Rabu, 14 Mei 2014

KRITIK HADIS



Bab I
Pendahuluan
a.       Latar belakang
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Dalam sejarahnya, Hadis telah mengalami banyak perkembangan baik dari segi metode penulisan hingga berbagai keilmuan yang lahir darinya. Untuk memahami sebuah Hadis tentu tidak cukup hanya dengan membaca terjemahan dari sebuah Hadis. Selain memahami arti dari Hadis tersebut kita juga harus mengetahui keilmuan yang berkaitan dengan Hadis. Ilmu tersebut nantinya bisa dijadikan sebagai alat untuk mengurai sebuah Hadis sekaligus bisa diketahui apakah sebuah Hadis tersebut bisa dijadikan sebagai dalil dalam syari’ah Islam.
Salah satu dari ilmu Hadis yang dipelajari adalah ilmu kritik Hadis. Ilmu ini sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, namun belum sepenuhnya dijadikan sebagai disiplin ilmu tersendiri. Karena, saat itu jika terjadi keraguan dalam sebuah Hadis para sahabat bisa langsung meminta klarifikasi kepada Rasulullah sendiri. Berbeda dengan setelah masa wafatnya Rasulullah, mereka semakin kesulitan mencari kebenaran sebuah Hadis saat terjadi keraguan di dalamnya.
b.      Rumusan masalah
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas persoalan tentang beberapa hal yang terkait dengan kritik Hadis. Kita perlu mengetahuinya baik dari segi pengertian hingga berbagai hal yang membicarakan sejarah kemunculannya. Selain itu, perlu diketahui bahwa kritik Hadis ini tidak dilakukan oleh kalangan ulama’ Islam saja. Para orientalis juga melakukan hal sama, namun tentu dengan tujuan yang sangat berbeda di antara keduanya. Kritik Hadis yang dilakukan oleh para ulama’ Islam ini bertujuan untuk mencari kebenaran esensial suatu Hadis. Dalam kata lain, kritik tersebut dilakukan untuk menguji kebenaran bahwa suatu Hadis itu benar-benar bersumber dari Rasulullah Saw atau tidak. Lain halnya dengan para orientalis yang melakukan kritik Hadis untuk tujuan yang tidak benar, yakni untuk menggugat eksistensi Hadis sebagai sumber hukum Islam.
c.       Tujuan penulisan
Penulisan ini dilakukan untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah ini. Tentunya sangat diharapkan dari tulisan yang telah kami sajikan ini akan memberikan wacana keilmuan baru bagi semua kalangan pembaca. Sehingga, dapat dipahami secara jelas letak kritik Hadis di dalam agama Islam. Untuk itu, atas kekurangan dan kelebihan yang ada kami sangat mengharapkan tanggapan serta kritikan yang membangun dari segenap pembaca.



Bab II
Kritik Hadis
A.    Pengertian
Kritik Hadis merupakan salah satu cabang dari ilmu Hadis. Ilmu ini telah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Istilah kritik Hadis ini terdiri dua kata yang keduanya berasal dari bahasa arab, yaitu al-Naqdu dan al-Hadis. Al-naqdu berarti kritik dan al-Hadis berarti Hadis Nabi. Sedangkan secara terminologi, kritik Hadis merupakan upaya untuk menyeleksi Hadis agar dapat diketahui kesahihan sebuah Hadis dan ketidak sahihannya.
Ilmu ini berasal dari kalangan ulama’ Islam sendiri. Beliau adalah Imam Abu Hatim al-Razi (w. 327 H) yang telah menyebutkan istilah kritik Hadis dalam kitab al-jarh wa ta’dil. Di dalam kitab tersebut tertulis satu bagian yang berjudul al-naqd wa al-nuqqad (kritik dan para kritikus). Sehingga perlu diketahui bahwa kritik Hadis itu bukan berasal dari kalangan orientalis barat yang cenderung menempatkan kritik Hadis sebagai upaya untuk melecehkan kedudukan dan fungsi Hadis dalam agama Islam. Sehingga, sangatlah tidak benar jika ada yang beranggapan bahwa kritik Hadis ini hanya untuk menjatuhkan kedudukan Hadis sebagai dalil kedua setelah al-Qur’an.[1]
Kritik Hadis ini muncul tentu bukan tanpa alasan. Sehingga, bisa dipastikan ada beberapa faktor yang mendorong para ulama’ untuk melakukan penelitian Hadis. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam
Jika Hadis berkedudukan sebagai sejarah tentang keberadaan dan kehidupan Nabi semata, tentunya perhatian para ulama’ akan lain dengan apa yang ada sekarang. Namun, kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam telah disepakati oleh sebagian besar kalangan ulama’. Sehingga, sangatlah wajar apabila para para ulama’ sangat memperhatikan kemurnian dan kebenaran Hadis.
2.      Hadis tidak secara keseluruhan tertulis pada zaman Nabi
Pada masa Nabi, periwayatan Hadis secara mutawatir dilakukan oleh kalangan minoritas sahabat saja. Bahkan, kebanyakan periwayatan tersebut berlangsung secara ahad. Berbeda dengan periwayatan al-Qur’an yang hampir dilakukan oleh para sahabat secara umum.  Sehingga, yang lebih diutamakan saat itu adalah upaya penjagaan al-Qur’an bagi para sahabat.
3.      Kemunculan pemalsuan Hadis yang semakin banyak terjadi
Sejak zaman Nabi saja, telah terjadi usaha untuk memalsukan Hadis. Apalagi setelah wafatnya beliau, bisa dipastikan bahwa upaya pemalsuan tersebut semakin banyak terjadi di kalangan sahabat. Hal itu disebabkan Hadis Nabi belum terhimpun secara keseluruhan dalam suatu kitab Hadis.
4.      Proses penghimpunan Hadis
Jika sahabat Umar bin Khattab tidak mengurungkan niat untuk menghimpun Hadis dalam suatu kitab, mungkin sudah ada suatu kitab himpunan Hadis saat itu. Namun, karena saat itu Umar takut akan terabaikannya al-Qur’an beliau pun mengurungkan niat tersebut. Dan upaya untuk menghimpun Hadis baru direncanakan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.[2]
Adapun obyek utama dari kritik Hadis meliputi beberapa hal sebagai berikut:
a)      Perawi Hadis
Rawi Hadis adalah Orang yang menyampaikan atau menuliskan Hadis yang diterima dari gurunya dalam suatu kitab. Kritik terhadap periwayatan Hadis ini biasanya berkaitan dengan masalah kualitas pribadi rawi Hadis (‘adalah) dan kapasitas intelektualnya (dlabith).
Kriteria ‘adalah seorang rawi itu meliputi hal-hal sebagai berikut:
-           Beragama Islam
-          Mukallaf
-          Melaksanakan ketentuan agama
-          Memelihara muru’ah
Sedangkan kriteria dlabith pada seorang rawi meliputi dua hal berikut:
-          Kuat ingatan maupun hafalannya
-          Memelihara Hadis baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
b)      Sanad Hadis
Sanad Hadis adalah jalan atau jalur yang menyampaikan kita pada matan Hadis maupun serangkaian para rawi Hadis yang menyampaikannya. Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan hal ini, yaitu musnid, musnad dan isnad. Musnid berarti orang yang menerangkan Hadis dengan menyebutkan sanadnya. Musnad berarti Hadis yang seluruh sanadnya disebutkan sampai kepada Nabi Saw. Sedangkan isnad berarti keterangan atau penjelasan mengenai sanad Hadis atau jalan sandaran suatu Hadis.
c)      Matan Hadis
Matan Hadis adalah materi atau redaksi Hadis yang diriwayatkan dari satu orang ke orang lain. Jika ditinjau dari cara penyampaian Hadis, ada beberapa macam matan yang perlu diketahui. Pertama, matan yang setiap kata atau lafalnya sama persis dengan matan yang ada pada Hadis lain. Kedua, matan yang antara satu matan dengan lainnya terdapat persamaan makna atau isinya tidak pada lafalnya. Ketiga, matan yang antara satu matan Hadis dengan lainnya terdapat perbedaan atau saling bertentangan baik secara lafal maupun maknanya.[3]
B.     Metodologi kritik Hadis
Penelitian terhadap sebuah Hadis sangat penting dilakukan. Ini bukan berarti meragukan kebenaran sabda Nabi tersebut, melainkan dengan cara itu kita akan lebih yakin dalam menentukan kesahihannya untuk dijadikan sebagai dalil hukum syara’. Selain itu, penelitian tersebut dilakukan mengingat para perawi Hadis juga manusia yang adakalanya melakukan kesalahan baik karena lupa atau didorong oleh kepentingan tertentu. Sehingga, keberadaan seorang perawi itu sangat menentukan kualitas Hadis baik dari segi matan maupun sanadnya.[4]
Dalam meneliti Hadis, hal lain yang perlu diketahui adalah tentang metodologinya. Dari metodologi tersebut, akan lebih mudah dideteksi tentang kebenaran sebuah Hadis.  Ada beberapa metode yang patut digunakan dalam meneliti Hadis, antara lain sebagai berikut:
a)      Metode komparatif
Sebelum menerapkan metode ini dalam penelitian Hadis, yang harus dilakukan adalah mengumpulkan sejumlah Hadis yang saling berkaitan. Selanjutnya Hadis-Hadis yang telah ada dibandingkan satu sama lain. Adapun metode ini dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
1.      Membandingkan Hadis-Hadis dari berbagai murid seorang syaikh (guru)
2.      Membandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama’ yang dikeluarkan pada beberapa waktu yang berlainan
3.      Membandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis
4.      Membandingkan Hadis-Hadis dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan
b)      Metode rasional
Metode ini sangat erat kaitannya dengan penalaran terhadap suatu Hadis. Adapun penerapan metode ini dalam kritik Hadis dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu dalam pengkajian Hadis, pengajaran Hadis, penilaian para perawi dan dalam menilai keotentikan Hadis. Namun, dalam menggunakan penalaran tersebut terdapat batasan-batasan tertentu. Sehingga, penalaran tersebut hanya sedikit membantu dalam menerima atau menolak sebuah Hadis. Dalam masalah ini, akal tidak bisa membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran suatu Hadis. Kebenaran itu hanya bias diputuskan melalui saksi-saksi dan para perawi terpercaya.[5]
C.     Kritik Hadis pada zaman Rasulullah Saw
Sejak masa rasulullah telah banyak kritik Hadis yang dilakukan oleh para sahabat. Pengecekan ini bukan karena kecurigaan mereka terhadap pembawa berita (rawi) jika dia berdusta. Namun, Hal ini dilakukan untuk meyakinkan kebenaran suatu Hadis itu memang benar-benar bersumber dari rasulullah.  Sebab, pada saat itu tindakan seperti ini sangatlah sedikit dan cakupannya yang sangat terbatas. Pada masa Nabi, kritik Hadis masih bisa dilakukan dengan sangat mudah. Karena keputusan untuk otentitas sebuah Hadis berada di tangan Nabi sendiri. Namun, setelah wafatnya Nabi para sahabat cukup mendapat kesulitan karena tidak bisa bertanya lagi secara langsung kepada Nabi. Mereka harus bertanya kepada sahabat lain yang ikut mendengarkan Hadis tersebut. Sehingga, akan diperoleh kebenaran suatu riwayat Hadis meskipun tidak langsung dari Nabi. Hal ini sering dilakukan oleh sahabat Abu Bakar, Umar bin khattab, ali bin abi Thalib, ‘Aisyah dan lain-lain.[6]
D.    Kritik Hadis pada zaman sahabat
Setelah wafatnya Nabi Saw, tradisi kritik hadis terus berlanjut dilakukan oleh para sahabat. Pada periode ini, kritik hadis yang dilakukan lebih bersifat komparatif. Adapun sejumlah sahabat yang termasuk sebagai perintis dalam bidang kritik hadis ini, yaitu abu bakar yang mensyaratkan adanya saksi yang mendukung terkait kasus waris bagi nenek yang cucunya meninggal. Hal serupa juga diikuti oleh Umar bin khattab yang dalam kasus salam yang dilakukan oleh abu musa al-asy’ari, juga mensyaratkan adanya seorang saksi yang dapat membenarkan ucapan tersebut.
Di samping itu, pada periode ini kritik hadis juga dikembangkan dengan metode komparatif. Kritik tersebut tidak hanya mengandalkan kekuatan hafalan saja, namun juga melakukan perbandingan pada data-data tertulis yang ada. Di antara
E.     Contoh
Setelah memahami berbagai pembahasan di atas, kita tentu perlu melihat beberapa contoh yang merupakan aplikasi dari kritik Hadis tersebut. Berikut adalah contoh aplikatif kritik Hadis yang telah dilakukan oleh para sahabat pada masa silam.
Adakalanya kritik Hadis itu ditempuh dengan cara membandingkan Hadis dengan ayat al-Qur’an. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh istri Nabi (‘Aisyah Ra.) pada saat Umat bin Khattab wafat terbunuh. Saat itu, Ibnu Abbas bercerita kepada ‘Aisyah bahwa menjelang Umar menghembuskan nafas terakhirnya beliau berpesan agar tak ada satu pun dari keluarga Umar menangisinya. Alasannya, karena Umar pernah mendengar Nabi Saw bersabda, “Mayat itu akan disiksa karena ia ditangisi keluarganya.” Mendengar berita itu, ‘Aisyah hanya berkomentar, “Semoga Umar dirahmati Allah.” Sebab, Nabi Saw tidak pernah bersabda seperti itu. Beliau hanya bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menambah mayat orang kafir yang ditangisi keluarganya.” ‘Aisyah kembali melanjutkan komentar dengan membacakan sebuah ayat 164 surah al-an’am yang berbunyi, “Cukuplah bagi sebuah ayat yang mengatakan bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.”
Berdasarkan kisah di atas, dapat diketahui bahwa ‘Aisyah telah melakukan kritik matan Hadis dengan apa yang pernah didengar sendiri dari Nabi Saw. Setelah itu, beliau membandingkannya dengan ayat al-Qur’an.[7]



Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah kami paparkan di atas, apat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a.       Kritik Hadis merupakan salah satu cabang dari ilmu Hadis yang sangat penting untuk dipelajari
b.      Kemunculan kritik Hadis itu berasal dari kalangan ulama’ Islam sendiri, bukan dari kalangan orientalis
c.       Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam meneliti sebuah Hadis, yaitu mulai dari paham cara meneliti Hadis hingga paham akan metode-metode penelitian yang perlu digunakan
d.      Ketika ada dua Hadis yang berbeda, namun keduanya sama-sama bersumber dari Nabi setelah dilakukan penelitian maka keduanya dinilai sahih kedudukannya.


[1] Prof. Kh. Ali Mustafa Yaqub, MA., Kritik Hadis, Cet. Ke-5, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011, hal: xiv
[2] Dr. M. Syuhudi Isma’il, Kaidah Kesahihan Hadis, Cet. Ke-3, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, hal: 87-115
[3] http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/metode-penelitian-hadis.html
[4] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal: 3-4
[5] http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/metode-penelitian-hadis.html
[6] Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit., hal: 2
[7] Ali Mustafa Yaqub,  Op. Cit., hal: 2-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar