnya. Sedangkan al-half digunakan khusus pelanggaran atau ingkar terhadap sumpah.[19]
Qasam dalam al-Quran tentunya beraneka ragam bentuknya, begitu pula dengan huruf qasam itu sendiri. Namun penulis membatasi kepada huruf qasam berupa wawu (و).
Menurut Bint Syathi, penggunaan qasam dengan huruf wawu mempunyai dua kategori.Pertama, wawu digunakan untuk lafal Allah atau Rabb. Hanya saja lafal wawu yang disertakan dengan lafal Allah atau Rabb, dua tempat merupakan sumpah yang bukan diungkapkan oleh Allah secara langsung, akan tetapi merupakan rekaman al-Qur’an terhadap sumpah kaum musyrik pada hari kiamat, yakni pada QS al-An’am:
ثم لم تكن فتنتهم إلا أن قالوا والله ربنا ما كنا مشركين
“Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuai mengatakan: demi Allah, Tuhan Kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah”.
........قالوا بلى وربنا...........
……… mereka menjawab: “sungguh benar, demi Tuhan kami”……
Dua ayat tersebut di dalamnya terdapat huruf Qasam, yang pada dasarnya makna dari qasam di atas sebagai Iqrar (penetapan/pengakuan). Sedangkan empat tempat lainnya ditempatkan pada pertengahan pembicaraan, baik itu didahului oleh الفأ  pada QS al-Hijr: 92 dan al-Dzariyat:23, atau فلا pada QS al-Nisa: 65, atau اي pada QS Yunus:53. Pada kondisi inilah qasam dapat berfungsi sebagai penguat, penetapan atau pengagungan, yang merupakan fungsi asli dari wawu qasam.[20]
Kedua, wawu qasam yang berada pada awal kalimat dan awal surah, seluruh subyeknya Allah, seperti al-Dhuha, al-Lail, al-Fajr, al-Nazi’at, al-Adiyat, al-Zariyat, al-Saffat, al-Sama’, al-Tur dan lain sebagainya. Seluruh surah tersebut makiyyah.[21]
Dengan pengkategorian tersebut, Bint Syathi ingin mengatakan bahwa ada tujuan lebih dari pemakaian lafal, qasam atau tempatnya. Para mufassir terdahulu, menafsirkan ayat-ayat dengan menggunakan wawu qasam, seperti penafsiran pada Q.S al-Dhuha:1-2, hanya sebatas kepada keagungan muqsam bih. Mereka berpendapat atas keagungan malam secara mutlak, tidak memandang tingkat kegelapan atau situasi malam yang tersebut pada ayat.[22] Atau Mereka hanya menafsirkan al-dhuha dengan melihat hikmah dari terpilihnya waktu tersebut.
Dengan demikian, para ulama terdahulu melihat fenomena qasam dengan huruf wawu sering mencampur antara keagungan muqsam bih dengan hikmah diciptakannya muqsam bih tersebut. Padahal, menurutnya hikmah penciptaan semua orang sudah mengetahuinya, karena tidak ada ciptaan Allah yang tidak mempunyai hikmah.[23] Itu semua, menurutnya adalah penafsiran yang dipaksakan, dalam artian memaksakan hikmah penciptaan kepada dibalik terpilihnya lafal tersebut menjadi muqsam bih dengan huruf wawu.
Menurut Bint Syathi’, pemakaian wawu qasam memperlihatkan adanya makna yang diinginkan yang keluar dari form lafal tersebut, seperti pemakaian amr dan nahy namun tidak menunjukkan sebuah arti perintah maupun larangan. Wawu qasam seperti dalam Q.S al-Dhuha:1 menunjukkan adanya penekanan perhatian dari hal-hal yang bersifat indrawi atau materil sebagai suatu fenomena alam yang umum diketahui dan tidak ada celah untuk mendebat atau mengingkarinya, untuk persiapan menjelaskan (tautiah idhahiyyah) sesuatu yang maknawi atau hal-hal berbau gaib yang tak tampak yang sering kali menjadi bahan perdebatan yang dijadikan muqsam bih.[24]
Sehingga penafsiran atas al-Dhuha (dan al-Lail) yang menggunakan wawu qasam adalah sebagai berikut: “gambaran bersifat fisik dan realita konkret, yang setiap hari dapat disaksikan manusia ketika cahaya memancar pada dini hari. Kemudian turunnya malam ketika sunyi dan hening;tanpa menganggu sistem alam. Silih bergantunya dua keadaan, dapat menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikiran siapa pun, bahwa langit telah meninggalkan bumi dan menyerahkannya kepada kegelapan dan keganasa setelah cahaya memancar pada waktu dhuha, dan adakah yang lebih merisaukan, jika sesudah wahyu yang menyenangkan, cahayanya menerangi Nabi, datang saat-saat kosong dari wahyu yang terputus. Seperti malam sunyi kita saksikan datang sesudah waktu dhuha yang cahanya gemerlapan”.[25]

9.            Karya-Karya Bintu Syathi’
Adapun karya-karya Bintu Syathi’ sangat banyak, mungkin akan diklasifikasikan menjadi tiga jenis: pertama, tentang Dirasat al-Qur’aniyah wal Islamiyyah (pembelajaran al-Qur’an dan Islam), nama-nama kitabnya adalah:
1.      At Tafsir Al Bayani Lil qur’anil Karim- Juz 1
2.      At Tafsir Al Bayani Lil qur’anil Karim- Juz 2
3.      Al-I’jaz Al Bayani lil qur’ani wa masaili ibni al-Azraq
4.      As-Syakhshiyyah al Islamiyyah- Dirasat Qur’aniyah
5.      Maqal Fil Insan-Dirasat Qur’aniyah
6.      Al-Qur’an wa Qadhayal Insan
7.      Al Qur’an wat Tafsir Al ‘Ashri
8.      Ma’al Mushthafa ‘Alaihi Shalatu Wassalam
9.      Tarajum Sayyidati Baitinnubuwwah-5 Juz
10.  Muqaddimah Ibnu Shalah Fi Ulumil Hadis
11.  Mahasin Al-Ishthilah Lissirajil Balqini
12.  Al Israiliyyat fil Ghazwil Fikri
13.  Qira’atun fi Watsaiqil Baha’iyyah
Kedua, tentang Dirasat Lughawiyyah wal Adabiyyah wat Tarikhiyyah (pembelajaran bahasa, sastra dan sejarah). Di antara kitab-kitabnya antara lain:
14.  Lughatuna Wal Hayah
15.  Mu’jam al Muhkam libni Sayyidah al andalusi
16.  Qayyimun Jadidah lil adab al arabi al qadim wal Mu’ashir
17.  Abul ‘Ala’ al Ma’arri
18.  Al Hayah al Insaniyyah fi Adabi Abi al ‘Ala’ Al-ma’arri
19.  Al Ghufran-pelajaran tentang kritik
20.  Risalatul Ghufran Li Abi al ‘Ala’ Al Ma’arri
21.  Qira’at Jadidah fi Risalatil Ghufran
22.  Ma’a Abi al’Ala’ fi rihlati Hayatihi
23.  Al-Khansa’ as sya’irah al’ Arabiyyah al Ula
24.  As sya’irah al ‘arabiyyah al mu’ashirah
25.  Risalatu ibni alQarih
26.  Risalatu as Shahil was Syahij
27.  Turatsuna baina madli wa Hadlir
28.  Ardhul Mu’jizat-rihlatu fi jairatil ‘Arab
29.  A’daul Basyar-dirasat tarikhiyyah lijawwalatil Ma’rakah
30.  Bainal Insaniyah wa a’daul basyar
31.  Muqadimah fil manhaj
Ketiga, tentang perbuatan-perbuatan yang santun dan pembelajaran tentang sosial. Di antara karya-karyanya adalah:
32.  Ar riful Mishri (1936 M)
33.  Sayidul ‘Azbah
34.  Qadliyyatul falah
35.  Shuwarun min hayatihinn
36.  Imra’atun khathi’ah
37.  Sirru syathi’
38.  ‘alal Jisr[26]






  
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani Lil Qur’anil Karim. Darul Ma’arif. (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968).
Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al bayani lil Qur’an, Darul Ma’arif. Cetakan Ketiga. 1984
Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar dan Rahasia Huruf” dalam Issa J. Boullata, Al-Quran Yang Menakjubkan:Bacaan  Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik,  Terj, Bachrum Dkk (Tangerang:Lentera Hati, 2008)
Saiful Amin Ghofur. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Dr. Muhammad Abdusalam Abu Khuzaim (cucunya bintu Syathi’). Mauqif Bintu Syathi’ min ittijahat at tajdid fi tafsiril qur’anil karim fi Mishr. Darul yasr. Cetakan kedua.2008
Dr. A.M. Hidayatullah, MA. ‘ilm al Balaghah, program studi Bahasa dan sastra Arab Fakultas Adab dan Humanoria UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. 2008
Saiful Bahr, Bintu Syathi’ & aliran sastra tematik, http://saifulesaba.wordpress.com/kajian


[1] . Hidayatullah. ‘ilm al Balaghah, program studi Bahasa dan sastra Arab Fakultas Adab dan Humanoria UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. 2008. Hal: 7
[2] . Nama aslinya Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad dainuri al marwazi. Seorang sastrawan sekaligus penulis, ahli sejarah lahir pada tahun 213 H, dan wafat 276 H.
[3] . Abdullah bin Mu’taz billah, Abul Abbas, seorang sastrawan, penyair. Lahir bulan sya’ban, wafat tahun 296 H
[4] . Qudamah bin Ja’far bin Ziyad, Abul Qasim pemuka penduduk Baghdad. Wafat 319 H.
[5] . Ali bin Isa bin Ali Abu al hasan ar rummani, lahir 296 H dan wafat 384 H.
[6] . Hidayatullah. ‘ilm al Balaghah……….hal 12-14
[7] . Saiful Amin Ghofur. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008. Hal, 187
[8] . Lihat situs http://hambawang.blogspot.com/2009/05/bintu-syathi.html yang ditulis Musyidah Mujahid. Diambil 30-5-2014. Jam 20.03.
[9] Saiful Bahr, Bintu Syathi’ & aliran sastra tematik, http://saifulesaba.wordpress.com/kajian di ambil jam 21.55 WIB tanggal 30-05-2014.
[10] . Saiful Amin Ghofur. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008. Hal, 187
[11] Al-Ashbahani mengatakan bahwa tafsir merupakan hasil karya manusia yang paling mulia. Kemulian sebuah karya adakalanya di lihat dari objeknya, adakalanya dari tujuannya dan adakalanya karena kebutuhan yang mendesak terhadapnya. Hal inilah yang merupakan salah satu ketertarikan AisyahBint al Shati membuat karya tafsir walaupun ia tidak menuntaskan hingga selesai dikarenakan Allah telah memanggilnya.
[12] Metode Tahlili atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajz'iy. Tafsir tahlili adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya,
dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antarpemisah sampai sisi-sisi keterkaitan antarpemisah itu dengan bantuan asbab al-Nuzul, riwayat-riwayat yang bersumber dari
Nabi Muhammad Saw, sahabat,dam tabi'in.
[13] Metode Maudhu'I adalah menghimpun seluruh ayat al-Qur'an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Setelah itu – kalau mungkin – disusun berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali, hasilnya diukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga si mufasir dapat menyajikan tema secara utuh dan sempurna. Lihat Abdul Hayy al-Farmawi,terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu'I Dan Cara Penerapannya, 2002, Penerbit: CV Pustaka Setia, hal. 43-44.
[14] . Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan al-Quran al-Karim Juz II (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968),hlm, 41-43
[15]. Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar dan Rahasia Huruf” dalam Issa J. Boullata, Al-Quran Yang Menakjubkan:Bacaan  Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik,  Terj, Bachrum Dkk (Tangerang:Lentera Hati, 2008), hlm. 291
[16] . Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar…, hlm. 293-294
[17] . Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan…, hlm. 42
[18] . Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al bayani lil Qur’an, Darul Ma’arif hlm. 246-247
[19] . Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al-Bayani…, hlm. 224
[20] . Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 100
[21] . Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 246-247
[22] . Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 24-25
[23] . Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 25
[24] . Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 25-26
[25] . Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm 26
[26] . Muhammad Abdusalam Abu Khuzaim (cucunya bintu Syathi’). Mauqif Bintu Syathi’ min ittijahat at tajdid fi tafsiril qur’anil karim fi Mishr. Darul yasr. Cetakan kedua.2008. hal: 54-56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar